20 Oktober 2006

Pelestari Pesisir Gunung Kidul

Kompas, Jumat, 20 Oktober 2006

Irma Tambunan

Soetadi Prawoto mungkin lebih dikenal karena wataknya yang keras. Sekeras kegigihannya menyelamatkan pesisir selatan Gunung Kidul di DI Yogyakarta, saat penambang-penambang liar mengeruki ratusan ton pasir putih. Nyawanya pernah hampir melayang pada masa-masa itu.

Memang butuh waktu panjang untuk memperjuangkan sebuah keyakinan. Soetadi tahu betul bahwa berhadapan dengan para penambang liar pasir putih dari tahun 2000 hingga 2006 sama dengan mengundang konflik sosial.

Akan tetapi, ia tetap bersikeras pada pendirian bahwa ekosistem di kawasan pantai selatan akan semakin rusak apabila eksploitasi pasir putih terus berlanjut. Dengan menggandeng para pemuda karang taruna di desanya, Jepitu, Girisubo, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, para penambang liar itu pun diusir.

Sebenarnya Soetadi telah memilih cara yang lebih lunak lewat sejumlah pendekatan. Namun, cara ini tidak berhasil. Ia malah hampir dihajar oleh para penambang. Suami dari Sudariyah (alm) dan ayah tujuh anak ini pun menyurati pemerintah daerah setempat, pemerintah provinsi, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, bahkan Presiden RI yang saat itu dijabat Megawati Soekarnoputri.

Intinya, ia meminta pemerintah untuk menertibkan aksi penambangan liar di sana. Dokumen-dokumen foto ia lengkapi sebagai bukti. Dalam rentang lima tahun, pendekatan lunak itu tak kunjung terwujud sesuai harapan. Ia malah diberi nasihat, "Melestarikan lingkungan itu bukan hal gampang, Pak."

Di usia 76 tahun ini, Soetadi memilih fokus pada penyelamatan kawasan Pantai Wediombo, pesisir selatan Kabupaten Gunung Kidul yang memiliki teluk-teluk indah, bersih, dan berpasir putih. Karang-karang bertebing tinggi membentuk rangkaian bebas dan taman lautnya menyempurnakan keindahan Wediombo. Macan tutul dan kumbang, puluhan kijang, ratusan kera ekor panjang, dan tak terhitung banyaknya jenis burung serta kelelawar, hidup nyaman di sana.

Wediombo juga kerap menjadi pendaratan penyu-penyu yang bertelur. Kenyamanan aneka habitat ini tak lepas dari perjuangannya, yang kemudian membuat Soetadi dikenal sebagai pelestari Wediombo. Atas pengabdiannya dalam penyelamatan lingkungan kawasan pesisir selatan, Soetadi dianugerahi Kalpataru DIY tahun 2003.

Bukit Seribu

Saat berkunjung ke rumahnya yang sederhana di utara Pasar Jepitu, sekitar 40 kilometer dari Wonosari, ibu kota Kabupaten Gunung Kidul, pertengahan Oktober ini, hasil kegigihan atas pelestarian kawasan Pantai Wediombo masih tampak jelas. Dengan tulus ia menawarkan diri untuk mengantar kami menjelajahi setiap keindahan di sana.

Tubuh yang mulai mengerut itu masih kokoh menapaki bukit-bukit seribu yang penuh bebatuan karst seperti karang-karang lancip. Kita jadi semakin menyadari akan pentingnya konservasi alam saat memasuki goa-goa yang berornamenkan stalaktit dan stalagmit di sepanjang tepian pantai.

"Lihatlah, belum lama ini ada yang masuk goa tanpa sepengetahuan kami, lalu mematahkan stalaktit ini. Kalau semua orang mengambil ornamen di sini, rusaklah sudah goa-goanya. Padahal, butuh proses ratusan tahun agar ornamen-ornamen seperti ini terbentuk," ujarnya sambil menunjuk salah satu ornamen stalaktit yang rusak.

Di salah satu teluk ia menunjuk lokasi pendaratan penyu. Sebelumnya, masyarakat kerap mengambil telur untuk dikonsumsi, maupun tukik (anak penyu) untuk dijual ke luar desa. Soetadi memilih cerewet untuk mengingatkan masyarakat agar membiarkan penyu-penyu itu tetap hidup bebas.

Soetadi kemudian menggagas lahirnya sebuah peraturan desa yang bertujuan supaya konservasi lingkungan Wediombo didukung secara legal. Sejumlah aturan bakal segera disahkan, seperti larangan memburu hewan-hewan yang dilindungi, mengambil dan merusak ornamen dalam goa, serta menebangi pohon-pohon berusia muda.

Pada masa mudanya, kegemaran Soetadi adalah berburu babi hutan di sekitar pantai yang masih rimbun bersama sejumlah sahabatnya, seperti Paku Alam VIII, mantan Presiden Soeharto, dan almarhum Sudarmaji. Pria kelahiran 1933 ini pernah merantau keluar Gunung Kidul, jadi penjual kertas bekas di Kota Yogyakarta, lalu menjadi staf khusus Trikora Perintis Kemerdekaan RI.

Tahun 1980-an ia pulang ke kampung halaman. Dilihatnya potensi pantai-pantai itu belum sedikit pun dikembangkan. Maka, Soetadi bersama dua warga lain mencoba-coba membuat kapal kecil sederhana untuk melaut. Saat hendak menebang pohon untuk membuat kapal, Soetadi baru menyadari kondisi pesisir selatan telah jauh berubah. Hanya sekitar 10 hingga 20 persen hutan pantai yang masih ada tanamannya, selebihnya telah gundul.

Sejak itulah hasrat melestarikan alam Wediombo tumbuh menggelegak pada diri Soetadi. Batinnya berbisik: keindahan dan seluruh potensi ini seharusnya bisa dinikmati oleh anak-cucu. Jika potensi-potensi alam ini dijaga, secara tidak langsung akan mengangkat Wediombo sebagai kawasan wisata dan pada gilirannya bisa mengangkat perekonomian warga setempat pula.

Matahari telah terbenam saat kami keluar dari sejumlah goa pantai, dan menikmati Pantai Wediombo dari salah satu puncak bukit. Soetadi merebahkan diri di tepi jalan setelah meletakkan kamera bawaannya—ia memang hobi fotografi. Ia menikmati tiupan angin sore, sambil menatap cahaya jingga di langit barat.

20 September 2006

Redistribusi Tanah Tidak Selesaikan Kemiskinan

20-09-06

Jakarta, Kompas
- Redistribusi tanah tidak serta-merta menyelesaikan persoalan kemiskinan. Redistribusi tanah harus disertai dengan berbagai hal sehingga kesejahteraan petani bisa diwujudkan.

Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto, ketika meresmikan Lembaga Pengkajian Pertanahan (LPP) di Jakarta, Selasa (19/9), mengatakan, redistribusi tanah harus dilakukan disertai sejumlah syarat, seperti akses ekonomi dan politik, informasi mengenai tanah yang memadai, serta pengetahuan tentang pembaruan agraria.

Menurut Joyo, di Indonesia setidaknya sudah 800.000 hektar tanah yang diredistribusi, tetapi tidak serta-merta menyejahterakan petani. "Inilah yang menjadi pemikiran di dunia. Kalau hanya redistribusi tanah, belum lengkap," katanya. Di beberapa negara juga terjadi hal yang sama.

Pembaruan agraria

Joyo juga mempertanyakan tentang pengetahuan pembaruan agraria di berbagai kalangan. Sudah lama pengetahuan ini kurang dimengerti secara memadai.

"Apakah pengetahuan kita tentang pembaruan agraria memadai? Belum. Sejak merdeka, masalah itu telah terinternalisasi ke dalam berbagai lembaga, tetapi terhenti hingga tahun 1980-an," ujar Joyo.

Setelah itu, pengetahuan mengenai agraria mengalami kemunduran, sementara persoalan keagrariaan terus berkembang. Hal ini yang dihadapi para pegiat masalah pertanahan di kalangan petani.

"Untuk itu, kita harus menginternalisasi pengetahuan keagrariaan untuk dilembagakan. Salah satu cara meningkatkan pengetahuan itu adalah melalui pendidikan. Untuk itulah LPP didirikan. Harapan saya, dengan lembaga ini, adalah bagaimana memastikan kesejahteraan rakyat terbangun melalui pembenahan persoalan pertanahan," katanya.

Sementara itu, Soedjarwo Soeromihardjo, salah satu pendiri LPP, mengatakan bahwa wadah ini terkait dengan pengembangan ilmu pertanahan yang dikaji melalui berbagai aspek keilmuan.

Beberapa kalangan yang menjadi pendiri LPP ini antara lain Prof Sediono MP Tjondronegoro, Gunawan Wiradi, Liliana Arif Gondoutomo, Prof Achmad Sodiki, Agustiana, dan Usep Setiawan. Fokus perhatian LPP antara lain soal hukum, sosial, budaya, dan ekonomi. (JOS/MAR)

08 Juni 2006

Kasus Cikatomas Tak Berhubungan dengan Cisompet

TEMPO Interaktif, Jakarta, 08 Juni 2006:Sekretaris Jenderal Serikat Petani Pasundan, Agustiana, aksi pembakaran dan pengrusakan rumah pekerja PT Perkebunan Nasional VIII, Kecamatan Cikatomas, Kabupaten Tasikmalaya pada 3 Juni lalu berdiri sendiri. Kasus ini tidak ada kaitannya dengan kejadian di Perkebunan Bunisari Kecamatan Cisompet Kabupaten Garut pada 27 Mei 2006.

"Kalau ada yang mengait-ngaitkan itu pancingan untuk menyudutkan serikat petani," ujar Agustiana saat dihubungi Tempo, Kamis sore. Saat kejadian, kata Agustiana, pengurus dan anggota sedang berkumpul di Garut.

Saat itu dia bersama teman-temannya tengah meredam amarah warga agar tidak terjadi konflik berkepanjangan menyusul dibakarnya rumah warga dan dihancurkannya tanaman pisang serta palawija di Kecamatan Cisompet oleh ratusan orang tak dikenal. "Saya sempat mengancam untuk memecat siapa saja yang melakukan tindakan di luar koridor," ujarnya.

Agustiana curiga kejadian di Cikatomas dilakukan oleh pihak-pihak yang ingin memperkeruh suasana dengan mengadu domba rakyat dengan pihak perkebunan. "Saya tidak mau rakyat berdarah-darah karena diadukan dengan rakyat lagi," ujar dia.

Menurut Agustiana, pihaknya curiga kejadian di Cikatomas dilakukan untuk memecah kekuatan serikat petani dan membuat citranya menjadi buruk. "Karena itu kami mendesak polisi untuk menyelidiki kasus di Cikatomas itu," katanya.

Agustiana menambahkan, jika pihaknya ingin mengungkapkan kemarahan atas peristiwa pembakaran di
Cisompet, itu bukan perkara yang sulit. "Ada tujuh ribu orang saat itu yang sedang marah. Kalau mau, saya bisa menggerakan mereka saat itu juga," katanya.

Agustiana mengaku memiliki dokumentasi berupa rekaman video saat peristiwa di Cisompet itu terjadi. "Dengan melihat rekaman itu kita bisa tahu siapa yang memulai aksi pengrusakan ini," katanya.

Rana Akbari Fitriawan

07 Februari 2006

Lahan Pertanian di Blitar Termakan Real Estate

Rabu, 06 Pebruari 2008

TEMPO Interaktif, Blitar
:Gencarnya proyek real estate dan perumahan membuat luas lahan pertanian di Kabupaten Blitar, Jawa Timur, terus menyempit dari tahun ke tahun dan menurunkan jumlah produksi hasil pertanian.

"Ini memang kondisi yang tidak menguntungkan bagi sektor pertanian. Penyempitan lahan karena banyak tanah pertanian dijadikan kawasan real estate dan perumahan. Di sisi lain, perumahan juga penting bagi masyarakat," kata Hari Budi Harto, Kepala Sub Dinas Bina Program Dinas Pertanian Kabupaten Blitar, Rabu (6/2).

Menurut Hari, penyempitan lahan selama kurun waktu 2006 hingga 2007 mencapai 10 hektare. Berdasarkan data Dinas Pertanian, pada tahun 2006 luas lahan pertanian di Kabupaten Blitar 127.143 hektare, namun akhir 2007 menyusut jadi 127.133 hektare.

Sejumlah wilayah kecamatan yang kini tengah marak dibangun proyek perumahan dan real estate di antaranya di Kecamatan Nglegok, Wlingi, Kanigoro dan Gandusari. Di kawasan yang merupakan sentra penghasil pertanian itu kini mulai banyak bermunculan perumahan baru yang lahannya diambil dari pembebasan lahan pertanian.

"Akibat penyusutan jumlah luas lahan pertanian, secara otomatis jumlah hasil produksi pertanian juga ikut menurun. Yang paling mengkhawatirkan adalah ketersediaan bahan makanan pokok," kata Hari.

Untuk mengantisipasi hal itu, Dinas Pertanian Kabupaten Blitar akan melakukan strategi memaksimalkan lahan dengan sistem peningkatan panen. Contohnya, jika biasanya sepetak lahan hanya mampu panen sekali, maka akan diupayakan untuk bisa panen dua kali.

"Selain itu, juga perlu penambahan saluran irigasi dan ketersediaan pupuk. Karena air dan pupuk merupakan faktor utama yang menentukan berhasil tidaknya peningkatan jumlah panen," kata Hari.

DWIDJO U. MAKSUM