26 Juni 2008

Insinuasi Kompas: "7.000 Hektar Hutan di Jawa Barat Dijarah - Perlu Pendekatan Holistik yang Libatkan Berbagai Pihak"

KOMPAS/DWI BAYU RADIUS / Kompas Images
Hutan di daerah Langkaplancar, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Kamis (19/6). Hutan yang mulai gundul itu dijaga petugas polisi dalam Operasi Hutan Lestari Lodaya 2008.
Kamis, 26 Juni 2008 | 03:00 WIB

Bandung, Kompas - Kepolisian Daerah Jawa Barat berniat memerangi pembalakan liar di Jawa Barat. Catatan Perhutani menunjukkan, dari 597.647 hektar hutan produksi dan hutan lindung yang mereka kelola, setidaknya 7.000 hektar dirambah dan dijarah oleh masyarakat petani yang tinggal berbatasan dengan hutan.

Tekat itu diungkapkan Kepala Polda Jabar Inspektur Jenderal Susno Duadji dalam acara Curah Pendapat Pembalakan Liar Hutan di Grha Kompas-Gramedia Bandung, Rabu (25/6).

Acara itu dihadiri LSM lingkungan, dinas kehutanan, Perum Perhutani, tokoh masyarakat Jabar, dan akademisi.

Sekretaris Serikat Petani Pasundan (SPP) Agustiana pada 19 Juni lalu melaporkan Polda Jabar ke Komnas Hak Asasi Manusia. Polda Jabar dinilai membuat petani resah dan takut.

Susno mengatakan, Komnas HAM semestinya tidak mengurusi hal tersebut. Tanggung jawab Komnas HAM adalah hal-hal yang terkait dengan pelanggaran HAM berat, seperti genosida dan kejahatan perang.

Polda Jabar akan melanjutkan operasi di sekitar hutan di Ciamis Selatan. Dari operasi itu, Polda Jabar menyita 100 truk kayu gelondongan, alat potong kayu, dan bendera SPP. Susno berharap aparat desa berfungsi kembali. Masyarakat juga semestinya turut mencegah pembalakan liar.

Kepala Unit Jawa Barat-Banten Perum Perhutani Mohammad Komarudin mengatakan, pemberantasan pembalakan liar dan perambahan hutan diupayakan dengan memperkenalkan program pemanfaatan hutan bersama masyarakat.

Pendekatan holistik

Kepala Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda Sobirin Supardiyono mengatakan, pemberantasan pembalakan liar perlu pendekatan holistik yang melibatkan para pemangku kepentingan. Hal itu dapat ditempuh dengan melakukan penegakan hukum dan penyuluhan kepada masyarakat terkait.

Pakar ekologi dari Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, Chay Asdak, berpendapat, selain pendekatan holistik, perlu ada revisi Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif Pendapatan Negara Bukan Pajak yang berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di luar Kegiatan Kehutanan. (MHF/A15)

25 Juni 2008

Brimob Sisakan Satu Kompi di Kawasan Operasi Pembalakan Hutan

CIAMIS, (PRLM) - Sebagian personel anggota Brimob Polda Jabar sudah ditarik dari wilayah Operasi Hutan Lestari Lodaya 2008, yang dipusatkan di kawasan hutan Cigugur dan Harumandala Kec. Cigugur, Kab. Ciamis. Namun demikian, masih ada satu kompi Brimob dan polsus Perhutani lainnya masih disiagakan di kawasan operasi, sampai batas waktu yang belum ditentukan.


"Unlimited. Tidak dibatasi waktu, bisa seminggu lagi, sebulan, bahkan bisa setahun. Jika masih kurang siap untuk menambah personel, kita masih melakukan penyisiran sekaligus tahap pemulihan" kata Ketua Satgas Pemulihan Operasi Hutan Lestari Lodaya 2008, AKBP Supratman, di sela-sela sosialisasi PHBM (Pemanfaatan Hutan Bersama Masyarakat) di Kecamatan Cigugur, Rabu (25/6).

Hingga saat ini, sudah empat orang yang ditangkap dan diminta keterangannya. Selain itu ada delapan orang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Bahkan, tidak menutup kemungkinan jumlah DPO akan bertambah sesuai dengan perkembangan yang saat ini terjadi di lapangan.

Saat ini, tambahnya, masyarakat harus terus diberi motivasi serta kepercayaan tidak perlu takut terhadap kelompok yang selama ini melakukan pembalakan liar. Selain itu masyarakat diminta untuk tetap bersatu, sehingga kelompok terorganisir itu tidak lagi melakukan aktivitasnya. "Masa warga satu kampung, satu desa kalah hanya oleh satu, lima atau 30 orang. Kita beri motivasi tentang daya tangkal masyarakat. Selain itu dibarengi dengan penyuluhan dari Perhutani maupun polisi," katanya searaya menambahkan selama opersai berhasil mengamanakan 105 truk kayu jati dan mahoni.

Dalam kegiatan sosialisasi yang diadakan di Kec. Cigugur diikuti sedikitnya 50 tokoh masyarakat, di antaranya tujuh kepala desa sekitar kawasan hutan Cigugur dan Harumandala, seperti Desa Cigugur, Kertamanadala, Kertaharja, Cempaka, Pagerbumi, Cimindi, dan Bunisari.

Selain Supratman, sosialisasi juga melibatkan Kasi PHBM Perhutani Jabar Isnin Soiban dan Camat Cigugur Irwansyah, Danramil Cigugur Kapten Inf. Erick Ruswana. Secara umum, mereka menegaskan bahwa masyarakat tidak lagi perlu takut terhadap kelompok terorganisir yang ikut berperan dalam pembalakan liar di kawasan tersebut.(A-101/A-37)***

Agustiana Bentuk Laskar Penyelamat Hutan

GARUT, (PRLM) - Sekjen Serikat Petani Pasundan (SPP), Agustiana menyatakan, dalam waktu satu minggu ini pihaknya tengah mempersiapkan pembentukan laskar penyelamat hutan dan lingkungan. Laskar yang akan dipimpin komando Ai Sumarni itu akan melibatkan 6.000 massa dari tiga kabupaten, yakni Garut, Tasik, dan Ciamis.

Dibentuknya laskar sebagai upaya membantu menyelamatkan hutan dari para penjarah kayu, sekaligus membongkar siapa sebenarnya aktor di balik para pelaku perambahan hutan. Selama ini dalam melakukan aksinya seringkali mengambinghitamkan, atau menudingkan terhadap anggota Serikat Petani Pasundan (SPP).

"Itu memang terbukti dari kasus kemarin dimana dalam aksi pengrusakan hutan seolah-olah saya dan anggota SPP yang berbuat. Padahal, kenyataannya kami hanya dikambinghitamkan oleh para penjarah kayu. Itu sebabnya, setelah Selasa (24/6) pukul 19.00 malam saya dinyatakan bebas dari tuduhan pelaku illegal loging oleh Kapolda Jawa Barat. Saya berpikir, agar kasus serupa atau tuduhan pencurian kayu tidak lagi dilemparkan pada kami," tutur Agustiana, Rabu (25/6).

Ia katakan itu, saat menggelar acara syukuran bersama sejumlah anggota SPP dari sejumlah daerah di Kabupaten Garut, yang dilangsungkan di sekretariat SPP, Jln. Samarang Tarogong Kidul, Garut. Selain membentuk laskar, SPP juga telah mengagendakan untuk melakukan reboisasi secara besar-besaran, sekaligus memberikan tantangan kepada mereka yang mengatasnamakan para pencinta alam atau pencinta lingkungan.

Berbeda dengan reboisasi yang biasa dilakukan sejumlah lembaga lainnya, dalam pelaksanaannya nanti SPP akan menanam sejumlah pepohonan seperti kopi, coklat, beringin dan sejumlah pepohonan lainnya yang tidak akan bisa ditebang. Itu untuk menghindari atau memancing terjadinya kembali aksi penebangan kayu di hutan. (A-14/E-21A-37)***

Brimob Sisakan Satu Kompi di Kawasan Operasi Pembal;akan Hutan

CIAMIS, (PRLM) - Sebagian personel anggota Brimob Polda Jabar sudah ditarik dari wilayah Operasi Hutan Lestari Lodaya 2008, yang dipusatkan di kawasan hutan Cigugur dan Harumandala Kec. Cigugur, Kab. Ciamis. Namun demikian, masih ada satu kompi Brimob dan polsus Perhutani lainnya masih disiagakan di kawasan operasi, sampai batas waktu yang belum ditentukan.


"Unlimited. Tidak dibatasi waktu, bisa seminggu lagi, sebulan, bahkan bisa setahun. Jika masih kurang siap untuk menambah personel, kita masih melakukan penyisiran sekaligus tahap pemulihan" kata Ketua Satgas Pemulihan Operasi Hutan Lestari Lodaya 2008, AKBP Supratman, di sela-sela sosialisasi PHBM (Pemanfaatan Hutan Bersama Masyarakat) di Kecamatan Cigugur, Rabu (25/6).

Hingga saat ini, sudah empat orang yang ditangkap dan diminta keterangannya. Selain itu ada delapan orang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Bahkan, tidak menutup kemungkinan jumlah DPO akan bertambah sesuai dengan perkembangan yang saat ini terjadi di lapangan.

Saat ini, tambahnya, masyarakat harus terus diberi motivasi serta kepercayaan tidak perlu takut terhadap kelompok yang selama ini melakukan pembalakan liar. Selain itu masyarakat diminta untuk tetap bersatu, sehingga kelompok terorganisir itu tidak lagi melakukan aktivitasnya. "Masa warga satu kampung, satu desa kalah hanya oleh satu, lima atau 30 orang. Kita beri motivasi tentang daya tangkal masyarakat. Selain itu dibarengi dengan penyuluhan dari Perhutani maupun polisi," katanya searaya menambahkan selama opersai berhasil mengamanakan 105 truk kayu jati dan mahoni.

Dalam kegiatan sosialisasi yang diadakan di Kec. Cigugur diikuti sedikitnya 50 tokoh masyarakat, di antaranya tujuh kepala desa sekitar kawasan hutan Cigugur dan Harumandala, seperti Desa Cigugur, Kertamanadala, Kertaharja, Cempaka, Pagerbumi, Cimindi, dan Bunisari.

Selain Supratman, sosialisasi juga melibatkan Kasi PHBM Perhutani Jabar Isnin Soiban dan Camat Cigugur Irwansyah, Danramil Cigugur Kapten Inf. Erick Ruswana. Secara umum, mereka menegaskan bahwa masyarakat tidak lagi perlu takut terhadap kelompok terorganisir yang ikut berperan dalam pembalakan liar di kawasan tersebut.(A-101/A-37)***

24 Juni 2008

Ribuan Petani Desak Polisi Periksa Perhutani -- Kasus Pembalakan Liar di Jawa Barat

Selasa, 24 Juni 2008

TEMPO Interaktif, BANDUNG
:Seribuan petani dan perempuan yang tergabung dalam Aliansi Perempuan Indonesia hari ini berunjuk rasa di di depan Gedung Sate, Bandung. Mereka menuntut pemerintah dan polisi, mengusut tuntas pembalakan liar di Jawa Barat. Terutama dengan memeriksa oknum Perhutani. " Pengelolaan hutan yang dilakukan Perum Perhutani banyak kejanggalan" kata Erni Kartono, Koordinator unjuk rasa.

Para warga asal Ciamis, Garut, Tasikmalaya, Subang dan Sumedang yang mayoritas perempuan ini mengelar aksinya dengan duduk-duduk di depan pintu gerbang bagian barat Gedung Sate. Mereka duduk meriung, di depan peralatan soundsystem, tempat beberapa rekannya berorasi.

Menurut Erni, mereka berunjuk rasa karena petani di sekitar hutan takut dituduh pembalak liar. Mereka menuduh Perhutani itu sebenarnya adalah dalang dari pembalakan liar yang sebenarnya. " Tapi Perhutani malah memfitnah masyarakat" ujarnya.

Erni mengatakan, Perhutani sebenarnya hanya diberikan hak pengelolaan hutan atas tanahnya. Ini tak bisa diartikan, Perhutani menguasai atau mendapatkan tanahnya. "Kenapa mereka berani menjual, menukar dan menyewakan ke pihak lain? " katanya berorasi.

Bahkan, kata Erni, beberapa kawasan hutan juga dieksplorasi untuk tambang dalianse seperti di Gunung Guntur, Cipanas, Garut. Karenanya, mereka minta polisi dan pemerintah mengusut tuntas pencurian kayu. Terutama di kawasan hutan lindung Cigugur, Ciamis, Gunung Gelap, kabupaten Garut, dan Cikelet, Garut.

Selain itu, di desa Tanjung Karang dan Ngantang, kecamatan Cigalontang Tasikmalaya.

Mereka menyatakan, apabila Polda tidak segera mengusut kerusakan di kawasan itu, mereka akan melapor ke Mabes Polri dan KPK.

Erick Priberkah Hadi

23 Juni 2008

Agustiana Akhirnya ke Polda Jawa Barat

Kasus Pembalakan Liar di Jawa Barat

Senin, 23 Juni 2008

TEMPO Interaktif, BANDUNG
: Aktivis yang juga Sekretaris Jenderal (Sekjen) Serikat Petani Pasundan Agustiana Senin (23/6) petang akhirnya datang ke Markas Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Barat. Meski begitu, kedatangan Agustiana tidak untuk menyerahkan diri. "Dia sudah datang dan memberikan keterangan pada penyidik, " kata Kapolda Jawa Barat Inspektur Jenderal Susno Duadji di Bandung, Senin (23/6) petang.

Menurut Susno, Agustiana datang ke Mapolda Jabar untuk mengklarifikasi terkait statusnya yang dinyatakan sebagai DPO (daftar pencarian orang) oleh Polda Jabar. Sejauh ini, Polisi tidak menetapkan ia buron. "Beberapa waktu lalu saya menghimbau dia. Dia sendiri yang merasa buron dan sudah menjelaskan duduk persoalannya,"ujarnya.

Termasuk, kemungkinan ada oknum instansi tertentu yang melakukan pembalakan liar. Juga anggota petugas keamanan lainnya. Sejauh ini, Susno mengaku telah meminta timnya mengecek, adakah yang terlibat. "Jika ada, siapapun yang mencampuri kedaulatan hukum, kami libas semuanya" ujarnya.

Susno mengaku tak gentar dan akan terus mengusut kejahatan pembalakan liar di Ciamis Jawa Barat. Menurut dia,apa yang dilakukannya semata mengembalikan kedaulatan Negara. "Jika kemarin di kawasan sekian ribu hektar itu, petugas perhutani, kepala desa dan camat pun di sweefing. Itu kedaulatan siapa? Ini tidak bisa dibenarkan.,"ujarnya seraya menyatakan, tugas aparatnya di kawasan itu, menegakkan hukum dan kedaulatan negara.

Seperti diketahui, pekan lalu, Agustiana masuk dalam DPO Polda Jawa Barat karena diduga terlibat pembalakan liar di sejumlah hutan di kawasan Cigugur, Ciamis, Jawa Barat. Ini adalah hasil operasi berbagai satuan dari Polda Jawa Barat ke ke hutan Cigugur Kab. Ciamis. Tim yang terdiri dari Satuan Brimob, Reserse, dan Intelkam itu diharapkan mengungkap kasus pembalakan dan menangkap pelakunya.

Alwan Ridha Ramdhani

Kasus Pembalakan Liar Di Ciamis: Agustiana akan Datang ke Polda Jawa Barat Senin

Sabtu, 21 Juni 2008

TEMPO Interaktif, Bandung
:Sekretaris Jenderal Serikat Petani Pasundan Agustiana, dikabarkan akan mendatangi Markas Polda Jawa Barat Senin besok. "Rencananya Kang Agus (Agustiana) akan ke Polda hari Senin," kata Ai Nanan Handayani, aktivis Serikat Petani Pasundan Desa Pasawahan Kabupaten Ciamis.

Menurut Ai, kedatangan Agustiana untuk mengklarifikasi tuduhan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat Inspektur Susno Duadji. Sebelumnya, Susno mengatakan Agustiana terlibat dalam pembalakan liar di hutan Cigugur, Ciamis, Jawa Barat. Dia diminta menyerahkan diri ke kantor polisi. Rencananya Agus akan didampingi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.

Sejak Sabtu lalu, Polda Jawa Barat menggelar operasi ke area Hutan Cigugur. Operasi itu untuk memburu pelaku pembalakan yang marak terjadi di kawasan tersebut. Sedikitnya 650 personel Brigade Mobil, reserse, intel, dan petugas Perhutani dilibatkan dalam operasi.

Hingga Sabtu sore, Agustiana sendiri tidak dapat dimintai konfirmasi. Saat dihubungi, telepon selularnya selalu dalam kondisi tidak aktif. Begitu pula dengan rekan-rekannya aktivis Serikat Petani Pasundan. "Kawan-kawan memang sedang sulit dihubungi karena sedang melakukan konsolidasi di lapangan," kata Ai.

Rana Akbari Fitriawan

Komnas HAM Klaim Temukan Pelanggaran HAM di Cigugur

Senin, 23 Juni 2008

TEMPO Interaktif, BANDUNG
:Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menemukan indikasi pelanggaran hak asasi manusia dalam operasi anti pembalakan liar oleh Kepolisian Daerah Jawa Barat di kawasan hutan Cigugur, Ciamis, Jawa Barat.

Menurut anggota Sub Komisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Johny Nelson Simanjuntak, pelanggaran itu diantaranya banyaknya warga biasa sekitar hutan yang hingga kini terpaksa mengungsi karena takut ditangkap polisi. "Mereka takut dianggap pembalak liar oleh polisi,"kata Johny saat dihubungi di Bandung Senin (23/6).


Menurut Johny, operasi anti pembalakan dengan mengerahkan ratusan aparat bersenjata adalah berlebihan. "Seperti mau perang saja,"katanya. Akibatnya, kata dia, alih-alih efektif menangkap para pembalak liar sesungguhnya, operasi itu malah mengancam rasa aman warga sekitar hutan.

Minggu (22/6), Johny mengunjungi pemukiman warga di sekitar hutan Cigugur. Kunjungan itu untuk verifikasi laporan warga ke Komnas HAM tentang dugaan pelanggaran hak asasi manusia dalam operasi anti pembalakan liar oleh Kepolisian Daerah Jawa Barat.

Menurut laporan tersebut, dalam operasinya polisi menggeledah rumah warga sekitar hutan untuk mencari kayu gelondongan yang diduga hasil pembalakan liar. Polisi langsung melakukan penyitaan bila menemukan kayu gelondongan di rumah warga. Alasannya, kayu tersebut diduga sebagai hasil pembalakan liar. "Akibatnya banyak warga ketakutan dan kemudian meninggalkan rumah dan
dusunnya," katanya.

Polda Jawa Barat menggelar operasi hutan lestari atau anti pembalakan liar di Cigugur, Ciamis, Jawa Barat sepekan terakhir. Dalam operasi itu, ditemukan sekitar 130 meter kubik kayu.

Johny menambahkan dalam waktu dekat pihaknya akan mengeluarkan opini terkait kasus Cigugur. "Sebelum mengeluarkan opini terlebih dahulu kami akan menemui markas Polda Jawa Barat untuk meminta penjelasan," kata Johny yang saat dihubungi sudah kembali ke Jakarta.

Erick P Hardi

Komnas HAM Temukan Pelanggaran

CIAMIS, (PRLM).- Komnas HAM menemukan indikasi adanya pelanggaran HAM dalam Operasi Hutan Lestari Lodaya 2008 di kawasan hutan Cigugur dan Harumandala, Kab. Ciamis, yang dilakukan oleh aparat. Indikasi tersebut di antaranya telah menimbulkan rasa ketakutan masyarakat.

Sub Komisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Johny Nelson Simanjuntak, mengungkapkan hal tersebut kepada wartawan, Senin (23/6). Dia mengatakan itu setelah sehari sebelumnya melakukan investigasi lapangan.

Dia menilai digelarnya pasukan yang jumlahnya mencapai 600 personel Brimob, merupakan tindakan yang di luar batas kewajaran. Sebab, lokasi atau sasarannya tidak sedang dikuasai oleh masyarakat sipil bersenjata atau pemberontak.

"Tidak harus berlebihan, pengerahan pasukan besar-besaran itu tidak normal. Wilayah tersebut kan tidak sedang dikuasai sipil bersenjata, itu wilayah damai. Misalkan operasi cukup 10 orang atau satu kompi saja," tuturnya.

Investigasi yang dilakukan Komnas HAM berlangsung pada Minggu (22/6) malam. Dia mengungkapkan berdasarkan kesimpulan dari lapangan, selama berlangsungnya operasi ada indikasi terjadinya pelanggaran HAM. Misalnya telah memunculkan perasaan takut masyarakat sekitar hutan. Selain itu tindakan aparat yang memasuki rumah dengan cara membongkar dan mengacak-acaknya, juga merupakan kesalahan.

"Bahkan kita juga menerima keterangan adanya beberapa ekor ayam dan beras hilang. Ini adalah tindakan yang tidak sesuai hukum. Termasuk ada warung yang isinya juga sudah hilang. Ini tidak bisa dibenarkan. Saya kira tindakan itu tidak diketahui oleh komandan, tetapi itulah yang terjadi di lapangan," tuturnya.

Bahkan Johny juga mengungkapkan sampai saat ini masih ada sekitar 40 kepala keluarga yang belum pulang ke rumah. Demikian pula anak-anak murid juga belum masuk sekolah. "Keberadaan mereka belum diketahui. Dan anak yang tidak sekolah juga merupakan pelanggaran. Itu harus menjadi perhatian dari Polda," katanya menegaskan.

Berbeda dengan temuan yang dilakukan Komnas HAM, Forum Penyelamat Lingkungan Hidup (FPLP) Jawa Barat yang telah melakukan investigasi sejak tanggal 28 April 2008, tidak menemukan adanya pelanggaran HAM dalam operasi tersebut. Bahkan masyarakat sekitar juga sepenuhnya mendukung langkah tegas Polda Jabar dalam memerangi pembalakan liar (illegal logging).

"Soal pada awalnya adanya ketakutan itu masih dalam batas sangat wajar dan manusiawi. Namun hanya berlangsung dua hari, selanjutnya masyarakat justru mendukung operasi. Mereka juga menyatakan terimakasih dengan operasi tersebut. Bahkan banyak ibu-ibu yang ikut memasak untuk mereka," tuturnya.

Anak-anak sekolah, lanjutnya, memasuki hari ketiga operasi juga sudah bermain di lapangan Jayasari Desa Langkaplancar tempat didirikannya tenda komando operasi. Lokasi tersebut berada di perbatasan dengan kawasan hutan Harumandala dan Cigugur. "Mereka juga akrab dengan polisi, bahkan juga bermain di sekitar truk polisi. Jadi kalau takut pada awalnya, itu sangat wajar," katanya.

Poppy mengatakan, tindakan tegas yang dilakukan Kapolda Jabar Irjen Pol Susno Duadji harus mendapat dukungan dari semua pihak. "Kejadian pembalakan liar itu kan sudah berlangsung bertahun-tahun, namun baru kali ini ada gebrakan tegas. Ini yang harus kita dukung," tuturnya.(A-101)

PPM Mengutuk Pembalakan Liar

GARUT, (PRLM).- Patriot Panca Marga (PPM) Kabupaten Garut menyatakan perang terhadap pelaku perusakan hutan atau pembalakan liar di wilayah Priangan Timur, yang telah terjadi di Tasik, Garut, dan Ciamis. Demikian siaran pers (press release) yang ditandatangani Ketua PPM Garut, Ridwan Yohanes dan Sekretaris, Rizal Gustira, Senin (23/6).

Menurut Ridwan, gejala alam yang sekarang mulai dirasakan berupa perubahan iklim global, merupakan salah satu dari dampak hancurnya ekosistem, termasuk hancurnya hutan lindung.

Menurut Ridwan, PPM Kab. Garut mengutuk keras penghancuran hutan lindung tersebut. Pihaknya tidak akan membiarkan peristiwa itu berlanjut.

PPM juga meminta kepada seluruh dinas dan aparat terkait untuk benar-benar menjaga dan melindungi hutan lindung, sesuai dengan tugas dan kewajibannya masing-masing. (A-14/A-147)***

22 Juni 2008

Kapolda Siap Hadapi Praperadilan Serikat Petani Pasundan

www.klik-galamedia.com, Minggu, 22 Juni 2008

Polda Jabar - Pembalakan, perusakan, dan pembabatan hutan tidak hanya merugikan masyarakat sekitar hutan, tetapi juga merugikan negara. Untuk Wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Ciamis saja selama 2008, kerusakan hutan mencapai 900 hektare dengan nilai kerugian, khususnya dari kerugian kayunya di atas Rp 10 miliar.

“Nilai kerugian dari sisi kayu di Ciamis saja total di atas Rp 10 miliar. Belum lagi kerugian akibat pembalakan dan perusakan hutan yang terjadi di Garut dan Tasikmalaya,” ungkap Kepala Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten, Mohamad Komarudin, Jumat (20/6), terkait Operasi Lodaya Hutan Lestari bekerja sama dengan Perum Perhutani yang telah berlangsung lima hari.

Dikatakan Komarudin, kayu yang sudah ditebang dan diolah menjadi kayu gelondongan dan sebagian siap pakai terutama dari jenis jati dan mahoni sebanyak 2.000 m3 senilai Rp 5,4 miliar, jika dihitung dengan harga jual sekarang.

Para pelaku yang disinyalir terorganisasi dengan menamai dirinya sebagai Serikat Petani Pasundan (SPP) tersebut, lanjutnya, juga membabat/merusak pohon yang masih di bawah usia tebang di areal hutan milik Perhutani. Perusakan habitat hutan itu, katanya, juga menimbulkan kerugian materi yang tidak sedikit.

“Pembalakan dan perusakan hutan itu akan merusak ekologi lingkungan yang dampak buruknya akan kita rasakan. Karena itu, masalah ekologi ini nomor satu (yang harus diperhatikan, red),” ujar Komarudin.

Siap dipraperadilankan

Sementara itu, Kapolda Jabar, Irjen Pol. Susno Duadji menegaskan, ia siap menghadapi ancaman SPP yang akan mempraperadilankan dirinya terkait penetapan Ketua SPP, Ags, masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) dalam kasus pembalakan liar di sejumlah kawasan hutan di wilayah Priangan.

Akan tetapi, Susno juga menegaskan siap menyeret Ags ke penjara jika yang bersangkutan terbukti bersalah dalam kasus pembalakan liar tersebut. Karena itu, Susno meminta Ags segera menyerahkan diri ke Polda Jabar agar bisa segera diperiksa.

Hal itu ditandaskan Susno kepada wartawan usai membuka kegiatan khitanan massal terhadap 750 anak dari keluarga miskin di Mapolwil Priangan Jln. Jenderal Sudirman Garut, Jumat (20/6).

“Kalau dia tidak bersalah, datang saja ke kantor (Polda Jabar, red). Kapolda tidak menakutkan, kok. Tidak bawa pistol di tangan. Jangan keburu takutlah! Begitu di kantor, dia bisa jadi sahabat, saksi, tersangka…, bisa juga ke penjara,” katanya.

Ketika ditanya mengapa polisi tidak segera menangkap Ags, padahal sudah diketahui keberadaannya di Kantor Komisi Nasional dan Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Jakarta, Susno mengatakan, aparat kepolisian mengerti hukum dan Komnas HAM adalah tempat orang berlindung. Sehingga, polisi tidak bisa seenaknya menangkap orang di tempat tersebut.

“Komnas HAM itu ‘kan tempat orang berlindung. Kita tidak boleh menangkap orang sembarangan. Nanti dikira kita tidak mengerti hukum. Yang jelas dan paling substantif, kita akan memeriksa dia terkait kasus pembalakan liar. Hanya, dia sudah takut dengan bayang-bayang daftar pencarian orang (DPO). Siapa yang mau nangkap dia?” tegasnya.

Ihwal ancaman SPP yang akan mempraperadilankan dirinya karena dinilai menyalahi prosedur dalam memasukkan Ags ke dalam DPO, Susno mengaku siap menghadapinya. Namun, ia menjelaskan bahwa praperadilan itu ditujukan untuk kasus salah tangkap, salah tahan, atau penghentian penyidikan. Sedangkan menyangkut Ags sendiri, kata Susno, pihaknya tetap berpijak pada undang-undang sehingga tidak perlu ada pemanggilan pertama, kedua, atau ketiga. (B.35/B.117)**
(sumber:www.klik-galamedia.com)

21 Juni 2008

Gubernur Tinjau Operasi Hutan Lestari

CIAMIS, (PRLM).-Gubernur Jabar, H. Ahmad Heryawan, Kapolda Jabar, Irjen.Pol. Susno Duadji, Plt. Dirut Perhutani, Upik Rosalina, Kasdam III Silwangi, Bupati Ciamis, Engkon Komara meninjau lokasi Operasi Hutan Lestari Lodaya 2008, di Desa Jayasari Kec. Langkaplancar, Kab. Ciamis, Kamis (19/6). Operasi tersebut, untuk menangani pembalakan liar di hutan Perhutani Cigugur dan Harumandala. (A-101/A-120).***

Harga BBM Naik, Sekeluarga Jadi Pengemis

KEJAKSAN, (PRLM).-Pengemis di Kota Cirebon kian marak. Setiap hari jumlah mereka bertambah. Hampir di setiap ruas jalan bahkan jalur protokol pengemis dari mulai anak-anak hingga jompo berkeliaran bebas. Mereka menghadang seluruh kendaraan meminta-minta uang dari sopir dan penumpang.

Berdasarkan pantauan "MD", Senin (9/6), para pengemis menumpuk di Jl.Cipto, Jl.Pemuda, perempatan Gunung Sari dan pertigaan Krucuk Jl.Siliwangi. Jumlah mereka tidak sebanyak ketika pemerintah belum menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Sejak BBM naik 25 Mei lalu, wajah-wajah baru pengemis bermunculan.

Setidaknya hal itu juga dikuatkan dengan data yang dimiliki jajaran Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Cirebon. Wajah-wajah baru itu diduga kondisi ekonomi mereka terpuruk sebagai dampak naiknya harga BBM.

"Memang, banyak wajah-wajah baru yang bermunculan. Namun, setelah kami sisir mereka sebagian besar datang dari luar Kota Cirebon," ujar Kepala Satpol PP Cirebon Deddy Nuryadi, S.T didampingi Kasi PPNS Joharas Sianturi, S.A.P, kepada wartawan di ruang kerjanya.

Pada hari itu, Satpol PP Cirebon juga melakukan razia dengan sasaran menjaring para pengemis di Cirebon. Karena berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) No.9 tahun 2003 pasal 10 ayat 2 huruf d dan pasal 12 huruf c, ditegaskan larangan mengemis di Kota Cirebon. "Berdasarkan Perda, kami melakukan razia," ungkap Sianturi.

Hasil operasi hari itu, sebanyak 17 pengemis terjaring. Jumlah itu tergolong banyak karena pihaknya baru sekali bergerak.

"Ini baru sekali putaran. Kalau dua kali putaran jumlahnya bisa mencapai puluhan. Banyak wajah-wajah baru yang kami amankan dan mereka kami data setelah itu diberi peringatan. Apabila terjaring lagi kami akan menyerahkannya ke Dinas Pemberdayaan Masyarakat Sosial (DPMS)," tambah dia.

Tarlan (25 tahun), pengemis asal Brebes tertunduk malu. Dia mengaku terpaksa mengemis karena jumlah anaknya delapan orang. Sebagai ayah, dia harus menafkahi isteri dan anak-anaknya.

"Dulu kami berjualan, tetapi selalu rugi apalagi BBM naik semua barang ikut naik. Karena itu terpaksa saya mengemis, terkadang juga menyertakan anak dan isteri. Untuk anak pertama saya sudah besar dia kini berjualan mainan di Brebes," tutur pengemis yang biasa mangkal di Pasar Kalitanjung dan Pasar Pagi Kota Cirebon itu.

Sehari, Tarlan mengaku memperoleh Rp 10.000 hingga Rp 20.000 sekali mengemis. Ditambah penghasilan ngemis anak-anaknya, sehari dia bisa mengantongi uang Rp 30.000.
Putri Tarlan, Wn (8 tahun) yang ditemui "MD" mengaku mengemis untuk membantu ayahnya membiayai uang sekolah ia dan kakak-kakaknya. Gadis yang masih sekolah di kelas tiga SD itu menjelaskan sebelum mengemis dia diangkut mobil yang cukup bagus. "Setelah itu kami diturunkan di tempat-tempat yang banyak orang ," kata Wn polos.

Keterangan Wn itulah yang membuat Satpol PP Cirebon untuk terus mengungkap koordinator pengemis di Kota Cirebon. "Ini yang sedang kami cari, karena ulah koordinator itu membuat Cirebon semakin banyak para pengemisnya. Mereka datang dari luar Kota Cirebon," ungkapnya. (C-18/A-50)***

Polda Jabar Agar Adil Dalam Kasus Pencurian Kayu

CIAMIS, (PRLM). - Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) dan Serikat Petani Pasundan (SPP), meminta kepada Polda Jawa Barat agar lebih adil dalam operasi illegal logging di wilayah Ciamis.

Hal itu disampaikan KPA dan SPP, karena melihat adanya indikasi dari aparat kepolisian yang mengkambing hitamkan masyarakat. "Operasi yang dilakukan cenderung mengintimidasi dan menakut-nakuti masyarakat," kata Ibang Lukmanurdin. Deputi Umum SPP.

Menurutnya, dalam kaitan illegal logging pihak Perhutani sepertinya tidak pernah diperiksa polisi. Malahan menurut masyarakat, ada indikasi bahwa pencurian kayu dilakukan oleh oknum Perhutani sendiri.

Sementara itu, Imam Bambang dari KPA mengatakan, masyarakat tak mungkin melakukan pencurian kayu seluas 300 hektare. Pencurian kayu tersebut kemungkinan ada keterlibatan orang Perhutani. "Jika tidak ada keterlibatan, pengangkutan kayu melalui jalan tidak mungkin lolos," katanya.

Berdasarkan data, dari tahun 2003 hingga 2007 yang ditangkap hanya buruh tani saja sementara dari Perhutani sepertinya tidak ada. (A-132/A-140)

Ketua SPP Bantah Tuduhan Polda

Pikiran Rakyat, Kamis, 19 Juni 2008 , 00:14:00

BANDUNG, (PRLM) - Ketua Serikat Petani Pasundan (SPP), Agustiana, membantah tuduhan Kapolda Jabar Irjen Pol. Susno Duadji terhadap dirinya. Ia merasa, Kapolda telah mendiskreditkan dirinya dengan tuduhan iitu. Agustiana juga mengaku tak pernah terlibat dengan praktik illegal logging di Hutan Cigugur Kab. Ciamis. "Saya tidak pernah mengatakan, saya kebal hukum. Mana bisa? Sementara Jaksa hingga Direktur BI saja bisa ditangkap, apalagi saya? Mana mungkin saya kebal hukum?" kata Agustiana, Rabu (18/6).

Ia mengatakan, hingga saat ini belum pernah ada panggilan apapun dari kepolisian terhadap dirinya terkait kasus itu. Ia pun mengaku heran, mengapa dirinya dinyatakan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) Polda Jabar. "Saya bahkan telah mengirimkan surat kepada Kapolda Jabar sebagai bentuk klarifikasi dan pertanggungjawaban secara hukum, beberapa waktu lalu. Saya tak pernah lari, bahkan sejak zaman Orde Baru sekalipun," ucap Agustiana yang mengaku tengah berada di Bandung.

Terkait tuduhan illegal logging yang ditujukan kepadanya, Agustiana meminta agar polisi mengumpulkan data yang komprehensif. Polisi, harap Agustiana, juga tak hanya melihat dari sisi pelapor tapi dari kacamata berbagai pihak. Tindakan SPP selalu didasarkan atas sejumlah data yang mereka punyai. SPP juga, ucap Agustiana, tak pernah menghalang-halangi operasi yang dilakukan polisi maupun perhutani.

Dalam kasus illegal logging di Hutan Cigugur Ciamis, Agustiana menyanggah bahwa tindakan itu dilakukan atas nama SPP, apalagi atas persetujuannya. Menurut dia, sejumlah pembalak di Cigugur bukan anggota SPP, dan dapat dibuktikan dengan tak adanya kartu anggota SPP pada mereka.

"Mereka bukan anggota SPP. Kalau bendera gampang dibuat. Tapi, cek saja apakah ada kartu anggotanya? Kalau terbukti ada, saya akan bertanggung jawab!" kata Agustiana menegaskan. Ia bahkan mencurigai semua ini rekayasa dari Perhutani. Saat ini, Agustiana mengaku tengah berkoordinasi dengan tim pengacaranya serta Komnas HAM. (A-124/A-37)***

Sekjen SPP Akan Menemui Kapolda Jabar

TASIKMALAYA, (PRLM).-Sekjen Serikat Petani Pasundan (SPP) Agustiana mengatakan, paling cepat Senin (23/6) atau Selasa (24/6), akan menemui Kapolda Jabar Irjen Pol. Susno Duadji di Mapolda Jabar di Bandung, untuk untuk membantu dalam penangan kerusakan hutan di Jabar.

"Kedatangan saya nanti ke Polda Jabar, bukan untuk menyerahkan diri, karena saya sampai sekarang belum ada panggilan. Sesuai dengan KUHAP untuk dipanggil juga ada aturan-aturan yang mengatur tentang hak kita, seperti didampingi pengacara dan lainnya," kata Agustiana, Jumat (20/6), menanggapi langkah Kapolda Jabar Irjen Pol Susno Duadji, yang telah menetapkan dia sebagai target operasi (TO) Polda Jabar.

Menurut Agustiana kedatangan ke mapolda untuk mendukung niat baik polda dalam mengamankan lingkungan hidup. Dia ingin menyumbangkan pikiran untuk masalah tersebut.

"Saya akan menyerahkan data kawasan hutan alam dan hutan yang diklaim oleh Perhutani Jabar sebagai hutan produksi dan data kerusakan hutan. Sehingga akan diketahui bahwa hutan yang rusak tersebut produksi atau konservasi. Kalau yang rusak hutan produksi berarti sengaja ditebang," katanya.

Pertimbangannya, kata Agustiana, setelah melihat pelaksanaan operasi pemulihan kawasan hutan secara objektif yang dilakukan oleh Polda Jabar, SPP menilai positif. Makanya, secara resmi dia mendukung sepenuhnya operasi tersebut. Agar operasi tersebut hasilnya maksimal dan tepat sasaran, maka dia akan memberikan masukan sekaligus menyerahkan data secara lengkap. Semua data itu, akan diserahkan sendiri oleh Agustiana ke Kapolda Jabar. (A-97/A-147)***

BPN Kota Tasik Lakukan Reformasi


TASIKMALAYA, (PRLM) -- BPN Kota Tasikmalaya melakukan reformasi untuk kemudahan pelayanan kepada masyarakat melalui fasilitas SMS dan email. Demikian dikatakan Kepala BPN Kota Tasikmalaya, Budi Rachman, SH di Tasikmalaya, Senin (9/6) pagi.

 

Budi Rachman memberikan penjelasan saat menghadiri peresmian kantor BPN Kota Tasikmaya yang baru di komplek perumahan Budi Resik Tasikmalaya.

 

Dikatakannya, dalam waktu dekat BPN Kota Tasik bekerjasama  dengan pemerintah pusat akan melakukan sertifikasi 1.240 bidang tanah milik masyarakat di Kota Tasikmalaya.

 

Biaya sertifikasi ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah, sementara BPN akan melakukan segala upaya untuk memudahkan pelayanan pembuatan sertifikat.

 

Bagi masyarakat yang ingin mengetahui biaya sertifikasi dan status tanah dapat secara mudah mendapatkan informasi lewat alamat email, kotatasik@bpn.co.id atau melalui website, www.kotatasik.com/bpn.

 

BPN Kota Tasik juga akan melakukan pendaftaran terhadfap 100 bidang tanah yang digunakan untuk UKM milik masyarakat.

 

Diharapkan semua kemudahan yang diberikan akan dimanfaatkan masyarakat untuk melengkapi tanah mereka dengan sertifikat. (A-97/A-26).***

Musim Kering Tak Pengaruhi Produksi Padi

CIANJUR, (PRLM).- Kekeringan yang melanda lahan sawah di beberapa lokasi, di prediksi tidak akan mempengaruhi produksi padi Kab. Cianjur tahun 2008 secara keseluruhan. Sebab, umumnya tanaman padi di kab. Cianjur, tidak lama lagi akan memasuki usia panen. Dinas Pertanian Kab. Cianjur menargetkan produksi padi musim tanam 2008 bisa mencapai 90 persen.

"Kemarau tahun ini memang telah menyebabkan lebih dari 1.000 hektare tanaman padi di beberapa daerah Kab. Cianjur mengalami kekeringan ringan dan sedang.

Kondisi seperti itu terselamatkan oleh hujan yang kadang-kadang turun sehingga potensi air tersedia," kata Kasubdin Perlindungan dan Rehabilitasi Tanaman Dinas Pertanian Kab. Cianjur, Tisna Sasmita Minggu (15/6).

Menurutnya di beberapa daerah potensi sumber air yang dekat dengan sawah petani masih ada, sehingga masih memungkinkan dilakukan gilir giring. Kemudian upaya lain menyelamatkan tanaman petani dilakukan pula dengan mengoptimalkan pompa bantuan pemerintah maupun milik petani. (A-116/A-140)

Setiap Tahun 200 Ha Sawah Hilang di Kota Tasik

TASIKMALAYA, (PRLM).- Setiap tahun seluas 200 ha sawah produktif di Kota Tasikmalaya hilang atau beralih fungsi, untuk lokasi bangunan perumahan dan lainnya. Sementara untuk encetak sawah baru, sangat sulit untuk dilakukan. "Sebelumnya luas lahan sawah di Kota Tasikmalaya mencapai 6.422 ha, akhir tahun 2007 menyusut menjadi 6.239 ha. Biasanya, penyusutannya setiap tahun 3%," kata Kepala Dinas Pertanian Kota Tasikmalaya Ir. Cahyan Ilyas Rida, Selasa (17/6) di sela-sela peresemian Forum Gabungan Kelompok Tani di Kota Tasikmalaya, di Desa Ciakar, Kec. Cibeureum, Kota Tasikmalaya.

Akibat keterbatasan lahan pertanian ini, produksi sawah yang ada tidak lagi mencukupi kebutuhan konsumsi warga Kota Tasikmalaya. Setiap tahun kekurangan beras untuk warga Kota Tasikmalaya mencapai 15 ribu ton. "Hasil produksi panen petani kita setiap tahun rata-rata 55 ribu ton, sedangkan kebutuhan konsumsi beras 70 ribu ton/tahun. Makanya, Kota Tasikmalaya kekurangan beras dalam jumlah banyak. Untuk itu, disuplai dari Kab. Tasikmalaya, Kab. Ciamis dan Jateng," katanya.

Upaya yang dilakukan Dinas Pertanian Kota Tasikmalaya untuk meningkatkan produksi beras dengan cara intensifikasi pertanian, karena untuk membuka lahan baru kesulitan. Pola untuk meningkatkan produksi, katanya dengan mengembangkan padi organik. "Target tahun ini, rata-rata produksi diharapkan naik jadi 5,9 ton/ha. Atau naik dari semula rata-rata 5,5 ton/ha," katanya.

Sementara itu, Wali Kota Tasikmalaya Syarif Hidayat mengatakan, sawah dengan pengairan irigasi teknis harus diamankan, agar penyusutan lahan pertanian di Kota Tasikmalaya tidak terlalu cepat. "Izin untuk pemanfaatan sawah produktif untuk industri atau perumahan, harus dibatasi, agar penyusutan lahan tidak tertalu tinggi," ujarnya di sela-sela peresemian Forum Gapoktan Kota Tasikmalaya.

Syarif juga membantah kalau dirinya tidak ada keberpihakan kepada petani di Kota Tasikmalaya. Petani ataupun pembangunan pertanian tidak akan ditinggalkan dalam perencanaan pembangunan Kota Tasikmalaya. Petani Tasikmalaya, harus tetap diberikan porsi yang besar agar memiliki kemandirian dan maju.

"Pada saat ada acara pelantikan KTNA dan HKTI Kota Tasikmalaya, memang saya tidak bisa hadir. Pada waktu itu bersamaan acaranya ke Jakarta. Jadi tidak benar kalau saya tidak peduli ke petani," katanya. Justru dia mendukung serta mendorong agar kelompok tani di Kota Tasikmalaya, untuk lebih maju. "Forum Gapoktan Kota Tasikmalaya yang sekarang diresmikan dibawah kepemimpinan Pak Yuyun Suyud, harus didorong bersama-sama agar maju," katanya. (A-97/A-37)***

Kapolda Jabar Siap Hadapi Praperadilan SPP

Pikiran Rakyat, Jum'at, 20 Juni 2008

GARUT, (PRLM) -  Kapolda Jabar Irjen Pol. Susno Duadji mengatakan, pihaknya siap menghadapi upaya praperadilan yang akan dilayangkan Serikat Petani Pasundan (SPP). Hal itu  berkaitan dengan Sekjen SPP Agustiana yang dimasukan dalam daftar pencarian orang (DPO).

"Kami tidak takut menghadapi upaya praperadilan, karena tidak ada yang perlu ditakuti bila membela kebenaran. Yang ditakuti itu hanya Allah SWT, maka dari itu kita harus menegakkan kebenaran," kata Kapolda Jabar, pada acara khitanan massal di Mapolwil Priangan Jln Jend. Sudirman Kab. Garut, Jum`at (20/6).

Tentang pernyataannya yang tidak melalui proses tahapan pemanggilan terhadap  Agustiana, Irjen Pol Susno Duadji, mengatakan, tidak ada undang-undang tentang tahapan tersebut.  "Untuk itu,  ia (Agustiana, red) agar datang ke Polda untuk diminta keterangan. Soal apakah ia akan ditahan atau tidak, itu urusan nanti. Bisa saja setelah diminta keterangan nanti,   ia statusnya bisa menjadi sahabat, tersangka, atau saksi," katanya.

Menurut Kapolda Jabar, pihaknya tidak mencari keberadaan Agustiana walaupun  mengetahui Agustiana berada di Kantor Komnas HAM. "Ia nggak usah dicari nanti juga ketemu, " katanya. (A-14/A-140)

SPP akan Praperadilankan Polda

GARUT, (PRLM),- Menyusul pernyataan Kapolda Jabar Irjen Polisi Susno Duadji yang menyatakan Sekretaris Jendral (Sekjen) Serikat Petani Pasundan (SPP) Agustiana sebagai orang yang kini berada dalam status daftar pencarian orang (DPO), anggota SPP yang berada di kantor Sekretariat SPP Garut di jalan Samarang Garut langsung menyatakan bantahannya.

Dalam bantahan itu, pihak SPP yang diwakili Yudi Kurnia selaku Deputy III SPP, didampingi Ibang Lukman Nurdin selaku Deputy Umum SPP Garut menyatakan menolak keras dan menyayangkan pernyataan Kapolda yang dengan tergesa-gesa menjatuhkan status DPO kepada Agustiana. Bahkan tidak menutup kemungkinan pihaknya akan segera mempraperadilankan polisi atas tuduhan pencemaran nama baik Sekjen SPP, yang kantornya terbakar beberapa waktu lalu.

Dedi Yudi mengatakan, pernyatan Kapolda Jabar yang terbit di beberapa media cetak Kamis kemarin, terkesan dipaksakan. Sementara menurut Yudi, untuk menentukan seseorang sebagai DPO itu memerlukan proses dan tidak secara tiba-tiba saja menjadi DPO.

Sebelum memberikan status DPO, tutur Yudi, semestinya pihak kepolisian terlebih dahulu  harus memeberikan surat panggilan, baik panggilan kesatu, kedua maupun ketiga. "Dan jika itu tidak berhasil, baru dinyatakan sebagai DPO," tutur Yudi.

Yang sangat disayangkan, lanjut Yudi, Selama ini tidak ada surat panggilan kepada Agustiana, baik ke rumahnya ataupun ke kantornya. Padahal sudah jelas, SPP memiliki kantor sendiri yakni selain di Garut, juga di Ciamis termauk di Bandung sebagai tempat pergerakan.

"Bahkan rumahnya jelas ada, istrinya ada, namun tidak ada seorang pun yang menanyakan baik ke rumahnya maupun ke kantornya," ujar Yudi.

Yudi menambahkan, dua hari lalu, Agustiana  kehilangan dompet yang berisi beberapa dokumen penting yang hilang. Pada saat itu juga, Agustistiana langsung melaporkan kehilangan dompetnya ke polisi (Polsek Tarogong). "Nah Kenapa Agustiana tidak langsung ditangkap polisi saat itu juga jika memang DPO," tuturnya.

Di Garut, lanjut Yudi, Agustiana memiliki pesantren, punya sekolah, serta punya unit usaha ekonomi masyarakat. Dengan demikian, pihaknya tidak bisa memahami  maksud Kapolda yang memberikan status  DPO kepada Agustiana.

"Saya juga tidak ngerti apa maskud Kapolda (dengan status Agusitana sebagai DPO). Saya menyayangakn pernyataan Kapolda yang tergesa-gesa ini. Selama ini, belum  pernah ada polisi yang menanyakan Agustiana, apalagi surat secara resmi. Saya dan  masyarakat SPP juga kaget  mendengar pengumuman Kapolda ini," katanya.

Ketika ditanya wartawan mengenai keberadaan Agustiana saat ini, Yudi mengatakan, Agustiana saat ini sedang berada di kantor Komnas HAM Jakarta.  "Kemarin Agustiana masih ada, namun sekarang sedang ke Komnas HAM.  Dia akan mengadukan pencemaran nama baik ini," terangnya. (A-14/A-147)***

Bupati Engkon Dukung Operasi Hutan Lestari Lodaya (Ciamis)

CIAMIS, (PRLM) - Bupati Ciamis Engkon Komara menyatakan dukungan sepenuhnya atas Operasi Hutan Lestari Lodaya di kawasan Hutan Cigugur dan Harumandala, Kec.Cigugur. Alasannya, karena aparat di daerah sudah kewalahan atas aksi pembalakan liar yang saat ini sudah merambah hutan seluas 600 ha lebih.

"Selama ini di tingkat kabupaten terus terang kewalahan menghadapi kasus pembalakan liar. Untuk itu, kami sangat gembira dengan dijadikannya Ciamis sebagai lokasi operasi. Ini cakupannya besar dan di belakangnya ada siapa," tuturnya, Jumat (20/6)

Berdasarkan investigasi lapangan, ungkapnya, sebagian besar pelaku pembalakan bukan orang Ciamis. Mereka pendatang, seperti dari Tasikmalaya, Garut, bahkan juga dari Jawa Tengah. Pelaku merambah hutan Ciamis, karena di wilayahnya lahan yang dijadikan sasaran sudah habis."Ketika hutan di tempat asalnya gundul atau habis, pelaku merambah hutan lainnya. Jadi pelakunya lebih didominasi orang luar Ciamis. Kita sepenuhnya mendukung gelar operasi itu, " tambah Engkon.

Dikatakan, banyaknya orang yang terlibat dalam aksi pembalakan liar, dia memperkirakan pelakunya sudah terorganisir dengan baik dan kuat. Dengan demikian untuk perlawanannya harus melibatkan kekuatan dalam jumlah besar. "Melihat cara-caranya beroperasi, aksi penebangan liar itu sudah terorganisir dengan baik. Sedangkan masyarakat sekitar hutan yang dijarah justru menjadi korbannya. Karena ketidaktahuannya, mereka dimanfaatkan oleh kelompok tersebut," ujarnya.

Engkon mengatakan, ada oknum Serikat Petani Pasundan (SPP) yang ikut terlibat. Hal itu terbukti dengan banyak ditemukan bendera organisasi itu. Selain di beberapa lahan, juga ditemukan di pos pemantau yang didirikannya. "Kalau ada oknum SPP, atau Perhutani, maupun aparat yang ikut jadi beking, kita minta seluruhnya ditindak tegas. Ini perusakan lingkungan yang sangat berbahaya, dampaknya tidak hanya dirasakan sekarang, tetapi juga ke depan. Jadi sewajarnya jika dijatuhi sanksi tegas," tuturnya menegaskan.

Terkait status Sekjen SPP Agustiana yang menjadi target operasi (TO) Polda Jabar, Engkon menegaskan, persoalan tersebut merupakan otoritas Polda Jabar dan Perhutani. "Polda tentunya memiliki argumen sendiri sehingga menetapkan status itu. Itu bukan kewenangan kita," kata Engkon.

Pemkab Ciamis, tambahnya, juga akan melakukan kerjasama dengan Perhutani pasca operasi hutan lestari. Salah satu hal yang dilakukan pembinaan kepada masyarakat sekitar hutan, selain itu juga melakukan penghijauan melalui gerakan rehabilitasi lahan kritis.
Secara terpisah Kapolres Ciamis AKBP Ares Arief Hidayat meminta agar masyarakat di Cigugur maupun Harumandala dan sekitarnya tidak perlu ketakutan dengan digelarnya Operasi Hutan Lestari Lodaya tersebut. Petugas, tengah memerangi kejahatan yang akibatnya dirasakan oleh warga sekitar. "Saya harapkan masyarakat tetap tenang, dan ikut bahu membahu membantu kelancaran operasi. Selain itu tidak mudah terpancing oleh isu yang menyesatkan. Jadi sekali lagi kami minta masyarakat tetap melaksanakan aktivitas seperti biasa," tuturnya.

Apabila ada oknum atau preman yang mengancam, dia juga menegaskan agar segera dilaporkan kepada yang berwajib. "Kalau ada yang merasa terancam, segera lapor kepada petugas terdekat. Dan sudah menjadi komitmen kita untuk melindungi masyarakat," tuturnya.(A-101/A-37)***


Kesepakatan Pembaharuan Agraria Kian Dekat

Verburg250.jpg
                      Gerda Verburg
Walaupun para menteri pertanian menyambut positif kesepakatan yang dicapai, negara-negara Uni Eropa tetap juga berselisih tentang kebijakan pertanian Eropa. Demikian hasil pertemuan dewan pertanian tidak resmi di Slovenia, yang membahas rencana reformasi sektor pertanian. Tujuannya adalah membangun sektor pertanian yang fleksibel yang bisa menanggapi permintaan dan tawaran pasar dunia.

Sejak dulu, kebijakan pertanian menjadi biang perselisihan Uni Eropa. Juga kali ini ada sejumlah besar masalah, karena setiap negara anggota punya syarat-syaratnya sendiri. Belanda misalnya, yang dalam hal ini didukung Denmark dan Polandia, ingin memproduksi lebih banyak susu. Menteri Pertanian Gerda Verburg:

"Mulai tahun 2015 pagu susu tidak berlaku lagi. Untuk itu, kami harus mempersiapkan diri dengan meningkatkan pagu susu dua hingga tiga persen setiap tahunnya. Komisi Eropa terlalu berhati-hati dengan hanya mengusulkan peningkatan satu persen saja. Tahun-tahun mendatang permintaan pasar Eropa akan naik tujuh hingga delapan milyar kilogram. Menurut saya, petani Eropa harus mampu memproduksinya. Akan sangat aneh apabila kami harus mengimpor susu dari misalnya Selandia Baru."

Menarik dan menantang
Tapi Jerman dan Prancis tidak mendukung usulan ini. Mereka ingin melindungi peternak di pegunungan. Peternak kecil di kawasan Alpen hanya bisa memproduksi susu secara terbatas. Mereka takut menghadapi saingan berat.

Butir rumit besar lainnya adalah mengalihkan bantuan keuangan langsung kepada petani ke kebijakan pertanian. Jadi merawat selokan, kandang-kandang inovatif dan juga menanggapi perubahan iklim. Kendati demikian Marian Fischer Boel, Komisaris Eropa yang bertanggung jawab, menganggap sangat penting mengambil tindakan.

Marian Fischer Boel: "Menarik dan menantang, kalau melihat bahwa sektor pertanian telah menjadi butir utama agenda politik. Kami harus memanfaatkan kesempatan ini supaya sektor pertanian bisa turut menyumbang dalam menghadapi tantangan seperti harga tinggi pangan, perubahan iklim, dan energi sinambung."

Unik
Alasan mengapa sektor pertanian menjadi butir utama agenda politik, adalah karena dunia sedang menghadapi kekurangan pangan dan melonjak naiknya harga pangan. Akibat kekurangan itu, orang merasa reformasi pertanian itu sangat penting. Justru karena itulah, orang percaya kesepakatan tentang usulan reformasi sudah bisa dicapai akhir tahun ini. Namun menteri Gerda Verburg mengakui proses menuju itu tidak akan mudah.

Gerda Verburg: "Itu sangat rumit, karena apa yang dianggap Rumania penting, bagi Inggris mungkin tidak penting. Juga Italia dan Denmark punya rencana-rencana lain untuk petaninya. Itu butuh waktu dan adalah proses sangat rumit. Tapi saya percaya, akhir tahun ini bisa disusun sebuah usulan yang disetujui semua pihak. Selain itu saya juga percaya semua tujuan bisa dicapai. Jadi kami bisa memproduksi untuk pasar dunia dan pada waktu yang sama menjamin iklim, lingkungan dan air."

Banyak menteri dan juga Komisi Eropa sama positif seperti Menteri Verburg. Juga menteri pertanian Prancis, Michel Barnier, yang dalam setengah tahun mendatang menjabat Ketua Uni Eropa, berpendapat akhir tahun ini akan bisa dicapai kesepakatan. Ini sangat unik dalam reformasi sektor pertanian.

Kata Kunci: sektor pertanian, slovenia, Uni Eropa

Petani Beralih ke Pupuk Organik; Banyak Manfaat yang Dirasakan

KOMPAS/KHAERUDIN / Kompas Images
Namora Manalu, petani jeruk di Desa Lobu Tua, Kecamatan Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara, mengaduk campuran kompos untuk pembuatan pupuk organik, Jumat (20/6). Pupuk organik yang dibuat Namora merupakan campuran kompos, ikan busuk, dedak, dan sekam yang dicampur dengan bakteri pengurai. Petani di Sumatera Utara seperti Namora sekarang ini mulai beralih menggunakan pupuk organik akibat menghilangnya pupuk bersubsidi dan mahalnya pupuk kimia nonsubsidi.

Kompaa, Sabtu, 21 Juni 2008

Tapanuli Utara, Kompas - Mahalnya harga pupuk kimia nonsubsidi dan menghilangnya pupuk bersubsidi di beberapa daerah di Sumatera Utara, seperti Serdang Bedagai, Simalungun, Toba Samosir, dan Tapanuli Utara, membuat petani daerah tersebut mulai beralih menggunakan pupuk organik. Mereka mengaku bisa mengurangi pengeluaran.

Pusat Koperasi Kredit Sumatera Utara yang memiliki 280.000 orang telah memprogramkan pelatihan penggunaan pupuk organik.

Menurut Pelaksana Manajer Pusat Koperasi Kredit (Puskopdit) Sumatera Utara (Sumut) Robinson Bakara, hampir 60 persen anggota Puskopdit Sumut adalah petani. Mereka adalah orang yang paling terpukul akibat menghilangnya pupuk bersubsidi. Di sisi lain, pupuk kimia nonsubsidi, lanjut Robinson, selain harganya tak terjangkau petani biasa, juga sulit ditemukan di pasaran.

”Sekarang kami mulai menganjurkan petani untuk menggunakan pupuk organik. Sebanyak 21 koperasi kredit atau credit union di Sumatera Utara, yang tersebar mulai dari Karo, Humbang Hasundutan, Simalungun, hingga Tapanuli Utara, kami jadikan proyek percontohan untuk penggunaan pupuk bersubsidi,” papar Robinson, Jumat (20/6) di Siborongborong, Tapanuli Utara.

Robinson mengatakan, menghilangnya pupuk bersubsidi dan mahalnya harga pupuk nonsubsidi membuat Puskopdit Sumut ikut menanggung akibatnya.

”Petani anggota kami kan mengambil kredit untuk membeli sarana produksi. Mahalnya harga pupuk nonsubsidi dan menghilangnya pupuk bersubsidi dari pasaran membuat mereka tak lagi bisa bertani. Ini membuat petani tak bisa lagi mengembalikan pinjaman ke koperasi,” tuturnya.

Di Siborongborong, pupuk organik mulai digunakan petani jeruk. Netty Sianipar, petani jeruk di Desa Lobu Tua, Kecamatan Siborongborong, Tapanuli Utara, telah satu tahun menggunakan pupuk organik. Menurut Netty, dia mulai menggunakan pupuk organik setelah mendapat pelatihan di Puskopdit Sumut.

Netty yang merupakan anggota Koperasi Kredit Satolop Siborongborong mengaku banyak merasakan manfaatnya setelah menggunakan pupuk organik.

”Manfaat yang jelas saya rasakan adalah ongkos produksi yang berkurang drastis. Jika menggunakan pupuk kimia, saya harus mengeluarkan uang sampai Rp 15 juta untuk mendapatkan 1,5 ton pupuk NPK. Dengan pupuk organik sebanyak 1,5 ton yang memiliki kandungan sama dengan NPK, saya paling harus mengeluarkan Rp 2,4 juta untuk ongkos pembuatannya,” kata Netty.

Dia kini telah mendapatkan manfaat dari sekali panen jeruknya tahun ini. Menurut Netty, panen jeruk biasa dia lakukan dua kali dalam setahun. Dari hasil panen setelah menggunakan pupuk organik, ada peningkatan produksi sekitar 20 persen.

”Kalau dulu dengan pupuk kimia, hasil panen jeruk untuk lahan seluas satu hektar 50 ton. Sekarang dengan pupuk organik, satu hektar bisa menghasilkan 60 ton jeruk,” katanya.

Netty mengungkapkan, perubahan fisik paling mencolok setelah dia menggunakan pupuk organik adalah tekstur tanaman. Saat menggunakan pupuk kimia, setelah pemupukan tekstur tanah mengeras dan dia harus kembali menggemburkan tanah jika mau melakukan pemupukan lagi. Kini, dengan menggunakan pupuk organik, tekstur tanah, lanjut Netty, bisa gembur sendiri.

”Hal ini tentu mengurangi pekerjaan,” katanya.

Pelatihan pemakaian pupuk organik yang dilakukan Puskopdit Sumut, kata Robinson, meliputi cara pembuatan hingga mempersiapkan pemasaran produk pertanian organik. Robinson mengatakan, Puskopdit Sumut masih cukup kesulitan mengubah tradisi petani menggunakan pupuk kimia ke pupuk organik.

”Kesulitannya karena petani sudah sangat tergantung menggunakan pupuk kimia. Belum lagi mereka juga masih khawatir bagaimana memasarkan hasil pertanian organik mereka,” katanya.

Namun, Robinson yakin bakal semakin banyak petani di Sumut yang menggunakan pupuk organik.

”Dua tahun terakhir, pupuk kimia nonsubsidi harganya semakin mahal, sementara pupuk bersubsidi menghilang di pasaran. Satu-satunya cara petani bisa kembali melakukan aktivitasnya ya dengan menggunakan pupuk organik,” ujarnya.

Pupuk organik dibuat dari bahan-bahan organik atau alami. Bahan-bahan yang termasuk pupuk organik, antara lain, adalah pupuk kandang, kompos, gambut, rumput laut, dan guano.

Berdasarkan bentuknya, pupuk organik dapat dikelompokkan menjadi pupuk organik padat dan pupuk organik cair. Beberapa orang juga mengelompokkan pupuk-pupuk yang ditambang, seperti dolomit, fosfat alam, kiserit, dan juga abu, ke dalam golongan pupuk organik.

Beberapa pupuk organik yang diolah dipabrik, misalnya, adalah tepung darah, tepung tulang, dan tepung ikan.

Pupuk organik cair, antara lain, adalah ekstrak tumbuh-tumbuhan, cairan fermentasi limbah cair peternakan, dan fermentasi tumbuh-tumbuhan. Pupuk organik memiliki kandungan hara yang lengkap. (BIL)

Memerangi Kelaparan

Kompas, Sabtu, 21 Juni 2008

IVAN A HADAR

World Food Programme atau WFP belum lama ini menyatakan, ”Akibat melejitnya harga pangan dunia, sekitar 100 juta orang bakal kelaparan.”

Badan PBB ini menyebut kondisi saat ini sebagai the silent tsunami, petaka yang melanda diam-diam (WFP, 22/4/2008).

Oxfam, sebuah LSM dari Inggris, memperkirakan setidaknya 290 juta orang terancam kelaparan akibat krisis pangan. Setelah kenaikan harga BBM dan melonjaknya harga kebutuhan pokok, kita patut cemas, hal itu akan menjadi kecenderungan di negeri ini (Kompas, 7/6/2008).

Tajuk Kompas (7/6/2008) menulis, berapa pun jumlahnya dan di mana pun mereka berada, kelaparan adalah tragedi kemanusiaan yang harus diatasi bersama. Ironisnya, sebagian dari mereka yang (terancam) kelaparan adalah petani. Perwakilan petani kecil dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pangan di Roma, baru-baru ini, menyatakan muak terhadap kesimpulan pertemuan puncak itu yang sama sekali tidak menyuarakan kepentingan mereka. Padahal, berdasar temuan banyak studi, ketahanan pangan sebagian besar bertumpu pada produksi pertanian kecil multifungsi (Roman Herre, 2008).

Temuan ini berbeda dengan konsep lembaga multilateral, macam Bank Dunia atau Global Donor Platform on Rural Development, yang lebih memprioritaskan agroindustri berorientasi pasar dunia dan menjadi penyuplai jaringan supermarket global.

Konsep yang mengusung argumentasi produktivitas dan kuantitas ini sedang merancang ”Revolusi Hijau” bagi Afrika, dengan mempromosikan bibit hibrida yang telah dipatenkan dan memanfaatkan tanaman yang telah dimanipulasi secara genetik dalam pertanian industrial dan monokultural. Semua itu membutuhkan irigasi, pupuk, dan pestisida yang tak terjangkau petani kecil, buruh tani, komunitas adat, dan organisasi perempuan.

Pertanian kecil multifungsi memang tidak hanya berdasar kalkulasi ekonomi, tetapi lebih pada ketahanan pangan lokal dan nasional, bertambahnya lapangan pekerjaan dan merupakan bagian integral budaya serta sistem pengetahuan pedesaan. Meski sering dituding mempromosikan romantisme small is beautiful, berbagai studi menunjukkan, lokasi yang pas, cara berproduksi ramah lingkungan, dan pertanian skala kecil ternyata amat produktif. Sebaliknya, sistem monokultur dan industrialisasi pertanian adalah penyebab utama punahnya banyak jenis tanaman.

Di Filipina sebelum Revolusi Hijau, misalnya, ada sekitar 3.000 jenis padi. Kini, 98 persen lahan pertanian negeri itu hanya ditanami dua jenis padi, juga di Indonesia. Menurut perkiraan, sepanjang abad ke-20, sekitar 75 persen tanaman berguna, termasuk tanam pangan, telah punah. Padahal, keragaman adalah prinsip keberlangsungan alam sebagai persyaratan utama penyesuaian terhadap perubahan kondisi lingkungan. Ketika iklim gonjang-ganjing yang berdampak pada pertanian, kemampuan itu menjadi sebuah keharusan.

Isu mendesak adalah akses terhadap lahan. Menurut lembaga PBB Hunger Task Force, penyebab utama kelaparan adalah ketimpangan ekstrem distribusi lahan. Penggusuran dan pada sisi lain konsentrasi berlebihan kepemilikan lahan memarjinalkan dan memblokir pembangunan pedesaan. Pendekatan berorientasi teknologi dan pasar tidak menyelesaikan, bahkan mempertajam masalah. Untuk membeli bibit, pupuk, dan pestisida, petani gurem sering harus berutang. Saat semua tidak terbeli, mereka akan kehilangan lahan.

Pengalaman mancanegara mengajarkan, aksesibilitas atas tanah merupakan persyaratan terpenting pembangunan pertanian dan pedesaan (Brandt/Otzen, 2002). Karena itu, reformasi agraria menjadi sebuah keharusan. Aksesibilitas atas tanah (landreform) adalah ”bahasa” ekonomi-politik baru, di mana salah satu kata kuncinya adalah property rights. Penggunaan istilah aksesibilitas mengingatkan kita kepada Amartya Sen dan asumsinya tentang entitlement, yaitu tak seorang pun harus lapar karena di dunia ini tersedia cukup makanan. Mereka yang lapar hanya karena tidak memiliki akses (untuk memproduksi) makanan.

Di India, sejak tahun 1950-an, beberapa negara bagian melakukan reformasi pemanfaatan lahan, tanpa perubahan status menjadi pemilikan, tetapi dengan memperkuat posisi penyewa serta menghapus institusi makelar. Lewat reformasi soft ini, tercatat penurunan kemiskinan yang signifikan lewat peningkatan pendapatan per kapita orang miskin (Besley/Burges, 2000).

Landreform yang kurang begitu berhasil terjadi di Amerika Selatan dan terakhir di Filipina disebabkan oleh keterbatasan dana, birokrasi yang njlimet, dan korup serta resistensi politis para tuan tanah. Meski demikian, jawaban atas kelemahan reformasi agraria oleh negara, demikian La Via Campesina, bukan liberalisasi, melainkan memperbaiki dan memperkuat peran negara. Reformasi agraria adalah kewajiban penegakan hak asasi manusia (HAM) oleh negara, yaitu hak atas makanan.

Pemerintah berkewajiban atas pemenuhan hak asasi paling mendasar ini dengan memberi akses lahan, bibit, air, dan sumber-sumber produktif lainnya agar mereka bisa menyediakan sendiri makanannya, demikian Sofia Monsalve, koordinator kampanye internasional reformasi agraria ”Bread, Land and Freedom”, yang didukung La Via Campesina. Tanpa itu, kita akan memanen apa yang sudah menjadi kenyataan di beberapa negara, yaitu kerusuhan yang dipicu kelaparan.

IVAN A HADAR Koordinator Nasional Target MDGs (Bappenas/UNDP); Pendapat Pribadi

"Cultuurstelsel" Baru

Kompas, Sabtu, 21 Juni 2008

Sri-Edi Swasono

Inti demokrasi adalah partisipasi dan emansipasi. Dalam ”demokrasi ekonomi” berlaku tuntutan ”partisipasi ekonomi” dan ”emansipasi ekonomi”.

Pendekatan participatory development yang dikembangkan di Barat hanya separuh keutuhan. Saya sampaikan kepada tokohnya (Joseph Eaton, 1986), untuk negara-negara bekas jajahan, seperti Indonesia, diperlukan pendekatan partisipatori sekaligus emansipatori. Emansipasi jangan taken for granted, dianggap otomatis berlaku seperti di Barat. Kritik diterima.

Di Indonesia masih berlaku hubungan ekonomi ”tuan-hamba” atau ”majikan-kuli” yang tidak emansipatori. Partisipasi hanya berlaku dalam memikul beban. Contoh nyata adalah tanam paksa (cul- tuurstelsel) ciptaan Gubernur Jenderal Van den Bosch, yang berlaku di Hindia Belanda setelah berakhirnya Perang Diponegoro. Aneka tanaman ekspor ”dipaksakan” ditanam di seperlima hingga dua perlima tanah terbaik milik petani dan diberlakukan tahun 1830 sampai 1866 (untuk gula sampai 1890, kopi sampai 1916).

Dalam hubungan ekonomi ”tuan-hamba” ini, penjajah Belanda adalah tuan yang menyubordinasi rakyat terjajah sebagai hamba. Di situ tidak berlaku asas kebersamaan. Yang berlaku adalah partisipasi tanpa emansipasi. Partisipasi yang ada pun bersifat eksploitasi, penuh kekejaman.

Desain strategi budaya ekonomi

Sejak lama ahli-ahli pembangunan berupaya memajukan kelompok lemah yang senantiasa tertinggal dan tidak ”terbawa serta” (katut) dalam kemajuan pembangunan, seperti petani dan nelayan. Mereka memeras keringat, namun orang lain yang menikmati nilai tambah ekonomi.

Bermacam-macam pendekatan dan model pengembangan bagi si lemah disusun. Salah satunya adalah nucleus estates and smallholders (NES) sejak tahun 1960-an. Para petani tertinggal didorong agar tidak hanya memperoleh nilai tambah primer, tetapi juga mengolah hasil usahanya untuk meraih nilai tambah ekstra, masuk ke pengolahan, dan menjangkau jenjang proses produksi selanjutnya. Para petani singkong, misalnya, dapat mendirikan pabrik tapioka. Maka terbentuklah model NES, pabrik tapioka menjadi usaha inti (nucleus) yang dimiliki petani (koperasi) singkong sebagai plasma (smallholders).

Strategi budaya ekonomi perlu didesain agar plasma nelayan memiliki pabrik inti pengalengan ikan. Plasma petani kopra memiliki pabrik inti minyak goreng. Plasma peternak sutra memiliki pabrik inti pemintalan benang sutra, bahkan lebih lanjut. Demikian pula agar para pedagang pasar menjadi inti pemilik pasar, jadi pasar bukan dijadikan milik pengembang.

Dalam model NES, si lemah menjadi partisipan aktif pembangunan yang mandiri, lalu teremansipasi. Namun setelah NES berganti nama menjadi perkebunan inti rakyat (PIR), paham emansipasinya terhapus dan partisipasinya pun penuh ketergantungan.

Dalam model PIR, kredit diberikan kepada majikan sebagai pengusaha inti yang mendirikan dan memiliki pabrik pengolahan. Dari situ disusun plasma-plasma petani sebagai pemasok bahan mentah bagi inti. Maka, kukuhlah sang majikan inti. Ibarat cultuurstelsel, majikan menentukan harga, mutu produk, dan rendemen tanpa transparansi. Petani lemah, yang seharusnya dimandirikan, dibuat tergantung. Kebijakan kredit semacam ini adalah kelanjutan mentalitas zaman kolonial.

Dalam pendekatan berbasis pembangunan ekonomi rakyat, yang grass root dan bottom-up, para petani plasmalah yang seharusnya diberi kredit modal untuk mendirikan pabrik-pabrik pemrosesan agar pemilikan pabrik inti melekat sejak awal kepada para petani plasma. Investor luar bisa berpartisipasi, membantu manajemen, teknologi, pemasaran, bahkan bisa ikut dalam pemilikan. Ini berlaku pula bagi para pedagang pasar, yang seharusnya diutamakan untuk menerima kredit perbankan, agar terbawa maju menjadi pemilik pasar. Pengembang membantu membangun gedung pasar.

Pendekatan partisipatori yang emansipatori ini sekaligus mengejar pertumbuhan dan pemerataan. Suatu model pembangunan yang membentuk nilai tambah ekonomi dan nilai tambah sosial kultural (kemartabatan) bagi rakyat kecil menuju masyarakat merdeka serta mandiri.

Petani (koperasi) kopra dan sawit adalah saka guru industri minyak goreng. Petani (koperasi) tembakau dan cengkeh adalah saka guru industri rokok. Karena menyediakan kehidupan murah (low-cost economy) bagi buruh miskin, ekonomi rakyat menjadi saka guru perusahaan menengah dan besar. Secara ekonomi, mereka harus terbawa maju dan teremansipasi.

Asas kebersamaan yang memihak si lemah ini tidak menentang asas ”perlakuan sama” (equal treatment), pemihakan macam ini tidak diskriminatif.

Karena itu, diajukan konsepsi Triple-Co, yaitu co-ownership (pemilikan bersama), co-determination (ikut menentukan), dan co-responsibility (ikut bertanggung jawab) sebagai prinsip kebersamaan dalam membangun badan-badan usaha. Co-ownership bisa dilaksanakan melalui sistem equity loan bagi plasma rakyat. Beginilah demokrasi ekonomi Indonesia.

”Cultuurstelsel” baru

Kiranya mentalitas tersubordinasi tetap kukuh dipelihara meski beberapa PIR mulai mengoreksi diri.

Tukirin, petani gigih, menemukan bibit jagung unggul berkat kerja keras dan menyatunya local wisdom dalam dirinya. Tiba-tiba ia digugat mantan investor ”inti” dan dituduh memalsukan bibit. Pengadilan mengalahkan Tukirin (Metro TV, 24/5/ 2008). Padahal, bentuk bibit jagung unggul temuan asli Tukirin lain dari bibit investor. Penjualannya pun tanpa merek. Tidak ada pemalsuan. Harga jual bagi teman-temannya hanya Rp 10.000 per kilogram (kg). Sementara harga bibit jagung monopolistik itu Rp 40.000 per kg. Hukuman percobaan dia terima setelah proses pengadilan yang mencekam dan memberikan trauma berat.

Tukirin bukan satu-satunya korban kejahatan ”cultuurstelsel baru” yang subordinatif-monopolistik dan merampas hak demokrasi ekonominya.

Nasib Mujahir, penemu bibit ikan mujair pada zaman Jepang; Mukibat, penemu bibit singkong unggul; dan Gondeng Tebo, penemu bibit karet unggul GT1 kondang, lebih baik daripada Tukirin. Tukirin dianggap melanggar UU No 12/1992 tentang Budidaya. ”Kebenaran adalah kekuasaan”. Beruntung, Tukirin dibantu LSM, bukan lembaga penelitian negara dan bukan peradilan yang predikatnya pro-iustitia.

Representasi sosial kultural petani dipasung kapitalisme rakus dan bersifat predator. Tukirin, Mujahir, Mukibat, Gondeng Tebo, dan banyak lagi merupakan jenius-jenius lokal kewirausahaan, yang kehadirannya diperlukan bagi peran global Indonesia.

Sri-Edi Swasono Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Arpan, Penyedia Bibit Pohon Gaharu

Kompas, Sabtu, 21 Juni 2008

Perambahan dan penebangan kayu hutan seperti di kawasan hutan Gunung Rinjani, Lombok, Nusa Tenggara Barat, nyaris tanpa henti sepanjang tahun. Berkurangnya sumber mata air, erosi, dan tanah longsor adalah dampak perambahan kawasan itu yang dirasakan masyarakat.

Populasi kayu yang ditebang pun antara lain kayu endemik kawasan itu, seperti kayu gaharu yang gubalnya bernilai ekonomis tinggi. ”Batang pohon gaharu itu ditebang habis sampai akar untuk diambil gubalnya. Tak ada niat si penebang menanam bibit yang sama sebagai pengganti,” ujar H Arpan (69), warga Dusun Pusuk, Desa Lembahsari, Kecamatan Batu Layar, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Masyarakat tergiur harga gubal gaharu yang relatif tinggi. Gubal gaharu kualitas super Rp 7 juta-Rp 10 juta per kilogram (kg). Sedangkan kualitas di bawahnya Rp 2 juta-Rp 3 juta per kg. Gubal yang damarnya dijadikan bahan pembuat minyak wangi ini di Arab Saudi digunakan mandi uap dan untuk peranti keagamaan di Jepang.

Arpan cemas gaharu jenis Gyrinops versteegii di Lombok akan punah karena dari 100 pohon yang ditebang, belum tentu ada satu pohon dengan gubal. Para pemburu pun menggali tanah di sekitar pohon, menyisakan lubang besar yang memacu terjadinya degradasi lingkungan hutan.

Padahal sebelum 1970-an, ”Masih banyak pohon gaharu yang diameternya tak cukup dipeluk dua tangan orang dewasa,” tutur Arpan yang waktu itu setiap hari masuk-keluar Hutan Pusuk mencari kayu bakar sekaligus melihat perilaku para pemburu ”menghabisi” pohon gaharu.

Kecemasan itu mendorong Arpan untuk menyelamatkan populasi pohon gaharu di kawasan Hutan Pusuk. Ia mencari dan mengumpulkan bibit kayu itu di dalam hutan, kemudian disemai sebelum ditanam.

Proses pembibitan dia lakukan pada lahan pinjaman milik Dinas Kehutanan Lombok Barat yang tengah melakukan program reboisasi. Bibit gaharu yang siap tanam itu selain dijual seharga Rp 2.000-Rp 3.000 per batang, juga dibagikan kepada masyarakat di seputar kawasan hutan untuk ditanam di lahan garapan.

Melihat kesungguhannya, pada 1979 Dinas Kehutanan Lombok Barat merekrut Arpan untuk program reboisasi di beberapa tempat di Pulau Lombok. Ia mendapat honor Rp 8.000 per bulan. ”Honor saya terus naik, sekarang jadi Rp 400.000,” katanya.

Uang itu digunakan antara lain untuk membayar pekerja mencari bibit gaharu di hutan, lalu disemaikan di halaman rumahnya. Dari kegiatan ini, ia bisa menyediakan stok bibit 2.000 batang sebulan. Setelah melalui proses persemaian selama tujuh-delapan bulan, bibit siap dijual.

Seiring waktu, Arpan menjadi sumber penyedia dan pemasok bibit untuk kepentingan NTB serta beberapa daerah di Pulau Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan. Rumahnya nyaris tak pernah sepi dari kunjungan para LSM, petani, dosen, turis, dan peneliti dari mancanegara, seperti Jepang dan Australia.

Kunjungan para tamu itu tercatat rapi dalam bukunya. Mereka melihat hasil kerjanya dan menginap beberapa hari untuk belajar teknis bertanam dan penyemaian gaharu. ”Saya seperti dosen saja,” ujar Arpan sambil terkekeh.

Lokasi yang kerap dikunjungi para tamu adalah lahan seluas 80 hektar milik Dinas Kehutanan Lombok Barat di kawasan Hutan Pusuk. Lahan ini pada tahun 1995-1996 ditanami 1.100 batang gaharu yang kini tinggi pohonnya tujuh meter.

Karena kepeduliannya itu, Arpan menerima penghargaan Kalpataru tahun 2002 sebagai perintis lingkungan. Produk gaharu yang dibudidayakannya diperkuat sertifikat dari Badan Penelitian Tanaman Hutan (BPTH) Denpasar, Bali.

Arpan sempat kewalahan melayani permintaan benih gaharu dari berbagai daerah. Permintaan sebanyak 30.000 batang bibit gaharu itu datang dari Pulau Alor, NTT, Kendari, Sultra, Banten, Makassar, Sulsel, Manado, Sulut, dan Jawa Barat.

Banyak kenalan

Gaharu tak hanya memberi penghasilan bagi Arpan, tetapi ia juga mendapat banyak teman dari berbagai daerah maupun orang asing. ”Kami juga bisa saling berbagi ilmu pengetahuan tentang gaharu.”

Dari ”komunitas gaharu” itulah, Arpan semakin paham tentang tanaman tersebut. ”Dalam persemaian, gaharu perlu perlakuan khusus, seperti cara menyiramnya. Sedikit saja batang anakan goyang atau tanah di sekitar anakan hanyut tersiram air, gaharu tak bisa tumbuh, mati,” ujarnya.

Di tangannya, gubal gaharu bisa didapat saat pohon berumur tujuh tahun atau lebih cepat dibandingkan umur teknisnya yang 15 tahun. ”Maaf saya tak bisa jelaskan caranya, ini ’rahasia perusahaan’,” kata Arpan.

Tak hanya gaharu, ia juga melakukan pembibitan kemiri. ”Buah kemiri yang dijadikan benih itu disukai semut. Bagaimana mengusir semut agar benih bisa tumbuh, ada cara dan perlakuannya sendiri,” kata Arpan yang menjadikan kemiri tumbuh bagus sebagai tanaman sela di areal gaharu. Dari 1.000 batang anakan itu, pertumbuhannya 60-70 persen.

Kecintaannya pada tumbuhan membuat dia juga menaruh perhatian pada kesinambungan tanaman ketak, sejenis rerumputan yang tumbuh merambat pada batang pohon. Tanaman ini menjadi bahan baku untuk anyaman yang biasa dijadikan cenderamata.

Tahun 1999 Arpan membudidayakan ketak pada areal 10 hektar di kawasan Hutan Pusuk. ”Alhamdulillah pertumbuhannya baik, tetapi mesti dijaga supaya tak dicuri orang.”

Mencari bibit

Sebagai penyedia bibit, nama Arpan relatif kondang. Namun ia tetap sederhana. ”Saya selalu ingat, ikhtiar saya hanya membudidayakan gaharu agar orang bisa melihat gaharu tetap tumbuh di hutan. Kalau gaharu ditebang terus dan hutan rusak, generasi muda kita cuma dengar cerita tentang gaharu,” ucapnya.

Untuk mewujudkan niat itulah, awalnya Arpan dibantu anaknya dengan bekal makanan seadanya berjalan kaki masuk hutan mencari bibit gaharu dan tanaman langka lainnya. Ia juga membayar Rp 50 per batang untuk warga yang mendapatkan bibit gaharu.

”Kalau bibit kayu kelicung dan kayu dao bisa diperoleh 10-25 batang, gaharu hanya dapat satu-dua batang,” katanya tentang indikasi semakin langkanya kayu gaharu di hutan.

Awalnya, apa yang dirintis Arpan tak selalu mulus. Ia dibenci sebagian orang yang menganggap aktivitasnya itu menjadi halangan bagi mereka untuk bebas menebang pohon. Namun, setelah tampak hasilnya, tak sedikit warga kampung yang ”angkat topi” kepadanya. Mereka yang semula mencemooh, mengatakan dia gila, justru kemudian mengikuti jejak Arpan sebagai penyedia bibit gaharu.

Biodata

Nama: H Arpan

Usia: 69 tahun

Pendidikan: Sekolah Rakyat, lulus 1951

Istri: Hj Nuraini (40)

Anak: lima perempuan dan dua lelaki

Aktivitas:

- Ketua Kelompok Tani ”Sumber Benih Gaharu”, Dusun Pusuk, Desa Lembahsari, Kecamatan Batu Layar, Lombok Barat

- Anggota Forum Penerima Kalpataru

Penghargaan: Peraih Kalpataru kategori Perintis Lingkungan tahun 2002


KHAERUL ANWAR

Food Revolution That Starts With Rice

The New York Times, Science, June 17, 2008

Scientist at Work | Norman T. Uphoff

Food Revolution That Starts With Rice

Marie-Soleil Turmel

ROOT VIGOR Norman T. Uphoff of Cornell pioneered a global trend.

Published: June 17, 2008

ITHACA, N.Y. — Many a professor dreams of revolution. But Norman T. Uphoff, working in a leafy corner of the Cornell University campus, is leading an inconspicuous one centered on solving the global food crisis. The secret, he says, is a new way of growing rice.

Skip to next paragraph

RSS Feed

Shuichi Sato

YIELD The rice growing method is used in places like Indonesia.

Rejecting old customs as well as the modern reliance on genetic engineering, Dr. Uphoff, 67, an emeritus professor of government and international agriculture with a trim white beard and a tidy office, advocates a management revolt.

Harvests typically double, he says, if farmers plant early, give seedlings more room to grow and stop flooding fields. That cuts water and seed costs while promoting root and leaf growth.

The method, called the System of Rice Intensification, or S.R.I., emphasizes the quality of individual plants over the quantity. It applies a less-is-more ethic to rice cultivation.

In a decade, it has gone from obscure theory to global trend — and encountered fierce resistance from established rice scientists. Yet a million rice farmers have adopted the system, Dr. Uphoff says. The rural army, he predicts, will swell to 10 million farmers in the next few years, increasing rice harvests, filling empty bellies and saving untold lives.

"The world has lots and lots of problems," Dr. Uphoff said recently while talking of rice intensification and his 38 years at Cornell. "But if we can't solve the problems of peoples' food needs, we can't do anything. This, at least, is within our reach."

That may sound audacious given the depths of the food crisis and the troubles facing rice. Roughly half the world eats the grain as a staple food even as yields have stagnated and prices have soared, nearly tripling in the past year. The price jolt has provoked riots, panicked hoarding and violent protests in poor countries.

But Dr. Uphoff has a striking record of accomplishment, as well as a gritty kind of farm-boy tenacity.

He and his method have flourished despite the skepticism of his Cornell peers and the global rice establishment — especially the International Rice Research Institute, which helped start the green revolution of rising grain production and specializes in improving rice genetics.

His telephone rings. It is the World Bank Institute, the educational and training arm of the development bank. The institute is making a DVD to spread the word.

"That's one of the irons in the fire," he tells a visitor, looking pleased before plunging back into his tale.

Dr. Uphoff's improbable journey involves a Wisconsin dairy farm, a billionaire philanthropist, the jungles of Madagascar, a Jesuit priest, ranks of eager volunteers and, increasingly, the developing world. He lists top S.R.I. users as India, China, Indonesia, Cambodia and Vietnam among 28 countries on three continents.

In Tamil Nadu, a state in southern India, Veerapandi S. Arumugam, the agriculture minister, recently hailed the system as "revolutionizing" paddy farming while spreading to "a staggering" million acres.

Chan Sarun, Cambodia's agriculture minister, told hundreds of farmers at an agriculture fair in April that S.R.I.'s speedy growth promises a harvest of "white gold."

On Cornell's agricultural campus, Dr. Uphoff runs a one-man show from an office rich in travel mementos. From Sri Lanka, woven rice stalks adorn a wall, the heads thick with rice grains.

His computers link him to a global network of S.R.I. activists and backers, like Oxfam, the British charity. Dr. Uphoff is S.R.I.'s global advocate, and his Web site (ciifad.cornell.edu/sri/) serves as the main showcase for its principles and successes.

"It couldn't have happened without the Internet," he says. Outside his door is a sign, "Alfalfa Room," with a large arrow pointing down the hall, seemingly to a pre-electronic age.

Critics dismiss S.R.I. as an illusion.

"The claims are grossly exaggerated," said Achim Dobermann, the head of research at the international rice institute, which is based in the Philippines. Dr. Dobermann said fewer farmers use S.R.I. than advertised because old practices often are counted as part of the trend and the method itself is often watered down.

"We don't doubt that good yields can be achieved," he said, but he called the methods too onerous for the real world.

By contrast, a former skeptic sees great potential. Vernon W. Ruttan, an agricultural economist at the University of Minnesota and a longtime member of the National Academy of Sciences, once worked for the rice institute and doubted the system's prospects.


Dr. Ruttan now calls himself an enthusiastic fan, saying the method is already reshaping the world of rice cultivation. "I doubt it will be as great as the green revolution," he said. "But in some areas it's already having a substantial impact."

Robert Chambers, a leading analyst on rural development, who works at the University of Sussex, England, called it a breakthrough.

"The extraordinary thing," he said, "is that both farmers and scientists have missed this — farmers for thousands of years, and scientists until very recently and then some of them in a state of denial."

The method, he added, "has a big contribution to make to world food supplies. Its time has come."

Dr. Uphoff grew up on a Wisconsin farm milking cows and doing chores. In 1966, he graduated from Princeton with a master's degree in public affairs and in 1970 from the University of California, Berkeley, with a doctorate in political science.

At Cornell, he threw himself into rural development, irrigation management and credit programs for small farmers in the developing world.

In 1990, a secret philanthropist (eventually revealed to be Charles F. Feeney, a Cornell alumnus who made billions in duty-free shops) gave the university $15 million to start a program on world hunger. Dr. Uphoff was the institute's director for 15 years.

The directorship took him in late 1993 to Madagascar. Slash-and-burn rice farming was destroying the rain forest, and Dr. Uphoff sought alternatives.

He heard that a French Jesuit priest, Father Henri de LaulaniƩ, had developed a high-yield rice cultivation method on Madagascar that he called the System of Rice Intensification.

Dr. Uphoff was skeptical. Rice farmers there typically harvested two tons per hectare (an area 100 by 100 meters, or 2.47 acres). The group claimed 5 to 15 tons.

"I remember thinking, 'Do they think they can scam me?' " Dr. Uphoff recalled. "I told them, 'Don't talk 10 or 15 tons. No one at Cornell will believe it. Let's shoot for three or four.' "

Dr. Uphoff oversaw field trials for three years, and the farmers averaged eight tons per hectare. Impressed, he featured S.R.I. on the cover of his institute's annual reports for 1996 and 1997.

Dr. Uphoff never met the priest, who died in 1995. But the success prompted him to scrutinize the method and its origins.

One clear advantage was root vigor. The priest, during a drought, had noticed that rice plants and especially roots seemed much stronger. That led to the goal of keeping fields damp but not flooded, which improved soil aeration and root growth.

Moreover, wide spacing let individual plants soak up more sunlight and send out more tillers — the shoots that branch to the side. Plants would send out upwards of 100 tillers. And each tiller, instead of bearing the usual 100 or so grains, would puff up with 200 to 500 grains.

One drawback was weeds. The halt to flooding let invaders take root, and that called for more weeding. A simple solution was a rotating, hand-pushed hoe, which also aided soil aeration and crop production.

But that meant more labor, at least at first. It seemed that as farmers gained skill, and yields rose, the overall system became labor saving compared with usual methods.

Dr. Uphoff knew the no-frills approach went against the culture of modern agribusiness but decided it was too good to ignore. In 1998, he began promoting it beyond Madagascar, traveling the world, "sticking my neck out," as he put it.

Slowly, it caught on, but visibility brought critics. They dismissed the claims as based on wishful thinking and poor record keeping, and did field trials that showed results similar to conventional methods.

In 2006, three of Dr. Uphoff's colleagues at Cornell wrote a scathing analysis based on global data. "We find no evidence," they wrote, "that S.R.I. fundamentally changes the physiological yield potential of rice."

While less categorical, Dr. Dobermann of the rice research institute called the methods a step backward socially because they increased drudgery in rice farming, especially among poor women.

In his Cornell office, Dr. Uphoff said his critics were biased and knew little of S.R.I.'s actual workings. The method saves labor for most farmers, including women, he said. As for the skeptics' field trials, he said, they were marred by problems like using soils dead from decades of harsh chemicals and monocropping, which is the growing of the same crop on the same land year after year.

"The critics have tried to say it's all zealotry and religious belief," Dr. Uphoff sighed. "But it's science. I find myself becoming more and more empirical, judging things by what works."

His computer seems to hum with proof. A recent report from the Timbuktu region of Mali, on the edge of the Sahara Desert, said farmers had raised rice yields 34 percent, despite initial problems with S.R.I. guideline observance.

In Laos, an agriculture official recently said S.R.I. had doubled the size of rice crops in three provinces and would spread to the whole country because it provided greater yields with fewer resources.

"Once we get over the mental barriers," Dr. Uphoff said, "it can go very, very quickly because there's nothing to buy."

The opponents have agreed to conduct a global field trial that may end the dispute, he said. The participants include the rice institute, Cornell and Wageningen University, a Dutch institution with a stellar reputation in agriculture.

The field trials may start in 2009 and run through 2011, Dr. Uphoff said. "This should satisfy any scientific questions," he added. "But my sense is that S.R.I. is moving so well and so fast that this will be irrelevant."

Practically, he said, the method is destined to grow.

"It raises the productivity of land, labor, water and capital," he said. "It's like playing with a stacked deck. So I know we're going to win."