01 Februari 2002

Tanah Soeharto: Diukur, Didata, Lalu...?

Majalah Tempo, Edisi. 04/XXIIIIIII/27 Oktober - 02 November 1998

BPN mendata tanah mantan presiden Soeharto dan keluarganya di 27 provinsi. Kalaupun data telah terkumpul, diragukan apakah akan ditindaklajuti.

SEPERTI menyusun mozaik sebuah teka-teki yang terserak. Begitu gambaran sulitnya mendata tanah milik mantan presiden Soeharto. Bagaimana bisa terbentuk gambar yang utuh kalau kepingan teka-tekinya sulit ditemukan? Apalagi kalau proses penyusunan itu masih dibayang-bayangi oleh rasa ewuh pakewuh terhadap sang bekas presiden?pemilik teka-teki itu.

Kenyataan itulah yang kini dihadapi pimpinan Badan Pertanahan Nasional (BPN), yang pada 2 Oktober lalu memerintahkan kantor wilayah BPN seluruh Indonesia agar menginventarisasi tanah milik Soeharto dan keluarganya, baik yang bersertifikat maupun yang tidak. Bukannya mendapatkan data yang valid, yang ditemukan justru kesimpangsiuran informasi.

Kesimpangsiuran? Ya, ambilah contoh hasil pemeriksaan BPN Jawa Timur. Menurut Benny, Kepala Bidang Pengukuran dan Pendaftaran Tanah BPN Jawa Timur, dari lima daerah yang telah ditelitinya, yakni Surabaya, Malang, Jombang, Lamongan, dan Banyuwangi, tidak sejengkal tanah pun di sana yang dimiliki Soeharto atau keluarganya.

Data resmi yang diperoleh dengan memeriksa buku tanah yang ada di BPN Tingkat II ini berbeda sekali dengan desas-desus yang beredar di masyarakat. Untuk daerah Surabaya saja, menurut beberapa sumber TEMPO di kalangan pengurus realestat Jawa Timur, Tommy Soeharto melalui PT Gading Mandala Putra telah mengambil tanah yang semula milik Polri. Lalu Tommy beserta Bambang Trihatmodjo pernah pula mengambil alih lahan PT Pusvetma, sebuah perusahaan vaksin hewan yang bernaung di bawah Departemen Pertanian, di Jalan Ahmad Yani, Surabaya.

Soal serupa terjadi di Lampung. Kepala Kanwil BPN setempat, Tukiman, mengaku kepada Fadilasari dari TEMPO bahwa pihaknya belum mempunyai data soal ini. Padahal masyarakat Lampung sudah mafhum bahwa tanah keluarga Soeharto tersebar di sana. Seperti PT Gunung Madu Plantation, yang luasnya 25 ribu hektare, PT Sweet Indo Lampung seluas 17,4 ribu hektare, dan PT Lamtoro Gung Persada seluas 20 ribu hektare.

Memang, tidak semua kepala BPN setertutup itu, walau juga bukan berarti data yang mereka miliki dapat dipercaya. Kepala Kanwil BPN Jawa Barat, Masyri Asyik, misalnya, mengatakan di daerahnya hanya ada 50 ribu hektare tanah milik keluarga Soeharto. Sedangkan rekannya dari BPN Yogyakarta, Soeprapto Hadimoeljono, meski tak mau menyebutkan luas tanah, ia memberi ancar-ancar bahwa tanah milik keluarga Soeharto tersebar di empat wilayah daerah itu. Dari data itu, tak ada sejengkal tanah pun yang atas nama Soeharto. Semuanya dimiliki oleh kerabatnya seperti Probosutedjo, Sudwikatmono, dan yang terluas ada di tangan Notosoewito, adik tiri Soeharto yang juga merupakan lurah Desa Argomulyo, Kabupaten Bantul. Noto, menurut sumber TEMPO yang enggan disebutkan namanya, dikenal senang mengumpulkan tanah dari piutang-piutang miliknya yang tak terlunasi.

Sedangkan di Nusa Tenggara Barat, BPN setempat menemukan setidaknya ada lebih dari 1.400 hektare tanah keluarga Cendana yang tersimpan di lima perusahaan. Dua dari lima perusahaan itu merupakan perusahaan pariwisata yang dimiliki putri sulung Soeharto, Tutut, yakni PT Pengembangan Pariwisata Lombok dan PT Istana Putri Mandalika. Adapun tiga perusahaan lainnya dimiliki oleh Tommy dan Sudwikatmono.

Harta tanah itu ada juga di Bali, yang total luasnya hampir mencapai 2 juta meter persegi (200 hektare). Sedangkan di Karanganyar, Jawa Tengah, ditemukan tanah klan Soeharto seluas hampir 74 ribu meter persegi dan di Kalimantan Timur seluas 14 ribu meter persegi.

Angka-angka resmi tersebut memang belum maksimal. Saat ini baru 13 kanwil BPN yang memasukkan laporannya ke BPN Pusat. Ke-13 kanwil itu adalah DKI Jakarta, Lampung, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Sumatra Selatan, DI Yogyakarta, Sulawesi Tenggara, Bengkulu, dan Kalimantan Timur. Sayang, ketika dicegat di rumahnya di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, Menteri Agraria/Kepala BPN Hasan Basri Durin ogah menyebut luas total tanah Soeharto dan keluarga yang telah ia kumpulkan.

Lalu, akankah BPN berhasil mengumpulkan fakta yang sesungguhnya, jika lembaga ini hanya mengandalkan buku tanah yang ia miliki sebagai satu-satunya sumber--seperti yang dilakukan beberapa Kanwil BPN? Masalahnya, ya itu tadi, banyak tanah keluarga Cendana yang tidak didaftarkan atas nama mereka. Pada tanah-tanah yang dikuasai oleh badan hukum, keadaannya lebih sulit, karena pemilikan oleh keluarga Soeharto harus dicek ke akta perusahaannya, yang belum tentu atas nama salah satu keluarga itu.

Keadaan ini memungkinkan terjadinya ketidakakuratan data yang dikumpulkan BPN. Paling tidak, ini bisa ditemukan di Nusa Tenggara Barat. Di sana, Yayasan Swadaya Masyarakat, sebuah lembaga swadaya masyarakat setempat, berhasil mencatat sejumlah tanah yang disinyalir milik keluarga bekas presiden itu yang tidak dicatat BPN. Menurut lembaga ini, tanah keluarga Soeharto ada di Desa Sembalun, Kecamatan Aik Mel, Kabupaten Lombok Timur. Tanah seluas 126 hektare tersebut digunakan untuk perkebunan bawang putih dan diduga milik Tutut. Lalu, ada pula tanah 500 hektare di dekat Pelabuhan Poto Tano, yang rencananya akan dikembangkan sampai 5.000 hektare untuk tambak udang.

Pulau Moyo--pulau yang pernah dikunjungi mendiang Putri Diana beberapa tahun lalu--menurut LSM itu pun, tidak lepas dari cengkeraman keluarga Cendana. Dua nama yang diduga "mendarat" di pulau ini adalah Tutut dan pamannya Probosutedjo melalui perusahaan Amanwana Resort. Juga ada hutan wisata di daerah Mekaki, Desa Pelangan, Kecamatan Sekotong.

Di luar persoalan akurasi itu, masalah lain yang juga akan membuat orang skeptis terhadap keseriusan pemerintah mengusut tanah Soeharto adalah apa kelanjutannya jika data tanah itu telah disusun. Akankah pemerintah mengusut dari mana saja tanah-tanah itu diperoleh? Apakah perolehannya dilakukan dengan cara yang halal?

Hasan Basri Durin pagi-pagi telah menegaskan bahwa yang nanti akan menindaklanjuti adalah pihak kejaksaan. Artinya, data yang ia kumpulkan akan diberikan bulat-bulat ke kejaksaan, dan lembaga yang dipimpin oleh Andi M. Ghalib inilah yang akan mengusutnya lebih lanjut. Sementara itu, Ghalib sendiri tampaknya sangat berhati-hati menangani kasus ini. Menurut dia, suatu tindakan hanya dapat dicap korupsi jika merugikan negara dan melawan hukum. Artinya, jika pemilikan tanah di suatu tempat merugikan negara tapi benar secara prosedural, ia tidak akan terkena jerat hukum.

Persoalannya, pemilikan tanah oleh keluarga Soeharto ini tidak sedikit yang dilakukan dengan cara-cara yang haram. Sebutlah kasus pemilikan tanah oleh Probosutedjo untuk pembangunan Universitas Wangsa Manggala di Argomulyo, Yogyakarta. Tanah itu kini menjadi kasus yang ramai dibicarakan masyarakat karena dibebaskan dengan "akal-akalan".

Ketika itu Probo mempercayakan pembebasan tanah universitas itu kepada Notosuwito. Tapi uang yang diserahkan Probo ternyata disulap Noto. Ia menukar uang ganti rugi untuk penduduk dengan tanah lain miliknya. Belakangan baru diketahui bahwa tanah ganti rugi itu pun tidak diserahkan ke penduduk untuk dimiliki melainkan hanya untuk digarap. Sementara itu, Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta kelihatannya cukup serius menangani masalah ini. "Kasus ini sedang kami selidiki," kata Soeparman, Kepala Kejaksaan Tinggi Yogyakarta, kepada L.N. Idayanie dari TEMPO.

Menghadapi tuduhan tersebut, Probosutedjo menegaskan bahwa setahu dia soal itu sudah beres. ??Kalau sampai tidak beres, cek saja ke Kemusuk. Saya tidak mengurus hal yang kecil-kecil seperti itu,?? ujarnya.

Itu baru satu contoh. Kalau penelitian soal tanah keluarga Soeharto ini dilanjutkan, bukan tidak mungkin kasus serupa banyak yang akan muncul. Sekarang masalahnya tinggal kemauan pemerintah saja, apakah proses pengumpulan data tanah ini hanya akan menjadi bank data atau akan ada tindak lanjutnya. Mudah-mudah ini bukan sekadar kosmetik politik pemerintahan Habibie.

Arif Zulkifli, Dwi Wiyana (Jakarta), Rinny Srihartini (Bandung), Jalil Hakim (Surabaya), Supriyantho Khafid (Mataram)