15 November 2010

Pimpinan Ormas, OKP dan LSM Tasik Menentang Kekerasan

TASIKMALAYA, (PRLM).- Para pemimpin organisasi masyarakat (Ormas), organisasi kemasyarakatan pemuda (OKP), forum masyarakat, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan Keluarga Besar Nahdlatul Ulama (KBNU) se-Priangan Timur, melakukan aksi menentang pemerasan dan kekerasan dalam suatu deklarasi di depan Sekretariat Pengurus Cabang (PC) NU Jln. Dr. Sukarjo, Kota Tasikmalaya, Senin (15/11).

Hadir kesempatan itu, Wali Kota Tasikmalaya, H. Syarif Hidayat, Kapolresta Tasikmalaya, Ajun Komisaris Besar Moch Hendra Suhartiyono, Dandim 0612/Tasikmalaya, Letkol Inf Bahram, dan para pimpinan Ormas, LSM dan ratusan santri.

Selama deklarasi dilakukan, jalur Jln. Dr. Sukarjo diblokir dari arah selatan dan utara. Petugas juga melakukan penjagaan di kawasan tersebut. Menurut Kepala Bagian Ops Polresta Tasikmalaya, Komisaris Yono Kusyono, sekitar 500 personil bantuan dari Brimob Polda Jabar, Polres Ciamis, dan Polresta Banjar lengkap dengan truk Dalmas diperbantukan berjaga-jaga di sekitar Mesjid Agung Jln HZ Mustopa sampai Jln Dr. Sukarjo.

Sebelum deklarasi dilakukan, massa sudah berkumpul di depan kantor PCNU Kota Tasikmalaya, sejak pagi hari. Di depan kantor itu, dipasang panggung besar sejak Minggu (14/11) lalu. Konsentrasi massa, selain di PCNU Kota Tasikmalaya, pada saat yang sama juga berlangsung di PCNU Kab. Tasikmalaya di Jln. Raya Singaparna. Massa NU di Kab. Tasikmalaya dalam waktu bersamaan melakukan aksi unjuk rasa di Pemkab Tasikmalaya dan ke Polres Singaparna. Aksi dipimpin Ketua Gerakan Muda Nahdlatul Ulama (GMNU) Kab. Tasikmalaya Jamaludin Malik. GMNU minta agar LSM Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) dibubarkan, karena telah meresahkan dan melecehkan warga NU.

Sedangkan saat deklarasi di Kota Tasikmalaya, beberapa komponen masyarakat juga hadir menyaksikan. Menurut Koordinator Deklarasi Dindin C Nurdin, deklarasi tersebut agar tidak terjadi kembali tindakan kekerasan atau pemerasan yang pernah dilakukan oleh oknum dari GMBI yang mengganggu kondusifitas keamanan dan ketentraman daerah.

"Membangunkan kesadaran kolektif sekaligus melahirkan komitmen, bahwa sesungguhnya kekerasan, pemerasan dan penindasan dengan segala bentuknya adalah musuh kita bersama," kata Dindin.
Mewujudkan nilai dan prinsip mencegah terulangnya kembali kekerasan maupun tindakan yang mengganggu kenyamanan masyarakat, kata Dindin, perlu adanya komitmen bersama seluruh elemen masyarakat, pemerintah maupun aparat penegak hukum.

Ia berharap seluruh kelompok masyarakat yang menyatakan sikap dalam deklarasi damai tersebut menjadi barisan depan dalam ikut menciptakan perdamaian jika terjadi perseteruan antar kelompok.
"Maka siapapun yang melakukan tindakan kekerasan dan pemerasan serta merusak tatanan norma religi, etika dan budaya maka kami berada di depan untuk melakukan pembelaan kepada masyarakat," katanya.

Sementara itu, perwakilan dari tokoh pemuda NU, Abdul Muis menyampaikan, ketidak puasannya jika terjadi tindakan yang merugikan masyarakat dengan mengatasnamakan kelompok dan tidak segera ditindak oleh pihak berwajib atau pemerintah. “Harus ada sanksi jelas terhadap GMBI,” katanya.

Di hadapan Wali Kota, Kapolresta, serta Dandim dan massa yang berjumlah sekitar seribu lebih, Abdul Muis mengatakan, jika kelompok massa yang melanggar norma dan hukum masih tetap dinyatakan legal oleh pemerintah maupun aparat keamanan, maka dia menduga ada ketarkaitannya sebagai kepanjangan tangan pemerintah maupun aparat keamanan.

"Jangan sampai rakyat dibiarkan hidup dengan kekerasan. Kita ingin dilindungi oleh pemerintah, kalau kekerasan dibiarkan, maka kita akan melakukan kekerasan juga," tegasnya.

Sementara itu, Wali Kota Tasikmalaya, H Syarif Hidayat menyatakan, jika ada kelompok massa yang terbentuk dalam organisasi melanggar ketentuan dan peraturan hukum, maka pihaknya akan menarik surat yang terdaftar legal di Kesbangpol Pemerintah Kota Tasikmalaya.

Penarikan surat terdaftarnya di Kesbangpol tersebut, kata Syarif, tentunya melalui prosedur dan proses sesuai dengan aturan yang berlaku.

Selanjutnya, para pemimpin ormas, OKP, Forum, serta LSM yang hadir masing-masing menandatangani deklarasi menentang pemerasan dan kekerasan. Selanjutnya massa menuju gedung DPRD Kota Tasikmalaya dan bertemu dengan Ketua Dewan, H Otong. Di depan gedung DPRD Kota Tasikmalaya, massa dari GMNu Kab. Tasikmalaya yang dipimpin oleh Jamaludin Malik ikut bergabung, lalu disusul dari Kab. Ciamis. Hadir di dewan, sejumlah tokoh ulama seperti K.H. Miftah Fauzi, K.H. Ijaj, lalu K.H. Mimih, Sekjen Serikat Petani Pasundan Agustiana dan lainnya.

Kelompok massa dari GMNU Kab. Tasikmalaya, setelah dari Dewan Kota Tasikmalaya, langsung menuju kantor GMBI Kota Tasikmalaya, Jln. Cimulu. Mereka berniat untuk melakukan sweeping ke kantor tersebut. Namun, sekitar 20 meter menjelang kantor GMBI, massa dari GMNU Kab. Tasikmalaya, dihadang oleh petugas. Begitu juga massa dari Ciamis, tidak bisa melintas ke kantor GMBI ini.
Aksi massa ini, diduga terkait adanya dugaan permintaan uang ke sekolah NU oleh oknum GMBI. Lalu, dilaporkan oleh anak muda NU ke polisi. GMBI sempat aksi ke Polresta Tasikmalaya, terkait masalah itu. Belakangan berkembang isu, bahwa GMBI minta NU dibubarkan.

Ketua Bidang Investigasi GMBI Kota Tasikmalaya Joni Ahmad Mulyono mengatakan, sama sekali tidak benar kalau GMBI minta NU dibubarkan. Terkait, adanya dugaan permintaan uang, kata Joni itu, sama sekali diluar sepengetahuan GMBI. Tindakan itu adalah diduga dilakukan oknum, dan sekarang dalam proses kepolisian.(A-14/A-97/A-120)***

30 Juli 2010

Budiman, Inovator Pita Volume Kayu

Kompas, Jumat, 30 Juli 2010

Adhitya Ramadhan

Minimnya informasi, tingkat pengetahuan yang rendah, dan mendesaknya kebutuhan ekonomi sering kali menyebabkan petani hutan rakyat menjadi tidak berdaya ketika berhadapan dengan tengkulak. Akibatnya, ketika menjual kayu, petani menghitungnya berdasarkan jumlah batang pohon yang akan dijual. Padahal, lazimnya di pasaran, penjualan kayu dihitung berdasarkan volume.

Konsekuensi lanjutan dari praktik seperti itu ialah petani rugi. Sebaliknya, si tengkulak dapat mengeruk untung besar dari cara jual-beli kayu seperti itu karena mereka akan menjual kayu tersebut berdasarkan volume. Akibatnya, ada potensi pendapatan yang tidak diterima oleh petani.

Di samping itu, dari sisi kelestarian hutan, praktik penjualan kayu berdasarkan batangan ini mengancam keberadaan hutan. Karena petani menjual kayu dalam bentuk log atau batangan, mereka cenderung menjual lebih banyak pohon daripada jika menjual berdasarkan volume.

Padahal, kayu sangat berharga dan bernilai tinggi. Semakin lama kayu berada di hutan, fungsi ekologisnya akan semakin lama berjalan.

Kondisi seperti itulah yang menggugah Budiman Achmad mencari jalan keluar yang tidak merugikan petani. "Kalau hutan rakyat mau lestari, petani harus sejahtera. Kalau petani hutan rakyat sejahtera, ancaman gangguan terhadap hutan negara pun bisa ditekan. Sebenarnya, hanya dengan menjual kayu sedikit saja mereka sudah bisa mencukupi kebutuhannya. Tidak perlu menjual kayu banyak-banyak," tuturnya.

Budiman adalah Ketua Kelompok Peneliti Sosial Ekonomi Kehutanan pada Balai Penelitian Kehutanan Ciamis (BPKC).

Budiman tak hanya berwacana, tetapi dia juga menawarkan solusi konkret berupa sebuah pita pengukur volume kayu.

Sepintas, pita volume kayu hasil karya Budiman tidak jauh berbeda dengan pita meteran yang biasa dipakai penjahit pakaian. Pita volume kayu lebarnya sekitar 3 sentimeter. Di situ tertera dua deret angka. Deret pertama adalah angka yang menunjukkan panjang lingkar kayu dalam sentimeter yang ditulis dengan tinta merah. Sementara angka pada deret kedua ialah deretan angka penunjuk volume dalam meter kubik yang ditulis dengan tinta hijau.

Pengukur volume kayu

Selama ini, kata Budiman, petani biasanya menggunakan tabel volume untuk mengukur volume kayu. Cara ini dinilai merepotkan sebab petani harus mengukur terlebih dulu berapa lingkar batang pohon, kemudian menghitung diameter. Setelah itu, baru mencocokkannya dengan tabel volume kayu.

Beda halnya jika petani menggunakan pita volume. Cukup hanya mengukur lingkar pohon dengan cara melingkarkan pita volume, petani sudah mengetahui berapa meter kubik volume batang pohon itu. Selain itu, pita volume sangat praktis untuk dibawa-bawa dalam saku celana atau baju.

Namun, Budiman menegaskan, pita volume kayu ciptaannya hanya berlaku untuk pohon pinus di Tapanuli Utara. Pita ini tidak untuk dipakai pada komoditas lain dan daerah lain. "Pita volume ini memang dibuat di Ciamis, tetapi rumus pembuatan pita ini saya bikin berdasarkan data lapangan di Tapanuli Utara, tempat saya bekerja sebelum dipindah ke Ciamis," ujar pria kelahiran Nganjuk, Jawa Timur, 51 tahun lalu, itu.

Setiap daerah memiliki karakter tanah yang berbeda-beda. Demikian pula respons dan pertumbuhan tanaman terhadap tanah tersebut. Karena itu, kata Budiman, mengonversi panjang lingkar batang suatu jenis tanaman di satu daerah ke dalam ukuran volume memiliki penghitungan tertentu. Begitu juga kayu di daerah lain, ada rumus penghitungannya sendiri-sendiri.

Setelah sering dipamerkan dalam seminar dan gelar teknologi kehutanan di BPKC, banyak pihak yang meminta Budiman membuat pita volume kayu untuk komoditas lain, misalnya sengon. Akhirnya, BPKC pun meresponsnya dan kini sebuah tim sedang bekerja membuat pita volume untuk kayu sengon.

Forum Rimbawan

Bagi pria yang kini mengikuti program doktoral di Universitas Gadjah Mada (UGM) itu, pita volume kayu merupakan contoh karya nyata peneliti untuk petani. Hasil-hasil riset dari berbagai lembaga penelitian akan sia-sia jika tidak bisa diaplikasikan oleh masyarakat petani secara sederhana. Jika demikian adanya, peneliti dan karya-karyanya akan tetap menjadi menara gading yang sulit dijangkau oleh petani yang merupakan sebagian besar penduduk negeri ini.

Sebagai peneliti, Budiman tidak melulu berkutat dengan penelitian. Dia terlibat secara langsung membina sejumlah kelompok tani hutan. Dalam setiap pertemuan dengan para petani, ia selalu menyampaikan apa saja teknologi kehutanan yang terbaru, mulai dari cara menanam yang baik hingga fasilitasi pasar. Semua ia lakukan semata-mata agar petani lebih cerdas.

Kuatnya keinginan untuk mencerdaskan petani mendorong Budiman membuka saluran komunikasi dengan petani, baik melalui telepon, surat elektronik, maupun datang langsung ke kantor. Dia bersedia membantu petani mengatasi permasalahannya, kapan saja.

Budiman juga membina Forum Rimbawan Bina Wana Enterprise (semacam kelompok tani hutan) di wilayah Ciamis-Banjar, dengan jumlah tanaman mencapai 79.000 pohon.
Setiap berinteraksi dengan petani, Budiman selalu menerima keluhan petani yang sulit menaksir volume kayu. Akibat pengetahuan yang minim itu, petani tidak memiliki posisi tawar yang tinggi di hadapan pembeli atau tengkulak ketika menjual kayunya.

Akhirnya setiap bertemu dengan petani, misalnya dalam gelar teknologi, sosialisasi, maupun penelitian di lapangan, Budiman menyampaikan bagaimana menghitung volume kayu yang benar kepada petani. Ketika terjun ke lapangan atau dalam gelar teknologi, ia selalu mendemonstrasikan cara menghitung volume kayu yang benar.

Untuk lebih memudahkan petani menghitung volume kayu, ia pun sedang menyiapkan pita pengukur volume kayu untuk kayu sengon di Jawa Barat. "Nantinya pita volume kayu itu akan kami bagikan gratis kepada kelompok tani," ujarnya.

Dia mengharapkan, ke depan peneliti semakin mampu melahirkan karya yang aplikatif untuk kepentingan petani. Pita volume kayu hasil proses kreatifnya semoga menjadi inspirasi bagi peneliti lain.

• Lahir: Nganjuk, 4 November 1959

• Pekerjaan: Pegawai Negeri Sipil

• Jabatan: Ketua Kelompok Peneliti Sosial Ekonomi Kehutanan di Balai Penelitian Kehutanan Ciamis

• Istri: Dian Dhiniyati (42)

• Anak: Hanifah Ramdaniah (11),Yasmin Sekar Arum (9), Kurnia Cahya Nisa (5)

• Pendidikan:
- S-1 Manajemen Hutan IPB, lulus 1985
- Magister School of Forestry, University of Canterbury, Selandia Baru, lulus 1995
- Program doktoral Kebijakan Kehutanan, UGM Yogyakarta, masuk 2009

10 Juni 2010

Walhi Laporkan Kasus Penembakan Petani Ke Polisi

THURSDAY, 10 JUNE 2010 - DEDE RIANI, WALHI

LSM lingkungan Walhi resmi melaporkan bentrokan yang terjadi antara para petani di Riau dengan aparat kepolisian ke Kepolisian Indonesia. Pasalnya akibat insiden ini 1 orang petani tewas dan 1 dalam kondisi kritis.

Direktur Walhi Nasional Erwin Usman mengatakan, 3 orang saksi akan dihadirkan untuk memperkuat bukti penembakan dilakukan oleh polisi. Walhi juga memiliki bukti foto-foto saat peristiwa perebutan lahan milik petani yang berlangsung ricuh, termasuk selongsong peluru yang mengenai salah satu petani Riau.

“Jadi ada statement dari kepolisian lokal yang diterbitkan di media lokal bahwa peluru yang bersarang di tubuh Isniar punggung tembus depan, itu bukan dari aparat kepolisian dan ini menarik bagi Walhi, karena visum yang kami lakukan kemarin, testimoni warga jelas yang menyebabkan kematian bukan karena benda tumpul tapi karena peluru itu,” papar Erwin Usman.

Kasus ini bermula dari perselisihan antara PT Tri Bakti Sarimas (TBS) dan warga selaku anggota Koperasi Unit Desa Prima Sehati. KUD dan PT TBS bekerjasama menanam kelapa sawit. Petani KUD Prima Sehati menyediakan lahan seluas 9.300 hektar, sementara PT TBS yang melakukan penanaman sampai panen.

Penanaman sudah dilakukan sejak tahun 1998, namun petani baru mendapatkan hasil usaha pada tahun 2008 atau setelah enam tahun masa panen. Hasil panen yang diberikan PT TBS juga dinilai sangat rendah, yakni Rp 70.000 sebulan untuk lahan seluas dua hektar. Padahal di luar, kelapa sawit yang sudah berumur 10 tahun sudah dapat menghasilkan uang Rp 4 juta.

Warga anggota KUD kemudian berupaya untuk membicarakan kenaikan setoran hasil panen PT TBS. Namun, perusahaan itu tidak menggubris tuntutan petani.

Pada Selasa pagi (8/6) ratusan petani KUD Prima Sehati memanen sendiri kelapa sawit plasma di areal yang disengketakan. Sementara pihak perusahaan berupaya menghentikan upaya paksa petani itu dengan mendatangkan aparat Brimob dari Polres Kuansing.

Polisi meminta petani menghentikan pemanenan namun tidak digubris. Bentrokan akhirnya pecah dan polisi menghalau massa dengan tembakan. Dua orang tertembak dan seorang diantaranya meninggal dunia.

LAST UPDATED ( THURSDAY, 10 JUNE 2010 17:03 )

09 Juni 2010

"POLISI MASIH MENJADI ALAT PELINDUNG PEMODAL BESAR"

Siaran Pers Bersama
Tentang Penembakan dan Pembunuhan Petani Riau oleh Polisi
Membela Perkebunan Kelapa Sawit

"POLISI MASIH MENJADI ALAT PELINDUNG PEMODAL BESAR"

Jakarta, (9/6/2010)--Pancasila sebagai dasar negara, khususnya sila kedua menyebutkan dengan jelas Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Insiden berlanjutnya penembakan terhadap petani oleh kepolisian khususnya Brigade Mobil patut dipertanyakan kembali. Apakah Kepolisian mulai redup mengamalkan Panca Sila, atau polisi juga lupa bahwa mereka bukanlah institusi militer. Karena faktanya akhir-akhir ini Polisi selalu melakukan tindakan kekerasan. Sepatutnya, sebagai alat negara benar-benar menjalankan fungsinya sebagai pengayom rakyat dan bukan sebagai alat perusahaan. Dengan insiden kekerasan belakangan ini membantah telah terjadi reformasi di tubuh Polri.

Nyawa rakyat kecil solah tak berharga. Setelah melakukan penembakan terhadap petani di Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan, Buton Sulawesi Tenggara, dan Banggai Sulawesi Tengah, kini melanjutkan penembakan petani di wilayah Kabupaen Kuala Sengingi (Kuansing) Riau. Dipertengahan tahun ini kembali seorang Ibu petani kelapa sawit tewas setelah ditembus peluru aparat Kepolisian Polres Kuala Sengingi dan Brimob Polda Riau pada Selasa, 8 Juni 2010.

Adalah Ibu Yusniar (45) dan Disman (43) warga Desa Koto Cengar Kecamatan Kuantan Mudik yang menjadi korban. Ibu Yusniar meninggal di tempat, sedangkan Bapak Disman masih di rawat di RSUD Taluk Kuantan. Selain menewaskan petani, polisi juga telah menahan sekurangnya 11 warga meski siang ini telah dibebaskan, dan saat ini berada di Puskemas Lubuk Jambi untuk perawatan akibat pemukulan. Tidak cukup dengan menembak dan menangkap petani, polisi juga telah membakar dan menembaki 10 unit sepeda motor dan satu unit mobil. Tidak heran jika petani melakukan tindakan serupa pula.

Dalam semester pertama tahun 2010, kami mencatat 65 orang sudah menjadi korban kriminalisasi dan kekerasan aparat polisi. Korban Yusniar (45) di Kabupaten Kuansing, adalah yang paling parah. Dan terdapat 64 orang petani yang ditahan, yaitu enam (6) di Riau, enam (6) di Sumatera Barat, 3 (tiga) di Bengkulu, lima (5) di Tapanuli Selatan-Sumatera Utara, dua (2) orang di Kabupaten OKI-Sumatera Selatan, 24 orang di Banggai Sulawesi Tengah, dan 18 orang di Kalimantan Barat.

Kekerasan terhadap petani kelapa sawit di Riau merupakan cermin adanya ketidakadilan dalam sistem perkebunan kelapa sawit. Duduk perkaranya, lahan seluas 12.000.00 Ha merupakan milik 4000 KK telah diserahkan kepada PT. Tribakti Sari Mas tahun 1999 untuk dibangun menjadi kebun kelapa sawit. Dan yang telah dikelola seluas 9000 Ha, serta yang telah berhasil panen seluas 4500 Ha sejak tahun 2008. Duduk ketidakadilan yang dialami petani; pertama dirugikan dengan masa konvesi lahan yang seharusnya berjalan lima (5) tahun menjadi Sembilan (9) tahun. Artinya ada kesempatan untuk panen yang di hilangkan selama empat (4) tahun. Kedua, dari pendapatan, seharusnya dalam setiap bulan atas per hektar lahan, petani mendapatkan Rp.1,6 juta dan dikurangi empat jenis potongan sebesar 34,5%, maka total pendapatan bersih senilai Rp.502 ribu per bulan. Sedangkan kenyataan yang didapat oleh seorang petani hanya Rp. 72.000 per bulan. Hal inilah yang memicu kemarahan petani terhadap perusahaan.

Masyarakat sesungguhnya telah memperjuangkan keadilan selama dua tahun terakhir. Upaya yang ditempuh yaitu mengadu kepada DPR RI, ke Pemda Propinsi dan DPRD sebanyak tujuh kali dan di tingkat Pemda dan DPRD K sebanyak 15 kali. Serta menuntut perbaikan manajemen pengelolaan kepada pihak perusahaan sebanyak empat kali.
Namun hasilnya nihil hingga petani memutuskan untuk melakukan panen paksa atas lahan seluas 100 Ha yang berujung bentrok dan menewaskan dua orang petani.

Insiden seperti ini seharusnya tidak perlu terjadi jika perusahaan mau melakukan tindakan jujur dan adil dalam bagi hasil, dan polisi menjadi penengah dalam perselisihan. Bukan berlawan dengan petani.

Atas insiden ini, kami elemen masyarakat sipil yang peduli pada nasib petani, lingkungan hidup, demokrasi dan hak asasi manusia menyampaikan;

Mengutuk tindakan keberutalan aparat Polisi dalam menangani perjuangan keadilan petani kelapa sawit yang diperlakukan tidak adil dan sewenang-wenang oleh PT. Tribakti Sari Mas.
Mendesak KAPOLRI untuk sungguh-sungguh melakukan reformasi di kesatuannya, karena masih banyaknya tindakan anggota POLRI yang berada di luar batas kemanusiaan dengan melakukan penangkapan paksa, penembakan serta penggunaan senjata berpeluru tajam dalam penanganan persoalan masyarakat.
Meminta KAPOLRI dengan atas nama kemanusiaan agar mencopot KAPOLRES Kuantan Sengingi dari jabatannya selaku pihak bertanggung jawab atas tragedi ini
Meminta Presiden RI untuk menjadikan POLRI berada satu tubuh dalam Kementerian Dalam Negeri, agar Polisi betul-betul bertindak sebagai polisi sipil.
Atas nama keadilan, polisi pelaku penembakan agar segera di tangkap dan di hukum seberat-beratnya.
Mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, agar memerintahkan departemen terkait untuk melakukan audit sistem perkebunan kelapa sawit di Indonesia secara umum, dan di PT. Tribakti Sari Mas secara khusus. Audit ini beserta dengan seluruh kebijakan-kebijakan terkait perkebunan kelapa sawit. Selain itu, kami juga mendesak kepada Presiden untuk melakukan moratorium rencana perluasan perkebunan kelapa sawit seluas 6 juta ha hingga 2015 mendatang. Tercatat yang harus dievaluasi adalah sekitar 9,4 juta ha perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Meminta kepada seluruh pasar-pasar konsumen Crude Palm Oil (CPO) dalam dan luar negeri untuk memboikot CPO milik perusahaan PT. Tribakti Sari Mas yang melakukan tindakan kriminal dan melakukan tindakan tidak adil terhadap petani kelapa sawit, dan bersama-sama mendorong perbaharuan dalam sistem perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Kami juga mendukung sepenuhnya upaya-upaya perjuangan masyarakat Kuantan Sengingi untuk memperoleh keadilan dengan cara-cara damai.
Terim kasih.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Sarekat Hijau Indonesia (SHI), Sawit Watch, KontraS, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Petani Indonesia (API), Serikat Petani Indonesia (SPI), PRP, PBHI, IMPARSIAL, LMND, PEBEBASAN, Perempuan Mahardika, PERGERAKAN Bandung, Institute Global Justice (IGJ).

Sumber: Kontras

LSM Mengutuk Penembakan Petani di Riau

Jakartapress.com, Rabu, 09/06/2010, Jakarta - Elemen Masyarakat Sipil yang terdiri atas Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)-Eknas, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Sawit Watch, Kontras, PBHI, Imparsial, LMND, pergerakan, dan IGJ, mengecam keras tindakan represif aparat kepolisian Riau (Polres Riau, Brimob dan Polda Riau) dalam menangani demonstrasi petani kelapa sawit 8 Juni 2010 di Kuantan Senggigi (Kuansing) Riau, kemarin.

”Kami menyayangkan sikap aparat kepolisian dalam menangani demonstran. Reformasi kepolisian belum maksimal, hal ini terlihat dari catatan tindakan kekerasan kepolisian terhadap masyarakat khususnya petani. Artinya, polisi tidak profesional,” ujar aktivis Kontras Sri Suparyati saat Press Confrence di kantor Walhi-Eknas, Jakarta, Rabu (9 Juni 2010).

Sementara itu, Deputi Advokasi Kebijakan KPA D.D. Shineba menyatakan kejadian ini berulang kali terjadi dan kerapkali melibatkan Polri dan TNI. Lebih jauh ia menyarakankan agar Polisi dan juga TNI tidak boleh ikut campur dalam sengketa tanah agar peristiwa kekerasan tersebut tidak terjadi lagi.

”Ada banyak cara agar peristiwa ini tidak lagi terjadi. Pertama, Polisi dan TNI tidak boleh ikut campur dalam urusan sengketa tanah. Kedua, Pemerintah harus membuat lembaga sengketa agraria, dan ketiga, laksanakan reforma agraria seutuhnya,” ujarnya.

Apa yang diungkapkan oleh kalangan elemen masyarakat sipil tersebut terasa wajar jika melihat data-data yang dikeluarkan oleh Walhi, Sawit Watch, dan SPKS tentang jumlah korban kekerasan aparat kepolisian selama semester I 2010 dalam menghadapi aksi petani. 80 orang tercatat menjadi korban meninggal dunia di seluruh Indonesia, terbesar di daerah Luwuk, Sulawesi Tengah ketika petani berhadapan dengan PT. KLS.

Peristiwa kekerasan di Riau kemarin sendiri menurut Walhi-Eknas berawal dari aksi demonstrasi warga pukul 09.00, 8 Juni 2010 dimana massa petani dari 11 desa Kecamatan Lubuk Jambi berkumpul di Desa Cengar. Mereka adalah anggota Koperasi Tani Prima Sehati yang selama ini berkonflik dengan PT. TBS. Kemudian massa masuk areal perkebunan untuk memanen tandan sawit. Ketika panen sedang berlangsung, polisi masuk dan menghadang, mengejar bahkan menembaki warga dengan senjata api.

Akibat bentrokan tersebut, 1 orang petani bernama Yusniar (45 tahun) meninggal tertembus peluru dibahagian dada dari belakang dan Disman (43 Tahun) kritis. Aparat beralasan bahwa tembakan tersebut untuk membela diri dari amukan massa. Bentrokan juga menghasilkan 11 orang ditahan, namun pada malam harinya dibebaskan kembali oleh pihak kepolisian Mapolres Kuantan Senggigi.

Roadshow Menuntut Keadilan dan Boikot
Atas peristiwa itu Deputi Direktur Walhi-Eknas Erwin Usman menyatakan dalam 10 hari kedepan, ia bersama seluruh elemen yang tergabung akan melakukan roadshow ke instansi terkait seperti Komnas HAM, Mabes Polri dan lain-lain agar megusut tuntas kasus penembakan tersebut.

Sementara itu Deputi Kampanye dan pendidikan publik Sawit Watch Edi Sutrisno mendesak agar Dirjen harus mencabut izin usaha dan BPN untuk meninjau kembali HGU dari PT. TBS. ”Pembeli (konsumen pasar CPO) harus hati-hati ketika membeli CPO, mereka harus mengetahui apakah CPO tersebut berasal dari perusahaan pelanggar HAM. Jika ya, maka jangan dibeli. Lakukan boikot” serunya.

Awal Persengketaan
Menurut elemen masyarakat sipil tersebut, demonstrasi petani tersebut dipicu konflik atas ketidakadilan pengelolaan areal kelapa sawit yang dikuasai oleh PT. Tri Bakti Sarimas (PT. TBS). Pada awalnya, pengelolaan luas lahan 9.314 Ha dikelola oleh masyarakat bekerjasama dengan PT. TBS melalui konsep plasma, namun PT. TBS dituding melakukan perubahan perjanjian secara sepihak dengan mengelola sendiri dengan alasan kebijakan revitalisasi perkebunan.

Lahan seluas 12.000 Ha pada awalnya merupakan milik 4000 KK yang kemudian diserahkan kepada PT. TBS tahun 1999 untuk dibangun menjadi kebun kelapa sawit. Areal yang baru dikelola hingga saat ini hanya 9.314 Ha dan yang berhasil dipanen hanya 4.500 Ha saja. Presiden SPKS Mansuetus Darto menuturkan bahwa kebijakan revitalisasi perkebunan produk pemerintahan SBY melahirkan ketidakadilan bagi petani.

”kebijakan revitalisasi perkebunan produk pemerintahan SBY telah menyebabkan ketidakadilan bagi petani. Indikasinya adalah pendapatan petani akibat kebijakan tersebut menurun drastis dari seharusnya Rp. 1,6 juta perbulan/Ha menjadi hanya Rp. 30 ribu s/d Rp. 150.000 saja tiap bulannya,” ujarnya.

Ia juga menambahkan bahwa PT. TBS tidak ada niat baik dalam mengelola lahan perkebunan. ”Baru 4000 Ha saja yang dikelola dan itupun menghaslkan produksi jauh dari standar, belum lagi kondisi lahan yang tidak dirawat,” imbuhnya. (jzg)

21 Mei 2010

Serikat Petani Laporkan Dugaan Korupsi

Petani Inginkan Reformasi Agraria

Jumat, 21 Mei 2010

BANDUNG, KOMPAS
- Serikat Petani Pasundan (SPP) melaporkan dugaan korupsi hasil hutan yang diduga dilakukan Dinas Kehutanan Jawa Barat dan Perum Perhutani Unit III Jabar Banten kepada Kejaksaan Tinggi dan Kepolisian Daerah Jabar, Kamis (20/5), seusai beraudiensi dengan DPRD Jabar di Bandung. Mereka juga melaporkan Kepala Dinas Kehutanan Jabar Anang Sudarna kepada polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik SPP.

Pertemuan dengan anggota DPRD Jabar itu dipicu kekecewaan anggota SPP atas pernyataan Kepala Dinas Kehutanan Jabar sebagaimana diberitakan Kompas, 11 Mei 2010. Dalam berita itu dituliskan, Anang mengaku sukar mengatasi perambahan hutan karena harus berhadapan dengan organisasi kemasyarakatan yang menghimpun warga, seperti SPP yang ditemui di Tasikmalaya dan Ciamis.

"Pak Anang seperti menuduh SPP sebagai perambah hutan. Pernyataan itu jelas memicu keresahan dan kemarahan warga karena selama ini petani yang tergabung dalam SPP telah menggarap lahan dengan memerhatikan prinsip-prinsip ekologis," kata Agustiana, Sekretaris Jenderal SPP.

Di hadapan anggota DPRD Jabar yang dalam pertemuan itu dipimpin Wakil Ketua DPRD Komarudin Thaher, Agustiana mengatakan, pembatasan akses rakyat terhadap lahan dan hutan adalah pelanggaran hak. Itu karena lahan-lahan tersebut pada awalnya adalah milik warga yang di masa kolonial dirampas penjajah Belanda.

Lahan-lahan itu dikuasai jawatan kehutanan di bawah pemerintahan kolonial, dan pengelolaannya sekarang diteruskan Perum Perhutani. "Jika merunut dari sejarah tersebut, siapa yang layak disebut sebagai perambah hutan?" katanya.

Korupsi hutan

Agustiana menyebutkan dugaan korupsi dilakukan Perhutani atas hasil penebangan hutan di Kabupaten Ciamis, yakni seluas 913 hektar di Cibulu dan 300 hektar di Cigugur. Ia juga mempersoalkan penjualan aset tanah milik Perhutani untuk pembangunan kawasan industri Jababeka dan Tol Cipularang.

Pada 2008 Dinas Kehutanan Jabar juga disebut Agustiana memberikan izin penebangan kayu di wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan Ciamis sebanyak 40.000 meter kubik. Padahal, saat itu wilayah hutan tersebut belum memasuki masa tebang.

Laporan dugaan korupsi dan pencemaran nama baik itu diterima langsung oleh perwakilan Polda dan Kejati Jabar yang hadir mendampingi anggota DPRD Jabar.

Kepala Seksi Hukum Perum Perhutani Unit III Yuniar Permadi mengatakan, pihaknya tidak akan menghalangi proses hukum. "Kami selaku BUMN diberi kewenangan mengelola hutan oleh negara. Jika kemudian ada dugaan penyelewengan, kami serahkan ke proses hukum," ujarnya.

Selain puluhan perwakilan yang menemui anggota DPRD Jabar, ada massa SPP yang berorasi di halaman Gedung Sate. Mereka menuntut reformasi agraria, pembubaran Perhutani dan pemberhentian Anang Sudarna.

Dihubungi terpisah, Anang menolak disebut telah mencemarkan nama baik SPP. "Itu fakta bahwa mereka merambah hutan. Saya memiliki data-datanya. Jika saya memiliki data, apakah saya bisa disebut mencemarkan nama baik mereka?" katanya. Menyikapi hal ini, Anang berencana menuntut balik SPP karena tuduhan tidak berdasar dan pencemaran nama baik atas dirinya. (REK/*)

20 Mei 2010

Serikat Petani Laporkan Dugaan Korupsi

BANDUNG, KOMPAS - Serikat Petani Pasundan (SPP) melaporkan dugaan korupsi hasil hutan yang diduga dilakukan Dinas Kehutanan Jawa Barat dan Perum Perhutani Unit III Jabar Banten kepada Kejaksaan Tinggi dan Kepolisian Daerah Jabar, Kamis (20/5), seusai beraudiensi dengan DPRD Jabar di Bandung. Mereka juga melaporkan Kepala Dinas Kehutanan Jabar Anang Sudarna kepada polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik SPP.

Pertemuan dengan anggota DPRD Jabar itu dipicu kekecewaan anggota SPP atas pernyataan Kepala Dinas Kehutanan Jabar sebagaimana diberitakan Kompas, 11 Mei 2010. Dalam berita itu dituliskan, Anang mengaku sukar mengatasi perambahan hutan karena harus berhadapan dengan organisasi kemasyarakatan yang menghimpun warga, seperti SPP yang ditemui di Tasikmalaya dan Ciamis.

"Pak Anang seperti menuduh SPP sebagai perambah hutan. Pernyataan itu jelas memicu keresahan dan kemarahan warga karena selama ini petani yang tergabung dalam SPP telah menggarap lahan dengan memerhatikan prinsip-prinsip ekologis," kata Agustiana, Sekretaris Jenderal SPP.

Di hadapan anggota DPRD Jabar yang dalam pertemuan itu dipimpin Wakil Ketua DPRD Komarudin Thaher, Agustiana mengatakan, pembatasan akses rakyat terhadap lahan dan hutan adalah pelanggaran hak. Itu karena lahan-lahan tersebut pada awalnya adalah milik warga yang di masa kolonial dirampas penjajah Belanda.

Lahan-lahan itu dikuasai jawatan kehutanan di bawah pemerintahan kolonial, dan pengelolaannya sekarang diteruskan Perum Perhutani. "Jika merunut dari sejarah tersebut, siapa yang layak disebut sebagai perambah hutan?" katanya.

Korupsi hutan

Agustiana menyebutkan dugaan korupsi dilakukan Perhutani atas hasil penebangan hutan di Kabupaten Ciamis, yakni seluas 913 hektar di Cibulu dan 300 hektar di Cigugur. Ia juga mempersoalkan penjualan aset tanah milik Perhutani untuk pembangunan kawasan industri Jababeka dan Tol Cipularang.

Pada 2008 Dinas Kehutanan Jabar juga disebut Agustiana memberikan izin penebangan kayu di wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan Ciamis sebanyak 40.000 meter kubik. Padahal, saat itu wilayah hutan tersebut belum memasuki masa tebang.

Laporan dugaan korupsi dan pencemaran nama baik itu diterima langsung oleh perwakilan Polda dan Kejati Jabar yang hadir mendampingi anggota DPRD Jabar.

Kepala Seksi Hukum Perum Perhutani Unit III Yuniar Permadi mengatakan, pihaknya tidak akan menghalangi proses hukum. "Kami selaku BUMN diberi kewenangan mengelola hutan oleh negara. Jika kemudian ada dugaan penyelewengan, kami serahkan ke proses hukum," ujarnya.

Selain puluhan perwakilan yang menemui anggota DPRD Jabar, ada massa SPP yang berorasi di halaman Gedung Sate. Mereka menuntut reformasi agraria, pembubaran Perhutani dan pemberhentian Anang Sudarna.

Dihubungi terpisah, Anang menolak disebut telah mencemarkan nama baik SPP. "Itu fakta bahwa mereka merambah hutan. Saya memiliki data-datanya. Jika saya memiliki data, apakah saya bisa disebut mencemarkan nama baik mereka?" katanya. Menyikapi hal ini, Anang berencana menuntut balik SPP karena tuduhan tidak berdasar dan pencemaran nama baik atas dirinya. (REK/*)