29 Desember 2008

Independent candidates win Garut election

The Jakarta Post ,  Jakarta   |  Sun, 12/28/2008

Independent regent candidate Aceng H.M. Fikri and his running mate Diki Chandra have won the second round of voting in Garut regency, West Java, to become the new Garut regent and deputy regent, the local elections commission (KPUD) announced Sunday.

KPUD chairman Mohammad Iqbal Santoso told Antara news agency that Aceng won 535,289 votes, or 55.8 percent of total votes cast.

Aceng beat out Rudi Gunawan and his running mate Oim Abdurochim, backed by the Golkar Party and the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P). Rudi took in 423,263 votes, or 44.2 percent of total votes.

A total of 985,898 votes were cast during the second round of the election, or 62.3 percent of total registered voters.

After the KPUD's announcement, actor and TV host Diki Chandra pledged to leave behind the glitz and glamour of the showbiz world, saying he would do his best to keep the promises he made while campaigning.

Garut is a popular tourist destination in West Java.

11 Desember 2008

Sekolah Lapangan: Kekuatan Ada di Halaman Sendiri

KOMPAS/AUFRIDA WISMI WARASTRI / Kompas Images
Seorang petani memperlihatkan hasil kebun cokelat yang sudah dirawat di Desa Siforrasi, Kabupaten Nias, Sumatera Utara.

Kompas, Selasa, 9 Desember 2008

Oleh AUFRIDA WISMI WARASTRI

Ternyata memang perlu sekolah untuk mengetahui betapa kayanya alam yang dipunyai, dinikmati, dan terutama menghidupi selama ini. Dalam sekolah muncul sebuah kesadaran bahwa dengan perawatan dan pemeliharaan yang baik, alam akan memberi pengembalian yang paling baik pula kepada manusia.

Hal ini dibuktikan oleh warga Desa Siforoasi, Kecamatan Bawolato, Kabupaten Nias. Selama ini semua tersedia melimpah di Desa Siforoasi. Tanaman kakao tumbuh rimbun. Babi, ternak khas Nias, tumbuh gemuk dan bisa disembelih saat pesta atau menjadi investasi untuk mahar dalam perkawinan.

Namun, saat warga Desa Siforoasi, Kecamatan Bawolato, Kabupaten Nias, baik ibu maupun bapak bergabung dalam sekolah lapangan di balai desa setempat, mereka baru sadar bahwa dengan perawatan yang baik, hasil tanaman dan ternak itu akan lebih baik. Ternak dan tanaman akan lebih sehat, manusianya juga lebih sehat.

Sekolah lapangan itu juga mengajak siswa melakukan pendekatan dalam mengolah tanah secara organik.

Hal ini dirasakan salah satunya oleh Nurlida Bawamenewi (27). Empat kali dalam satu minggu selama enam bulan warga Desa Siforoasi itu bersekolah. Dua kali seminggu ibu tiga anak itu belajar bagaimana memelihara babi, dua kali seminggu lainnya ia belajar bagaimana memelihara tanaman kakao atau cokelat.

Di sekolah peternakan, Nurlida belajar dari mencuci kandang babi, memandikan babi, mengidentifikasi penyakit babi, meramu makanan yang sehat untuk babi, hingga menyuntikkan obat ke tubuh hewan tambun itu. ”Selama ini ya kami kasih makan saja ke babi,” tutur Nurlida akhir September lalu.

Ia baru tahu, agar bisa cepat tumbuh, saat masih kecil, gigi babi harus dicopot. Sebelum gigi dicopot, babi harus disuntik vitamin B kompleks, supaya radang gusi cepat sembuh. Gigi babi dicopot supaya babi banyak minum susu induknya dan tidak mengigit induknya.

Selain daun ubi, babi juga perlu diberi makanan tambahan, berupa campuran parutan kelapa dan telur.

Sedangkan di sekolah cokelat ia belajar memelihara tanaman coklat yang selama ini sudah tumbuh di ladangnya. Bagaimana memangkas pohon cokelat supaya hasilnya maksimal, bagaimana memupuk pohon dengan kotoran babi yang sudah diolah, hingga bagaimana mengeringkan biji-biji cokelat supaya hasilnya lebih harum dan punya nilai jual tinggi. Diajarkan pula teknik okulasi.

Bagaimana jika pohon cokelat diserang ulat? Cukup lubang tempat ulat berada disumpal tembakau. Ulat pasti mati.

Kakao

Pulau Nias yang selalu diguyur hujan ternyata juga menguntungkan petani kakao karena tanaman kakao di Nias tak mengenal gugur daun. Produksi terus bisa terjadi.

Cokelat dan babi sudah menghidupi Nurlida dan sekitar 2.500 warga Siforoasi selama hidupnya. Semuanya tumbuh bersama dirinya di seputar pekarangan rumah. Hanya saja selama ini Nurlida dan juga warga Siforoasi tidak tahu bagaimana merawatnya.

Selama ini jebolan sekolah dasar itu mendapatkan ilmu perawatan pertanian dan peternakan dari orangtuanya sebagai sebuah kebiasaan tanpa tahu alasannya. Ketidaktahuan itu sekarang terbuka.

Jika sebelumnya kandang babi hanya sebatas kandang belaka plus bau busuk kotoran babi, sekarang kandang babi selalu bersih diguyur air. Saluran pembuangan air dibuat di setiap kandang babi. Kotoran babi dikumpulkan di belakang kandang untuk dijadikan pupuk tanaman cokelat.

Dua kali sehari Nurlida membersihkan kandang babi. Babi juga ia sikat dua kali sehari. ”Empat bulan saya lakukan itu, babi sehat, cepat besar, makannya banyak, dan tidak bau,” kata Nurlida.

Sedangkan tanaman cokelat yang biasanya tumbuh bersama semak-semak dan penuh dahan- dahan kini terpotong rapi dengan tanah yang bersih. Semak- semak, dahan, dan kulit buah biji cokelat yang sudah dipanen juga tidak dibuang begitu saja. Sampah organik itu ditanam ke tanah untuk dijadikan pupuk.

Nurlida merasakan memang perbedaan babi yang dirawat baik dengan babi yang hanya diberi makan. Meskipun sama- sama gemuk, babi yang tidak dirawat tubuhnya penuh lemak seperti yang selama ini terjadi. Sementara babi yang dirawat baik menjadi gemuk karena tubuhnya penuh daging. Saat ditimbang, babi yang dirawat baik lebih berat dibandingkan babi yang tidak dirawat.

Demikian juga dengan kakao. Tanaman kakao yang dirawat menghasilkan biji kakao yang lebih besar dan berisi. Setiap butir dalam buah kakao menjadi biji yang padat meskipun jumlahnya sedikit.

Heribertus Bawamenewi (26) yang 250 batang kakaonya dijadikan demplot sekolah lapangan menunjukkan perbedaan biji kakao dari tanaman yang dirawat dengan baik dan dirawat seadanya.

Biji kakao yang dipangkas dahannya, disiangi tanahnya, dipupuk organik, hasilnya lebih padat. Sementara yang dirawat ala kadarnya, dipupuk dengan pupuk kimia, justru banyak yang kopong. ”Dulu dalam satu kali panen maksimal 5 kilogram, sekarang ada 12 kilogram,” ujar Heribertus. Biasanya dalam satu ons kakao terdapat 120 biji kakao, sekarang cukup 80 biji kakao.

Sekolah pertanian

Sekolah pertanian itu juga membuat wawasan para peserta meluas. Perlakuan yang sama di sekolah antara laki-laki dan perempuan membuat peserta perempuan lebih percaya diri.

Dalam salah satu pelajaran, seluruh tugas harian bapak dan ibu diinventarisasi. Ternyata ditemukan bahwa pekerjaan seorang ibu lebih banyak daripada pekerjaan bapak. Selain harus mengurus rumah dan makan bagi seluruh keluarga, tanggung jawab merawat kebun dan ternak sejatinya ada pada ibu. Sementara para bapak lebih bertanggung jawab pada hal-hal di luar rumah. Para bapak pun akhirnya tersadar selama ini telah membebani istri mereka dengan banyak pekerjaan.

Mengapa Heribertus, Nurlida, dan warga Siforoasi begitu antusias dengan sekolah pertanian itu? ”Selama ini tidak pernah ada kegiatan seperti ini, kami ini seolah tidak pernah diperhatikan,” kata Kepala Desa Siforoasi Fatulusi Bawamenewi (32). ”Sekolah ini ibarat kail, bukan materi yang kami dapat, tetapi ilmu yang sangat bermanfaat bagi kami,” kata Fatulusi.

Sekolah dimulai pukul 09.00 hingga pukul 15.00 di balai desa. Di Dusun III ada 99 ibu yang ikut kelas ternak dan 99 bapak yang ikut kelas kakao, khususnya di Dusun III. Total 610 petani di Siforoasi, 340 petani perempuan, dan 290 petani laki-laki yang mengikuti sekolah. Sekolah juga mendidik kader-kader petani.

Sekolah yang diselenggarakan sebuah tim kerja sama antara Oxfam dan Pertanian Alternatif Sumatera Utara (Pansu) itu menarik karena mereka tidak hanya berdiskusi, tetapi juga praktik dalam demplot percontohan. Selama enam bulan peserta benar-benar bisa membuktikan perbedaan antara kakao yang dirawat dan yang tidak dirawat serta babi yang dirawat dan yang tidak dirawat.

Para siswa sekolah lapangan itu juga membentuk koperasi. Setiap bulan siswa membayar iuran Rp 10.000. Ada tiga koperasi yang dibentuk di Desa Siforoasi. ”Uangnya sudah bisa dipinjam,” kata Nurlida yang juga kader koperasi itu.

Sayangnya, desa yang masyarakatnya bersemangat itu tidak terfasilitasi infrastruktur yang baik. Desa itu terisolasi oleh Sungai Idanömulö yang lebarnya 60 meter. Tak ada jembatan yang menghubungkan Desa Siforoasi dengan desa tetangga. Untuk mencapai Desa Siforoasi, seseorang harus menyeberang sungai. Kalau banjir, air sungai baru surut setelah lima jam.

”Padahal, dalam seminggu kami bisa menghasilkan dua truk kakao,” kata Fatulusi. Desa berpenduduk 2.500 jiwa itu juga belum teraliri listrik. Tidak ada kendaraan di desa yang terbagi dalam empat dusun itu. Perjalanan ke dusun lain dan desa tetangga harus dilakukan dengan jalan kaki selama dua jam. Petugas kesehatan di puskesmas desa setempat pun hengkang karena tidak betah.

”Kami harus berobat ke desa tetangga sehingga banyak warga kami yang meninggal karena terlambat ditangani,” kata Fatulusi.

Ini yang membuat masyarakat sangat gembira ketika ada lembaga yang membantu daerahnya dan memberi perhatian. Bukankah pemerintah juga punya penyuluh pertanian?

Menurut sejumlah warga, penyuluh pertanian bukan orang pertanian. Selama ini malah sibuk berdagang. ”Tidak ada pejabat yang pernah datang ke desa kami,” kata Fatulusi. Pejabat yang datang pertama kali ke desa itu adalah Kepala Subdin Koperasi Dinas Koperasi Kabupaten Nias T Mendrofa yang harus berjuang menyeberang menembus banjir untuk mencapai desa itu. Ia datang mewakili kepala dinas untuk hadir dalam acara penyerahan sertifikat kelulusan sekolah lapangan sekaligus pendirian koperasi. ”Saya juga baru pertama kali ke sini,” tutur Mendrofa.

Saat masyarakat bekerja giat dan sadar akan kekayaan alamnya dan kini mampu mengembangkannya sendiri, pemerintah ditunggu memfasilitasi infrastruktur.

10 Desember 2008

House bill to upgrade standards for OFW security

The Philippines Times, Dec. 10, 2008

A planned means to raise standards of protection and assistance for migrant labourers moved nearer to becoming a law after it passed the committee level at the House of Representatives.

The proposed measure, which is anticipated to replace House Bills 628, 699, 700, 769 and 4783, earned the approval of the House Committee on Overseas Workers Affairs for plenary deliberations.

In an article in the House of Representatives website, the bill seeks to amend Republic Act No. 8042, otherwise known as "The Migrant Workers and Overseas Filipino Act of 1995."

Under the provisions of the bill, every worker deployed or processed by the Philippine Overseas Employment Administration and any other licensed recruitment agency shall be covered by a compulsory employment liability insurance equivalent to three months of the labourer's wage for every year of his contract.

Furthermore, only reputable private insurance companies registered with the Insurance Commission (IC), duly endorsed by a known accredited association of recruitment agencies and are in existence for at least five years will be qualified to offer the said insurance coverage.

The bill also works on adding three members to the current composition of the Boards of POEA and the Overseas Workers Welfare Administration (OWWA).

The members will come from the women, sea-based and land-based sectors respectively, to be selected and nominated openly by the general membership of the sector being presented.

The process will be kept open, transparent and democratic, according to its pursuers.

It is also said that only non-government organizations that safeguard the welfare and promote the rights of migrant Filipino workers registered and in good name for three years will be the ones eligible to nominate for the board.

09 Desember 2008

Siaran Pers: “Reforma Agraria adalah Pemenuhan Hak Asasi Warga Negara”

Siaran
Pers Bersama Peringatan Hari HAM

Organisasi Pelaku, Pendukung dan Penganjur Gerakan Reforma Agraria

"Reforma Agraria adalah Pemenuhan Hak Asasi Warga Negara"


2008 adalah tahun buruk bagi dunia dan khususnya di Indonesia. Rakyat,
tahun ini dan pada tahun depan terlanggar aksesnya kepada kebutuhan
sandang, pangan, papan, dan kesehatan sebagai akibat dari minimnya
perhatian negara terhadap pemajuan, pemenuhan dan perlindungan hak
asasi petani baik laki-laki maupun perempuan, pembaruan agraria dan
pembaruan desa berkelanjutan, sebagaimana diamanatkan dalam Deklarasi
Final ICARRD (International Conference on Agrarian Reform and Rural
Development – Konferensi Internasional tentang Pembaruan Agraria dan
Pembangunan Desa) tahun 2006.

Sepanjang tahun hingga akhir tahun ini, berita kematian akibat
kelaparan dan gizi buruk tetap merebak. Ambruknya sistem keuangan
dunia, dalam waktu singkat telah membuahkan kematian seorang perempuan
yang depresi akibat harga kelapa sawit yang diagung-agungkan
pemerintah melonjak jatuh, sementara pemerintah sibuk menutupi
lobang-lobang kebobrokan sistem perbankan Indonesia, tanpa pernah
belajar dari krisis 1997-1998, bahwa perekonomian nasional yang hanya
bisa terselamatkan oleh sektor informal (kaum miskin kota) dan
pertanian subsisten di pedesaan.

Pemerintah dan Parlemen harus mengambil langkah konkrit untuk menjawab
masalah krisis hari ini dengan mengeluarkan kebijakan dan program yang
mampu menjamin kelangsungan ketersediaan pangan, daya beli masyarakat,
dan jaminan bagi petani untuk dapat terus bekerja. Krisis hari ini,
khususnya krisis pangan tidak bisa dijawab hanya dengan himbauan.
Laporan anggota Dewan HAM PBB, dan deliberasi PBB jelas mengarah pada
desakan agar pemerintah berani menyediakan sumber daya bagi masyarakat
untuk dapat memperbaiki kebijakan yang salah mengenai pangan. Begitu
juga, Dewan HAM PBB mendesak pemerintah untuk tidak
begitu saja mengubah tanaman pangan menjadi energi bagi industri, dan
mendesak pemerintah memelihara keragaman pangan. Indonesia sebagai
anggota Dewan HAM PBB adalah bagian dari tanggungjawab itu.

Kami menuntut pemulihan hak konstitusi yang terkandung dalam pasal 28
UUD 1945, yaitu untuk melindungi diri dari tindakan yang melanggar hak
asasi manusia yang dilakukan oleh pihak negara atau pihak bukan negara
(termasuk pihak korporat) yang telah melindas segala bentuk keragaman
ekonomi rakyat. Dan dalam peringatan 60 tahun Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia, bersama dengan seluruh kalangan masyarakat dunia, kami
menyerukan bahwa manusia adalah ukuran terpenting globalisasi dan
kesejahteraan petani baik laki-laki maupun perempuan adalah tolak ukur
pembangunan pedesaan. Dan Reforma Agraria yang sejati, yang tidak
semata-mata mengatur hubungan manusia dengan tanah tetapi mengatur
hubungan antar manusia dengan ekosistem di atas tanah, merupakan jalan
bagi terwujudnya kesejahteraan petani dan pembangunan desa yang
berkeadilan bagi semua.

Untuk itu kami menyerukan agar pemerintah mengambil peran dalam
tatanan dunia sesuai cita-cita bangsa/pembukaan UUD 1945 dan memenuhi
tanggungjawab kepada warganya. Segala bentuk pelanggaran hak-hak
ekonomi sosial dan budaya akan kami sertakan dalam laporan 2008 kami
kepada Dewan Ekonomi, sosial dan budaya, maupun mekanisme di PBB
lainnya.

Kini setelah 68 Tahun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, saatnya
diwujudkan Kovensi Internasional Hak Asasi Petani dan pengadilan bagi
pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, serta saatnya
pengadilan untuk TNCs yang melakukan pelanggaran HAM berat

Jakarta, 09 Desember 2008

Hormat
Kami

IHCS (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice)
Bina Desa Sadajiwa
SPI (Serikat Petani Indonesia)
KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria
WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia)
SNI (Serikat Nelayan Indonesia)
Sains (Sajogyo Institute)
Dewan Tani Indonesia

Nb:
Kontak Person

Gunawan (Sekjend Komite Eksekutif IHCS)
081584745469

Jl. Kokar-AD No. 43 RT 12 RW 15 Menteng Dalam
Tebet Jakarta Selatan
www.ihcs.or.id

Tina Napitupulu (Staf Advokasi dan Kajian Bina Desa)
Jl. Saleh Abud 18-19 Otista Jakarta Timur 13330
www.binadesa.or.id

Agus Ruli A (Kepala Departemen Politik, Hukum, dan Keamanan SPI)
081585138077
Jalan mampang Prapatan XIV No 5 Jakarta Selatan
Telp. 021 -7991890 Fax 021 7993426
www.spi.or.id

05 Desember 2008

Intensive farming brings rewards

Trisha Sertori ,  Contributor ,  Gianyar   |  Thu, 11/27/2008

Hundreds of farmers across Bali and other parts of Indonesia are yielding bumper rice harvests from minimal seed use thanks to a revolutionary planting method.

The method allows for a 50 percent increase in harvest using just one 10th of the normal seed planted, virtually no chemical fertilizers and little water.

The System of Rice Intensification, or SRI, was first developed in Madagascar in the 1980s and has since been introduced to 36 nations across the globe, including major rice growers, China and Thailand.

Convincing local farmers that if they plant just five kilograms of seed over a hectare instead of the standard 50 kilograms of seed they will almost double their yield was hard work, say SRI adherents and trainers I Made Chakra, Made Warsa, Wayan Balik and Ketut Murjana.

Today across Bali, 32 subak, or water management organizations comprising hundreds of farmers, are applying SRI with an additional 40 farmers seeking training in the method.

"That's the problem with SRI -- it seems too good to be true. How can you plant just five to seven kilograms of rice instead of 50 kilograms and double the yield and have higher quality grains with fewer empty husks? But once farmers have tried the system they are convinced," said Warsa, who has been using SRI for the past four growing seasons and is now an SRI trainer.

A farmer measures the greater distance between single-seed planted SRI rice. (JP/J.B. Djwan)A farmer measures the greater distance between single-seed planted SRI rice. (JP/J.B. Djwan)

In conventional rice planting, 15 seedlings are planted at 15 centimeter intervals into flooded fields. With SRI, just one seedling is planted each 30 centimeters into muddy fields using organic fertilizers instead of chemical fertilizers.

On of the SRI trainers, respected organic farmer I Made Chakra, said the greater distance between seedlings allowed for better airflow where the single seedlings were not competing for soil nutrients.

This allowed the seedlings to grow heavier grain heads with higher productivity.

Young SRI farmer and trainer Wayan Balik said when he first saw the system he was skeptical, but willing to test the method on a small plot of land while still farming rice conventionally on the bulk of his land.

"I was very nervous about trying the system. I could not afford for it to be a failure, but I felt I had to test it for myself. The neighboring farmers all said I was crazy and that made me even more nervous," he said.

"But once I saw the seedlings growing so well I was very happy and relieved. The farmers around me have not actually joined SRI, but I have noticed they now plant just three seedlings at 30 centimeters apart."

Balik now uses SRI across his entire farm and is keen to lease additional land to increase his crop, protecting Bali's farmlands in the process.

"What I see is a lot of young people don't want to take over the family farms. A friend of mine is too old to continue farming and his kids don't want to be farmers.

"I would like to lease their land. That would give us all an income and protect the land from being sold," said Balik.

SRI farmers, (left to right) Ketut Murjana, Made Warsa, Wayan Balik and I Made Chakra examine organically fertilized soil ready for SRI planting. (JP/J.B. Djwan)SRI farmers, (left to right) Ketut Murjana, Made Warsa, Wayan Balik and I Made Chakra examine organically fertilized soil ready for SRI planting. (JP/J.B. Djwan)

Less rice is being produced annually on Bali, with more land sold and less available water for conventional rice farming.

Murjana, after seeing SRI in action, turned his entire crop over to the new system a year ago.

"I had seen SRI and I knew it worked. I had no fear applying this farming technique across all my rice fields. We (SRI farmers) are all going organic. We might as well, as chemical fertilizers are expensive and hard to find," Murjana said.

"With SRI, the grains are very healthy with few empty husks. I took 41 kilograms of rice to the miller and after milling I had 33 kilograms. That is a lot. You get much less milled rice if there are a lot of empty husks, which is what happens in conventional plantings."

With conventional rice production, almost 50 percent of the harvest weight is lost in the milling process. Under SRI, however, farmers lose just 25 percent of harvest weight during milling.

The rise in rice harvests along with massively reduced seed and fertilizer costs through SRI is allowing farmers the capital to expand their holdings and plant out more fields, generating further income and making rice farming more viable.

"SRI farming is viable and I don't need to sell my land, but can instead add to it. Farming is still very tough, but there is no way I would sell my land," said Warsa.

He said as farmers discover the benefits of SRI, it may help prevent the ongoing loss of arable lands to villas and hotels across Bali.

Other benefits of the system are that women and children readily learn the planting technique, according to Balik.

"This means that instead of having to employ outside help to plant, whole families work together in the rice fields, so money is saved there as well," said Balik.

Murjana agreed, adding there was less physical stress on the back with SRI, despite requiring greater work in planting and weeding the immature plants.

The greater workload is the only drawback to SRI seen by these farmers. But all agree the added work is well repaid in increased harvests, reduced fertilizer and seed costs and minimal water use.

"There is a message to the government in all this. The government needs to support farmers so their quality of life improves and they continue to grow the rice Indonesia needs," Balik said, pointing out that Indonesia has increased its annual import levels of rice, an issue hundreds of farmers across the archipelago believe needs to be seriously addressed.