18 Oktober 2008

Hak Asasi Manusia: Reforma Agraria Mendesak Dilaksanakan

Sabtu, 18 Oktober 2008

Jakarta, Kompas
- Kondisi petani yang terus dirongrong kemiskinan dan perlunya kemandirian pangan menjadi alasan mendesaknya pelaksanaan reforma agraria. Hal itu dapat dilihat dari terus naiknya jumlah petani gurem di Indonesia.

Mengutip hasil sensus pertanian, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria Usep Setiawan mengatakan, sejak tahun 1983, 1993, hingga 2003, jumlah petani gurem di Indonesia semakin meningkat. Pada tahun 1983 tercatat jumlah keluarga petani gurem mencapai 9,4 juta. Jumlah itu meningkat menjadi 10,7 juta rumah tangga tahun 1993 dan kembali meningkat menjadi 13,3 juta rumah tangga petani tahun 2003.

Dihubungi hari Kamis (16/10), Usep Setiawan mengatakan reforma agraria menjadi penting untuk memudahkan petani mengakses tanah. ”Dan itu berimplikasi pada kesejahteraan mereka,” kata Usep.

Lebih jauh, implikasi dari langkah itu adalah penguatan ketahanan pangan nasional. Menurut Usep, kedaulatan pangan dapat diraih jika kemandirian pangan dicapai. ”Reforma agraria menjadi jawaban atas persoalan itu. Petani memiliki tanah, lahan-lahan pertanian terpelihara sehingga perluasan lahan pangan terjadi. Itulah strateginya, kesejahteraan petani dan kemandirian pangan,” kata Usep lagi.

Namun, untuk itu perlu dukungan politik yang kuat dan ketegasan Presiden. Hanya saja, sejauh ini, Usep menilai, pemerintah kurang berani mengambil risiko mengganggu pemilik lahan besar atau investor.

Usep mengatakan, sering terjadi kriminalisasi terhadap petani yang menggugat tanah ulayat yang diambil oleh pemodal. Terakhir, bentrokan antara aparat dan petani terjadi di Takalar, Sulawesi Selatan.

Bentrokan terjadi ketika petani menuntut kembali tanah ulayat yang telah dikelola PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIV. Ia berharap kriminalisasi terhadap petani dihentikan.

Hal senada diungkapkan Koordinator Kontras Usman Hamid. Ia meminta Kepala Polri Bambang Hendarso Danuri segera bertindak tegas terhadap polisi yang menembak warga ketika peristiwa itu terjadi.

Menurut Usman, polisi sebaiknya bersikap netral dan mengutamakan warga petani. Selain itu, Usman juga berpendapat Badan Pertanahan Nasional harus mengembalikan tanah ulayat kepada warga agar warga tidak selalu berhadapan dengan aparat.

”Jika tidak, petani dan warga terus menjadi korban yang rentan terhadap kriminalisasi,” kata Usman. (JOS)

17 Oktober 2008

LAND REFORM AGENDA

The Jakarta Post, Friday, October 17, 2008

Thousands of farmers from throughout the country stage a rally on Jl. Sudirman, Jakarta, on Thursday. The protesters demanded the government reform land ownership laws and regulations during the demonstration, which also commemorated World Food Day. (JP/J. Adiguna)

Jatuhnya Harga sawit; Cerita Manis Itu Kini Berubah Duka

Kompas, Jumat, 17 Oktober 2008

SYAHNAN RANGKUTI

Anjloknya harga sawit sampai Rp 300 per kilogram dari harga sebelumnya mencapai Rp 2.000 per kg telah membuat petani, terutama petani swadaya (yang tidak memiliki kerja sama dengan perkebunan besar BUMN maupun swasta), babak belur.


Bahori (23) masih bisa tersenyum. Walau senyum itu kecut. Sesekali ia juga tertawa, tetapi ketawa itu pun sumbang. Ketika dijumpai di areal kebun kelapa sawit miliknya, ia baru saja menjual hasil panen tandan buah segar sawit sebanyak 1 ton.

Selasa, menjelang senja, ia sendiri saja di tengah kebunnya seluas 2 hektar di Desa Sialang Jaya, Kecamatan Rambah, Kabupaten Rokan Hulu, Riau—sekitar 200 kilometer dari Pekanbaru.

Dengan harga tandan buah segar (TBS) sekarang ini yang hanya Rp 300 per kilogram, ayah seorang bayi itu tentunya mendapat penghasilan Rp 300.000. Tetapi, tunggu dulu. Hitungan matematis itu belum putus. Bahori harus mengeluarkan uang Rp 50.000 untuk upah melangsir (membawa TBS dari kebunnya ke pinggir jalan besar dengan menggunakan kendaraan berpenggerak empat roda). Dia juga harus mengeluarkan uang Rp 300.000 untuk membayar upah tiga pekerja harian masing-masing Rp 100.000 untuk memanen selama dua hari. ”Saya nombok Rp 50.000. Namun, apa boleh buat. Saya memilih untuk tetap memanen karena kata orang, kalau tidak dipanen, nanti pohon sawit rusak dan tidak mau berbuah lagi,” kata Bahori.

Untuk menutup utang, Bahori kembali ke profesi lama, yaitu menjadi buruh di kebun orang lain. Sepanjang Selasa itu dia bekerja di kebun orang. Upahnya Rp 60.000 sehari. Alhasil, setelah membayar utang Rp 50.000, penghasilan bersihnya hari itu hanya Rp 10.000.

Syaifudin yang memiliki kebun seluas 5 hektar juga senasib dengan Bahori. Hari itu ia mempekerjakan enam orang untuk panen sebanyak 2 ton. Padahal, masih ada 2 ton lagi TBS siap panen.

”Biarlah 2 ton lagi itu tetap dipohonnya sampai panen dua minggu lagi. Mana tau harga bisa membaik. Kalau pohonnya mau rusak, biarlah. Asal jangan seluruhnya,” kata Syaifudin.

Syaifudin mengatakan, ia mendapat uang Rp 600.000 dari panen sebanyak 2 ton. Namun uang itu langsung dipotong Rp 240.000 untuk upah empat buruh angkut TBS ke tempat penumpukan dan Rp 140.000 lagi untuk upah dua pendodos (pemetik buah dari pohon). Pendapatannya masih berkurang lagi karena harus membayar upah melangsir dengan mobil Rp 100.000. Artinya, penghasilan bersih hari itu sebesar Rp 120.000 untuk hasil panen sebanyak 2 ton.

”Sebelum harga anjlok, biasanya saya mendapat uang minimal Rp 4 juta dari sekali panen. Dalam satu bulan panen dua kali atau Rp 8 juta sebulan. Sekarang ini hitung saja pendapatan saya,” kata Syaifudin.

Tentang upah melangsir yang mahal lebih disebabkan buruknya kondisi jalan ke perkebunan petani.

Tidak mengherankan bila biaya untuk mengangkut satu ton TBS dari kebun ke pinggir jalan yang berjarak sekitar 1 kilometer, petani harus membayar Rp 50.000 atau Rp 50 per kilogram.

Di sebuah desa eks transmigrasi, biaya transportasi bahkan mencapai Rp 200 per kilogram atau Rp 200.000 per ton. Hal itu disebabkan jalan hancur dan jaraknya lebih dari 5 kilometer.

Namun tidak semua jalan ke perkebunan petani di Rokan Hulu, begitu buruk. Di sebuah tempat tidak jauh dari kota Pasirpengarayan, ibu kota Kabupaten Rokan Hulu, jalan menuju perkebunan seorang kuat di Rokan Hulu ternyata diaspal hotmiks dengan lebar 12 meter.

Cerita manis pemilik kebun sawit di Riau tersebut saat ini sudah berubah menjadi cerita duka. Harga TBS Rp 300 per kilogram, menurut Ardiman Daulay, Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Cabang Rokan Hulu, sama seperti kondisi 12 tahun lalu saat menjelang krisis moneter melanda Indonesia tahun 1997. ”Dulu sebelum krismon, harga sawit memang Rp 300 per kilogram, tetapi harga-harga barang masih jauh lebih murah dibandingkan sekarang. Waktu itu harga beras masih ada yang Rp 1.000 per kilogram. Pada saat krismon dahulu, petani kami justru menikmati hasil karena harga sawit naik menjadi Rp 800 sampai Rp 1.000 per kilogram. Sekarang ini petani sawit yang mengalami krisis,” kata Daulay yang memiliki 2.500 anggota dengan lahan 118.000 hektar.

Menurut Daulay, bukan hanya petani yang mengalami krisis. Pedagang pengumpul mengalami nasib sama. Kusno, seorang tauke sawit (sebutan untuk pedagang pengumpul), sudah meminta keringanan kepada Bank BRI setempat untuk menunda pembayaran cicilan utangnya.

Sebelum harga anjlok, Kusno meminjamkan uang kepada petani, nilainya Rp 200 juta. Ini biasa dilakukan toke sawit agar petani mau menjual buah kepada mereka. Seluruh uang berasal dari pinjaman di Bank BRI. Sekarang ini seluruh piutang Kusno tidak dapat ditagih, karena petani peminjam tidak mampu membayar. ”Kalau BRI tidak bersedia menunda cicilan, rumah Kusno akan segera disita bank,” ujar Daulay.

Menurut Daulay, petani dari Desa Tandun sampai mencoba bunuh diri, meminum obat serangga, karena dililit utang Rp 200 juta di bank dan tidak dapat membayar. Untungnya, niat bunuh diri cepat ketahuan keluarganya dan si petani dapat diselamatkan.

Krisis sawit seperti musim kemarau yang merontokkan segala sesuatu. Empat hari lalu, empat sepeda motor ditarik dealer karena petani menunggak cicilan. Lalu, dua pabrik kelapa sawit di Rokan Hulu, yaitu di Desa I, Ujung Batu, dan Petapahan, terpaksa pula ditutup karena cadangan CPO pabrik belum terjual.

Krisis keuangan global kali ini, eksesnya ternyata menjalar tanpa ampun kepada petani kecil. Sayangnya, 80 persen dari 2.500 anggota Apkasindo Rokan Hulu merupakan petani kecil dengan lahan rata-rata 2 hektar.

”Yang kami harapkan, pemerintah mau minta perbankan menunda pembayaran cicilan petani. Kalau tidak, akan lebih banyak petani sawit yang stres atau gila,” kata Daulay.

16 Oktober 2008

Peringatan Hari Pangan se-Dunia Diwarnai Demonstrasi

Demo petani dan mahasiswa di Kendari.

16/10/2008

Liputan6.com, Kendari: Peringatan Hari Pangan se-Dunia yang jatuh Kamis (16/10) ini diwarnai unjuk rasa petani dan mahasiswa di berbagai daerah. Di Kendari, Sulawesi Tenggara, para petani dan mahasiswa berunjuk rasa di Alun-Alun Kota Kendari.

Mereka mengecam kebijakan pemerintah setempat yang mengizinkan investor asing mengkapling lahan pertanian untuk keperluan pertambangan. Setelah itu para pengunjuk rasa mendatangi Kantor Badan Pertanahan Nasional menuntut pembatalan izin pengelolaan lahan pertanian untuk keperluan tambang.

Para mahasiswa di Solo, Jawa Tengah berdemonstrasi menentang politisasi pertanian. Para mahasiswa juga mengecam partai politik tertentu yang menggalakkan penanaman padi Supertoy atau bibit padi lainnya yang akhirnya merugikan para petani. Mahasiswa juga menolak impor beras yang berlebihan yang menyebabkan harga beras produksi dalam negeri terpuruk.

Sementara di Jakarta, ratusan orang dari berbagai kelompok organisasi petani berunjuk rasa di depan kantor Badan Usaha Milik Negara di kawasan Monas, Jakarta. Mereka menuntut pembaruan agraria bagi kaum tani di seluruh Indonesia. Mereka menilai selama ini para petani tidak banyak mendapat keuntungan karena pembaruan agraria belum menjadi prioritas [baca: Petani Menuntut Pembaruan Agraria].(IAN/Tim Liputan 6 SCTV)

Petani menuntut pembaruan agraria

16/10/2008

Liputan6.com, Jakarta
: Ratusan orang dari berbagai kelompok organisasi petani berunjuk rasa di depan Kantor Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di kawasan Monas, Jakarta, Kamis (16/10). Mereka mereka menuntut pembaruan agraria bagi kaum tani di seluruh Indonesia.

Para pengunjuk rasa juga menilai para petani tidak banyak mendapat keuntungan selama pembaruan agraria belum menjadi prioritas. Mereka juga mendesak dicabutnya sejumlah peraturan yang dianggap menghambat kemajuan para petani. Para penunjuk rasa menunding monopolistik perusahaan swasta menjadi salah satu penyebab belum sejahteranya kaum tani. Aksi yang berlangsung sejak pagi tadi hingga siang ini masih berlangsung.(IAN/Tim Liputan 6 SCTV)

LSM: Pemerintah Agar Berlaku Adil Kepada Petani

16/10/08

Jakarta, (ANTARA News)
- Ribuan aktivis LSM di Jakarta, Kamis, turun ke jalan menggelar aksi demonstrasi sekaligus memperingati Hari Pangan Sedunia dan menyerukan aspirasi agar pemerintah benar-benar berlaku adil kepada petani di Indonesia.

Menurut Ketua Koalisi Anti Utang (KAU), Dani Setiawan, peserta demo memang lebih banyak berasal dari aktivis yang berkecimpung di bidang pertanian dan lingkungan.

Di antara para peserta demo, antara lain terdapat LSM Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Serikat Petani Indonesia (SPI).

Selain itu, terdapat juga elemen lainnya dari buruh dan mahasiswa, seperti Aliansi Buruh Menggugat (ABM) dan Front Aksi Mahasiswa (FAM).

Para pengunjuk rasa menuntut adanya pembaruan atau reformasi di bidang agraria yang merupakan amanat dari konstitusi RI.

Aksi yang memiliki tema "Wujudkan Kedaulatan Pangan dan Hak Asasi Petani dengan Melaksanakan Agenda Reforma Agraria" itu mendesak agar pemerintah menata ulang restrukturisasi kepemilikan tanah yang lebih berpihak, antara lain kepada kaum tani dan rakyat kecil.

Menurut LSM tersebut, bila agenda tersebut tidak dijalankan maka dicemaskan akan membuat pondasi perekonomian menjadi melemah antara lain karena adanya akumulasi monopoli penguasaan tanah dan juga terjadinya konflik pertanahan yang berlarut-larut.

Unjuk rasa serupa juga diagendakan dilakukan di sejumlah daerah lainnya di Tanah Air, seperti di Medan, Lampung, Bandung, Yogyakarta, dan Makassar.

"Aksi tersebut merupakan bagian dari rangkaian Pekan Aksi Global Melawan Utang dan Lembaga Keuangan Internasional pada tanggal 13 - 18 Oktober yang dilaksanakan serentak di seluruh dunia," kata Dani.

Demonstrasi yang dilakukan di depan Kantor Kementerian Negara BUMN di Jalan Medan Merdeka Selatan tersebut menimbulkan efek kemacetan parah di sekitar kawasan Monumen Nasional dan Jalan MH Thamrin.(*)

COPYRIGHT © 2008

Serikat Petani Gelar Unjukrasa Menuntut Pembaruan Agraria

16/10/08

Jakarta (ANTARA News)
- Ratusan orang dari Serikat Petani Indonesia (SPI) menggelar unjukrasa menuntut dilaksanakannya pembaruan agraria, dengan meredistribusi lahan-lahan produktif untuk para petani kecil.

"Ini semua penting untuk mewujudkan kedaulatan pangan di tengah krisis pangan dan keuangan yang sedang menghantam dunia," kata Ketua Umum SPI, Henry Saragih, yang bersama massa berdemo di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Rabu, dalam rangka memperingati Hari Pangan Dunia 16 oktober.

Menurut dia, program ketahanan pangan yang digagas World Food Summit 1996 serta Gerakan Petani Internasional dengan pertanian masif, monokultur, berorientasi ekspor dan padat modal tidak akan berhasil.

Sebaliknya, pertanian kecil berbasis keluarga, polikultur, berorientasi memenuhi kebutuhan pangan lokal dan padat karya justru akan memecahkan masalah mendasar pertanian dan pangan, sekaligus kemiskinan, ujarnya.

"Dalam kurun waktu 10 tahun sejak berdiri 1998, SPI telah mengubah perkebunan besar dan lahan subur yang tidak digarap menjadi tanah rakyat dan dikuasai secara adil untuk memenuhi kebutuhan pangan," katanya.

Pada 2007-2012, lanjut dia, pihaknya berencana melaksanakan reforma agraria sejati dan mewujudkan 200 ribu hektar lahan produktif untuk petani kecil berbasis keluarga di seluruh Indonesia.

Massa yang hadir terlihat duduk-duduk kelelahan di sepanjang jalur hijau Jl Medan Merdeka Selatan dengan pakaian bermacam-macam, termasuk ibu-ibu yang menggendong anaknya. Sejumlah bus dan mini bus terlihat terparkir di sisi-sisi jalan dan menyebabkan kemacetan.

Beberapa pemuda menyebarkan brosur dan berorasi. Beberapa mengaku dari Komite Bersama Peringatan Hari Tani Nasional 2008. Para pedagang kaki lima tidak melepas kesempatan untuk datang berjualan di tengah kerumunan massa. (*)

COPYRIGHT © 2008

Ratusan Petani Protes Keadilan di Depan Istana Merdeka

16/10/08

Jakarta (ANTARA News)
- Ratusan demonstran dari gabungan petani mendatangi Istana Merdeka Kamis pagi dengan berjalan kaki maupun menggunakan beberapa mobil bak terbuka yang dilengkapi dengan pengeras suara.

Massa demonstran membawa sejumlah spanduk dan pamflet yang antara lain menuntut adanya perlakukan adil terhadap para petani termasuk meminta dilakukannya "landreform".

Lalu lintas di sejumlah jalan sekitar kawasan Monas, Jakarta Pusat Kamis sekitar pukul 10.00 WIB tersendat akibat aksi demonstrasi para petani yang hendak menuju depan Istana Merdeka.

Lalu lintas di sekitar Jalan Merdeka Selatan tersendat karena terhalang massa demonstran yang memadari satu jalur dari tiga jalur di Jalan Merdeka Selatan.

Kemacetan juga terjadi di depan bundaran Patung Tani dan Jalan Medan Merdeka Timur.

Meski demikian arus lalu lintas di Jalan M.H Thamrin menuju arah Medan Merdeka Barat masih lancar.(*)

COPYRIGHT © 2008

15 Oktober 2008

Teknologi Pertanian: Dengan ATP Atasi Kemiskinan

Kompas, Rabu, 15 Oktober 2008

Yuni Ikawati

Kembali ke kampung halaman untuk menghindari konflik di daerah transmigrasi, para eks transmigran asal Jawa Barat menghadapi ancaman lain, yakni kemelaratan. Menjadi warga terpinggirkan di daerah asalnya, mereka ditempatkan di kawasan perbukitan yang terisolasi, kurang subur, dan rawan longsor di Cianjur Selatan.

Untuk melepaskan mereka dari jerat kemiskinan, Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Cianjur menjalin kerja sama dengan Kementerian Negara Riset dan Teknologi memperkenalkan sistem pertanian terpadu berbasis teknologi tepat guna.

Cita-cita para transmigran mencari kehidupan lebih baik di tanah seberang telah tercapai ketika mereka berhasil menjadi petani sukses dan beranak-pinak. Namun, nasib baik rupanya tidak lama berpihak pada warga transmigran di Nanggroe Aceh Darussalam, Lampung, Kalimantan Barat, dan Maluku.

Konflik berdarah di daerah- daerah pada pasca-reformasi mendorong mereka—termasuk para transmigran dari Jawa Barat—berangsur-angsur kembali ke desa asalya, mulai tahun 1997.

Namun, di kampung halaman, mereka kembali ke titik nol, ibarat putaran roda pedati, kini mereka di titik terbawah. Mereka berjumlah 3.000 kepala keluarga, menjadi warga kelas bawah di lahan marginal.

Dengan lahan seluas 8.000 meter persegi yang diberikan kepada tiap kepala keluarga di desa Koleberes, Kecamatan Cikadu, mestinya mereka sudah dapat bangkit dari keterpurukan. Namun, ternyata lahan yang ada —seluas 25 hektar—tidak tergolong subur. ”Padahal pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, daerah itu merupakan bagian dari sentra perkebunan teh di Jawa Barat, yang terbesar di Asia,” ungkap Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman dalam kunjungan kerjanya ke daerah relokasi, 7-8 Oktober 2008. Daerah itu kemudian dijadikan agrotechno park (ATP).

Ketidaksuburan kawasan perbukitan itu dibuktikan dengan hasil penelitian Sutardjo, Kepala Bidang Tanaman Perkebunan dan Kehutanan Pusat Teknologi Pertanian Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Penelitiannya menyebutkan, kadar karbon organik pada tanah di Koleberes di bawah 1 persen. Padahal untuk lahan pertanian minimal 3 persen.

Unsur hara dalam tanah akan terbawa dalam tanaman yang dipanen. Tanpa pemberian unsur hara dari bahan organik, antara lain pupuk kompos, kesuburan tanah akan terus menurun.

Rehabilitasi lahan di daerah itu, menurut Sutardjo, dapat dilakukan dengan memberikan limbah serbuk gergaji. Bahan organik dapat kembali menyuburkan tanah karena kemampuannya menyerap air dua kali dari bobotnya. Jumlah limbah penggergajian di daerah itu tak sebanding dengan luas tanah.

Beberapa waktu lalu, pakar pertanian terpadu mantan peneliti BPPT, Achsin, menjelaskan, untuk skala kecil penyuburan tanah juga dapat dilakukan dengan memberikan kotoran sapi atau ternak pemamah biak lainnya. Pada skala besar, penyuburan tanah dapat memakai legium cover crop atau tanaman perintis, seperti lamtoro sebagai tegakan dan gamal tanaman yang merambat. Keduanya dapat menyerap nitrogen untuk ditambatkan pada tanah.

”Bulan Oktober merupakan saat tepat untuk menanam tanaman perintis. Sehingga pada akhir musim hujan mendatang, di bulan Maret-April, tanaman itu sudah subur,” ujar Achsin yang merintis pembangunan ATP Palembang. Tanaman perintis itu lalu diintegrasikan dengan jenis kambing kacang yang tahan terhadap HCN (asam sianida) yang ada di daunnya.

Kotoran ternak ini ditebar untuk menambah kesuburan. ”Akan lebih subur kalau ditambah jenis rizobium atau mikoriza penyubur,” tambahnya.

Pada lahan yang ditanami lamtoro dan gamal per hektarnya bisa memelihara 50 ekor induk kambing kacang, yang dalam dua tahun dapat beranak enam ekor. Menurut Achsin yang kini tengah merintis pendirian Muara Enim Practical University, menjelang kemarau kambing dapat dijual karena cadangan pangannya terbatas.

Pada sistem pertanian terpadu di ATP Koleberes diternakkan domba garut di samping sapi dan ayam, urai Ophirtus Sumule, Ketua Tim dari KNRT.

Dalam kunjungannya, Kusmayanto Kadiman menyerahkan bantuan kepada petani andalan Partidjo, eks transmigran Lampung, berupa lahan 8.000 meter persegi (untuk ditanami rumput gajah, jagung, kopi, dan kina), 2 sapi, 3 kambing, dan 50 ayam. ”Dengan modal itu, ia akan menjadi model bagi petani lain dalam menerapkan sistem pertanian terpadu,” ujarnya.

Dengan tanaman dan ternak itu, petani dapat memperoleh kecukupan sumber untuk pakan ternak, pupuk, dan memberikan mereka penghasilan dalam skala harian, mingguan, bulanan, hingga tahunan.

Melalui ATP Koleberes, Kementerian Negara Riset dan Teknologi akan terus memberikan supervisi dan fasilitasi teknologi hingga masyarakat sekitar menjadi mandiri mengelola potensi sumber daya alamnya. Ini diperkirakan dapat terwujud pada 2011. ATP Koleberes diharapkan menjadi rujukan bagi kabupaten lain di Jawa Barat.

Perkebunan kina

Pembangunan ATP Koleberes Cianjur dirintis oleh Pemda Jabar sejak tahun 2005. Hingga tahun ini, pembangunan ATP telah melibatkan KNRT, Kadin Jabar, Balitbangda Jabar, Dinas Pendidikan Jabar, Unpad, dan Depdiknas.

Kawasan ATP seluas 25 hektar ini terdiri dari kebun kina 6 ha, jagung 4 ha, jahe 5,75 ha, dan sisanya untuk hijauan makanan ternak, kopi, dan pisang. Juga terbangun kadang ternak, gedung pascapanen/prosessing: pengering hybrid (6 ton per hari), ruang prosesing hasil panen, dan gudang serta warung informasi teknologi, serta ruang pendidikan dan pelatihan.

ATP Koleberes Cianjur akan dikembangkan untuk perkebunan kina—kini masih impor 5.000 ton per tahun. Produksi kulit kina di dalam negeri sendiri hanya sekitar 1.800 ton per tahun.

Permintaan kulit kina oleh industri nasional tinggi karena kegunaannya beragam, yaitu untuk bahan baku farmasi, minuman ringan, kosmetik, penyamakan kulit, dan biopestisida.

Menurut Sutardjo, Indonesia memiliki jenis tanaman kina yang tinggi kandungan kinina sulfatnya, yaitu zat yang digunakan untuk membuat pil kina, di atas 14 persen—dua kali lipat dari kina di negara lain.

Penanaman tanaman perkebunan yang berjangka tahunan berfungsi untuk mengikat tanah sehingga mencegah longsor, erosi, dan sebagai penahan air untuk memperbaiki sistem hidrologis wilayah perbukitan itu. ”Pemilihan lokasi Koleberes Cikadu didasarkan hasil studi Badan Penelitian Pengembangan Daerah Jawa Barat yang merekomendasikan pengembangan kina di kawasan ini,” jelas Ophirtus Sumule, Kepala Bidang Pengembangan Sistem Jaringan Produksi KNRT.