18 April 2008

Kuasa Modal dan Reforma Agraria

Kuasa Modal dan Reforma Agraria
Kamis, 17 April 2008 | 00:27 WIB

Usep Setiawan

Tanggal 25 Maret 2008, Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk memenuhi sebagian dari tuntutan judicial review UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal.

Mahkamah Konstitusi (MK) hanya membatalkan Pasal 22, terkait hak atas tanah yang tertuang dalam UU ini. Selebihnya, UU ini dianggap konstitusional.

Keputusan MK ini ditanggapi seragam. Uniknya, yang kecewa bukan hanya penggugat, tetapi juga yang mendukung UU ini. Kalangan investor menganggap keputusan MK ini memupuskan harapan mereka untuk menanamkan modal di lapangan agraria (Kontan, 26/5/2008).

Penggugat pun kecewa. Keputusan ini dinilai tidak secara keseluruhan menganulir "kesesatan" ideologis yang tercermin dalam tubuh UU. Dikhawatirkan, Indonesia dengan mudah masuk ke alam penjajahan baru yang memanjakan investasi asing.

Tidak cermat

Gerakan Rakyat Melawan Neokolonialisme-Imperialisme (GERAK LAWAN)—koalisi lembaga-lembaga penggugat—memandang putusan para hakim konstitusi itu tidak cermat.

Pertama, perlakuan sama yang tidak membedakan asal negara (Pasal 3) dianggap konstitusional. Seharusnya, arah pembangunan lebih memprioritaskan kepentingan nasional. UUD 1945 tegas menyatakan cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat dalam sistem perekonomian berbasis ekonomi kerakyatan.

Kedua, kekhawatiran berlangsungnya capital flight karena dibolehkannya pemindahan aset kapan dan di mana pun (Pasal 8), dianggap tidak beralasan oleh MK. Padahal, fakta di lapangan menunjukkan, repatriasi aset berkorelasi langsung dengan kebijakan pemutusan hubungan kerja secara massal.

MK menyatakan, masalah penguasaan atas tanah akan dikembalikan pada UUPA 1960. Dalam praktik, UUPA 1960 tak pernah dicabut, tetapi tidak pula dijalankan. Yang justru berjalan adalah UU sektoral yang lebih menguntungkan modal internasional.

GERAK LAWAN mengingatkan para hakim konstitusi, pemerintah, parlemen, partai politik, dan pengusaha agen modal internasional untuk bertanggung jawab atas terjajahnya Indonesia, masifnya konflik agraria, PHK massal, kelaparan dan penderitaan rakyat, menyusul putusan atas UUPM ini.

Kembali ke UUPA

Bagi penulis, pembatalan klausul UUPM yang secara langsung menyentuh substansi UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) patut diapresiasi dan diberi jalan alternatif. Paling tidak, pembatalan ketentuan tentang hak guna usaha (95 tahun), hak guna bangunan (80 tahun), dan hak pakai (70 tahun) sebagai pintu masuk bagi raksasa kapital asing di republik ini kini tertutup sudah.

Lebih lanjut, pembatalan Pasal 22 UUPM membawa konsekuensi yang menuntut perhatian para pembentuk kebijakan (legislasi) nasional. Setidaknya tiga tantangan menanti di depan mata.

Pertama, perlu pengukuhan kembali semangat, posisi, dan eksistensi UUPA sebagai dasar hukum segala legislasi dan peraturan operasional terkait tanah, air, udara, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Kedua, karena UUPA adalah payung, maka seluruh produk legislasi terkait perlu ditinjau ulang. Bagi UU yang bertentangan dengan semangat dan isi UUPA harus dicabut atau diganti. Untuk yang belum utuh perlu penyesuaian sehingga konsisten dengan UUPA. Untuk kebolongan-kebolongan hukum yang ada perlu ditambal dengan pembentukan peraturan perundang-undangan baru yang sifatnya mengoperasionalkan amanat UUPA.

Ketiga, salah satu agenda mendesak adalah penyusunan UU Reforma Agraria guna menambal kebolongan hukum terkait operasionalisasi program reforma agraria. Program pembaruan agraria nasional yang direncanakan pemerintah membutuhkan dasar hukum kuat dan konprehensif. Karena itu, penyusunan UU reforma agraria harus segera menjadi agenda prioritas pemerintah bersama parlemen.

Kemenangan kecil

Tahun lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berjanji akan mulai menjalankan reforma agraria (31/1/2007). Hingga kini, belum terwujud. Dari segi momentum, reforma agraria dikhawatirkan kian memudar.

Memudarnya rencana reforma agraria, terkait ketidaktegasnya kepemimpinan politik nasional dalam mengarahkan reforma agraria. Tidak solidnya jajaran pemerintahan pusat dan daerah, melambatkan agenda besar ini.

Suhu politik menjelang Pemilu 2009 pasti akan menunda hampir semua agenda besar, seperti reforma agraria. Tajamnya perbedaan dan lebarnya spektrum kepentingan dalam konfigurasi politik lokal dan nasional memacetkan agenda populis yang dicetuskan presiden.

Dari sisa waktu, di tengah kemacetan politik, sulit mengharapkan pemerintahan mampu mewujudkan reforma agraria sebagai strategi alternatif menanggulangi kemiskinan, pengangguran, dan ketidakadilan sosial.

Satu hal yang perlu dirawat adalah berkecambahnya harapan bahwa keadilan sosial lewat perwujudan keadilan agraria adalah solusi tak terbantahkan. Yang layak digencarkan, mendorong kekuatan rakyat untuk meraih aneka kemenangan kecil, meski terbatas tetapi terukur, sambil menunggu hasil Pemilu 2009.

Usep Setiawan
Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria

11 April 2008

Kopi Kurangi Risiko Kanker Hati

Pikiran Rakyat, 24 Maret 2006

MINUM kopi secara teratur dapat menurunkan risiko penyakit hati yang disebabkan konsumsi alkohol. Penelitian di AS menunjukkan, risiko pembentukan penyakit cirrhosis karena alkohol menurun hingga 22 persen untuk setiap cangkir kopi yang diminum setiap hari. Dalam laporannya di Archieves of Internal Medicine, para ahli mengingatkan bahwa mengurangi konsumsi alkohol adalah cara yang paling efektif mencegah kerusakan hati. Untuk melihat kerusakan di hati, mereka mengukur enzim tertentu di darah. Sesuai prediksi, kadar enzim jauh lebih tinggi pada pecandu berat. Meski demikian, orang yang mengonsumsi alkohol dan kopi memiliki kadar enzim yang rendah daripada yang hanya alkohol. "Interaksi sebab akibat kopi dan etanol terhadap hati terbukti, namun kita harus tetap berpikir bahwa kopi mungkin hanya salah satu potensi yang menurunkan risiko cirrhosis," kata Dr. Arthur Klatsky dari Kaiser Permanente Division of Research di California, AS.(bbc.co.uk/zam)*

09 April 2008

AGRA & KRKP: Duabelas Peserta Aksi untuk Menyerukan Penyelamatan Beras Lokal ditangkap! Polda Jaya telah Bertindak Berlebihan!

Siaran Pers Bersama AGRA dan KRKP

Siaran Pers Bersama

Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI), Front Mahasiswa Nasional (FMN)

Duabelas Peserta Aksi untuk Menyerukan Penyelamatan Beras Lokal ditangkap! Polda Jaya telah Bertindak Berlebihan!

· Kepolisian Daerah Jakarta Raya harus membebaskan seluruh peserta aksi yang ditangkap (8/4) tanpa syarat!

· Tolak tindakan berlebihan Kepolisian Daerah Jakarta Raya yang mengancam kebebasan berpendapat bagi seluruh rakyat!



Jakarta—Pada tanggal 8 April 2008, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) bersama Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) dan beberapa elemen lain menggelar aksi demonstrasi untuk mengampanyekan tentang pentingnya penyelamatan beras lokal sebagai salah satu usaha untuk mewujudkan kedaulatan pangan.

Aksi ini diselenggarakan sebagai salah satu bagian dari rangkaian evaluasi kampanye menolak penyebaran beras organik di Asia yang pada tahun ini dilaksanakan di Indonesia dengan tuan rumah pelaksana, yakni Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) dan Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA).

Didalam aksi tersebut, delegasi-delegasi dari berbagai negeri di Asia yang turut dalam forum evaluasi tersebut, turut mengikuti rangkaian aksi. Hal ini sebagai salah satu bentuk solidaritas internasional yang ditunjukkan oleh sesama aktivis di Asia yang peduli pada kelangsungan hidup bibit padi lokal sebagai salah satu instrument pokok untuk menegakkan kedaulatan pangan dan menanggulangi krisis harga pangan dunia yang telah menyengsarakan rakyat di hampir seluruh negara Asia.

Witoro, dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, mengatakan bahwa pihaknya telah memberikan pemberitahuan perihal pelaksanaan aksi tersebut kepada Kepolisian Daerah Jakarta Raya. Di dalam pemberitahuan tersebut, disebutkan pula bahwa delegasi-delegasi internasional akan turut serta mengikuti aksi tersebut.

Pemberitahuan juga telah diajukan kepada Menteri Pertanian RI, Ir. Anton Aprijantono dan telah mendapatkan persetujuan darinya. Bahkan, sebelum penangkapan, Menteri Pertanian Anton Aprijantono menyempatkan diri untuk bertemu dan berdialog dengan seluruh delegasi internasional dan delegasi dari Indonesia yang diwakili KRKP dan AGRA.

Namun di lapangan, pihak Polda Jaya malah seolah menepis hal itu dan bersikukuh memaksa para delegasi internasional yang turut dalam aksi untuk datang ke Mapolda.

Pada saat ini, seluruh delegasi internasional, diantaranya Teoh, Clare, Sorah (PAN-AP, Malaysia); Rodha (APC, Filipina), dan beberapa delegasi lain dari Thailand dan Vietnam. Di samping para delegasi dari internasional, beberapa peserta dari Indonesia, Witoro (KRKP), Rahmat (AGRA), dan Erpan Faryadi (AGRA) yang turut dalam aksi tersebut telah berada di Mapolda untuk dimintai keterangan. Belum jelas apa yang akan dilakukan oleh pihak kepolisian.

Penangkapan ini adalah suatu aksi yang berlebihan serta menunjukkan ketidakprofesionalan pihak kepolisian. Sikap ini menunjukkan bahwa pihak pemerintah Indonesia masih sensitifitas atas masalah.

Bila mengingat bahwa tema aksi yang diusung adalah mengenai sikap penolakan terhadap beras hasil rekayasa genetik yang terbukti tidak higienis dan seruan untuk penyelamatan beras lokal sebagai instrument pokok, sesungguhnya tidak ada alasan bagi Kepolisian untuk menangkap para peserta, termasuk delegasi internasional.

Oleh karenanya, kami menuntut BEBASKAN SELURUH PESERTA AKSI YANG SAAT INI DITANGKAP OLEH KEPOLISIAN DAERAH JAKARTA RAYA.

Demikian, terima kasih

Juru Bicara

Ragil Sugiyarna
Aliansi Gerakan Reforma Agraria

Kemandirian Pangan dan Gerakan Politik Tani

Oleh Tutut Herlina

JAKARTA – ”Kita harus mulai berpikir beberapa bulan ke depan. Karena pada masa itu, dunia akan mengalami krisis pangan. Kita harus bersiap-siap”. Peringatan itu muncul dari mantan Menteri Perekonomian Rizal Ramly dalam diskusi di Caffee Marios Place, Jakarta Pusat, akhir tahun 2007 lalu. Sejurus kemudian, kritikan atas kebijakan negara soal pertanian juga meluncur deras.

Dia menilai, Indonesia sebagai negara agraris seharusnya memetik hasil atas krisis tersebut, karena jumlah tanah untuk pertanian sebenarnya sangat luas dan mencukupi untuk meningkatkan produksi pertanian. Namun, dalam kenyataannya, hal tersebut tidak mungkin terjadi di bumi nusantara.

Penyebabnya adalah kebijakan negara yang tidak pernah memihak kaum tani. Sejak zaman Orde Baru (Orba) pembangunan pertanian lebih diarahkan untuk kepentingan pemilik modal industri pertanian.

Selang beberapa bulan kemudian dan hingga saat ini negeri ini memang dihadapkan pada masalah pangan akibat kenaikan harga pangan dunia. Rakyat panik. Meski pemerintah mengaku stok pangan mencukupi, faktanya harga beras di pasar tradisional mulai merambat naik.

Melihat kondisi ini, sejumlah jalan keluar digaungkan dari para pengamat melalui media massa maupun diskusi-diskusi. Pendapat pun terbelah antara kelompok yang berhaluan neoliberal dengan kelompok prokerakyatan.

Bagi kelompok berhaluan neoliberal, jalan keluar yang diberikan adalah pencabutan subsidi beras dan menganjurkan penggunaan mekanisme pasar. Pemerintah hanya didorong untuk menciptakan lapangan pekerjaan, supaya rakyat bisa melakukan pembelian.

Tentu saja pendapat ini ditentang kelompok yang prokerakyatan. Bagi mereka, mendorong penciptaan lapangan pekerjaan, tetapi di sisi lain menafikan keberadaan pangan murah tentu saja akan menimbulkan kebijakan yang kontraproduktif. Bagaimanapun juga, kesediaan pangan murah lebih membawa dampak pada kesejahteraan yang lebih memadai, tatkala upah buruh di negeri ini juga masih terbilang murah.

Direktur Internasional for Global Justice (IGJ) Bonny Setiawan menegaskan ketahanan pangan Indonesia saat ini lemah karena prioritas pada sektor pertanian hanya pemanis bibir. Banyak kebijakan yang dibuat oleh penguasa umumnya lebih menguntungkan para pemilik modal.

Petani dalam negeri dibiarkan bersaing dengan industri pertanian dalam sebuah mekanisme pasar bebas. Dari sisi akses ekonomi dan politik mempersaingkan petani miskin dengan pemiliki modal sama artinya seperti yang diistilahkan sosiolog Arief Budiman, sebagai sebuah kebijakan memperdagangkan ayam dengan musang dalam satu pasar.

Artinya, ayam tak akan pernah bisa melawan musang, tapi sebaliknya, ayamlah yakni petani miskin yang dimakan oleh musang yang dalam hal ini adalah pemilik modal.
Karena itu, jika ingin keluar dari jeratan ketergantungan, pemerintah seharusnya mulai melakukan pengawasan terhadap bantuan beras dan pangan lainnya supaya tidak menjadi introduksi untuk memasukkan pangan impor dan mengacaukan pangan dalam negeri.
Selama ini banyak bantuan asing yang dibungkus sebagai program kemanusiaan ternyata tidak lebih dari usaha untuk memasukkan komoditas negara pemberi bantuan secara pelan-pelan, yang kemudian hari malah menggeser produk-produk dalam negeri.

Sebuah strategi jangka panjang sangat diperlukan, mulai dari mensubsidi petani di bidang pupuk, mengembalikan fungsi Bulog sebagai regulator, pengoperasionalan kembali lumbung-lumbung padi, kemudahan distribusi serta proteksi pangan dalam negeri. Khusus untuk subsidi, kebijakan harus lebih diarahkan pada pemberian jaminan berupa asuransi petani sebagai back up jika panen gagal.

”Di negara maju yang kapitalis justru kaum tani menjadi prioritas. Dulu di Indonesia ada bulog tetapi korup. Kalau pemerintah mau seharusnya Bulog kembali seperti dulu tapi harus bersih, bukan malah menyerahkan ke mekanisme pasar,” katanya.

Mengorganisasi Petani

Mantan anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI) Wiladi juga mengatakan ke depan diperlukan adanya insentif dan disinsentif bagi para petani. Ini untuk mendorong petani menanam tanaman pokok ketimbang menanam tanaman komoditas yang lagi ngetren.
”Harus diperbaiki sistemnya. Harus dipikirkan juga membuat lumbung-lumbung karena ada global warming,” katanya. Sealin itu, kata Wiladi, perbaikan juga bisa dilakukan dari petani sendiri dengan cara berkreasi dan melakukan penghitungan secara konkret sebelum masa tanam.

Namun, itu hanya ekonomisme. Karennya, Harry Subagyo dari Serikat Tani Nasional (STN) menegaskan, perubahan tak hanya bertumpu pada penguasa, tetapi juga bisa dilakukan dari kaum tani sendiri dengan cara mengorganisir diri. Ini merupakan jalan keluar bagi kaum tani yang paling tepat karena kebijakan yang dilahirkan oleh negara yang diwakili kelas kapital tidak bisa diharapkan dan hanya menghamba pada kepentingan kapitalisme global.

Kaum tani, kata Harry, juga harus sadar, sedang berhadapan dengan kaum penghisap dan penindas yang berpotensi mendominasi kehidupan masyarakat Indonesia. ”Ini agar petani bisa membebaskan diri dari aksi-aksi mereka menentang kepentingan kaum penindas dan penghisap beserta alat-alat politiknya. Tanpa itu, petani yang sekarang memang menjadi fokus di negeri ini akan tetap tertindas karena tak ada partai politik yang membela kepentingan mereka,” kata Herry.

Pada akhirnya, petani memang harus mengorganisasi diri, melakukan tindakan-tindakan untuk mempengaruhi jalannya transformasi sosial-politik. Kaum tani harus berjuang dan sadar bahwa mereka mewakili sebuah kelas dalam masyarakat yang mayoritas, yang dalam teori sosial disebut sebagai kelompok yang memiliki ”takdir” untuk menjadi agen perubahan.

Petani perlu bersatu dalam sebuah gerakan politik dan tidak boleh hanya bertumpu pada ekonomisme. Pasalnya, ekonomisme justru hanya menjauhkan kaum tani untuk mendapatkan hak-haknya melalui perjuangan politik. Tanpa itu, petani akan semakin tertindas di tengah globalisasi. n

08 April 2008

AGRA & KRKP: Duabelas Peserta Aksi untuk Menyerukan Penyelamatan Beras Lokal ditangkap! Polda Jaya telah Bertindak Berlebihan!

Siaran Pers Bersama

Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI), Front Mahasiswa Nasional (FMN)

  • Duabelas Peserta Aksi untuk Menyerukan Penyelamatan Beras Lokal ditangkap! Polda Jaya telah Bertindak Berlebihan!
  • Kepolisian Daerah Jakarta Raya harus membebaskan seluruh peserta aksi yang ditangkap (8/4) tanpa syarat!
Tolak tindakan berlebihan Kepolisian Daerah Jakarta Raya yang mengancam kebebasan berpendapat bagi seluruh rakyat!

Jakarta—Pada tanggal 8 April 2008, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) bersama Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) dan beberapa elemen lain menggelar aksi demonstrasi untuk mengampanyekan tentang pentingnya penyelamatan beras lokal sebagai salah satu usaha untuk mewujudkan kedaulatan pangan.

Aksi ini diselenggarakan sebagai salah satu bagian dari rangkaian evaluasi kampanye menolak penyebaran beras organik di Asia yang pada tahun ini dilaksanakan di Indonesia dengan tuan rumah pelaksana, yakni Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) dan Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA).

Didalam aksi tersebut, delegasi-delegasi dari berbagai negeri di Asia yang turut dalam forum evaluasi tersebut, turut mengikuti rangkaian aksi. Hal ini sebagai salah satu bentuk solidaritas internasional yang ditunjukkan oleh sesama aktivis di Asia yang peduli pada kelangsungan hidup bibit padi lokal sebagai salah satu instrument pokok untuk menegakkan kedaulatan pangan dan menanggulangi krisis harga pangan dunia yang telah menyengsarakan rakyat di hampir seluruh negara Asia.

Witoro, dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, mengatakan bahwa pihaknya telah memberikan pemberitahuan perihal pelaksanaan aksi tersebut kepada Kepolisian Daerah Jakarta Raya. Di dalam pemberitahuan tersebut, disebutkan pula bahwa delegasi-delegasi internasional akan turut serta mengikuti aksi tersebut.

Pemberitahuan juga telah diajukan kepada Menteri Pertanian RI, Ir. Anton Aprijantono dan telah mendapatkan persetujuan darinya. Bahkan, sebelum penangkapan, Menteri Pertanian Anton Aprijantono menyempatkan diri untuk bertemu dan berdialog dengan seluruh delegasi internasional dan delegasi dari Indonesia yang diwakili KRKP dan AGRA.

Namun di lapangan, pihak Polda Jaya malah seolah menepis hal itu dan bersikukuh memaksa para delegasi internasional yang turut dalam aksi untuk datang ke Mapolda.

Pada saat ini, seluruh delegasi internasional, diantaranya Teoh, Clare, Sorah (PAN-AP, Malaysia); Rodha (APC, Filipina), dan beberapa delegasi lain dari Thailand dan Vietnam. Di samping para delegasi dari internasional, beberapa peserta dari Indonesia, Witoro (KRKP), Rahmat (AGRA), dan Erpan Faryadi (AGRA) yang turut dalam aksi tersebut telah berada di Mapolda untuk dimintai keterangan. Belum jelas apa yang akan dilakukan oleh pihak kepolisian.

Penangkapan ini adalah suatu aksi yang berlebihan serta menunjukkan ketidakprofesionalan pihak kepolisian. Sikap ini menunjukkan bahwa pihak pemerintah Indonesia masih sensitifitas atas masalah.

Bila mengingat bahwa tema aksi yang diusung adalah mengenai sikap penolakan terhadap beras hasil rekayasa genetik yang terbukti tidak higienis dan seruan untuk penyelamatan beras lokal sebagai instrument pokok, sesungguhnya tidak ada alasan bagi Kepolisian untuk menangkap para peserta, termasuk delegasi internasional.

Oleh karenanya, kami menuntut BEBASKAN SELURUH PESERTA AKSI YANG SAAT INI DITANGKAP OLEH KEPOLISIAN DAERAH JAKARTA RAYA.


Demikian, terima kasih
Juru Bicara
Ragil Sugiyarna
Aliansi Gerakan Reforma Agraria

01 April 2008

Gajah Liar Rusak Kebun Sawit

31/03/08

Bengkulu (ANTARA News)
- Kawanan gajah liar yang berada dalam kawasan Pusat Latihan Gajah (PLG) Seblat keluar dari kawasan itu dan merusak 1.256 tanaman sawit milik PT Agricinal di Kecamatan Putri Hijau Kabupaten Bengkulu Utara dan satu pos jaga di sekitar perkebunan.

Koordinator PLG Seblat, Aswin Bangun, Senin, mengatakan maraknya kegiatan perambahan liar membuat gajah merasa terganggu dan keluar dari dalam kawasan untuk mencari makan.

"Apalagi hutan koridor sebagai jalan gajah dari kawasan PLG ke TNKS sudah terputus akibat perambahan sehingga lokasi tempat gajah mencari makan semakin sulit, akhirnya mereka keluar kawasan dan memakan tanaman sawit milik Agricinal," ujarnya.

Tanaman sawit yang rusak tersebut bukan hanya milik PT Agricinal tapi ada juga milik masyarakat yang berada di sekitar pinggiran kawasan PLG.

Aswin menjelaskan, serangan gajah liar tersebut sudah terjadi sejak pertengahan Februari lalu dengan jumlah gerombolan gajah yang keluar antara 50-60 ekor.

Untuk mengatasi gangguan gajah liar tersebut pihak perkebunan sudah minta bantuan dari BKSDA untuk mengatasi gajah liar tersebut.

Menanggapi pengaduan tersebut pihak BKSDA sudah mengirim tiga gajah binaan dan mendirikan pos di sekitar kawasan yang sering dimasuki gajah liar.

Aswin mengatakan, maraknya gajah liar keluar dari kawasan karena habitat mereka terganggu dan bunyi gergaji mesin juga ikut membuat gajah keluar dari dalam kawasan.

Gajah merupakan hewan liar yang mempunyai pendengaran yang cukup peka sehingga ketika ada bunyi gergaji mesin mereka akan berusaha menghindar dari dekat daerah tersebut.

Ketika ditanya, ia mengatakan baru dalam dua bulan terakhir gajah liar dalam kawasan PLG keluar untuk mencari makan.

Untuk mengatasi gangguan gajah liar tersebut, Aswin mengimbau masyarakat jangan terus membuka lahan dan menebangi hutan yang selama ini menjadi habitat gajah.

Kegiatan penebangan liar itu tidak hanya menganggu gajah, tapi juga satwa liar dan buas lainnya seperti harimau, beruang dan mereka juga bisa masuk ke perkampungan penduduk.(*)


COPYRIGHT © 2008