10 Juni 2010

Walhi Laporkan Kasus Penembakan Petani Ke Polisi

THURSDAY, 10 JUNE 2010 - DEDE RIANI, WALHI

LSM lingkungan Walhi resmi melaporkan bentrokan yang terjadi antara para petani di Riau dengan aparat kepolisian ke Kepolisian Indonesia. Pasalnya akibat insiden ini 1 orang petani tewas dan 1 dalam kondisi kritis.

Direktur Walhi Nasional Erwin Usman mengatakan, 3 orang saksi akan dihadirkan untuk memperkuat bukti penembakan dilakukan oleh polisi. Walhi juga memiliki bukti foto-foto saat peristiwa perebutan lahan milik petani yang berlangsung ricuh, termasuk selongsong peluru yang mengenai salah satu petani Riau.

“Jadi ada statement dari kepolisian lokal yang diterbitkan di media lokal bahwa peluru yang bersarang di tubuh Isniar punggung tembus depan, itu bukan dari aparat kepolisian dan ini menarik bagi Walhi, karena visum yang kami lakukan kemarin, testimoni warga jelas yang menyebabkan kematian bukan karena benda tumpul tapi karena peluru itu,” papar Erwin Usman.

Kasus ini bermula dari perselisihan antara PT Tri Bakti Sarimas (TBS) dan warga selaku anggota Koperasi Unit Desa Prima Sehati. KUD dan PT TBS bekerjasama menanam kelapa sawit. Petani KUD Prima Sehati menyediakan lahan seluas 9.300 hektar, sementara PT TBS yang melakukan penanaman sampai panen.

Penanaman sudah dilakukan sejak tahun 1998, namun petani baru mendapatkan hasil usaha pada tahun 2008 atau setelah enam tahun masa panen. Hasil panen yang diberikan PT TBS juga dinilai sangat rendah, yakni Rp 70.000 sebulan untuk lahan seluas dua hektar. Padahal di luar, kelapa sawit yang sudah berumur 10 tahun sudah dapat menghasilkan uang Rp 4 juta.

Warga anggota KUD kemudian berupaya untuk membicarakan kenaikan setoran hasil panen PT TBS. Namun, perusahaan itu tidak menggubris tuntutan petani.

Pada Selasa pagi (8/6) ratusan petani KUD Prima Sehati memanen sendiri kelapa sawit plasma di areal yang disengketakan. Sementara pihak perusahaan berupaya menghentikan upaya paksa petani itu dengan mendatangkan aparat Brimob dari Polres Kuansing.

Polisi meminta petani menghentikan pemanenan namun tidak digubris. Bentrokan akhirnya pecah dan polisi menghalau massa dengan tembakan. Dua orang tertembak dan seorang diantaranya meninggal dunia.

LAST UPDATED ( THURSDAY, 10 JUNE 2010 17:03 )

09 Juni 2010

"POLISI MASIH MENJADI ALAT PELINDUNG PEMODAL BESAR"

Siaran Pers Bersama
Tentang Penembakan dan Pembunuhan Petani Riau oleh Polisi
Membela Perkebunan Kelapa Sawit

"POLISI MASIH MENJADI ALAT PELINDUNG PEMODAL BESAR"

Jakarta, (9/6/2010)--Pancasila sebagai dasar negara, khususnya sila kedua menyebutkan dengan jelas Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Insiden berlanjutnya penembakan terhadap petani oleh kepolisian khususnya Brigade Mobil patut dipertanyakan kembali. Apakah Kepolisian mulai redup mengamalkan Panca Sila, atau polisi juga lupa bahwa mereka bukanlah institusi militer. Karena faktanya akhir-akhir ini Polisi selalu melakukan tindakan kekerasan. Sepatutnya, sebagai alat negara benar-benar menjalankan fungsinya sebagai pengayom rakyat dan bukan sebagai alat perusahaan. Dengan insiden kekerasan belakangan ini membantah telah terjadi reformasi di tubuh Polri.

Nyawa rakyat kecil solah tak berharga. Setelah melakukan penembakan terhadap petani di Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan, Buton Sulawesi Tenggara, dan Banggai Sulawesi Tengah, kini melanjutkan penembakan petani di wilayah Kabupaen Kuala Sengingi (Kuansing) Riau. Dipertengahan tahun ini kembali seorang Ibu petani kelapa sawit tewas setelah ditembus peluru aparat Kepolisian Polres Kuala Sengingi dan Brimob Polda Riau pada Selasa, 8 Juni 2010.

Adalah Ibu Yusniar (45) dan Disman (43) warga Desa Koto Cengar Kecamatan Kuantan Mudik yang menjadi korban. Ibu Yusniar meninggal di tempat, sedangkan Bapak Disman masih di rawat di RSUD Taluk Kuantan. Selain menewaskan petani, polisi juga telah menahan sekurangnya 11 warga meski siang ini telah dibebaskan, dan saat ini berada di Puskemas Lubuk Jambi untuk perawatan akibat pemukulan. Tidak cukup dengan menembak dan menangkap petani, polisi juga telah membakar dan menembaki 10 unit sepeda motor dan satu unit mobil. Tidak heran jika petani melakukan tindakan serupa pula.

Dalam semester pertama tahun 2010, kami mencatat 65 orang sudah menjadi korban kriminalisasi dan kekerasan aparat polisi. Korban Yusniar (45) di Kabupaten Kuansing, adalah yang paling parah. Dan terdapat 64 orang petani yang ditahan, yaitu enam (6) di Riau, enam (6) di Sumatera Barat, 3 (tiga) di Bengkulu, lima (5) di Tapanuli Selatan-Sumatera Utara, dua (2) orang di Kabupaten OKI-Sumatera Selatan, 24 orang di Banggai Sulawesi Tengah, dan 18 orang di Kalimantan Barat.

Kekerasan terhadap petani kelapa sawit di Riau merupakan cermin adanya ketidakadilan dalam sistem perkebunan kelapa sawit. Duduk perkaranya, lahan seluas 12.000.00 Ha merupakan milik 4000 KK telah diserahkan kepada PT. Tribakti Sari Mas tahun 1999 untuk dibangun menjadi kebun kelapa sawit. Dan yang telah dikelola seluas 9000 Ha, serta yang telah berhasil panen seluas 4500 Ha sejak tahun 2008. Duduk ketidakadilan yang dialami petani; pertama dirugikan dengan masa konvesi lahan yang seharusnya berjalan lima (5) tahun menjadi Sembilan (9) tahun. Artinya ada kesempatan untuk panen yang di hilangkan selama empat (4) tahun. Kedua, dari pendapatan, seharusnya dalam setiap bulan atas per hektar lahan, petani mendapatkan Rp.1,6 juta dan dikurangi empat jenis potongan sebesar 34,5%, maka total pendapatan bersih senilai Rp.502 ribu per bulan. Sedangkan kenyataan yang didapat oleh seorang petani hanya Rp. 72.000 per bulan. Hal inilah yang memicu kemarahan petani terhadap perusahaan.

Masyarakat sesungguhnya telah memperjuangkan keadilan selama dua tahun terakhir. Upaya yang ditempuh yaitu mengadu kepada DPR RI, ke Pemda Propinsi dan DPRD sebanyak tujuh kali dan di tingkat Pemda dan DPRD K sebanyak 15 kali. Serta menuntut perbaikan manajemen pengelolaan kepada pihak perusahaan sebanyak empat kali.
Namun hasilnya nihil hingga petani memutuskan untuk melakukan panen paksa atas lahan seluas 100 Ha yang berujung bentrok dan menewaskan dua orang petani.

Insiden seperti ini seharusnya tidak perlu terjadi jika perusahaan mau melakukan tindakan jujur dan adil dalam bagi hasil, dan polisi menjadi penengah dalam perselisihan. Bukan berlawan dengan petani.

Atas insiden ini, kami elemen masyarakat sipil yang peduli pada nasib petani, lingkungan hidup, demokrasi dan hak asasi manusia menyampaikan;

Mengutuk tindakan keberutalan aparat Polisi dalam menangani perjuangan keadilan petani kelapa sawit yang diperlakukan tidak adil dan sewenang-wenang oleh PT. Tribakti Sari Mas.
Mendesak KAPOLRI untuk sungguh-sungguh melakukan reformasi di kesatuannya, karena masih banyaknya tindakan anggota POLRI yang berada di luar batas kemanusiaan dengan melakukan penangkapan paksa, penembakan serta penggunaan senjata berpeluru tajam dalam penanganan persoalan masyarakat.
Meminta KAPOLRI dengan atas nama kemanusiaan agar mencopot KAPOLRES Kuantan Sengingi dari jabatannya selaku pihak bertanggung jawab atas tragedi ini
Meminta Presiden RI untuk menjadikan POLRI berada satu tubuh dalam Kementerian Dalam Negeri, agar Polisi betul-betul bertindak sebagai polisi sipil.
Atas nama keadilan, polisi pelaku penembakan agar segera di tangkap dan di hukum seberat-beratnya.
Mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, agar memerintahkan departemen terkait untuk melakukan audit sistem perkebunan kelapa sawit di Indonesia secara umum, dan di PT. Tribakti Sari Mas secara khusus. Audit ini beserta dengan seluruh kebijakan-kebijakan terkait perkebunan kelapa sawit. Selain itu, kami juga mendesak kepada Presiden untuk melakukan moratorium rencana perluasan perkebunan kelapa sawit seluas 6 juta ha hingga 2015 mendatang. Tercatat yang harus dievaluasi adalah sekitar 9,4 juta ha perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Meminta kepada seluruh pasar-pasar konsumen Crude Palm Oil (CPO) dalam dan luar negeri untuk memboikot CPO milik perusahaan PT. Tribakti Sari Mas yang melakukan tindakan kriminal dan melakukan tindakan tidak adil terhadap petani kelapa sawit, dan bersama-sama mendorong perbaharuan dalam sistem perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Kami juga mendukung sepenuhnya upaya-upaya perjuangan masyarakat Kuantan Sengingi untuk memperoleh keadilan dengan cara-cara damai.
Terim kasih.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Sarekat Hijau Indonesia (SHI), Sawit Watch, KontraS, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Petani Indonesia (API), Serikat Petani Indonesia (SPI), PRP, PBHI, IMPARSIAL, LMND, PEBEBASAN, Perempuan Mahardika, PERGERAKAN Bandung, Institute Global Justice (IGJ).

Sumber: Kontras

LSM Mengutuk Penembakan Petani di Riau

Jakartapress.com, Rabu, 09/06/2010, Jakarta - Elemen Masyarakat Sipil yang terdiri atas Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)-Eknas, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Sawit Watch, Kontras, PBHI, Imparsial, LMND, pergerakan, dan IGJ, mengecam keras tindakan represif aparat kepolisian Riau (Polres Riau, Brimob dan Polda Riau) dalam menangani demonstrasi petani kelapa sawit 8 Juni 2010 di Kuantan Senggigi (Kuansing) Riau, kemarin.

”Kami menyayangkan sikap aparat kepolisian dalam menangani demonstran. Reformasi kepolisian belum maksimal, hal ini terlihat dari catatan tindakan kekerasan kepolisian terhadap masyarakat khususnya petani. Artinya, polisi tidak profesional,” ujar aktivis Kontras Sri Suparyati saat Press Confrence di kantor Walhi-Eknas, Jakarta, Rabu (9 Juni 2010).

Sementara itu, Deputi Advokasi Kebijakan KPA D.D. Shineba menyatakan kejadian ini berulang kali terjadi dan kerapkali melibatkan Polri dan TNI. Lebih jauh ia menyarakankan agar Polisi dan juga TNI tidak boleh ikut campur dalam sengketa tanah agar peristiwa kekerasan tersebut tidak terjadi lagi.

”Ada banyak cara agar peristiwa ini tidak lagi terjadi. Pertama, Polisi dan TNI tidak boleh ikut campur dalam urusan sengketa tanah. Kedua, Pemerintah harus membuat lembaga sengketa agraria, dan ketiga, laksanakan reforma agraria seutuhnya,” ujarnya.

Apa yang diungkapkan oleh kalangan elemen masyarakat sipil tersebut terasa wajar jika melihat data-data yang dikeluarkan oleh Walhi, Sawit Watch, dan SPKS tentang jumlah korban kekerasan aparat kepolisian selama semester I 2010 dalam menghadapi aksi petani. 80 orang tercatat menjadi korban meninggal dunia di seluruh Indonesia, terbesar di daerah Luwuk, Sulawesi Tengah ketika petani berhadapan dengan PT. KLS.

Peristiwa kekerasan di Riau kemarin sendiri menurut Walhi-Eknas berawal dari aksi demonstrasi warga pukul 09.00, 8 Juni 2010 dimana massa petani dari 11 desa Kecamatan Lubuk Jambi berkumpul di Desa Cengar. Mereka adalah anggota Koperasi Tani Prima Sehati yang selama ini berkonflik dengan PT. TBS. Kemudian massa masuk areal perkebunan untuk memanen tandan sawit. Ketika panen sedang berlangsung, polisi masuk dan menghadang, mengejar bahkan menembaki warga dengan senjata api.

Akibat bentrokan tersebut, 1 orang petani bernama Yusniar (45 tahun) meninggal tertembus peluru dibahagian dada dari belakang dan Disman (43 Tahun) kritis. Aparat beralasan bahwa tembakan tersebut untuk membela diri dari amukan massa. Bentrokan juga menghasilkan 11 orang ditahan, namun pada malam harinya dibebaskan kembali oleh pihak kepolisian Mapolres Kuantan Senggigi.

Roadshow Menuntut Keadilan dan Boikot
Atas peristiwa itu Deputi Direktur Walhi-Eknas Erwin Usman menyatakan dalam 10 hari kedepan, ia bersama seluruh elemen yang tergabung akan melakukan roadshow ke instansi terkait seperti Komnas HAM, Mabes Polri dan lain-lain agar megusut tuntas kasus penembakan tersebut.

Sementara itu Deputi Kampanye dan pendidikan publik Sawit Watch Edi Sutrisno mendesak agar Dirjen harus mencabut izin usaha dan BPN untuk meninjau kembali HGU dari PT. TBS. ”Pembeli (konsumen pasar CPO) harus hati-hati ketika membeli CPO, mereka harus mengetahui apakah CPO tersebut berasal dari perusahaan pelanggar HAM. Jika ya, maka jangan dibeli. Lakukan boikot” serunya.

Awal Persengketaan
Menurut elemen masyarakat sipil tersebut, demonstrasi petani tersebut dipicu konflik atas ketidakadilan pengelolaan areal kelapa sawit yang dikuasai oleh PT. Tri Bakti Sarimas (PT. TBS). Pada awalnya, pengelolaan luas lahan 9.314 Ha dikelola oleh masyarakat bekerjasama dengan PT. TBS melalui konsep plasma, namun PT. TBS dituding melakukan perubahan perjanjian secara sepihak dengan mengelola sendiri dengan alasan kebijakan revitalisasi perkebunan.

Lahan seluas 12.000 Ha pada awalnya merupakan milik 4000 KK yang kemudian diserahkan kepada PT. TBS tahun 1999 untuk dibangun menjadi kebun kelapa sawit. Areal yang baru dikelola hingga saat ini hanya 9.314 Ha dan yang berhasil dipanen hanya 4.500 Ha saja. Presiden SPKS Mansuetus Darto menuturkan bahwa kebijakan revitalisasi perkebunan produk pemerintahan SBY melahirkan ketidakadilan bagi petani.

”kebijakan revitalisasi perkebunan produk pemerintahan SBY telah menyebabkan ketidakadilan bagi petani. Indikasinya adalah pendapatan petani akibat kebijakan tersebut menurun drastis dari seharusnya Rp. 1,6 juta perbulan/Ha menjadi hanya Rp. 30 ribu s/d Rp. 150.000 saja tiap bulannya,” ujarnya.

Ia juga menambahkan bahwa PT. TBS tidak ada niat baik dalam mengelola lahan perkebunan. ”Baru 4000 Ha saja yang dikelola dan itupun menghaslkan produksi jauh dari standar, belum lagi kondisi lahan yang tidak dirawat,” imbuhnya. (jzg)