30 Mei 2008

Ibnu, Perintis Penghijauan Lahan Kritis Bukit Karst

KOMPAS/MAWAR KUSUMA WULAN

Kompas, Jumat, 30 Mei 2008

MAWAR KUSUMA

Kesan tandus dan gersang selalu melekat dengan Kabupaten Gunung Kidul di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Ini tak mengherankan karena mayoritas kawasan itu terdiri dari perbukitan karst. Namun, suasana rimbun, hijau, dan teduhlah yang justru mendominasi beberapa bukit karst di Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul, itu.

Sungguh tak terbayangkan sebelumnya bahwa bukit dari batuan kapur itu pun ternyata bisa di-”sulap” menjadi hutan yang menyejukkan. Dengan kreasi sendiri, Ibnu Hajar Sholeh Prenolo mulai membuat terasering di lahan kritis perbukitan karst tersebut.

Tidak ingin menikmati keberhasilan penghijauan itu seorang diri, Ibnu, nama panggilannya, kemudian menularkan kreasi terasering karst buatannya kepada warga sekitar. Sebagai pemimpin Masjid Aolia, dia juga getol mengajak jemaah untuk turut peduli lingkungan.

Awalnya, Ibnu hanya mengeduk lapisan tipis tanah di bukit karst. Dia memunguti cuilan batu kapur untuk tanggul terasering. Untuk menambah lapisan tanah, Ibnu mengumpulkan aneka sampah dedaunan maupun sampah rumah tangga yang kemudian ditimbun di antara tanggul.

Dari buah kerja kerasnya itu, pohon jati, pisang, melinjo, hingga talas hutan tumbuh subur. Tanah di bukit karst miliknya pun tidak lagi hanyut dibawa air hujan karena tertahan oleh tanggul. Sampah-sampah yang dia tanam juga berkembang menjadi kompos yang menyuburkan.

”Setiap kali ada pertemuan di masjid, saya pasti menyelipkan ajakan agar jemaah mau turut melakukan penghijauan di lahan kritis,” cerita Ibnu sembari menunjukkan bukit-bukit karst yang menghijau, awal Mei 2008.

Sekarang, menurut Ibnu, sudah terbentuk lima kelompok kerja untuk penghijauan lahan kritis di Pedukuhan Panggang III, Desa Giriharjo, Panggang. Setiap kelompok kerja terdiri dari 15 keluarga yang telah turut merintis pembuatan terasering di lingkungan masing-masing.

Upaya penghijauan lahan kritis tersebut biasanya terlebih dahulu dirembukkan di masjid bersama warga sebelum diimplementasikan di lahan yang kritis.

Ibnu berharap pohon-pohon yang ditanamnya sejak tahun 1990 itu nanti bisa menyerap air sehingga dapat menyediakan mata air.

Bak penampungan

Dia tidak hanya menghijaukan lahan kritis, tetapi juga membuat bak penampungan air hujan di bagian bawah masjid serta kolam besar agar bisa mencukupi kebutuhan air untuk warga sekitarnya.

Bak penampungan air hujan itu dirasakan benar manfaatnya. Apalagi karena 17 telaga yang ada di Kecamatan Panggang itu biasanya mengering ketika memasuki musim kemarau.

Mendirikan Jemaah Aolia di Panggang sejak tahun 1982, setiap ada kesempatan Ibnu selalu berusaha menekankan pentingnya menjaga lingkungan hidup kepada warga sekitar. Baginya, pengajaran agama tidak harus berkutat dalam hal rohani saja. Aplikasi dari keimanan kepada Tuhan itu juga harus diwujudkan dalam tindakan nyata, yaitu mencintai alam ciptaan-Nya.

”Kehidupan jemaah itu harus bisa menjadi berkah buat orang banyak,” tuturnya.

Penghijauan lahan kritis dia lakukan di atas bukit berbatu yang tidak bisa diolah menjadi lahan pertanian. Sebagian besar bukit karst di Gunung Kidul memang hanya ditanami pohon jati atau rumput, tanpa diolah terlebih dahulu, sehingga tanah menjadi semakin tipis akibat aliran air hujan. Masalahnya, warga biasanya menanam pohon jati itu tanpa mengolah lahan sehingga tanah mengalami erosi.

Upaya penghijauan dengan cara terasering yang dilakukan Ibnu dan warga setempat itu terbukti dapat mencegah erosi. Penghijauan itu dilakukan dengan penanaman 10.573 pohon jati di enam lokasi bukit karst di Kecamatan Panggang.

Budidaya ikan

Seusai meninggalkan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Ibnu sempat bekerja di sebuah rumah sakit di Yogyakarta. Di tempat itu dia berjumpa dengan Warinah, seorang perawat, yang kemudian menjadi istrinya.

Tahun 1972 ia memutuskan tinggal di Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul. Di tempat ini, selain bekerja sebagai petani, Ibnu juga mendalami agama dan menjadi panutan warga setempat.

Berawal dari keprihatinan karena sulitnya mencari air, terutama saat musim kemarau, Ibnu mulai mengajak warga membangun masjid pada tahun 1984, dengan penampungan air hujan tepat di bawah bangunan masjid. Selain berguna bagi pemenuhan kebutuhan warga, air tersebut ternyata juga menyejukkan suasana di dalam masjid.

Melihat manfaat air di penampungan masjid, Ibnu kembali mengerahkan warga untuk membuat kolam besar dengan daya tampung 3.000 meter kubik, yang kini bisa mencukupi kebutuhan 17 keluarga selama musim kering.

Dari uji laboratorium teknik lingkungan yang dilakukan Universitas Gadjah Mada, air tampungan itu layak minum setelah direbus.

”Pembuatan bak tampungan air hujan secara massal yang ditanam di bawah tanah ini paling tepat untuk daerah kering seperti Gunung Kidul. Bak penampung air hujan milik pribadi biasanya mudah jebol dan mahal,” ujarnya.

Sebagian dari kolam dengan bentuk bersusun itu juga dimanfaatkan untuk budidaya ikan dan tanaman hias. Ikan dipanen untuk kebutuhan warga sekitar, sedangkan tanaman hias dipasarkan hingga ke pasar swalayan.

Pembuatan bak penampungan air bawah tanah tersebut juga mulai ditiru oleh beberapa kelompok jemaah masjid di beberapa kecamatan di Gunung Kidul, seperti Tepus, Wonosari, dan Paliyan.

Ibnu memang berharap penghijauan lahan karst dan pembuatan bak tampungan hujan itu bisa dan mau ditiru oleh warga di dusun lain. Sebab, manfaatnya memang sangat terasa.

Selain itu, pembuatan terasering dan penanaman pohon jati juga tidak membutuhkan perawatan rumit. Hanya butuh kemauan warga untuk mengubah lahan kritis menjadi lahan produktif. Di samping bermanfaat secara ekonomis, pembuatan terasering juga terbukti bisa mencegah erosi.

Tingginya kepeduliannya terhadap lingkungan mengantar Ibnu meraih juara pertama sebagai perintis lingkungan hidup untuk tingkat Kabupaten Gunung Kidul. Selain itu, dia juga terpilih sebagai juara pertama perintis lingkungan hidup tingkat Provinsi DI Yogyakarta.

BIODATA

Nama: Ibnu Hajar Sholeh Prenolo

Lahir: Pekalongan, Jawa Tengah, 28 Desember 1942

Pendidikan:

- Sekolah rakyat di Pekalongan, lulus 1955

- SMP Negeri Kutoarjo, lulus 1958

- SMA Negeri Purworejo, lulus 1962

- Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1962-1970

Istri: Warinah (57)

Anak:

- Muhammad Arief Billah (35)

- Isa Ashiem Billah (33)

- Musa Ashieq Billah (31)

- Harun Mahbub Billah (29)

- Dawud Mustaim Billah (26)

Serikat Petani Indonesia Tolak Kenaikan Harga BBM

Selasa, 27 Mei 2008

TEMPO Interaktif, Jakarta
:Serikat Petani Indonesia (SPI) menolak tegas kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan menuntut pemerintah mencabut kebijakan tersebut. Menurut SPI kenaikan BBM semakin mempersulit keadaan petani.

"Bagi petani, kenaikan harga BBM artinya juga kenaikan biaya produksi", tegas Ketua Departemen Pengkajian Strategis Nasional, Serikat Petani Indonesia (SPI) Achmad Ya'kub, dalam siaran persnya Selasa (27/5).

Menurut catatan SPI bagi petani kecil atau buruh tani setidaknya biaya produksi selain benih dan pupuk juga meliputi harga sewa tanah, sewa traktor dan pompa air demikian juga pengolahan hasil panen seperti usaha penggilingan padi dan ongkos angkut.

Achmad mencontohkan, sebuah traktor tangan berkekuatan 8.5 PK membutuhkan solar sebanyak kurang lebih 18 liter per hektare untuk pengolahan lahan sampai siap tanam yang memerlukan waktu kurang lebih 18 jam. Ke semua kenaikan itu akan dibebankan kepada petani.

Sehingga, dalam mengatasi krisis energi dan pangan sekarang ini SPI meminta pemerintah segera melaksanakan program pembaruan agraria yang seperti telah di janjikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak awal tahun 2007 lalu. Dengan demikian, menurut Achmad 13 juta keluarga tani miskin bisa bekerja dan menghidupi keluarganya dengan terjamin.

Selain itu SPI juga meminta pemerintah menghentikan perluasan perkebunan non pangan oleh perusahaan dengan orientasi eksport, sebaliknya pemerintah harus mendorong pertanian pangan berbasis keluarga dan orientansi pemenuhan kebutuhan lokal dan nasional. Dengan demikian, menurut Achmad pemerintah dapat memberikan insentif bagi petani pangan, terutama yang melaksanakan pertanian berkelanjutan.

Hari Jumat lalu (23/5) pemerintah telah menaikkan harga BBM menjadi Rp 6.000 per liter atau rata-rata sekitar 28,7 persen. Kenaikan ini, mengalami pertentangan dari segenap lapisan masyarakat. Begitu pula dengan pembagian langsung tunai, yang dinilai tidak tepat sasaran.

"Bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp 100 rbu bersifat sementara, hanya untuk memperlambat penderitaan yang semakin-makin saja kepada rakyat," ujar Achmad.

Cheta Nilawaty

Konsumsi Susu di Indonesia Rendah

Selasa, 27 Mei 2008

TEMPO Interaktif, Jakarta
:Jumlah konsumsi susu di Indonesia masih rendah dibandingkan negara di Asia lainnya. Masyarakat Indonesia meminum susu 9,0 liter per kapita per tahun, sedangkan negara lainnya seperti Malaysia mencapai 25,4 liter per kapita per tahun.

Dibandingkan dengan Vietnam, Indonesia juga masih lebih rendah. Vietnam mengkonsumsi susu sebanyak 10,7 liter per kapita per tahun. Tetra Pak Indonesia, salah satu produsen susu, mengungkapkan hal ini dalam peringatan Hari Susu se Dunia, Selasa (27/05).

Tetra Pak bersama pemerintah, swasta, maupun lembaga non profit melakukan kampanye agar masyarakat sadar pentingnya manfaat susu bagi tubuh dan peran perekonomian Indonesia.

"Susu cair alami memiliki kandungan gizi lengkap," kata Mignone N.B. Maramis, Direktur Komunikasi PT Tetra Pak Indonesia. Dalam acara itu turut hadir Staf Ahli Menteri Kesehatan, bidang Mediko Legal Rachmi Untoro.
Aqida Swamurti

27 Mei 2008

Hutan Di Jawa Barat Kian Ciut

Senin, 26 Mei 2008

TEMPO Interaktif, Jakarta:Kondisi hutan di Jawa Barat semakin memprihatinkan. Peneliti dari Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran Bandung Chay Asdak mengatakan, berdasarkan pantauan satelit, luas hutan yang tersisa tidak lebih dari 10 persen. Angka ini jauh lebih kecil dari data yang ada yaitu 22 persen. Salah satu menyusutnya luas hutan adalah gagalnya program gerakan reboisasi hutan dan gerakan rehabilitasi lahan kritis.

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat Anang Sudarna membantah data itu. Menurut Anang, sejak tahun 2004 hingga 2010, pihaknya sudah melakukan rehabilitasi yang ditargetkan mencapai 40 ribu hektare. "(Bibit) yang kami tanam lima tahun lalu mungkin tidak tampak di satelit," ujar Anang.

Rehabilitasi ini, dilakukan karena pada tahun 2004, ada 151 ribu hektare lahan kritis dari 816 ribu hektar luas hutan di Jawa Barat saat itu. Sekarang, kata Anang, luas lahan kritis tersisa 37 ribu hektar lagi. "Jadi kalau berdasarkan data kami, gerakan rehabilitasi hutan berhasil hingga 95 persen," katanya.

Selain melakukan rehabilitasi di kawasan hutan lindung, kata dia, pihaknya juga mempersilakan warga untuk menanam padi atau palawija di hutan. "Kami juga sudah mengajukan dana untuk bantuan bibit pada APBD tahun depan," katanya.

Rana Akbari Fitriawan

20 Mei 2008

Yon, Sederhana di Tengah Pohon Cabai Kopay


Kompas, Senin, 19 Mei 2008

Agnes Rita Sulistyawaty

Sebuah kebetulan ketika Syahrul Yondri (43) menemukan cabai merah keriting yang panjangnya sampai 35 sentimeter tahun 2005. Sebagai petani yang gemar meneliti, dia sesungguhnya tengah bereksperimen untuk menemukan cara mengatasi virus kuning.

Dorongan untuk mendapatkan cara mengatasi virus kuning berawal ketika Yon, panggilan Syahrul Yondri, gagal panen sampai tiga kali. Setelah mengalami kerugian Rp 20 juta akibat virus kuning, petani cabai di Kelurahan Koto Panjang Lampasi, Kecamatan Payakumbuh Utara, Sumatera Barat, ini menghabiskan waktu lima tahun bereksperimen untuk mendapatkan cara menanggulangi virus yang mematikan tanaman cabai itu.

Dari sejarah, Yon menemukan petunjuk model penanaman zaman nenek moyang. Petani zaman dulu menanam cabai di lahan yang dikelilingi kolam karena tanaman menjadi lebih kuat menghadapi penyakit. Yon pernah mencoba cara itu, dan memang ada peningkatan ketahanan tanaman.

"Prinsipnya, virus itu tak tahan terkena panas yang kuat. Biasanya, virus bersembunyi di bagian bawah daun. Air berfungsi memantulkan cahaya sehingga panas matahari memantul dan mengenai bagian bawah daun," kata Yon yang juga menjadi Ketua Kelompok Tani Tunas Baru.

Akan tetapi, dia belum puas dengan hasil itu. Dicobanya memakai cermin yang diletakkan di tanah, tepat di bawah tanaman. Hasilnya bukan saja menghambat perilaku mematikan virus itu, tetapi juga membuat proses pemasakan tanaman lebih baik. Dari sinilah Yon memanen buah cabai yang lebih panjang dibandingkan cabai pada umumnya.

Perkembangan selanjutnya, fungsi kaca diganti plastik mulsa yang diberi cat perak. Dengan demikian, pemantulan cahaya tetap terjadi sehingga virus yang biasa tinggal di bagian bawah daun terbunuh pula.

Dari sisi perawatan tanaman, petani juga tak repot mengurus karena tanaman cabai kopay juga lebih tahan terhadap serangan virus kuning.

"Memang daun tanaman masih tetap kuning, tetapi tanaman tetap berbuah dan buahnya masih tetap baik," tutur Yon yang akan melakukan serangkaian penelitian lanjutan untuk melemahkan serangan virus agar daun tanaman tidak menguning.

Buah terpanjang

Ketika pertama kali memperoleh buah cabai yang berukuran lebih panjang, dia lalu berpikir untuk melakukan penyempurnaan buah. Dari panen pertama dipilihnya buah terpanjang untuk dikembangbiakkan lagi.

Pada panen kedua, dia juga kembali memilih satu buah cabai yang paling unggul. Biji buah disemaikan lagi sehingga menghasilkan buah dengan kualitas yang semakin baik. Panjang cabai berkisar 30-33 sentimeter, bahkan pernah mencapai 40 cm. Padahal, cabai biasa rata-rata hanya 20 cm.

Sejumlah 20 petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Tunas Muda dan puluhan petani lain di Koto Panjang Lampasi juga senang menanam cabai ini. Itu bukan semata-mata karena ukurannya yang lebih besar dibandingkan cabai biasa atau karena pohon cabai bisa setinggi satu meter, tetapi karena hasil panen yang lebih banyak.

Setiap batang cabai kopay mampu menghasilkan sekitar 1,4 kilogram per masa tanam, sedangkan tanaman cabai pada umumnya memproduksi enam ons saja. Pada usia 90 hari, petani mulai memanen cabai untuk pertama kali.

Petani juga gembira karena harga jual cabai kopay jauh di atas rata-rata. Ketika harga cabai di Sumatera Barat berkisar Rp 14.000 per kg, cabai kopay sudah menembus Rp 22.000. Harga termurah cabai kopay Rp 15.000 per kg, tetapi itu terjadi sekali saja dan bertahan hanya seminggu. Umumnya harga cabai kopay berkisar Rp 20.000 per kg.

Meski harga cabai kopay tinggi, rasa cabai yang pedas tetapi tidak melilit dan lebih awet dibandingkan dengan cabai biasa ini membuat cabai kopay diperdagangkan sampai ke Provinsi Riau.

Sayangnya, permintaan mengirim dua ton cabai per hari untuk seorang pedagang saja belum sanggup dipenuhi petani di Koto Panjang Lampasi. Sebab, produksi petani baru mencapai dua ton per minggu.

Begitu menggiurkannya prospek menanam cabai kopay, sampai-sampai pemuda di sekitar tempat tinggal Yon pun mulai ikut bertanam cabai.

"Para pemuda itu dulu hanya duduk-duduk di kedai kopi saja karena mereka tak punya pekerjaan. Tapi begitu melihat prospek cabai kopay, mereka mulai menggarap lahan milik keluarga atau menyewa lahan," ucap Yon yang telah membeli tanah, rumah, dan mobil dari hasil menjual cabai.

Tak mau terkenal

Sebagai pencinta tanaman cabai, Yon masih menyimpan sejumlah pekerjaan rumah, seperti meneliti cara pertanian organik yang sepenuhnya bebas dari produk pabrik. Yon sadar bahwa menemukan cara untuk meningkatkan kesejahteraan petani tak bisa digantungkan pada orang lain. Petanilah yang paling mengerti kondisi dunia pertanian.

"Penyuluh lapangan itu pun belum tentu pernah menanam cabai. Teori juga belum tentu bisa diterapkan di lapangan," kata Yon.

Dia pun tak risau ketika Wali Kota Payakumbuh Josrizal memberikan nama kopay untuk cabai tersebut, bukan nama Yon sebagai penemunya. Kopay merupakan akronim dari "Kota Payakumbuh-Yon".

"Ah, biarlah nama itu, yang penting saya tetap bisa mencari cara agar pertanian ini dapat meningkatkan kesejahteraan petani," ucapnya.

Cabai kopay yang menjadi kebanggaan Kota Payakumbuh tengah dalam proses sertifikasi, agar produk ini tidak diklaim oleh pihak lain. Yon sebenarnya ingin agar cabai kopay bisa ditanam di banyak daerah, sejauh itu dapat menambah penghasilan petani.

Di tengah keberhasilan yang dipetiknya, Yon tetap sederhana. Sehari-hari dia suka mengenakan kaus dan bersandal jepit. Dia bahkan merasa risi ketika namanya mulai dikenal sehingga banyak tamu yang datang ke kampungnya.

"Kalau banyak tamu, waktu saya untuk bereksperimen makin terbatas. Kapan bisa menyelesaikan pekerjaan rumah, ha-ha-ha...," kata Yon yang memutuskan tidak punya telepon seluler ini.

Alumnus SPG, Berjaya di Ladang

Menjadi petani cabai adalah profesi kesekian yang dilakoni tamatan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri Payakumbuh ini. Setelah mengajar selama sebulan di SD Negeri Koto Nan Gadang, suami Yulismar itu menjadi montir alat elektronik sekitar enam tahun.

Setelah itu, pria kelahiran Payakumbuh, 30 Juli 1965, ini beralih menjadi tukang bangunan seperti yang dilakukan ayahnya.

Setelah sembilan tahun menjadi tukang, ayah dari Siska Sri Indah Mulia itu mencoba bertanam. Ketika itu, seorang kawan menganjurkan Yon menanam cabai sebab komoditas ini menjanjikan hasil ketimbang menanam padi.

Awalnya Yon mencoba di lahan 1.000 meter persegi yang disewanya seharga Rp 150.000 per masa tanam cabai. Ia mulai menjadi petani. Masa itu, selain bertani, dia juga masih menerima tawaran bekerja sebagai buruh bangunan.

Lama kelamaan, Yon lebih tertarik kepada tanaman yang memberinya pendapatan sekaligus tantangan itu. Penelitian cara memberantas virus kuning menjadi salah satu wujud kecintaannya kepada dunia pertanian. (ART)

14 Mei 2008

Mes Serikat Petani Pasundan Terbakar

Okezone, Rabu, 14 Mei 2008

GARUT - Terjadi Kebakaran yang melumpuhkan Pusdik dan Mess Serikat Petani Pasundan (SPP) serta satu unit rumah warga milik Solihin (38) di Jalan Raya Samaran Kampung Nagara Tengah Desa Cimangaten Kecamatan Karogong Kaler Garut sekitar pukul 02.45 WIB dini hari tadi.

Api baru bisa dipadamkan pukul 05.00 WIB. Kebakaran ini mengakibatkan kerugian sebesar Rp. 250 Juta. Namun, kebakaran ini tidak menimbulkan korban jiwa. Penyebab kebakaran belum bisa dipastikan hingga kini.

Humas SPP, Anwar yang menyaksikan kejadian itu mengatakan titik api berasal dari bangunan Pusdik yang berukuran 6 kali 12 meter. Api kemudian dengan cepat merambat ke Mess berukuran 12 kali 9 meter yang pada saat itu dihuni oleh lima orang pelajar dia antaranya Enis (16), Sata (17), Siti (16), Ahmad (17), Asep (26) dan Ayi (18) serta keluarga Upi (32), Yuli (28), Asep (26) serta seorang anak bernama Vikri (3).

"Beruntung semuanya dapat selamat namun yang saya bingung, kejadian ini berlangsung setelah kami menyerahkan tiga juta sertifikat tanah kepada masyarakat se Jawa Barat di Kabupaten Sumedang," kata Anwar, Rabu (14/5/2008).

Selain itu, lanjut Anwar, pihaknya pun berencana akan menggelar aksi pada tanggal 20 Mei mengenang 1 abad kebangkitan nasional dengan tuntutan reformasi agraria.

"Saya yakin kebakaran ini bukan akibat korsleting listrik," ujarnya.

Sementara itu, Sekjen SPP, Agustiana mengatakan akibat kebakaran ini sejumlah dokumen penting pengajuan tanah yang dimohonkan masyarakat hagus tidak terselamatkan.

"Pokonya saya serahkan kepada pihak kepolisian, saya tidak akan menuduh siapa-siapa nantinya timbul implikasi lain," katanya.

Kapolwil Priangan, Kombes Anton Cadian yang dimintai keterangan menyampaikan pihaknya akan menggunakan sistem scientific investigation untuk menemukan kebenaran fakta.

"Kami telah meminta Puslabfor Mabes POLRI untuk melakukan identifikasi. Ya mudah-mudahan hasilnya dapat diketahui secepat mungkin kita proses," terangnya.

Cadian juga berharap kejadian ini tidak menyurutkan perjuangan SPP untuk menyemangati dan membangun tanah Pasundan.

(Sigit Zulmunir/Trijaya/fit)

Supriatin, Menikmati Manisnya Stroberi

KOMPAS/CORNELIUS HELMY HERLAMBANG / Kompas Images
Supriatin
Rabu, 14 Mei 2008

Oleh Dwi Bayu Radius dan Cornelius Helmy

”Let me take you down cause I’m going to strawberry fields/ nothing is real/ and nothing to get hung about… strawberry fields forever...”

Itulah lagu ”Strawberry Fields Forever” dari kelompok musik asal Inggris, Beatles, yang ditulis dan dinyanyikan John Lennon. Di Desa Jambudipa, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, kebun stroberi itu benar-benar ”riil”. Orang bisa berjalan-jalan menikmati kehijauan kebun stroberi. Bahkan, kita juga bisa memetik dan mencecap manisnya buah berwarna merah tersebut.

Kebun stroberi yang dirintis Supriatin Budiman (58) sejak tahun 1999 itu diberi nama Vin’s Berry Park. Lelaki kelahiran Jakarta itu memulai usaha tersebut dari sebidang tanah seluas 5.000 meter persegi.

Pada awalnya ia sempat terseok-seok. Dia menghadapi berbagai masalah, mulai dari soal kualitas bibit stroberi yang jelek sampai panen yang gagal. Titik cerah datang ketika Supriatin mendapat informasi mengenai bibit stroberi kualitas terbaik dari California, Amerika Serikat, seperti Earlybrite, Festival, dan Sweetcharlie.

”Sebelum itu saya masih menggunakan bibit Shantung asal China atau Nioho asal Jepang. Buahnya kecil dan tekstur buahnya juga lembek sehingga cepat busuk. Rasanya pun tidak terlalu manis. Sedangkan bibit asal California umumnya berbuah lebih besar dengan tekstur daging buah tidak lembek. Selain itu, rasanya jauh lebih manis dan berumur lebih panjang,” kata Supriatin.

Bibit asal California itu ternyata tergolong unggul. Nyatanya, hasil panen melimpah dan konsumen pun bertambah. Dia lalu memperluas kebun menjadi sekitar 2 hektar, dengan 50.000 tanaman stroberi.

Kapasitas produksi rata-rata pun berlipat ganda dari yang semula 10 kilogram per hari menjadi rata-rata 20 kilogram per hari. Bila seluruh tanaman berbuah bersamaan, produksi bisa mencapai 1 kuintal per hari.

Dengan upaya yang ulet dan sungguh-sungguh menjaga kualitas, ia pun mendapat kepercayaan konsumen. Mereka diajaknya berkunjung ke kebun. Mereka dipersilakan melihat sendiri bahwa produk stroberi itu dihasilkan tanpa bahan pengawet.

Stroberi tersebut dijual dalam kemasan dengan harga Rp 70.000 per kilogram untuk ukuran super, Rp 60.000 ukuran medium sampai besar, Rp 50.000 medium sampai kecil, dan Rp 40.000 per kilogram untuk ukuran kecil.

Selain stroberi, Supriatin juga tengah mengobservasi blackberry dan raspberry dengan jumlah masing-masing 1.500 dan 3.000 pohon. Dia ingin kebun itu bisa menjadi tempat pembudidayaan buah dengan pupuk organik.

Kafe stroberi

Usaha Supriatin tidak berhenti hanya dengan kebun stroberi. Setelah menguasai hulu sebagai penghasil stroberi, dia pun merambah wilayah hilir dengan membuat beragam produk olahan stroberi, seperti selai, sirup, es krim, dan yoghurt.

Ia juga melebarkan sayap usaha dengan membuka Vin’s Berry Cafe, rumah makan di Jalan Patuha, Kota Bandung. Di tempat santap ini tersedia menu yang menggunakan bahan baku stroberi. Untuk operasional kebun dan rumah makan itu, Supriatin mempekerjakan lebih dari 25 orang.

Dalam perkembangan selanjutnya, Vin’s Berry Park sejak tahun 2006 juga menjadi ladang penelitian. Para mahasiswa seperti dari Institut Teknologi Bandung dan Universitas Padjadjaran pun menggunakan kebun itu untuk belajar berbagai ilmu, antara lain manajemen budidaya, pemasaran, dan perkebunan.

”Saya ingin berperan sebagai semacam dosen pembimbing lapangan,” katanya.

Bukan hanya mahasiswa, anak-anak dan siapa saja yang ingin mengenal stroberi bisa datang ke kebun Supriatin. Di sini, sambil bermain, anak-anak bisa belajar tentang pelestarian alam, budidaya tanaman, serta aktivitas luar ruang atau outbound.

Jangan kaget kalau di sekitar kebun stroberi itu juga tersedia arena ketangkasan seperti gokar, tali luncur atau flying fox, papan panjat, titian tali (high rope), sampai kolam untuk bermain rakit.

Peluang pasar

Dari pengalaman membudidayakan stroberi, Supriatin bisa melihat potensi besar buah itu. Tetapi, sejauh ini stroberi belum dimanfaatkan maksimal oleh masyarakat. Varietas, metode penanaman, dan sistem penjualan stroberi relatif belum tergarap.

Infrastruktur penanaman stroberi yang dilakukan petani Jawa Barat pun umumnya masih tradisional. Misalnya dalam penggunaan sistem pengairan. Tanaman umumnya masih disiram secara konvensional dan ditanam di alam terbuka. Akibatnya, kualitas air tidak bisa terkontrol sehingga berpengaruh buruk pada buah.

”Ada cara lebih baik, seperti selang hidroponik atau irigasi tetes, yang langsung disalurkan ke media tanam setiap bibit tanaman. Jika ada tanaman yang terkena penyakit atau serangan hama, langsung diisolasi dan dimusnahkan,” katanya.

”Melalui pengenalan secara terus-menerus, petani mulai menggunakan varietas impor walaupun harga bibit lebih mahal. Mereka percaya, ketika panen, untungnya akan lebih besar bila menggunakan bibit impor,” ujarnya.

Ke depan, Supriatin berharap tanaman stroberi bisa menjadi andalan bagi penduduk Lembang atau daerah lain yang mempunyai ketinggian lebih dari 1.000 meter. Bila dikerjakan dengan serius, dia yakin, stroberi bisa memberikan lapangan kerja yang layak bagi banyak orang.

Ia memberi contoh pada masyarakat yang berada di sekitar Vin’s Berry Park. Sekarang, 13 orang sudah menjadi tenaga pembantu sebagai pengelola perkebunan. Tugas mereka tidak hanya melayani pengunjung, tetapi juga belajar cara bercocok tanam yang baik, pelatihan aktivitas luar ruang, hingga belajar pengelolaan pemasaran.

”Saya berharap mereka juga bisa mandiri. Suatu hari nanti mereka diharapkan memajukan Lembang dengan memaksimalkan potensi stroberi. Mereka yang ingin belajar datang saja, saya akan membantu,” kata Supriatin.

Apa yang diharapkan Supriatin rasanya tak berlebihan. Peluang usaha itu kini mulai terlihat hasilnya. Dari Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung, hingga Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, terhampar hijau-merah kebun stroberi. Persis fantasi John Lennon: ”Strawberry fields forever....”

09 Mei 2008

[Petani] Yaimin Tewas Ditembak Aparat Gabungan

Okezone, Rabu, 7 Mei 2008

MADIUN - Seorang warga tewas terkena tembakan peluru aparat gabungan Polhut Perhutani KPH Madiun bersama anggota Polwil Madiun, Selasa (6/5/2008) petang.

Korban tewas diketahui bernama Yaimin (40), warga Desa Wonorejo, Kec Mejayan, Kab Madiun. Dia tewas setelah timah panas menembus punggung tembus hingga perut. Insiden terjadi di kawasan hutan petak 48-56, RPH Wates, BKPH Caruban, KPH Madiun, Desa Wonorejo, Kec Mejayan, Kab Madiun.

Petang itu, petugas gabungan Polhut Perhutani bersama anggota Polwil Madiun melakukan operasi di kawasan hutan. Ketika di lokasi kejadian, petugas mendengar ada sekelompok warga yang diduga menebang kayu secara illegal.

Petugas kemudian memberi peringatan dengan menembakkan dua kali peluru ke atas. Namun, sekelompok warga yang diduga berjumlah lebih dari lima orang diduga melawan dengan cara melempari batu. Situasi itulah yang membuat petugas kemudian menembak ke arah sekelompok orang itu.

Tembakan petugas mengenai Yaimin dan membuatnya ambruk dan tewas di lokasi kejadian. Sedangkan, warga lainnya langsung berhamburan lari menyelamatkan diri. Hingga saat ini, petugas masih mencari orang-orang yang melarikan diri dari lokasi kejadian tersebut. Sementara, jenazah korban langsung dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Soedono, Kota Madiun, untuk dilakukan otopsi.

Wakapolres Madiun, Kompol Hendra Rahman, mengungkapkan, pihaknya masih menyelidiki kejadian penembakan hingga mengakibatkan satu warga tewas tersebut. "Kita masih menyelidiki insiden penembakan ini. Dari dugaan sementara, insiden penembakan ini terjadi karena ada pencurian kayu di kawasan hutan," ujarnya.  (Muhammad Roqib/Sindo/pie)

01 Mei 2008

Pernyataan AGRA: Tarik Segera Pasukan Kepolisian dan Hentikan Kekerasan Kepada Petani!

Pada hari Rabu, 30 April 2008 sekitar pukul 18.00 WIB telah terjadi penyerangan yang dilakukan oleh aparat kepolisan dari Polres Garut sebanyak 2 truk PHH berjumlah 100 orang, 3 mobil kijang berjumlah puluhan polisi, 3 orang anggota TNI AD, serta massa sipil berjumlah sekitar 700 an orang yang dikerahkan yakni : Pemuda Pancasila (PP), GIBAS serta anggota Serikat Buruh Perekebunan (SP BUN) PT. Condong terhadap petani Desa Karangsari kecamatan Pakenjeng Kabupaten Garut. Penyerangan berlangsung saat petani melakukan pendudukan lahan yang selama ini di klaim oleh PT. Condong Garut sejak tahun 1973. Padahal tanah tersebut merupakan tanah SK Redis tahun 1964 dan selama kurun waktu 9 tahun (1964-1973) sudah menjadi lahan garapan dan perkampungan warga Desa Karangsari.

Alasan kedatangan aparat kepolisian dan ormas PP, GIBAS dan massa SP BUN PT. Condong ini menurut Kepolisian Resort Garut karena telah adanya laporan dari pihak PT. Condong kepada aparat kepolisian bahwa terjadi perusakan kantor koperasi dan penyerangan pabrik milik PT. Condong. Padahal warga hanya melakukan pendudukan lahan-lahan yang tidak produktif yakni tanaman sawit yang sudah tua di wilayah yang menjadi klaim masyarakat. Artinya, pihak PT Condong telah melakukan manipulasi atas situasi yang sesungguhnya sebagai alasan dan dasar perusahaan memanggil pihak kepolisian dan ormas-ormas tersebut.

Karena itu, PT Condong telah melakukan provokasi kepada masyarakat tani di Desa Karangsari dengan menghadirkan Kepolisian Resort Garut dan ormas-ormas tersebut. Provokasi perusahaan telah menghasilkan 1 (satu) orang buruh tani bernama Cecep mengalami luka di kepala dan saat ini dirawat oleh mantri kesehatan setempat.

Pada pukul 23.00 sudah terjadi negosiasi antara warga dengan pihak aparat keamanan yang menghasilkan kesepakatan perundingan dengan kepolisian pada 1 Mei 2008. Walaupun demikian, kami menegaskan pihak Kepolisian Resort Garut tidak berhak atas perundingan yang menyangkut sengketa ini karena sudah ada Tim 11 Penyelesaian Sengketa Tanah yang terdiri dari Pemerintahan Kabupaten Garut, BPN Garut, Dinas Perkebunan, Tanaman Pangan dan Holtikultura Kabupaten Garut.

Oleh karena itu, kami menuntutkami dari Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Jawa Barat – Banten. Dengan ini menuntut:

1. Segera tarik pasukan aparat kepolisian dari Polres Garut beserta massa Pemuda Pancasila (PP) GIBAS serta SP-BUN dan segera hentikan segala bentuk kekerasan, intimidasi dan provokasi kepada petani Desa Karangsari Kecamatan Pakenjeng Kab. Garut.

2. Mendesak kepada TIM 11 Penyelesaian Sengketa Tanah Kabupaten Garut untuk segera menyelesaikan sengketa tanah melalui cara-cara terbuka dan demokratis dengan melibatkan langsung petani ke dalam tim tersebut.

Demikian surat ini kami sampaikan agar menjadi perhatian dan segera ditindaklanjuti. Terima kasih.

Bandung, 1 Mei 2008