30 Juli 2008

Posting dari Kabar Indonesia: Membongkar Kebobrokan PPAN

Oleh : April Perlindungan - Dikutip dari www.kabarindonesia.com

30-Jul-2008

KabarIndonesia - Jika ditanya, apakah Program Pembaruan Agraria Nasional (PAN) yang digulirkan pemerintah SBY-JK sudah sejati? Secara subjektif penulis berpendapat, jika PPAN itu adalah pembaruan agraria palsu. Selain abai terhadap permasalahan sengketa lahan di lapangan, keberpihakan PPAN kepada buruh tani juga patut di pertanyakan. Meskipun pada kenyataannya, PPAN sudah membuat percaya diri sebagian NGO yang bergelut dengan isu pembaruan agraria. Sebagian NGO itu meyakini, PPAN merupakan program pemerintah yang patut di berikan dukungan dan apresiasi oleh masyarakat (petani). Para NGO itu pun bergandeng tangan dengan pemerintah untuk melaksanakan program tersebut. Bahkan, berlomba-lomba menentukan tanah yang akan di jadikan obyek PPAN. Bila disikapi secara reaksioner, PPAN memiliki kesan pro rakyat, namun jika dibaca secara detail, arti rakyat dalam PPAN sangatlah luas. Tidak menutup kemungkinan juga, rakyat dimaksud dalam program tersebut berbentuk pengusaha. Pasalnya, selain objek PPAN itu sifatnya kompetensi, juga adanya poin yang menyebutkan jika objek PPAN itu orang yang tidak bertanah (tanahnya hanya tempat tinggal).

Arti orang yang tidak punya kepemilikan tanah itu bisa saja dia seorang pegawai Bank, Birokrat dan lain sebagainya. Selain itu, ketidakjelasan PPAN dapat di lihat dari penamaan tempat yang tidak sesuai dengan administrasi kewilayahan, misalnya di sebutkan jika objek PPAN sebanyak sekian ribu hektar dilaksanakan di Jawa Selatan. Pertanyaannya, apakah ada provinsi atau kabupaten di Indonesia yang bernama Jawa Selatan? Terus kampung mana, desa mana kabupaten dan provinsi mana juga tidak di sebutkan secara detail, karena, yang kita kenal, Jawa Selatan itu hanya sebutan bagi sejumlah kabupaten di pulau Jawa bagian selatan, bukan nama sebuah provinsi di pulau Jawa.


Buruh Tani

Selain uraian di atas, tidak sejatinya PPAN juga dapat dibongkar, dimana pemerintah tidak menggunakan analisa kelas dalam penentuan objek PPAN.Hal itu di tambah, dengan NGO yang selama ini memperjuangkan nasib petani dengan UUPA no 5 tahun 1960 sebagai rujukan, tidak konsisten dalam memperjuangkannya. Buruh Tani, merupakan orang yang menjual tenaganya kepada pemilik tanah. Hal itu fakta, jika mereka merupakan kelas tertindas, dan ketertindasannya itu akibat ia tidak memiliki tanah garapan.

Jika diukur dari kompetensi, Buruh Tani merupakan orang yang berpengalaman dalam bertani, kendalanya adalah mereka tidak memilki modal dan akses yang maksimal terhadap tanah. Lalu bagaimana agar konsep PPAN itu terlihat sejati ( entah dalam pelaksanaannya). Hemat penulis, PPAN sudah sejati jika objek PPAN itu secara tegas dan jelas menyebutkan, jika Buruh Tani merupakan prioritas utama sebagai objek. Namun, di sela-sela penindasan perkebunan, yang menjadi pemantik berkobarnya api perlawanan sejak VOC hingga kini. Yang membekas itu hanya luka, luka berabad-abad buruh tani. Dimana mereka tak mendapatkan hasil dari apa yang mereka perjuangkan.


*Penulis aktif di Sarekat Hijau Indonesia ( SHI ) Jabar
Mohon kritik dari kawan-kawan pembaca!

19 Juli 2008

Setahun Sertifikat Tanah Belum Selesai

Radar Cirebon, 19 Juli 2008

MAJALENGKA-Meski Badan Pertanahan Nasional (BPN) telah mengeluarkan regulasi standar waktu pelayanan surat-surat pertanahan, namun kenyataannya di Kabupaten Majalengka hal itu tidak berlaku sama sekali. Proses pembuatan sertifikat maupun akta tanah selain mahal, juga memakan waktu yang cukup lama dari lima bulan hingga satu tahun.

Hal itu seperti yang dikeluhkan Durahman (33), warga Desa Bantaragung, Kecamatan Sindangwangi. Kepada Radar, lelaki ini mengaku kecewa karena sudah mengeluarkan uang sebesar Rp1,5 juta sebagai persyaratan pembuatan sertifikat seperti yang diminta petugas BPN, dengan janji akan selesai paling lambat satu bulan. Namun kenyataannya, hingga tiga bulan lebih sertifikat tersebut tidak kunjung selesai.

“Katanya menurut peraturan BPN No 6 Tahun 2008 biaya pembuatan sertifikat cuma Rp25 ribu dan selesai maksimal lima hari. Kenyataannya hingga tiga bulan lebih sertifikat saya belum selesai,” ujarnya dengan nada kesal, kemarin (18/7).

Hal tersebut ternyata tidak hanya dialami oleh Durahman saja melainkan dialami Sobari, warga lainnya. Menurut Sobari, proses pengukuran dan persyaratan administrasi lainnya sudah dipenuhi termasuk uang sebesar Rp2 juta yang diminta petugas. Tapi hingga setahun lebih sertifikat itu tidak juga selesai.

“Kalau dari awal saya tahu proses pembuatan sertifikat tanah di BPN Majalengka mangkrak, lebih baik saya mengurus lewat jasa notaris. Jelas saya sangat kecewa sekali dengan pelayanan pihak BPN Majalengka,” rungutnya.

Sayangnya, saat dikonfirmasi Radar kepala BPN maupun sejumlah staf yang membidangi masalah pembuatan akta tidak ada di kantor. Keterangan beberapa stafnya, kepala BPN sedang istirahat. “Sepertinya bapak lagi istirahat nanti saja ke sini lagi atau hari Senin saja,” sarannya. (pai)

16 Juli 2008

Belajar Dari Serikat Petani Pasundan

Usep Setiawan

Belum lama ini, ratusan petani dari Jawa Barat menuntut pembubaran Perhutani, karena Perhutani telah menjadikan kaum petani sebagai kambing hitam yang dituduh melakukan aksi pembalakan liar (23/06/08). Agustiana dan Serikat Petani Pasundan (SPP) yang dipimpinnya sontak menjadi sumber pembicaraan publik setelah dituduh sebagai dalang pembalakan liar di Jawa Barat oleh Kapolda Jawa Barat Susno Duadji (Pikiran Rakyat, 18/06/08).

14 Juli 2008

Reforma Agraria, Tanah Tanpa HGU Bakal Disita Pemerintah

08/07/08 Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah akan menyita tanah tanah perkebunan di Pulau Jawa yang saat ini tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU) yang sah dan diterlantarkan, untuk kemudian dibagikan ke masyarakat, sedangkan kepada pemilik tanah perkebunan tersebut akan diberikan tanah pengganti di luar Pulau Jawa.

"Kalau di Pulau Jawa maka objek reforma agraria adalah perkebunan-perkebunan yang HGU sudah habis dan terlantar. Nah itu yang akan diminta dan kemudian di tukar di luar Pulau Jawa, yang di Jawa akan dibagi untuk masyarakat," kata Direktur Tata Ruang dan Pertanahan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Deddy Koespramono di Jakarta, Selasa.

Ia menambahkan, untuk reforma agraria di luar Pulau Jawa maka pihaknya akan berkoordinasi dengan Depertemen Kehutanan mengingat sebagian besar objek reforma agraria di luar Jawa adalah tanah kehutanan. Namun, tambahnya, hal itu akan memerlukan proses yang lumayan panjang karena harus adanya alih fungsi lahan dari yang dulunya hutan menjadi lahan produktif.

Di sisi lain, Deddy mengatakan, yang terpenting dalam melaksanakan reforma agraria adalah terbentuknya Badan Layanan Umum (BLU) pada Badan Pertanahan Nasional (BPN) sedang dalam proses penyelesaian agar reforma agraria bisa berjalan di tahun 2009. Sedangkan untuk Depertemen Kehutanan proses pembentukan BLU sudah selesai. "Tapi masih ada hambatan karena ada beberapa syarat yang belum dipenuhi," jelasnya.

Sebelumnya Staf Ahli Menteri Kehutanan Ahmad Fauzi mengatakan, bahwa dalam reforma agraria di sektor kehutanan, tidak ada alih fungsi lahan hutan, melainkan pemberian kuasa mengelola lahan hutan tanpa pengalihan fungsinya.

Jika dalam reforma agraria kehutanan, tanah tersebut tidak akan menjadi hak milik, maka untuk tanah non kehutanan dimungkinkan untuk menjadi hak milik, meski tidak serta merta diberikan.

Dia menjelaskan, BPN akan memberikan hak pakai kepada penerima tanah selama 3 tahun, jika dianggap bagus maka BPN baru akan memproses kepemilikannya. "Setelah jadi hak milik maka selama 10 tahun tidak boleh dipindah tangankan," kata Kepala BPN Joyowinoto, baru-baru ini. Untuk menjalankan program tersebut maka BPN akan membentuk Lembaga Pengelola Reforma Agraria berbentuk BLU.

Namun sayangnya, Depkeu masih keberatan untuk merealisasikan keinginan BPN membentuk BLU termasuk memberikan penyertaan modal pertama sebesar Rp 2 triliun karena BPN belum merinci bagaimana pola "cost recovery" dari dana yang sudah disetorkan oleh negara, yang berarti BPN harus pula memperhitungkan bagaimana memperoleh pendapatan dari pelaksanaan pembaharuan agraria ini.

Seperti diketahui, pemerintah bakal menjalankan pembaharuan di bidang pertanahan (reforma agraria) mulai 2009. Target itu tercantum dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2009, yang diharapkan mampu membagi 310.000 bidang tanah bagi masyarakat. 310.00 bidang tanah itu terdiri dari 9,25 juta hektar tanah dimana 1,25 juta hektar merupakan tanah negara yang dikelola BPN dan sisanya tanah hutan.

Tidak hanya tanah pertanian di luar Jawa saja, namun bagi-bagi tanah juga di daerah perkotaan, dari tanah terlantar milik negara dan tanah kehutanan. Tanah-tanah itu akan dibagikan kepada penduduk miskin di 17 provinsi.(*)

COPYRIGHT © 2008

08 Juli 2008

Buruh Tani Menganggur

Senin, 7 Juli 2008

Cirebon, Kompas
- Gara-gara sebagian tanaman padi gagal panen, sejumlah buruh tani di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, kehilangan penghasilan. Mereka terpaksa menganggur karena tidak dapat lagi menjadi buruh tani. Padahal, upah dari pekerjaan tersebut selama ini menjadi sebagian dari sumber nafkah mereka.

Partaji (32), warga Desa Dukuh, Kecamatan Kapetakan, yang biasanya bekerja sebagai buruh tani, kini tidak mempunyai pekerjaan lagi. Belum ada pemilik sawah yang memanggilnya untuk bekerja. "Biasanya kami melakukan kerja borongan, seperti menanam hingga panen sawah. Sekarang sepi, tak ada yang memanggil kami untuk bekerja di sawah atau panen," ujarnya.

Biasanya Partaji bekerja dengan sistem borongan. Untuk mengerjakan sawah satu bahu (0,74 hektar) butuh 4-7 orang dengan bayaran sekitar Rp 350.000. Adapun untuk panen, mereka mendapatkan upah seperlima dari hasil panen. Gabah hasil panen itulah yang kemudian disimpan untuk cadangan makanan sehari-hari.

Jika kini tak ada lagi panen, para buruh seperti Partaji tak mempunyai cadangan makanan dan memilih makanan alternatif lain, seperti singkong, ubi, dan nasi aking.

Saat ini, misalnya, sekitar 20 hektar tanaman padi di Kabupaten Cirebon puso karena kekeringan. Hamparan padi yang puso terlihat di Kecamatan Kapetakan, sebagian Kecamatan Gegesik, dan Suranenggala. Tanaman padi yang gagal panen ada yang masih berbentuk persemaian, ada pula yang sudah berumur dua bulanan.

Menurut Cariman (47), petani di Desa Suranenggala Kidul, Kapetakan, sebagian petani sudah meninggalkan sawah mereka karena tak bisa diselamatkan lagi. Hanya beberapa petani yang tetap mengusahakan air agar padi miliknya yang sudah berusia dua bulanan dapat diselamatkan.

Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Kabupaten Cirebon Ali Efendi mengungkapkan, masalah kekeringan menjadi persoalan yang belum bisa dituntaskan karena sebagian area kekeringan adalah sawah tadah hujan. Saat ini Dinas Pertanian dan Peternakan masih menyalurkan bantuan pompa air bagi kelompok tani yang sawahnya membutuhkan pengairan dan masih ada air tanah di daerahnya. (nit)