16 Desember 2007

Bardi, Jalan Menanjak ke Puncak

Jalan di depan kami menanjak dengan kemiringan lebih dari 45 derajat. Selain cukup terjal, hujan telah membuat batu kapur berlumut dan licin.

Seorang nenek bertubuh kecil dengan menggendong seiikat batang padi bersiap-siap merayap. Ikatan batang padi untuk sapi peliharaannya jauh lebih besar dari tubuhnya. Ia tak menyerah. Meski memakan waktu cukup lama, ia berhasil melewati tanjakan sepanjang 200 meter untuk kemudian menghilang di balik pepohonan.

Sebelum kami naik, pagi menjelang siang awal Desember 2007 itu, Dusun Kepuhan, Desa Argorejo, Kecamatan Sedayu, cukup sejuk. Bardi (51) si penyuluh kehutanan ada di samping kami.

Seperti pada hari-hari kerja biasa, dia mengenakan setelan pegawai negeri berwarna coklat serta sweater biru yang lusuh.Sepatu kulit warna hitam yang juga lusuh adalah satu-satunya miliknya. Kami ragu, apakah lelaki bertubuh kecil ini serius mendaki bukit dengan sepatu yang biasa ia pakai kerja kantoran itu.

“Ah sudah biasa. Tak terlalu jauh, nanti kita akan lihat Gua Payaman di atas,” kata Bardi lepas. Ia menganggap bukit terjal di hadapan kami bukanlah tantangan berat. Seolah ia ingin mengatakan tantangan lebih berat pernah ia alami dan sampai sekarang semuanya baik-baik saja.

Sepanjang jalan Bardi bercerita, Bukit Gua Payaman pada awal tahun 1980-an tak lebih dari perbukitan kapur yang gersang dan tandus. Hanya semak dan pohon pandan yang tumbuh. Warga sekitar “terpaksa” menebang kayu-kayu yang pernah tumbuh sebagai kayu bakar. “Mereka tak punya pilihan hidup lain, kecuali mencari kayu bakar,” tutur Bardi.

Pada musim kemarau dulu rumput pun enggan tumbuh di perbukitan. Meski terdapat sungai di kaki bukit, warga sekitar mengaku selalu kesulitan air di musim kering.

“Dulu dari sini kami leluasa memandang kereta lewat. Padahal jaraknya sekitar lima kilometer,” ujar Abdul Fatah Maksum (50), Ketua Kelompok Tani Ginanjarm, Dusun Kepuhan, yang menyertai perjalanan kami.

Kereta yang dimaksud Maksum adalah kereta api jurusan Yogyakarta-Wates-Purworejo-Purwokerto. Asal tahu, nama Ginanjarm itu kependekan dari slogan Jawa, giat nandur njalare makmur. Kira-kira maksudnya rajin bercocok tanam untuk mencapai kemakmuran.

“Dan Pak Bardi telah membawa kemakmuran di desa kami,” tutur Maksum. Bardi tampak salah tingkah. Mungkin ia tak menduga disanjung begitu tinggi oleh warga setempat.
“Ah siapalah saya. Saya orang bodoh, tak mengerti apa-apa. Semua yang saya lakukan karena kecintaan ,” kata Bardi merendah sembari meneruskan langkah. Beberapa batuan lepas ia lompati dengan ringan.

“Betul Pak, kalau ndak ada Pak Bardi mungkin bukit ini masih tandus.” Maksum ngotot.
Bardi tak segera menimpali. Kami sudah sampai di depan Gua Payaman. Gua ini hanya berupa cerukan batu cadas yang mungkin dulu berfungsi sebagai tempat perlindungan sementara. Konon, kata Maksum, menurut cerita yang ia terima, Gua Payaman menjadi tempat berlindung para pelarian dari Kerajaan Pajajaran dari kejaran musuh. Di sekitar hutan itu memang terdapat beberapa buah makam keramat yang letaknya tersebar.

Kalpataru

Meski mendaki susah payah dengan napas ngos-ngosan, tak sedikit pun keringat yang mengucur dari tubuh kami. Cuaca di hutan Bukit Gua Payaman ini sangat sejuk. Sinar matahari terhalang rerimbunan pepohonan. Selain pohon kelapa di situ antara lain tumbuh pohon akasia, mahoni, jati, duwet, nangka, bambu, serta semak belukar yang rimbun. Pemandangan kereta api yang setiap saat lewat sudah tidak terlihat lagi.

Hutan rakyat seluas 36 hektar itulah salah satu yang mengantarkan Bardi menerima penghargaan Kalpataru sebagai penyelamat dan pengabdi lingkungan pada tahun 2005. Ia memang bangga atas prestasi itu. Tetapi, jauh di lubuk hatinya, ia bangga melihat perbukitan yang gersang di masa kecilnya kini menjelma hutan yang subur.

Bukit Payaman hanyalah salah satu lokasi di mana lelaki berpendidikan sekolah teknik pertanian ini mengabdi. Sejak menjadi pegawai honorer sebagai petugas lapangan penghijauan dan percontohan tahun 1983, Bardi memulai aktivitasnya di Kecamatan Pajangan, Bantul. Masa-masa itu ia harus mengayuh sepeda onthel-nya sejauh 15 kilometer dari Desa Argodadi, Kecamatan Sedayu, tempat lahirnya, menuju Pajangan.

“Itu belum ditambah dengan keliling mengunjungi warga dan kemudian pulang kembali ke Argodadi,” tutur suami dari Suratmi (43) ini. Mungkin dalam sehari ia mengayuh sepeda lebih dari 50 kilometer.

Masa-masa itu berlanjut ke Kecamatan Kretek (1984-1986), kemudian Kecamatan Imogiri (1986-1988), dan Kecamatan Sedayu (1989-sekarang). Seluruhnya berada di Kabupaten Bantul. Ketika bertugas di Sedayu, Bardi mengaku baru bisa mencicil sepeda motor. Itu memang sangat meringankan tugasnya yang harus berkunjung ke desa-desa, tetapi sekaligus membebani ekonomi keluarganya. Oleh karena itu, ia harus turun mengerjakan sawah warisan orangtua istrinya.

Di seluruh kecamatan itu Bardi tidak sekadar mengajak warga menjaga lingkungan, tetapi ia bekerja bersama penduduk membangun terasering di perbukitan kapur yang kritis, membuat kelompok tani, membuat lubang, dan menanam pohon. Kelihatannya pekerjaan sepele.

“Warga sekitar bukit biasanya hidupnya sulit. Mereka cari uang hari ini untuk hari ini, maka sulit mengajak mereka menanam pohon, karena jelas mereka bakalan tidak makan,” tutur Bardi.

Beruntung Bardi berhasil memperjuangkan insentif dari pemerintah untuk sekadar menanggulangi kebutuhan warga sehari-hari. “Sehingga warga mulai mau diajak membuat terasering. Butuh waktu sekitar lima tahun agar lahan siap ditanami pohon perintis seperti akasia,” ujar Bardi.

Setelah 25 tahun

Kini setelah hampir 25 tahun berlalu, seluruh bukit kritis di empat kecamatan tadi menjelma hutan rakyat yang lebat seluas tak kurang dari 400 hektar. Bahkan sekitar 12 kelompok tani yang dibentuk Bardi kini berkembang menjadi perkumpulan arisan dan simpan pinjam bagi warga lokal. Kelompok Tani Ginanjarm sendiri, tutur Maksum, kini memiliki modal sebesar Rp 50 juta. Modal yang cukup besar bagi para petani yang hidup di dusun.

Bardi mengakui penghutanan bukit-bukit berbatu cadas itu bukan karyanya. “Itu memang berkat kerja keras warga. Saya hanya datang dan mengajak mereka,” ujar dia.

Kecintaan Bardi pada lingkungan tumbuh ketika ayahnya, Mangunharjo (75), menjadi ketua kelompok tani di Dusun Dingkilan, Argodadi, Sedayu.

“Bapak mengajarkan saya untuk mencintai tani. Oleh karena itulah saya memilih sekolah di STM Pertanian, Sleman,” kata Bardi.

Sebagaimana umumnya keluarga petani, Bardi baru bisa membayar uang sekolah setelah menjual ternak peliharaannya. “Kami selalu menganggap ternak itu tabungan. Makanya kerja saya waktu kecil ya mengarit rumput untuk sapi,” tambah dia.

Rupanya kehidupan yang sulit itu membuat Bardi tak mudah menyerah. Ketika harus mengayuh sepeda puluhan kilometer dan menerima honor hanya Rp 52.500 setiap bulan, Bardi jalan terus. Ia seperti ditantang kenyataan kehidupan di sekitar desanya yang sulit dan hanya berharap pada bukit-bukit yang tandus.

“Kalau perbukitan ini hijau bahkan menjadi hutan, pasti kehidupan akan lebih baik,” begitu tekadnya waktu itu. Maka, ketika ia melamar sebagai petugas lapangan penghijauan dan percontohan, motivasinya tak sekadar mencari upah. Ia pikir itulah kesempatannya berbuat bagi warganya. Pekerjaan baginya adalah akses, terutama menjembatani kepentingan warga dengan program pemerintah. Maka, proyek-proyek terasering dan penanaman pohon dari pemerintah ia bawa ke wilayah sekitar desanya.

Dan kini kami berada di ketinggian di depan mulut Gua Payaman. Maksum bercerita konon di sekitar desanya ada seekor ular sebesar pelukan orang dewasa.
“Sering ada hewan hilang,” tutur dia.

Itu pertanda kehidupan ekosistem di kawasan Sedayu dan sekitarnya sudah pulih. Ular dan binatang liar lainnya bisa dengan mudah bersembunyi lantaran hutan yang lebat. Hutan yang ditanam warga sekitar dengan Bardi sebagai tokoh utamanya. Hutan yang kini menjadi sumber segala kehidupan warga di sekitar Bantul.

Sumber: Kompas, Minggu, 16 Desember 2007.

26 November 2007

Ratusan Petani Minta Pengadilan Bebaskan Rekan Mereka

Tempo Interaktif, 26 Nov 2007

Tasikmalaya:Sekitar 200 petani penggarap lahan PT Perhutani asal Desa Banyuasih, Kecamatan Taraju, Kabupaten Tasikmalaya berunjuk rasa di Pengadilan Negeri Tasikmalaya, Senin (26/11). Mereka menuntut empat rekannya dibebaskan dari segala tuntutan dan jerat hukum. Mereka didakwa melakukan perambahan hutan.

Dengan membawa membawa spanduk dan hasil pertanian, para petani berteriak dan melakukan seni pertunjukan di halaman pengadilan sambil menunggu persidangan yang sampai pukul 13.00 belum juga dimulai.

Selain meminta pembebasan teman mereka, para petani menuntut pembubaran PT Perhutani. "Kami meresa dijebak dengan adanya program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)," ungkap Ahmad Suganda, salah seorang petani.

Ia mengungkapkan, sekitar bulan Agustus 2007 empat warga pengelola program PHBM ditangkap dengan tuduhan perambahan hutan. Mereka dituduh telah merusak hutan pinus di area PHBM seluas 50 hektare.

Kuasa hukum para petani dari Lembaga Bantuan Hukum Tasikmalaya, Encang mengutarakan, pihaknya akan terus melakukan pembelaan terkait masalah yang dituduhkan kepada para petani."Yang digarap masyarakat adalah lahan PHBM. Namun, malahan sekarang mereka ditangkap dengan tuduhan perambahan hutan," ungkapnya sebelum persidangan dimulai.

Alwan Ridha R

27 September 2007

Perhutani Malang Dituding Lakukan Penebangan Liar

Kamis, 27 September 2007

TEMPO Interaktif, Malang
:DPRD Kabupaten Malang menuduh Perum Perhutani Malang telah melakukan penebangan liar di Desa Patok Picis, Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang. Hal ini karena Perhutani menebang di areal hutan milik Pemerintah Kabupaten Malang tanpa izin dari Bupati Malang. "Ini namanya sudah illegal logging," kata Firman Adi, anggota DPRD Kabupaten Malang, Kamis (25/9).

Kayu yang ditebang Perhutani sebanyak 100 meter kubik, di antaranya dari jenis mahoni dan rekisi dengan diameter antara 2-4 meter. "Beberapa di antaranya adalah kayu tebang tanam dan tebang habis," ujar Firman Adi.

Menurut Firman, Pemkab Malang harus meminta pertanggungjawaban Perhutani atas perbuatan ini. Dasar hukumnya adalah ketentuan yang isinya aset yang dimanfaatkan atau diambil baik untuk kepentingan dinas maupun umum harus terlebih dahulu ada persetujuan bupati. Penebangan yang dilakukan Perhutani dinilai sudah melanggar hukum karena tanpa disertai izin Bupati.

Perhutani KPH Malang membantah tuduhan ini. Kepala Seksi Pengelolaan Sumber Daya Hutan, Usman Shut, mengatakan penebangan kayu yang dilakukan Perum Perhutani hanya sebagai cutting test atau penebangan pada beberapa pohon untuk menentukan target atau jumlah pohon berdasarkan komposisi diameter. Cutting test berdasar Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. 55/2004 tak memerlukan izin kepala daerah atau pejabat yang diberi wewenang. "Kami tak melanggar apapun," katanya.

Usman menjelaskan, setiap tahun Perhutani melakukan cutting test dan selalu melaporkan hasilnya kepada Bupati Malang dan Dinas Kehutanan. Dalam setahun, jumlah kayu yang ditebang untuk keperluan cutting test di seluruh Kabupaten Malang mencapai 150 meter kubik.

Bibin Bintariadi

14 September 2007

Dikenalkan, Sistem IPAT-BO

Jumat, 14 September 2007

Pertanian

Bandung, Kompas
- Dinas Pertanian Kabupaten Bandung akan mengenalkan sistem penanaman padi dengan teknologi intensifikasi padi aerob terkendali berbasis organik (IPAT-BO). Aksi yang dimulai pada masa tanam 2007/2008 itu berupa pengenalan kepada petani berbentuk kerja sama dengan Universitas Padjadjaran.

"Kami sudah mengajukan program IPAT-BO seluas 500 hektar dalam penyusunan APBD tahun 2008. Hanya, kami belum mendengar kabarnya," kata Kepala Subdinas Produksi Padi dan Palawija Dinas Pertanian Kabupaten Bandung Jumhana, Kamis (13/9).

Dinas Pertanian Kabupaten Bandung sudah menyiapkan lahan seluas 75 hektar tersebar di Kecamatan Soreang, Solokanjeruk, dan Baleendah. Dalam tahap awal, Dinas Pertanian berfungsi sebagai fasilitator bagi kemitraan petani dengan pihak Unpad selaku penguasa teknologi.

Sistem IPAT-BO adalah metode penanaman padi sawah dengan cara mengendalikan penggunaan air sehingga tidak sampai menggenangi, tetapi hanya membasahi tanah. Alasannya, untuk meningkatkan potensi dari pertumbuhan akar padi dan mikroorganisme di dalam tanah yang bisa menyuburkan tanah. Dengan digenangi, pertumbuhan akar dan aktivitas mikroorganisme otomatis terhenti karena tidak mendapat pasokan oksigen.

Metode yang digagas Tualar Simarmata, dosen Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Unpad, itu sudah diuji coba di Desa Jelekong, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung. Hasilnya, produksi meningkat 50-100 persen dibandingkan dengan cara anaerob untuk lahan yang subur. Pada lahan yang kurang subur justru lebih optimal dengan hasil mencapai 100-150 persen dibandingkan dengan cara konvensional.

Jumhana menjelaskan, dalam kondisi ekstrem, sistem itu bisa menghasilkan produksi sampai 6 ton gabah kering giling (GKG) per hektar. Dalam kondisi normal atau pengairan yang tidak bermasalah, konon panennya bisa mencapai 10 ton GKG per hektar. Fasilitasi

Dalam pengenalan sistem IPAT-BO terhadap 75 hektar sawah, Dinas Pertanian Kabupaten Bandung hanya berperan sebagai fasilitator. Petani diajak bekerja sama untuk menanam. Selain teknologi, akan ada pembinaan dari sisi bisnis, yaitu petani lebih dikenalkan kepada aspek bisnis dalam pertanian.

Untuk itu, ujarnya, pengenalan ini lebih ditujukan kepada para pemilik tanah daripada penggarap agar lebih independen terhadap para tengkulak. Pengenalan sistem IPAT-BO juga belum bisa dilaksanakan secara menyeluruh karena proses tersebut biasanya membutuhkan waktu setidaknya satu atau dua musim tanam sampai terlihat hasilnya. (eld)

27 Juli 2007

Medco Foundation Kembangkan 10 Ribu Hektar Lahan Pertanian SRI organik

Tempo Interaktif, Jum'at, 27 Juli 2007

Jakarta: Medco Foundation akan mengembangkan pertanian padi metode System Rice Indentification (SRI) organik di lahan 10 ribu hektar di Jawa Barat. Pasalnya metode pertanian ini dapat memberikan produktivitas hingga dua kali lipat dibandingkan metode pertanian konvensional.

Chairman Medco Foundation, Arifin Panigoro, mengatakan pihaknya telah melobi sejumlah bank, termasuk Bank Saudara sebagai salah satu anak perusahaan dalam Medco Group, untuk memberikan permodalan senilai Rp 100 miliar bagi petani SRI organik.

"Adan Bank BRI, Bank Agro dan Bank BNI yang sudah confirm untuk mewujudkan pertanian ini," ujarnya di Jakarta Kamis (26/7). Nantinya, masing-masing petani akan menerima pinjaman Rp 8-10 Juta per hektar dengan mekanisme bantuan dari perbankan melalui program kemitraan.

Arifin optimistis metode pertanian ini akan memberikan keuntungan bagi petani dan membebaskan mereka dari sistem ijon. Sebab metode pertanian ini juga lebih hemat biaya, hemat air hingga 40 persen dibandingkan dengan pertanian konvensional, dan tidak perlu pupuk kimia, tapi menggunakan pupuk organik yang bisa adiolah sendiri oleh petani.

Cheta Nilawaty

24 Juli 2007

Sumatera Selatan Siapkan 143.000 Hektare Tanah Gratis

Tempo Interaktif, Kamis, 24 Mei 2007

Palembang:Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Sumatera Selatan, Ruslan, mengatakan saat ini pihaknya sedang mengidentifikasi dan memvalidasi sekitar 143.000 hektare tanah untuk digratiskan. Prioritasnya adalah mereka yang ekonominya lemah, miskin dan saat ini berstatus penggarap lahan negara.

“Pembagiannya tidak secara sekaligus, namun bertahap,” kata Ruslan kepada Tempo, Kamis (24/5). Anggaran untuk tahun 2007 sebanyak 300 bidang atau 314 hektare lahan akan dibagikan gratis bagi warga Sukapulih, Kecamatan Pedamaran, Ogan Komering Ilir.

Tanah yang dibagikan pada 300 kepala keluarga eks gelandangan dan pengemis dari DKI Jakarta ini adalah sebagian dari 33.000 hektare tanah di Sumatera Selatan yang akan ditetapkan sebagai obyek land reform. “Warga memang sudah mengelola dan menggarap lahan tersebut, dan untuk jaminan bagi mereka, negara membuat sertifikat hak milik,” kata Ruslan.

Program pembagian tanah gratis ini dilanjutkan 2008 di empat kabupaten, yakni Banyuasin, Musi Banyuasin, Musi Rawas, dan Ogan Komering Ilir. Luas areal tanah yang disiapkan dari hutan produksi konversi ini mencapai 110.000 hektare. Namun, angka-angka itu masih diindentifikasi dan divalidasi, sehingga bisa saja bertambah sesuai dengan anggaran yang disediakan.

Ruslan menambahkan, pembagian tanah gratis ini sebenarnya pelaksanaan dari Program Pembaharuan Agraria Nasional. Pembagian tanah gratis bagi warga ini juga akan diikuti peningkatan sarana dan prasarana pendukung akses warga di antaranya infrasturktur dan sebagainya.

Sementara, Kepala Divisi Advokasi Walhi Sumatera Selatan, Anwar Sadat, mengatakan pesimis dengan program pemerintah ini, sebab persoalan menyangkut pertahanan sangat kompleks dan rumit.

Menurutnya, yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah menyelesaikan persoalan itu dulu, baru membagi-bagi tanah. ”Kalau langsung membagi-bagi tanah sementara lahan itu bermasalah, apa tidak menimbulkan persoalan baru nantinya,” kata Sadat.

ARIF ARDIANSYAH

23 Juli 2007

Hadiri Pengajian, Malah Babak Belur

Senin, 23 Juli 07 - Priangan Online

TASIK – Acara pengajian tiba-tiba terusik. Empat karyawan perkebunan PTPN VIII Bagjanegara, Salopa, babak belur meski pun sebelumnya sempat minta perlindungan tokoh masyarakat di Kp Cieceng. Bahkan, mobil yang mereka kendarai pun hancur, selain dilempari batu juga dihantam senjata tajam dan pentungan. Peristiwa itu terjadi Ahad siang (22/7), sekitar pukul 11.00.

Beberapa hari sebelumnya, pihak perkebunan mendapat undangan pengajian di kampung Cieceng, Kecamatan Cikatomas. Karena kampung itu merupakan daerah sengketa warga dan PTPN VIII Bagjanegara, pihak perkebunan yang mengutus Sinder Kepala Heri Supriadi, Sinder TUK Asep Suherman, Sinder Teknik M Sobur, dan Staf TU Aceng Sujana, meminta "swaka" kepada tokoh setempat. Namun saat berada di rumah Ust. Dayat bersama Kepala Desa, Tatang, ratusan orang sudah berkerumun di luar dan meminta agar keempat orang itu menemui mereka. Mobil yang diparkir tak jauh dari rumah itu dirusak.

Saat Staf TU PTPN VIII Bagjanegera Aceng Sujana keluar langsung dihujani pukulan dan tendangan. Anggota Babinkamtibmas Polsek Salopa datang ke lokasi dan berhasil menenangkan warga. Karyawan perkebunan pun dipersilakan pulang. Namun, di tengah jalan kembali dicegat massa. Mobil dihalangi pohon yang ditumbangkan.

Untung anggota Babinkamtibmas segera datang dan meminta warga tenang serta para pegawai tersebut bisa kembali ke emplacement Gd PTPN VIII Perkebunan Bagjaneagra. Administratur PTPN VIII Bagjanegara Agus Insan, Staf TU Aceng Sujana saat itu juga langsung dilarikan ke Puskesmas terdekat untuk mendapatkan luka yang dideritanya di kepala dan bagian dada akibat hantaman benda tumpul. Dan tiga pegawainya yang mengalami peristiwa tersebut masih berada dalam keadaan shock dan kini berada di rumahnya masing-masing.

“Saya meminta polisi melakukan pengusutan sampai tuntas," kata Agus yang baru menjabat empat bulan di sana. Ia menuturkan lokasi di Kp Cieceng itu merupakan lahan sengketa dengan luas lahan 622 hektar dan sebagian besar lahannya terbengkalai. "Saya sendiri tidak mengerti kenapa masyarakat tiba-tiba menjadi brutal seperti itu. Namun memang sebelumnya warga juga sempat menebangi 40 pohon kelapa milik perkebunan dan kasusnya sudah kami laporkan juga kepada polisi,” imbuhnya.

PTPN VIII Bagjanegara, kata Agus, tidak akan melepaskan tanah itu dan pihaknya akan segera merevisi Hak Guna Usaha (HGU) atas tanah itu yang dalam SK HGU sebelumnya seluas enam hektar tidak dimasukkan. “Kami akan mempertahankannya dan kalau revisi sudah ada kami akan kembali menggarap tanah tersebut dengan meminta perlindungan kepada aparat keamanan,” tandasnya.

19 Juni 2007

Ribuan Petani Jawa Barat Tuntut Pembaruan Agraria

TEMPO Interaktif, Bandung, Selasa, 19 Juni 2007: Ribuan petani dari berbagai daerah Jawa Barat memadati Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat Jalan Dipati Ukur Bandung pagi ini. Mereka datang untuk menuntut realisasi Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN).

Mereka datang menggunakan berbagai macam kendaraan sejak kemarin sore. Sebagian besar datang dari Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Subang, Sumedang, Cianjur, dan Sukabumi. Mereka tergabung dalam Gerakan Petani Jawa Barat Menggugat.

Selain dari Serikat Petani Pasundan, aksi ini juga didukung oleh elemen mahasiswa, Lembaga Bantuan Hukum Bandung, Walhi, Himpunan Petani Nelayan Pakidulan Sukabumi.

Menurut Koordinator Gerakan Petani Jawa Barat Menggugat, Agustiana, aksi ini digelar untuk menagih janji pemerintah dalam merealisasikan PPAN. Agus mengatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah mengeluarkan kebijakan ini sejak Mei lalu, "Namun di tingkat daerah masih banyak pihak yang menghalanginya," ujar Agustiana.

Salah satu indikasinya, menurut Agustiana, masih adanya kriminalisasi terhadap petani. "Dalam penyelesaian sengketa agraria, sering dianggap sebagai penjahat," ujarnya.

Selain itu, kerap terjadi kekerasan terhadap petani dan upaya mempersulit pemanfaatan tanah bagi para petani penggarap. Rencananya para petani ini akan bergerak ke gedung DPRD Jawa Barat untuk menyampaikan aspirasi mereka. Sementara itu, petugas kepolisian mengalihkan sejumlah arus lalu lintas karena aksi ini membuat jalan di sekitar Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat menjadi macet.

RANA AKBARI

Ribuan Petani Jawa Barat Tuntut Pembaruan Agraria

TEMPO Interaktif
Selasa, 19 Juni 2007 | 11:41 WIB

Bandung: Ribuan petani dari berbagai daerah Jawa Barat memadati Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat Jalan Dipati Ukur Bandung pagi ini. Mereka datang untuk menuntut realisasi Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN).

Mereka datang menggunakan berbagai macam kendaraan sejak kemarin sore. Sebagian besar datang dari Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Subang, Sumedang, Cianjur, dan Sukabumi. Mereka tergabung dalam Gerakan Petani Jawa Barat Menggugat.

Selain dari Serikat Petani Pasundan, aksi ini juga didukung oleh elemen mahasiswa, Lembaga Bantuan Hukum Bandung, Walhi, Himpunan Petani Nelayan Pakidulan Sukabumi.

Menurut Koordinator Gerakan Petani Jawa Barat Menggugat, Agustiana, aksi ini digelar untuk menagih janji pemerintah dalam merealisasikan PPAN. Agus mengatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah mengeluarkan kebijakan ini sejak Mei lalu, "Namun di tingkat daerah masih banyak pihak yang menghalanginya," ujar Agustiana.

Salah satu indikasinya, menurut Agustiana, masih adanya kriminalisasi terhadap petani. "Dalam penyelesaian sengketa agraria, sering dianggap sebagai penjahat," ujarnya.

Selain itu, kerap terjadi kekerasan terhadap petani dan upaya mempersulit pemanfaatan tanah bagi para petani penggarap. Rencananya para petani ini akan bergerak ke gedung DPRD Jawa Barat untuk menyampaikan aspirasi mereka. Sementara itu, petugas kepolisian mengalihkan sejumlah arus lalu lintas karena aksi ini membuat jalan di sekitar Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat menjadi macet.

RANA AKBARI

15 Juni 2007

Seberapa besarnya pulau Jawa dibandingkan Papua?

Pulau Jawa





Papua Barat

Bandingkan dengan Jakarta: Tiga Juta Hektar Daerah Kekuasaan Freeport di Papua

Jakarta & Sekitarnya



Penguasaan Tanah dan Lahan oleh Freeport di Papua!

14 Juni 2007

Konflik Tanah Makan Korban Lagi

TEMPO Interaktif
Kamis, 14 Juni 2007 | 11:24 WIB

Palembang: Konflik tanah antara pihak perusahaan perkebunan PT Persada Sawit Mas (PSM) dan warga Desa Rumbai, Kecamatan Pangkalan Lampam, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, memakan korban karyawan PSM, Darman bin Ciknang, 45 tahun.

Darman tewas usai rapat dengan warga di rumah Kepala Desa Rumbai. Anwar Sadat, pendamping warga sekaligus aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), kepada Tempo menjelaskan kejadian ini terjadi Rabu sekitar pukul 01.00 dini hari, yaitu usai rapat antara warga dengan kepala desa, camat, danramil.

Menurut Sadat, warga yang jumlahnya ratusan itu emosi karena rapat tidak menghasilkan keputusan apa-apa. Warga tetap meminta agar kepala desa, camat memperjuangkan keinginan warga untuk di-enclave (dibuat kantong-kantong terpisah) tanah mereka dalam perkebunan PSM, dan tidak untuk dijual.

“Kejadian itu begitu cepat, kami juga menyesalkan kejadian ini. Namun, ini adalah akumulasi dari kekecewaan warga dengan persoalan ini yang sudah hampir tiga tahun berjalan, ini proses yang melelahkan,” kata Sadat.

Saat ini, kata Anwar Sadat, kondisi desa terlihat lengang dan belum ada warga yang ditangkap tersangkut persoalan ini. “Kami menghormati polisi untuk mengusut kasus pidana ini, namun kami juga meminta keinginan warga untuk di-enclave juga harus dihormati,” katanya.

Juru bicara Polda Sumatera Selatan menyayangkan kejadian ini sehingga nyawa orang harus melayang. Pihak polisi masih mengusut kasus ini dan sudah mengantongi beberapa nama dan saksi, siapa pelaku pembunuhan itu.

ARIF ARDIANSYAH

26 Mei 2007

Reforma Agraria Dinilai Belum Bisa Dijalankan

TEMPO Interaktif
Sabtu, 26 Mei 2007 | 15:49 WIB

Jakarta: Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia, Sutrisno Iwantono, meminta pemerintah sebaiknya tak menjalankan reforma agraria dalam dua tahun ke depan. Alasannya, pemerintah belum memiliki konsep yang jelas yang didukung dengan data tanah dan warga calon penerimanya.

“Seratus persen saya yakin, progam ini tidak memungkinkan untuk dijalani,” katanya dalam diskusi bertajuk “Bagi-bagi Tanah Gratis” di Time Break Caofee, Plaza Semanggi, Jakarta, Sabtu (26/5).

Pemerintah berencana membagikan tanah bersertifikat gratis bagi rakyat miskin sebagai bagian dari reformasi agraria dan pengentasan kemiskinan. Rencananya, ada 9,25 juta hektar tanah yang akan dibagikan pada sembilan juta penduduk miskin.

Menurut Sutrisno, lembaga pelaksana reforma agraria juga belum memiliki otoritas untuk membagi tanah. Badan Pertanahan Nasional (BPN), kata dia, tak memiliki payung hukum untuk melaksanakan program semacam ini. “Pembagian tanah harus didasarkan pada undang-undang, bukan hanya keputusan menteri atau Kepala BPN. Apalagi, tanah yang dibagikan adalah tanah milik negara,” katanya.

Pembentukan undang-undang pun, kata dia, memerlukan waktu yang tak sebentar.
Pemerintah masih harus memikirkan sarana produksi dan infrastruktur untuk program ini. Penerima tanah tak mungkin bisa mengembangkan produktivitas lahan tanpa ada fasilitas seperti bibit, pupuk, sistem irigasi, dan infrastruktur.

Ia khawatir, akan timbul kekacauan dalam pelaksanaan program ini jika pemerintah tak menyiapkan berbagai kelengkapan sebelumnya. Sutrisno mempertanyakan kesiapan Badan Pertanahan Nasional untuk melakukan reforma.

Ia mencontohkan, untuk pelaksanaan tugas pokok seperti mengurus sertifikat tanah biasa saja, diperlukan waktu satu tahun. “Apalagi, pemerintah telah telanjur memberitahukan program ini. Kalau sampai tidak jalan, rakyat akan kecewa,” katanya.

Sutrisno mengatakan bahwa kalaupun ingin mempercepat reforma, pemerintah hanya bisa menggunakan lahan milik negara dan Badan Usaha Milik Negara. Pemerintah tak bisa mengambil alih tanah pribadi begitu saja, walaupun tanah itu tak produktif.

Selain itu, pemerintah harus menyeleksi penerima tanah dengan ketat. “Kriterianya jangan hanya penduduk miskin, tapi yang terpenting masyarakat yang memiliki budaya mengelola tanah,” katanya.

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria, Usep Setiawan, mengatakan bahwa prioritas penerima tanah harus diberikan pada buruh tani dan petani gurem yang memiliki lahan tak lebih dari setengah hektar. Masih banyak petani yang tak memiliki tanah sendiri. “Reforma agraria seharusnya bisa menciptakan petani sejati yang memiliki tanah sendiri,” katanya.

Setelah petani tanpa tanah dan petani gurem, kata Usep, pemerintah bisa melibatkan masyarakat miskin perkotaan. Masyarakat kota yang miskin ini harus ditransformasi menjadi masyarakat desa melalui transmigrasi. “Mereka diberi pelatihan pengolahan tanah terlebih dulu. Cara ini pernah diterapkan di Brazil dan cukup berhasil,” katanya.

Wakil Ketua Komisi Pemerintahan Dalam Negeri Dewan Perwakilan Rakyat, Priyo Budi Santoso, mengatakan bahwa pekan depan komisinya berencana memanggil Kepala Badan Pertanahan Nasional, Joyo Winoto. “Kami akan meminta dia menerangkan konsep yang akan diterapkan,” katanya.
Stefanus Teguh Pramono

Reforma Agraria Dinilai Belum Bisa Dijalankan

Sabtu, 26 Mei 2007

TEMPO Interaktif, Jakarta
: Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia, Sutrisno Iwantono, meminta pemerintah sebaiknya tak menjalankan reforma agraria dalam dua tahun ke depan. Alasannya, pemerintah belum memiliki konsep yang jelas yang didukung dengan data tanah dan warga calon penerimanya.

“Seratus persen saya yakin, progam ini tidak memungkinkan untuk dijalani,” katanya dalam diskusi bertajuk “Bagi-bagi Tanah Gratis” di Time Break Caofee, Plaza Semanggi, Jakarta, Sabtu (26/5).

Pemerintah berencana membagikan tanah bersertifikat gratis bagi rakyat miskin sebagai bagian dari reformasi agraria dan pengentasan kemiskinan. Rencananya, ada 9,25 juta hektar tanah yang akan dibagikan pada sembilan juta penduduk miskin.

Menurut Sutrisno, lembaga pelaksana reforma agraria juga belum memiliki otoritas untuk membagi tanah. Badan Pertanahan Nasional (BPN), kata dia, tak memiliki payung hukum untuk melaksanakan program semacam ini. “Pembagian tanah harus didasarkan pada undang-undang, bukan hanya keputusan menteri atau Kepala BPN. Apalagi, tanah yang dibagikan adalah tanah milik negara,” katanya.

Pembentukan undang-undang pun, kata dia, memerlukan waktu yang tak sebentar.
Pemerintah masih harus memikirkan sarana produksi dan infrastruktur untuk program ini. Penerima tanah tak mungkin bisa mengembangkan produktivitas lahan tanpa ada fasilitas seperti bibit, pupuk, sistem irigasi, dan infrastruktur.

Ia khawatir, akan timbul kekacauan dalam pelaksanaan program ini jika pemerintah tak menyiapkan berbagai kelengkapan sebelumnya. Sutrisno mempertanyakan kesiapan Badan Pertanahan Nasional untuk melakukan reforma.

Ia mencontohkan, untuk pelaksanaan tugas pokok seperti mengurus sertifikat tanah biasa saja, diperlukan waktu satu tahun. “Apalagi, pemerintah telah telanjur memberitahukan program ini. Kalau sampai tidak jalan, rakyat akan kecewa,” katanya.

Sutrisno mengatakan bahwa kalaupun ingin mempercepat reforma, pemerintah hanya bisa menggunakan lahan milik negara dan Badan Usaha Milik Negara. Pemerintah tak bisa mengambil alih tanah pribadi begitu saja, walaupun tanah itu tak produktif.

Selain itu, pemerintah harus menyeleksi penerima tanah dengan ketat. “Kriterianya jangan hanya penduduk miskin, tapi yang terpenting masyarakat yang memiliki budaya mengelola tanah,” katanya.

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria, Usep Setiawan, mengatakan bahwa prioritas penerima tanah harus diberikan pada buruh tani dan petani gurem yang memiliki lahan tak lebih dari setengah hektar. Masih banyak petani yang tak memiliki tanah sendiri. “Reforma agraria seharusnya bisa menciptakan petani sejati yang memiliki tanah sendiri,” katanya.

Setelah petani tanpa tanah dan petani gurem, kata Usep, pemerintah bisa melibatkan masyarakat miskin perkotaan. Masyarakat kota yang miskin ini harus ditransformasi menjadi masyarakat desa melalui transmigrasi. “Mereka diberi pelatihan pengolahan tanah terlebih dulu. Cara ini pernah diterapkan di Brazil dan cukup berhasil,” katanya.

Wakil Ketua Komisi Pemerintahan Dalam Negeri Dewan Perwakilan Rakyat, Priyo Budi Santoso, mengatakan bahwa pekan depan komisinya berencana memanggil Kepala Badan Pertanahan Nasional, Joyo Winoto. “Kami akan meminta dia menerangkan konsep yang akan diterapkan,” katanya.
Stefanus Teguh Pramono

22 Mei 2007

BPN: Ada 2.810 Kasus Sengketa Tanah Skala Nasional

22/05/07

Jakarta (ANTARA News)
- Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Joyo Winoto, mengatakan terdapat sedikitnya terdapat 2.810 kasus sengketa tanah skala nasional.

Joyo Winoto mengemukakan hal itu di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Selasa, seusai melakukan rapat terbatas dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang reformasi kebijakan agraria.

"Kita memang sudah mengklasifikasikan adanya sengketa dan konflik pertanahan di seluruh Indonesia. Kalau banyak catatan yang beredar dikatakan 1.700 kasus, tapi yang benar yang skalanya nasional saja 2.810 kasus," ujarnya.

Kasus sengketa tanah yang berjumlah 2.810 kasus itu tersebar di seluruh indonesia dalam skala yang besar. Belum ditambah skala yang kecil, katanya.

Untuk menangani permasalahan itu, kata Joyo, ada beberapa cara yang dilakukan oleh BPN.

"Ada dua cara, yaitu secara sistematik dan ad hoc," ujarnya.

Secara sistematik, lanjut dia, saat ini BPN dalam proses melakukan penataan proses hukum pertanahan dan kelembagaan untuk menangani kasus-kasus sengketa tanah.

Sedangkan secara ad hoc, BPN sudah memiliki deputi baru, yaitu Deputi Pengkajian dan Deputi Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan, katanya.

"Dari sini juga ada aturan-aturan baru bahwa siapa pun juga yang berkaitan dengan sengketa pertanahan harus melalui proses melaporkan dan akan di-BAP. Dari BAP itu nanti akan ketahuan apakah dasar-dasar yang digunakan untuk mengklaim suatu tanah asli atau tidak," katanya.

Menurut Joyo, hal itu adalah salah satu langkah mendasar yang akan dilakukan untuk menangani semua sengketa tanah yang terjadi di seluruh Indonesia. (*)

COPYRIGHT © 2007

05 Februari 2007

Cieceng juga kena musibah bencana angin puting beliuang

Ratusan Rumah Hancur Diterpa Angin Puting Beliung

Sinar Harapan, 5 Februari 2007


Bandung-Menjelang periode Februari-Maret 2007 seluruh aparat pemerintah mulai dari tingkat kecamatan hingga desa diminta mewaspadai daerahnya masing-masing, terutama kepada daerah yang berstatus rawan banjir dan longsor. Pasalnya, pada bulan inilah curah hujan di Kabupaten Bandung akan memuncak.

Hal ini dikatakan Kepala Satkorlak Bencana Alam Pemkab Bandung Rahmat Partasasmita kepada SH, Minggu (4/2). Indikasi masyarakat harus siaga menghadapi banjir yang cukup besar dengan adanya peningkatan air Sungai Citarum yang melewati wilayah Kabupaten Bandung di atas rata-rata normal.

“Masyarakat yang berada di dekat Sungai Citarum harus berhati-hati, apalagi daerahnya yang rawan banjir, karena banjir bandang bisa terjadi mendadak jika hujan tiba. Kendati saat ini telah dilakukan pelebaran Sungai Citarum, tapi belum bisa menjamain banjir tidak akan terjadi,” ujar Rahmat.

Rahmat mengingat pihaknya telah menyediakan bantuan perahu karet dan perahu kayu kepada masyarakat yang tertimpa banjir di wilayah Dayeuhkolot, Baleendah, dan Rancaekek. ”Peralatan tersebut kami kirimkan ke posko dan kantor kecamatan yang daerahnya tertimpa banjir,” tambah Rahmat.

Sementara itu, di bulan ini tidak hanya bencana banjir yang menimpa sebagian wilayah Jabar. Tapi juga akibat hujan yang cukup deras disertai angin puting beliung hingga, Sabtu (3/2), telah memorakporandakan 235 rumah penduduk di Tasikmalaya. Hingga Minggu (4/2) para pengungsi belum bisa dievakuasi seluruhnya. Dari 235 rumah warga yang rusak akibat angin puting beliung tersebut, 40 rumah mengalami rusak berat, dan 194 rusak ringan.

Kepala Bagian Humas Pemkab Tasikmalaya Heri Sugiri mengatakan bencana alam yang terjadi di Tasikmalaya tersebut menimpa dua wilayah Kampung Mekar Haruman dan Cieceng, Desa Sindanasih, Kecamatan Cikatomas.

Selain rumah, madrasah sekaligus pondok pesentren Nurul Falah, Masjid Al Hidayah, dan SMP Darul Hikam juga mengalami kerusakan. ”Kerusakan sekolah kali ini paling parah karena sekolah tertimpa pohon besar. Akibat kejadian ini ratusan anak sekolah terancam tidak bisa belajar,” ujarnya. (saufat endrawan)

19 Januari 2007

Buah Simalakama Politik Beras (Opini)

Sinar Harapan, 19 Januari 2007

Oleh
Posman Sibuea

Beberapa minggu terakhir ini harga beras melambung tinggi. Pengakuan pedagang beras di sejumlah daerah, saat ini adalah harga beras termahal yang pernah mereka rasakan. Menko Perekonomian Boediono pun mengaku khawatir mengikuti perkembangan harga beras. Untuk itu pemerintah telah melakukan operasi pasar (OP) beras di sejumlah daerah guna meredam kenaikan harga makanan pokok yang satu ini.

Kenaikan harga beras adalah buah simalakama politik beras. Jika harga beras naik, maka masyarakat konsumen beras yang jumlahnya amat banyak di negeri ini akan mengalami kesulitan untuk memperolehnya di tengah daya beli yang kian menurun. Sementara, jika harga beras turun petani, si pahlawan ketahanan pangan, akan mengalami keterpurukan ekonomi, karena harga gabahnya tidak akan mengalami kenaikan meski berbagai kebutuhan hidup lainnya sudah mengalami kenaikan harga.

Pertanyaannya, mengapa setiap ada kelangkaan beras yang memicu kenaikan harga, pemerintah selalu mengambil langkah jangka pendek, yakni operasi pasar. Rasanya sulit memprediksi kesaktian OP dapat menyelesaikan masalah. OP dapat diibaratkan sebagai alat pemadam kebakaran.

Jika apinya sudah mereda, dibutuhkan keseriusan untuk menjaga dan merawat bangunan agar tidak terulang kebakaran. Lantas, dalam hal perwudan ketahanan pangan yang kokoh, pemerintah harus berhenti menggiring warga untuk terus mengonsumsi beras lewat pengadaan OP beras.

Implikasi pelaksanaan OP beras akan menetaskan nikmat membawa sengsara. Nikmat bagi masyarakat konsumen beras di perkotaan karena dapat membeli beras dengan harga murah. Namun membawa sengsara bagi petani padi karena gabah mereka tidak pernah menyentuh level harga dasar yang sudah mencapai Rp 2000 per kg.

Jika pemerintah selalu ikut campur tangan dalam penentuan harga beras, rakyat perkotaan akan merasa dininabobokan dan tidak memberi ruang untuk memulai mengonsumsi pangan nonberas berbasis diversifikasi.

Mimpi Buruk Malthus

Di tengah OP beras, muncul pertanyaan, apa yang salah dalam konsep diversifikasi konsumsi pangan sehingga begitu susah mewujudkan? Padahal kata diversifikasi bak sebuah mantra yang sering dikomat-kamitkan sejak tahun 1974, berkaitan dengan ketahanan pangan nasional yang menempatkan melulu beras sebagai makanan pokok.

Operasi pasar menjadi bukti kegagalan program diversifikasi pangan. Beras telah mengkristal sebagai makanan pokok, mengingkari deklarasi yang dideklarasikan pemerintah sendiri sejak 32 tahun lalu. Program diversifikasi dijangka menjadi buffer untuk mengurangi laju konsumsi beras.
Namun, hingga kini tingkat konsumsi beras di Indonesia tetap tinggi, yakni 135 kg per kapita per tahun. Dengan jumlah penduduk 222 juta jiwa, pemerintah harus menyediakan sekitar 30 juta ton beras per tahun. Suatu beban amat berat di tengah maraknya alih fungsi lahan belakangan ini.

Berangkat dari masalah kelangkaan beras saat ini, muncul pertanyaan bagaimana situasi pangan 2007? Ada dua alasan mengapa pertanyaan ini diajukan. Pertama, mimpi buruk Thomas Malthus bahwa pertambahan penduduk terjadi secara eksponensial, sementara kenaikan produksi pangan terjadi secara linier, sudah mendekati kenyataan di Indonesia. Laju pertumbuhan penduduk saat ini tetap tinggi, yakni 1,60 persen.

Artinya, ada pertambahan penduduk pemakan nasi sekitar tiga juta jiwa lebih per tahun yang membutuhkan beras sebanyak 420.000 ton per tahun. Sementara produksi padi tahun 2006 hanya naik 1,11 persen.

Kedua, pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya tak dapat ditunda-tunda sehingga permasalahan pangan harus ditempatkan pada topik sentral dalam pembangunan nasional. Namun, kenyataannya belum terjadi perubahan fundamental baik pada aras kebijakan, visi maupun paradigma dalam menangani persoalan ketahanan pangan ke arah yang lebih baik.

Kegagalan mempertahankan swasembada 1984 padahal dapat dijadikan sebagai petunjuk untuk melangkah ke arah peningkatan produksi pangan dalam arti luas guna memenuhi kebutuhan warga.

Jika setiap ada gejolak kelangkaan beras, pemerintah selalu menggelar OP, maka ”politik nasi” tetap dipakai sebagai kenderaan politik untuk melanggengkan kekuasaan yang berimplikasi hilangnya komitmen mewujudkan diversifikasi pangan.

Tiga Langkah

Apa langkah yang harus ditempuh pemerintah di tahun 2007 guna mendorong masyarakat mau mengurangi konsumsi beras? Langkah pertama yang patut dilakukan adalah diversifikasi produksi dan ketersediaan pangan. Diversifikasi konsumsi pangan bisa tercapai jika tersedia pangan yang juga beraneka ragam.

Ketersediaan aneka jenis bahan pangan baik berupa sumber enersi maupun sumber gizi lainnya seperti protein, lemak, vitamin dan mineral, dalam bentuk bahan mentah atau olahan akan menjamin terpenuhinya kebutuhan konsumsi pangan secara berkelanjutan.

Selama ini ada anggapan keliru bahwa diversifikasi hanya diartikan dari perspektif substitusi makanan pokok beras. dengan berbagai umbi-umbian, atau sumber karbohidrat lainnya. Diversifikasi sejatinya mencakup pangan secara keseluruhan baik bagi golongan sumber karbohidrat maupun pangan sumber zat gizi lainnya.

Kedua, meningkatkan daya beli masyarakat. Salah satu faktor yang menyebabkan kegagalan diversifikasi adalah kemiskinan. Dengan penghasilan di bawah dua dolar AS per hari kemampuan sekitar 109 juta penduduk Indonesia yang tergolong miskin masih amat terbatas melakukan diversifikasi konsumsi pangan.

Akhirnya mereka tetap tergantung pada beras OP (raskin) yang disediakan pemerintah sehingga susah beralih ke makanan alternatif berbasis lokal. Karena itu, pemerintah harus menciptakan lapangan kerja dan mendukung gerakan antikorupsi yang kini digagasi berbagai kelompok masyarakat.

Ketiga, melakukan pengembangan teknologi pengolahan pangan. Beranekaragamnya pangan yang tersedia terutama ditentukan oleh produksi pangan dan perkembangan teknologi pengolahan pangan, yang dapat menghasilkan berbagai produk pangan olahan berbasis padi-padian, umbi-umbian, hasil ternak, ikan, buah dan sayur dan hasil pangan lainnya dengan mutu terjamin.

Jika program ini diikuti pelatihan bagi perempuan sehingga mereka mampu berimprovisasi di bidang pengolahan produk pangan lokal akan dapat mengatrol kesejahteraan mereka karena keuntungan yang diperoleh jauh lebih besar dibandingkan menjual pangan nonolahan.

Dari perspektif gizi, diversifikasi konsumsi pangan memiliki mutu gizi yang lebih berimbang dibandingkan mutu masing-masing pangan penyusunnya. Jadi, dalam menyongsong “Indonesia Sehat 2010” paradigmanya tidak lagi semata meningkatkan produksi beras nasional tapi pemerintah harus mampu memproduksi beraneka jenis bahan pangan sebagai salah satu pilar perwujudan diversifikasi konsumsi pangan.

Penulis adalah doktor dalam Bidang Ilmu dan Teknologi Pangan. Dosen di Jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, Unika St Thomas SU Medan.

13 Januari 2007

Sekolah Komunitas Petani: ANTARA TANAH DAN AKSES PENDIDIKAN

Blog Liberasi, Juli 12, 2008

Oleh P Bambang Wisudo

Pendidikan dan penguasaan atas tanah merupakan modal yang mesti dimiliki petani untuk hidup sejahtera. Akan tetapi justru dua hal itu jarang dimiliki petani. Sebagian besar petani tidak memiliki akses terhadap pendidikan dan tanah. Proses marjinalisasi pun berlangsung turun-temurun. Penguasa silih berganti, tetapi nasib petani makin terpinggirkan. Berharap suatu hari negara berpihak pada petani ibarat menunggu godot.

Para petani di Pasawahan yang tinggal di sekitar areal eks perkebunan karet di pegunungan Cipucung, sekitar 70 kilometer dari Kota Ciamis, memilih tidak tinggal diam. Mereka bersama-sama berjuang untuk mendapatkan akses atas tanah dan pendidikan untuk anak-anak mereka. Hasilnya pun mulai dirasakan sekarang. Selain berhasil mendapatkan tanah garapan, para petani itu kini memiliki sebuah sekolah yang diidam-idamkan.

“Bagi saya, sekolah adalah nomor dua. Hal pertama yang harus diperjuangkan adalah tanah,” kata Oyon (48), tokoh masyarakat di Desa Pasawahan, Jawa Barat.

Pada awal tahun 2000, Oyon bersama sejumlah petani Pasawahan mulai bergerak. Mereka mengajukan permohonan untuk menggarap tanah eks perusahaan perkebunan karet yang ditelantarkan sejak tahun 1993.

Kawasan perkebunan karet tersebut sudah ditumbuhi semak belukar. Dua bulan permohonan itu tidak dijawab. Yakin bahwa hak guna usaha tanah perkebunan itu telah berakhir, para petani yang bergabung dalam Serikat Petani Pasundan itu kembali mengajukan permohonan menggarap tanah ke tingkat kabupaten. Permohonan itu lagi-lagi tidak dijawab. Setahun kemudian para petani melakukan aksi reklaiming dengan menebangi pohon-pohon karet yang ada di kawasan itu.

Dari lahan yang direklaim sekitar 170 hektar, tiap keluarga

petani mendapatkan tanah garapan sekitar 200 bata atau sekitar

seperempat hektar. Sampai sekarang Badan Pertanahan Nasional belum

memberi lampu hijau tanah itu dikembalikan pada petani.

“Saya yakin tanah ini nanti akan jatuh ke rakyat,” kata Oyonyang

bersekolah hanya sampai kelas VI SD.

Perjuangan para petani Pasawahan tidak berhenti di situ. Setelah

kehidupan para petani itu mulai tertata, mereka bersama berembuk

untuk menggarap pendidikan. Sampai tahun 2002, hanya sekitar 5 persen

anak usia SMP di desa itu yang bersekolah. Setelah lulus SD biasanya

anak-anak laki-laki menghabiskan waktunya untuk bermain. Anak-anak

perempuan membantu ibunya, menjadi buruh jahit bordir, atau kawin di

bawah umur.

Dengan bantuan aktivis SPP yang tinggal di desa itu sebagai guru

sukarelawan, tahun ajaran baru 2003 mereka mulai menyelenggarakan

sekolah. Bangunannya meminjam gedung madrasah. Anak-anak yang datang

dari desa lain tinggal satu pondokan bersama guru-guru.

SMP Plus Pasawahan kini memiliki 65 murid. Mereka telah memiliki

gedung sekolah dengan bangunan permanen. Dua kelas dibangun dengan

dana swadya masyarakat. Dana yang terkumpul dari petani dan sahabat

sekolah tidak kurang dari Rp 80 juta. Bangunan sekolah dibuat tinggi.

Plafon dibuat dari papan kayu, dipergunakan untuk perpustakaan dan

tempat penginapan. Dua lainnya dibangun dari hibah Departemen

Pendidikan sebesar Rp 100 juta. Sekolah itu berdiri di atas areal

pertanian seluas empat hektar, bekas tanah perkebunan karet, yang

masih bermasalah.

“Dulu, sebelum ada sekolah ini, anak-anak Pasawahan paling-paling

bersekolah sampai lulus SD. Banyak anak yang tidak bisa melanjutkan

sekolah. Memang, katanya, sekolah gratis tetapi tetap saja butuh

ongkos transpor. Padahal petani di sini hidup pas-pasan,” kata

Sartiwi (17), siswa kelas III SMP Plus Pasawahan.

Untuk mencapai lokasi SMP terdekat, anak-anak di Pasawahan harus

mengeluarkan ongkos ojek sekitar Rp 10.000 per hari. Belum lagi kalau

hujan, jalanan tidak bisa dilewati.

Cerita Sartiwi dibenarkan Saud Sunaryo (50). Kata Sunaryo, petani

di desa itu sebenarnya ingin anak-anaknya terus sekolah paling tidak

sampai lulus SMP. Namun karena berat di ongkos, mereka akhirnya

membiarkan anak-anak putus sekolah. Saud menuturkan, di desa itu

memang pernah didirikan kelas jauh tetapi bubar setelah dua bulan

berjalan.

Keberadaan SMP Plus Pasawahan ternyata bukan hanya berkah bagi

anak-anak Pasawahan, tetapi juga bagi anak-anak dari desa-desa di

Ciamis Selatan yang menjadi wilayah kerja Serikat Petani Pasundan.

Dari 65 anak yang kini belajar di SMP Plus Pasawahan, sejumlah 22

anak berasal dari desa lain. Mereka tinggal di pondokan bersama guru.

Pondokannya sangat sederhana. Mereka hanya tidur di lantai beralaskan

tikar. Makanan pun seadanya. Beras disumbang dari petani dan sayur

diambil di kebun. Untuk lauk-pauk, mereka biasanya memperoleh

sepotong ikan asin atau tahu-tempe sebesar ibu jari.

“Kami memasak secara bergantian. Semua anak di sini bisa

memasak,” kata Deni Sunaryo (16).

Anak-anak petani yang bersekolah di SMP Plus Paswahan merupakan

anak-anak yang beruntung. Sekalipun memiliki seragam, mereka tidak

harus bersekolah dengan mengenakan baju seragam. Mereka boleh pergi

sekolah tanpa bersepatu. Tidak seperti anak-anak di sekolah pada

umumnya, mereka bisa berinteraksi bebas dengan kawan-kawan dan guru.

Mereka bisa belajar sambil tiduran. Mereka memiliki waktu yang

leluasa untuk berkesenian. Dua jam tiap hari Jumat dan sehari penuh

tiap hari Sabtu mereka belajar bertani.

Tidak hanya itu. Tiap hari anak-anak itu dibiasakan menulis.

Mereka bisa menulis puisi, cerita pendek, laporan kunjungan lapangan,

ataupun membuat jurnal pengalaman mereka berkebun. Tiap anak mendapat

bagian tanah untuk bereksperimen seluas 2 x 5 meter yang bebas

dipergunakan untuk menanam apa saja. Rata-rata anak kelas II telah

menghasilkan puluhan puisi.

Tiap bulan mereka menerbitkan buletin kelas yang diperbanyak

dengan cara fotokopi. Sebagian dari mereka, ketika baru masuk ke SMP

Plus Pasawahan, masih gagap membaca dan menulis. Kini membaca dan

menulis menjadi menu penting dalam keseharian mereka.

Sekolah itu dilayani oleh empat belas guru, tiga di antaranya

adalah anak-anak muda aktivis petani dari luar desa. Mereka bekerja

tanpa dibayar. Baru beberapa bulan ini saja mereka mendapatkan uang

transpor sebesar Rp 7.000 sehari mengajar berkat adanya dana bantuan

operasional sekolah.

Saeful Milah (25), alumnus Universitas Galuh, sudah hampir dua

tahun mengajar di Pasawahan tanpa memperoleh gaji. Ia makan dan tidur

bersama anak-anak. Saeful sebelumnya pernah mengajar di Madrasah

Tsanawiyah Sururon Garut. Sejak semester empat ia sudah terlibat

dalam kegiatan-kegiatan pendampingan petani.

“Tidak terpikir mau berapa tahun saya mengajar di sini. Kalau

sekolah ini sudah aman, tenaga pengajarnya mencukupi, saya baru mau

meninggalkan sekolah ini dan merintis di tempat lain,” kata Saeful.

Haslinda Qadariyah (28), jebolan Fakultas Ilmu Komunikasi

Universitas Padjadjaran, juga jatuh hati pada SMP Plus Sururon. Ia

tidak merisaukan masa depannya. “Tidak tahu sampai kapan saya di

sini. Anak-anaklah yang bikin saya betah. Kalau bisa, saya ingin lama

tinggal di sini,” kata Haslinda.

SMP Plus Pasawahan merupakan kebanggaan petani Pasawahan. Di

areal bekas tanah perkebunan, yang hanya bisa dijangkau dengan

bersusah payah dengan menggunakan ojek atau mobil bak terbuka,

terdapat sebuah sekolah yang tidak kalah dengan sekolah-sekolah di

kota.

Perjuangan untuk memperoleh hak atas tanah dan pendidikan

memberikan harapan baru bagi para petani yang selama ini dipinggirkan.***