Oleh Tutut Herlina
JAKARTA – ”Kita harus mulai berpikir beberapa bulan ke depan. Karena pada masa itu, dunia akan mengalami krisis pangan. Kita harus bersiap-siap”. Peringatan itu muncul dari mantan Menteri Perekonomian Rizal Ramly dalam diskusi di Caffee Marios Place, Jakarta Pusat, akhir tahun 2007 lalu. Sejurus kemudian, kritikan atas kebijakan negara soal pertanian juga meluncur deras.
Dia menilai, Indonesia sebagai negara agraris seharusnya memetik hasil atas krisis tersebut, karena jumlah tanah untuk pertanian sebenarnya sangat luas dan mencukupi untuk meningkatkan produksi pertanian. Namun, dalam kenyataannya, hal tersebut tidak mungkin terjadi di bumi nusantara.
Penyebabnya adalah kebijakan negara yang tidak pernah memihak kaum tani. Sejak zaman Orde Baru (Orba) pembangunan pertanian lebih diarahkan untuk kepentingan pemilik modal industri pertanian.
Selang beberapa bulan kemudian dan hingga saat ini negeri ini memang dihadapkan pada masalah pangan akibat kenaikan harga pangan dunia. Rakyat panik. Meski pemerintah mengaku stok pangan mencukupi, faktanya harga beras di pasar tradisional mulai merambat naik.
Melihat kondisi ini, sejumlah jalan keluar digaungkan dari para pengamat melalui media massa maupun diskusi-diskusi. Pendapat pun terbelah antara kelompok yang berhaluan neoliberal dengan kelompok prokerakyatan.
Bagi kelompok berhaluan neoliberal, jalan keluar yang diberikan adalah pencabutan subsidi beras dan menganjurkan penggunaan mekanisme pasar. Pemerintah hanya didorong untuk menciptakan lapangan pekerjaan, supaya rakyat bisa melakukan pembelian.
Tentu saja pendapat ini ditentang kelompok yang prokerakyatan. Bagi mereka, mendorong penciptaan lapangan pekerjaan, tetapi di sisi lain menafikan keberadaan pangan murah tentu saja akan menimbulkan kebijakan yang kontraproduktif. Bagaimanapun juga, kesediaan pangan murah lebih membawa dampak pada kesejahteraan yang lebih memadai, tatkala upah buruh di negeri ini juga masih terbilang murah.
Direktur Internasional for Global Justice (IGJ) Bonny Setiawan menegaskan ketahanan pangan Indonesia saat ini lemah karena prioritas pada sektor pertanian hanya pemanis bibir. Banyak kebijakan yang dibuat oleh penguasa umumnya lebih menguntungkan para pemilik modal.
Petani dalam negeri dibiarkan bersaing dengan industri pertanian dalam sebuah mekanisme pasar bebas. Dari sisi akses ekonomi dan politik mempersaingkan petani miskin dengan pemiliki modal sama artinya seperti yang diistilahkan sosiolog Arief Budiman, sebagai sebuah kebijakan memperdagangkan ayam dengan musang dalam satu pasar.
Artinya, ayam tak akan pernah bisa melawan musang, tapi sebaliknya, ayamlah yakni petani miskin yang dimakan oleh musang yang dalam hal ini adalah pemilik modal.
Karena itu, jika ingin keluar dari jeratan ketergantungan, pemerintah seharusnya mulai melakukan pengawasan terhadap bantuan beras dan pangan lainnya supaya tidak menjadi introduksi untuk memasukkan pangan impor dan mengacaukan pangan dalam negeri.
Selama ini banyak bantuan asing yang dibungkus sebagai program kemanusiaan ternyata tidak lebih dari usaha untuk memasukkan komoditas negara pemberi bantuan secara pelan-pelan, yang kemudian hari malah menggeser produk-produk dalam negeri.
Sebuah strategi jangka panjang sangat diperlukan, mulai dari mensubsidi petani di bidang pupuk, mengembalikan fungsi Bulog sebagai regulator, pengoperasionalan kembali lumbung-lumbung padi, kemudahan distribusi serta proteksi pangan dalam negeri. Khusus untuk subsidi, kebijakan harus lebih diarahkan pada pemberian jaminan berupa asuransi petani sebagai back up jika panen gagal.
”Di negara maju yang kapitalis justru kaum tani menjadi prioritas. Dulu di Indonesia ada bulog tetapi korup. Kalau pemerintah mau seharusnya Bulog kembali seperti dulu tapi harus bersih, bukan malah menyerahkan ke mekanisme pasar,” katanya.
Mengorganisasi Petani
Mantan anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI) Wiladi juga mengatakan ke depan diperlukan adanya insentif dan disinsentif bagi para petani. Ini untuk mendorong petani menanam tanaman pokok ketimbang menanam tanaman komoditas yang lagi ngetren.
”Harus diperbaiki sistemnya. Harus dipikirkan juga membuat lumbung-lumbung karena ada global warming,” katanya. Sealin itu, kata Wiladi, perbaikan juga bisa dilakukan dari petani sendiri dengan cara berkreasi dan melakukan penghitungan secara konkret sebelum masa tanam.
Namun, itu hanya ekonomisme. Karennya, Harry Subagyo dari Serikat Tani Nasional (STN) menegaskan, perubahan tak hanya bertumpu pada penguasa, tetapi juga bisa dilakukan dari kaum tani sendiri dengan cara mengorganisir diri. Ini merupakan jalan keluar bagi kaum tani yang paling tepat karena kebijakan yang dilahirkan oleh negara yang diwakili kelas kapital tidak bisa diharapkan dan hanya menghamba pada kepentingan kapitalisme global.
Kaum tani, kata Harry, juga harus sadar, sedang berhadapan dengan kaum penghisap dan penindas yang berpotensi mendominasi kehidupan masyarakat Indonesia. ”Ini agar petani bisa membebaskan diri dari aksi-aksi mereka menentang kepentingan kaum penindas dan penghisap beserta alat-alat politiknya. Tanpa itu, petani yang sekarang memang menjadi fokus di negeri ini akan tetap tertindas karena tak ada partai politik yang membela kepentingan mereka,” kata Herry.
Pada akhirnya, petani memang harus mengorganisasi diri, melakukan tindakan-tindakan untuk mempengaruhi jalannya transformasi sosial-politik. Kaum tani harus berjuang dan sadar bahwa mereka mewakili sebuah kelas dalam masyarakat yang mayoritas, yang dalam teori sosial disebut sebagai kelompok yang memiliki ”takdir” untuk menjadi agen perubahan.
Petani perlu bersatu dalam sebuah gerakan politik dan tidak boleh hanya bertumpu pada ekonomisme. Pasalnya, ekonomisme justru hanya menjauhkan kaum tani untuk mendapatkan hak-haknya melalui perjuangan politik. Tanpa itu, petani akan semakin tertindas di tengah globalisasi. n
Tidak ada komentar:
Posting Komentar