Jalan di depan kami menanjak dengan kemiringan lebih dari 45 derajat. Selain cukup terjal, hujan telah membuat batu kapur berlumut dan licin.
Seorang nenek bertubuh kecil dengan menggendong seiikat batang padi bersiap-siap merayap. Ikatan batang padi untuk sapi peliharaannya jauh lebih besar dari tubuhnya. Ia tak menyerah. Meski memakan waktu cukup lama, ia berhasil melewati tanjakan sepanjang 200 meter untuk kemudian menghilang di balik pepohonan.
Sebelum kami naik, pagi menjelang siang awal Desember 2007 itu, Dusun Kepuhan, Desa Argorejo, Kecamatan Sedayu, cukup sejuk. Bardi (51) si penyuluh kehutanan ada di samping kami.
Seperti pada hari-hari kerja biasa, dia mengenakan setelan pegawai negeri berwarna coklat serta sweater biru yang lusuh.Sepatu kulit warna hitam yang juga lusuh adalah satu-satunya miliknya. Kami ragu, apakah lelaki bertubuh kecil ini serius mendaki bukit dengan sepatu yang biasa ia pakai kerja kantoran itu.
“Ah sudah biasa. Tak terlalu jauh, nanti kita akan lihat Gua Payaman di atas,” kata Bardi lepas. Ia menganggap bukit terjal di hadapan kami bukanlah tantangan berat. Seolah ia ingin mengatakan tantangan lebih berat pernah ia alami dan sampai sekarang semuanya baik-baik saja.
Sepanjang jalan Bardi bercerita, Bukit Gua Payaman pada awal tahun 1980-an tak lebih dari perbukitan kapur yang gersang dan tandus. Hanya semak dan pohon pandan yang tumbuh. Warga sekitar “terpaksa” menebang kayu-kayu yang pernah tumbuh sebagai kayu bakar. “Mereka tak punya pilihan hidup lain, kecuali mencari kayu bakar,” tutur Bardi.
Pada musim kemarau dulu rumput pun enggan tumbuh di perbukitan. Meski terdapat sungai di kaki bukit, warga sekitar mengaku selalu kesulitan air di musim kering.
“Dulu dari sini kami leluasa memandang kereta lewat. Padahal jaraknya sekitar lima kilometer,” ujar Abdul Fatah Maksum (50), Ketua Kelompok Tani Ginanjarm, Dusun Kepuhan, yang menyertai perjalanan kami.
Kereta yang dimaksud Maksum adalah kereta api jurusan Yogyakarta-Wates-Purworejo-Purwokerto. Asal tahu, nama Ginanjarm itu kependekan dari slogan Jawa, giat nandur njalare makmur. Kira-kira maksudnya rajin bercocok tanam untuk mencapai kemakmuran.
“Dan Pak Bardi telah membawa kemakmuran di desa kami,” tutur Maksum. Bardi tampak salah tingkah. Mungkin ia tak menduga disanjung begitu tinggi oleh warga setempat.
“Ah siapalah saya. Saya orang bodoh, tak mengerti apa-apa. Semua yang saya lakukan karena kecintaan ,” kata Bardi merendah sembari meneruskan langkah. Beberapa batuan lepas ia lompati dengan ringan.
“Betul Pak, kalau ndak ada Pak Bardi mungkin bukit ini masih tandus.” Maksum ngotot.
Bardi tak segera menimpali. Kami sudah sampai di depan Gua Payaman. Gua ini hanya berupa cerukan batu cadas yang mungkin dulu berfungsi sebagai tempat perlindungan sementara. Konon, kata Maksum, menurut cerita yang ia terima, Gua Payaman menjadi tempat berlindung para pelarian dari Kerajaan Pajajaran dari kejaran musuh. Di sekitar hutan itu memang terdapat beberapa buah makam keramat yang letaknya tersebar.
Kalpataru
Meski mendaki susah payah dengan napas ngos-ngosan, tak sedikit pun keringat yang mengucur dari tubuh kami. Cuaca di hutan Bukit Gua Payaman ini sangat sejuk. Sinar matahari terhalang rerimbunan pepohonan. Selain pohon kelapa di situ antara lain tumbuh pohon akasia, mahoni, jati, duwet, nangka, bambu, serta semak belukar yang rimbun. Pemandangan kereta api yang setiap saat lewat sudah tidak terlihat lagi.
Hutan rakyat seluas 36 hektar itulah salah satu yang mengantarkan Bardi menerima penghargaan Kalpataru sebagai penyelamat dan pengabdi lingkungan pada tahun 2005. Ia memang bangga atas prestasi itu. Tetapi, jauh di lubuk hatinya, ia bangga melihat perbukitan yang gersang di masa kecilnya kini menjelma hutan yang subur.
Bukit Payaman hanyalah salah satu lokasi di mana lelaki berpendidikan sekolah teknik pertanian ini mengabdi. Sejak menjadi pegawai honorer sebagai petugas lapangan penghijauan dan percontohan tahun 1983, Bardi memulai aktivitasnya di Kecamatan Pajangan, Bantul. Masa-masa itu ia harus mengayuh sepeda onthel-nya sejauh 15 kilometer dari Desa Argodadi, Kecamatan Sedayu, tempat lahirnya, menuju Pajangan.
“Itu belum ditambah dengan keliling mengunjungi warga dan kemudian pulang kembali ke Argodadi,” tutur suami dari Suratmi (43) ini. Mungkin dalam sehari ia mengayuh sepeda lebih dari 50 kilometer.
Masa-masa itu berlanjut ke Kecamatan Kretek (1984-1986), kemudian Kecamatan Imogiri (1986-1988), dan Kecamatan Sedayu (1989-sekarang). Seluruhnya berada di Kabupaten Bantul. Ketika bertugas di Sedayu, Bardi mengaku baru bisa mencicil sepeda motor. Itu memang sangat meringankan tugasnya yang harus berkunjung ke desa-desa, tetapi sekaligus membebani ekonomi keluarganya. Oleh karena itu, ia harus turun mengerjakan sawah warisan orangtua istrinya.
Di seluruh kecamatan itu Bardi tidak sekadar mengajak warga menjaga lingkungan, tetapi ia bekerja bersama penduduk membangun terasering di perbukitan kapur yang kritis, membuat kelompok tani, membuat lubang, dan menanam pohon. Kelihatannya pekerjaan sepele.
“Warga sekitar bukit biasanya hidupnya sulit. Mereka cari uang hari ini untuk hari ini, maka sulit mengajak mereka menanam pohon, karena jelas mereka bakalan tidak makan,” tutur Bardi.
Beruntung Bardi berhasil memperjuangkan insentif dari pemerintah untuk sekadar menanggulangi kebutuhan warga sehari-hari. “Sehingga warga mulai mau diajak membuat terasering. Butuh waktu sekitar lima tahun agar lahan siap ditanami pohon perintis seperti akasia,” ujar Bardi.
Setelah 25 tahun
Kini setelah hampir 25 tahun berlalu, seluruh bukit kritis di empat kecamatan tadi menjelma hutan rakyat yang lebat seluas tak kurang dari 400 hektar. Bahkan sekitar 12 kelompok tani yang dibentuk Bardi kini berkembang menjadi perkumpulan arisan dan simpan pinjam bagi warga lokal. Kelompok Tani Ginanjarm sendiri, tutur Maksum, kini memiliki modal sebesar Rp 50 juta. Modal yang cukup besar bagi para petani yang hidup di dusun.
Bardi mengakui penghutanan bukit-bukit berbatu cadas itu bukan karyanya. “Itu memang berkat kerja keras warga. Saya hanya datang dan mengajak mereka,” ujar dia.
Kecintaan Bardi pada lingkungan tumbuh ketika ayahnya, Mangunharjo (75), menjadi ketua kelompok tani di Dusun Dingkilan, Argodadi, Sedayu.
“Bapak mengajarkan saya untuk mencintai tani. Oleh karena itulah saya memilih sekolah di STM Pertanian, Sleman,” kata Bardi.
Sebagaimana umumnya keluarga petani, Bardi baru bisa membayar uang sekolah setelah menjual ternak peliharaannya. “Kami selalu menganggap ternak itu tabungan. Makanya kerja saya waktu kecil ya mengarit rumput untuk sapi,” tambah dia.
Rupanya kehidupan yang sulit itu membuat Bardi tak mudah menyerah. Ketika harus mengayuh sepeda puluhan kilometer dan menerima honor hanya Rp 52.500 setiap bulan, Bardi jalan terus. Ia seperti ditantang kenyataan kehidupan di sekitar desanya yang sulit dan hanya berharap pada bukit-bukit yang tandus.
“Kalau perbukitan ini hijau bahkan menjadi hutan, pasti kehidupan akan lebih baik,” begitu tekadnya waktu itu. Maka, ketika ia melamar sebagai petugas lapangan penghijauan dan percontohan, motivasinya tak sekadar mencari upah. Ia pikir itulah kesempatannya berbuat bagi warganya. Pekerjaan baginya adalah akses, terutama menjembatani kepentingan warga dengan program pemerintah. Maka, proyek-proyek terasering dan penanaman pohon dari pemerintah ia bawa ke wilayah sekitar desanya.
Dan kini kami berada di ketinggian di depan mulut Gua Payaman. Maksum bercerita konon di sekitar desanya ada seekor ular sebesar pelukan orang dewasa.
“Sering ada hewan hilang,” tutur dia.
Itu pertanda kehidupan ekosistem di kawasan Sedayu dan sekitarnya sudah pulih. Ular dan binatang liar lainnya bisa dengan mudah bersembunyi lantaran hutan yang lebat. Hutan yang ditanam warga sekitar dengan Bardi sebagai tokoh utamanya. Hutan yang kini menjadi sumber segala kehidupan warga di sekitar Bantul.
Sumber: Kompas, Minggu, 16 Desember 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar