31 Januari 2009

LMR-RI Sumut Surati BPN Pusat Mohon Penjelasan 120 Ha Lahan Masyarakat di Tanjung Jati Langkat

Sinar Indonesia Baru, Januari 9th, 2009

Medan (SIB)

LMR-RI (Lembaga Missi Reclassering Republik Indonesia) Komisariat Wilayah Sumut selaku kuasa hukum masyarakat Koptan Desa Tanjung Jati menyurati Kepala BPN (Badan Pertanahan Nasional) Pusat di Jakarta mohon penjelasan areal tanah seluas 120 Ha di Desa Tanjung Jati, Kecamatan Selesai, Langkat yang hingga saat ini masih dikuasai oleh PTPN II Tanjung Jati.

Menurut Ketua Komwil LMR-RI Sumut Sedap Tarigan SH kepada wartawan di Medan, Kamis (8/1) dalam surat tertanggal 30 Desember 2008 itu, masyarakat melalui Almaun, delegasi petani penduduk Desa Tanjung Jati, Selesai, Langkat memohon penjelasan lahan seluas 120 Ha tersebut karena pihaknya telah mendapat penjelasan dari Menteri BUMN kepada BPN Pusat, areal tersebut tidak termasuk dalam HGU (di luar HGU) Kebun PTPN II Tanjung Jati dan harus didistribusikan kepada masyarakat selaku pemilik sebelumnya.

Dikatakan, pada Rabu (22/10-2008) lalu pihaknya bersama sejumlah masyarakat dan Almaun didampingi Ketua LMR-RI Sumut Sedap Tarigan SH selaku kuasa masyarakat mencoba menguasai lahan dimaksud dengan memasang plang bahwa areal itu dalam pengawasan LMR-RI selaku kuasa masyarakat. Namun, oleh pihak perkebunan plang tersebut dirobohkan karena menurut Askep Rahmadi Saputra yang hadir di lokasi bersama sejumlah petugas Papam Kebun, surat-surat terkait HGU lahan dimaksud ada di kantor PTPN II. Namun saat itu tidak sempat terjadi bentrok, ujar Tarigan.

Kemudian, pihaknya menyurati BPN Sumut No 049/03/LMR-RI/Komwilsu/XI/2008 tertanggal 7 Nopember 2008 mohon penjelasan tentang status lahan itu. Namun, BPN Sumut melalui suratnya 21 Nopember 2008 menyarankan agar LMR-RI menghubungi pihak PTPN II sebagai pemegang asset, ujar Tarigan.

Untuk itu, pihaknya menyurati Kepala BPN Pusat untuk mohon mengklarifikasi memberi penjelasan masalah lahan 120 Ha dimaksud sehingga masyarakat memperoleh suatu kepastian. Dalam surat yang ditembuskan antara lain ke Kejagung, KPK di Jakarta, Menteri BUMN, DPR RI, Gubsu dan Kapoldasu itu turut dilampirkan berkas kronologis serta kepemilikan tanah masyarakat tersebut sebelum dikuasai PTPN II. (r9/u)

2009 BPN Sumut Targetkan 122.740 Bidang Tanah Disertifikasi

Sinar Indonesia Baru, Januari 19th, 2009

Medan (SIB)

Sebagai tindak lanjut program tahun sebelumnya, tahun 2009 Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Propinsi Sumut menargetkan 122.740 bidang tanah di Sumut selesai disertifikasi. Target ini termasuk dalam percepatan sertifikasi massal yang menjadi salah satu program utam BPN Sumut untuk tahun 2009 menuju visi dan misi BPN.

Hal ini dikemukakan Kakanwil BPN Sumut Ir Horasman Sitanggang kepada wartawan, Jumat (16/1) disela-sela acara penyerahan DIPA TA 2009 yang dihadiri ratusan pegawai BPN se Sumut di Kanwil BPN Jalan Brigjen Katamso Medan. Dalam daftar rekapitulasi anggaran DIPA TA 2009, Kanwil BPN Sumut dan 25 Kabupaten/Kota memperoleh anggaran dalam DIPA Rp121.645.974.000.

Ia mengutarakan ada empat program utama BPN Sumut tahun 2009 yakni percepatan sertifikasi massal, penertiban tanah terlantar, penyelesaian sengketa tanah dan PPAN (Reforma Agraria Nasional).

Untuk percepatan sertifikasi massal disediakan dua cara yakni swadaya dan subsidi. Untuk program subsidi yang terdiri dari 26.040 bidang PRONA, 1700 bidang UKM dan PPAN (DIPA) 35000 bidang, sedangkan untuk swadaya missal ada 60.000 bidang dengan paket hemat dengan biaya relatif murah, yang keseluruhannya berjumlah 122.740 bidang tanah.

Untuk mencapai ini, salah satu metode yang dilakukan adalah dengan menjemput bola, LARASITA, dimana BPN akan mendatangi dan melayani masyarakat.

Ditegaskan Horasman, tahun 2009, 26.040 bidang tanah dengan PRONA mencakup 25 Kabupaten/Kota yakni Medan 3500 bidang, Binjai (500), Tebing Tinggi (700), P Siantar (1000), T Bali (600), Sibolga (150), Langkat (1000), Deliserdang (3000), Simalungun (1000), Asahan (1000), Karo (3000), Dairi (790), Tapsel (600), L Batu (1000), Taput (1000), Tapteng (1000), Nias (1000), Tobasa (800), Madina (1000), P Sidempuan (250), Sergei (1500), Humbahas (500), Nisel (500), Samosir (250), Pakphak Bharat (400).

Akhir Januari LARASITA Dilaunching Gubsu

Target 122 ribu lebih bidang tanah yang disertifikasi akan dicapai dengan metode jemput bola yakni LARASITA (Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Tanah). Dalam Program ini BPN akan langsung mendatangi dan melayani masyarakat yang telah memenuhi persyaratan IP4T yakni lokasi yang telah memenuhi inventaris pengadaan, pemanfaatan, pengawasan dan pemilikan tanah. Dimana tanah yang akan dilayani LARASITA adalah tanah yang relatif tidak banyak lagi masalah.

Untuk tahun 2009, telah disetujui 3 kabupaten/kota yakni Medan, P Siantar dan Deli Serdang yang akan dilayani LARASITA dan 2 lagi sedang dalam pengusulan, sehingga jumlahnya 5 kabupaten/kota.

Untuk memulai program LARASITA ini, kata Horasman, akhir Januari 2009 Gubsu akan melaunching LARASITA. (M22/u)

21 Januari 2009

Cucu Jenderal Soedirman Lawan Neo-liberalisme

Tribun Timur, Selasa, 20 Januari 2009

Jakarta, Tribun - Jenderal Soedirman Center yang diketuai oleh cucu Panglima Besar Jenderal Soedirman, Bugiakso berencana menggelar Rapat Umum Masyarakat Indonesia (RUMI) dalam rangka melawan neo-libralisme melalui momentum Pemilu 2009. Demikian disampaikan Ketua SC RUMI Gunawan yang didampingi Ketua OC Kartika Agenda dan Ketua Benteng Kedaulatan Farhan Effendi, Senin (19/1) di Jakarta.

RUMI yang akan digelar pada 1 Februari mendatang dan bertempat di Monumen Jogja Kembali, Sleman, Yogyakarta tersebut bekerjasama dengan Benteng Kedaulatan.

Rapat direncanakan akan diikuti sedikitnya oleh 500 ribu orang yang berasal dari berbagai daerah di seluruh Indonesia, guna mengambil jalan politik yang demokratik, konstitusional dan tetap di garis perjuangan massa serta melawan neo-liberalisme melalui momentum Pemilu 2009 dengan memilih presiden perubahan.

Para peserta, lanjut Gunawan, berasal dari petani, buruh, nelayan, masyarakat adat, pemuda, perempuan, agamawan dan budayawan yang berkomitmen terhadap perubahan melalui proses pemilihan umum.

Menurut kajian Jenderal Soedirman Center dan Benteng Kedaulatan, 10 tahun perjalanan reformasi, transisi demokrasi ternyata berjalan tidak sesuai dengan cita-cita reformasi yang dulu diperjuangkan oleh gerakan mahasiswa dengan dukungan segenap rakyat Indonesia.

"Yang terjadi adalah liberalisme yang dilegalkan melalui prosedural politik di pemerintahan dan DPR. Ujungnya adalah upah buruh tetap rendah, tidak berlangsungnya pembaruan agraria yang sejati dan dikuasainya kekayaan alam Indonesia oleh modal internasional. Tentu saja hal ini mengingkari UUD 1945 dan Ideologi Pancasila," tutur Gunawan.

Pendapat sama juga dikemukakan Pengurus Pusat Paguyuban Mantan Anggota DPR RI (PP-Padmanagri). Menurut ketuanya Mustahid Astari, walaupun judulnya Kabinet Presidensial, namun kenyatannya banyak wewenang presiden yang telah bergeser ke DPR.

Sementara itu MPR yang dahulu sebagai Majelis tertinggi di dalam struktur ketatanegaraan, telah kehilangan fungsinya yang pokok seperti menentukan GBHN dan menerima pertanggungjawaban presiden.

"Akibat tidak berperannya fungsi MPR itu, maka akan terjadi untuk pertama kalinya, presiden terpilih harus mempertanggungjawabkan segala pelaksanaan programnya kepada siapa pun, diakhir masa jabatannya pada tahun 2009," kata mantan anggota DPR itu.(persda network/js)

16 Januari 2009

Sertifikasi Tanah Lambat, Akses Kredit Terbatas

Kompas, Jumat, 18 Januari 2008

Jakarta, Kompas - Proses sertifikasi tanah milik pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM sangat lamban. Ini menyebabkan akses UMKM terhadap kredit perbankan menjadi terhambat.

Staf Khusus Menko Perekonomian Jannes Hutagalung mengungkapkan hal tersebut saat melaporkan pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM, Kamis (17/1) di Jakarta.

Dalam laporannya, Jannes menyebutkan, target sertifikasi tanah tahun 2007 adalah seluruh target tahun 2006, yakni 10.240 sertifikat, ditambah target 2007 sebanyak 13.000 unit.

Namun, realisasinya ternyata hanya 3.335 sertifikat yang selesai atau hanya 32,57 persen dari target 2006. Padahal, biaya yang sudah diserahkan kepada kantor pertanahan di daerah cukup untuk 5.690 berkas atau 55,6 persen dari target.

Jannes menjelaskan, untuk tahun 2007 pemerintah telah melakukan proses pencairan dana untuk sertifikasi tanah UMKM di 23 provinsi.

Sertifikasi di 13 provinsi, dari 23 provinsi itu, terdiri dari 9.973 bidang tanah nonpertanian dan 2.894 bidang tanah pertanian.

Dana yang sudah dicairkan sekitar Rp 6 miliar. Menurut Jannes, dana itu sebenarnya cukup untuk melakukan sertifikasi di 17 provinsi. Tanah yang dapat disertifikasi mencakup 7.714 tanah nonpertanian dan 2.397 tanah pertanian atau perkebunan.

Hingga saat ini, kata Jannes, hanya Kalimantan Timur yang sudah memberikan laporan realisasi sertifikasi tanahnya, yakni 34 bidang, atau 0,26 persen dari target nasional.

Sertifikasi tanah dilakukan untuk memperkuat sistem penjaminan kredit bagi UMKM. Untuk mendorong program ini, Menneg Koperasi dan UKM, Menteri Dalam Negeri, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional menyempurnakan keputusan bersama tentang mekanisme pengajuan sertifikasi tanah sehingga prosedur pengajuan sertifikasi tanah milik UMKM menjadi lebih sederhana.

"Terkait sertifikasi tanah ini kami sudah melakukan berbagai usaha untuk mendorong percepatannya. Laporan pencairan dana ke daerah sudah sangat tinggi, tetapi realisasi sertifikasinya sangat kurang. Perlu waktu dan kesabaran. Tanpa sertifikat sulit bagi UMKM mendapatkan akses kredit," ujar Jannes. (OIN)

Sekolah Komunitas Petani (1): ANTARA TANAH DAN AKSES PENDIDIKAN

Kompas, 12 Juli 2008

Oleh P Bambang Wisudo

Pendidikan dan penguasaan atas tanah merupakan modal yang mesti dimiliki petani untuk hidup sejahtera. Akan tetapi justru dua hal itu jarang dimiliki petani. Sebagian besar petani tidak memiliki akses terhadap pendidikan dan tanah. Proses marjinalisasi pun berlangsung turun-temurun. Penguasa silih berganti, tetapi nasib petani makin terpinggirkan. Berharap suatu hari negara berpihak pada petani ibarat menunggu godot.

Para petani di Pasawahan yang tinggal di sekitar areal eks-perkebunan karet di pegunungan Cipucung, sekitar 70 kilometer dari Kota Ciamis, memilih tidak tinggal diam. Mereka bersama-sama berjuang untuk mendapatkan akses atas tanah dan pendidikan untuk anak-anak mereka. Hasilnya pun mulai dirasakan sekarang. Selain berhasil mendapatkan tanah garapan, para petani itu kini memiliki sebuah sekolah yang diidam-idamkan.

“Bagi saya, sekolah adalah nomor dua. Hal pertama yang harus diperjuangkan adalah tanah,” kata Oyon (48), tokoh masyarakat di Desa Pasawahan, Jawa Barat.

Pada awal tahun 2000, Oyon bersama sejumlah petani Pasawahan mulai bergerak. Mereka mengajukan permohonan untuk menggarap tanah eks perusahaan perkebunan karet yang ditelantarkan sejak tahun 1993.

Kawasan perkebunan karet tersebut sudah ditumbuhi semak belukar. Dua bulan permohonan itu tidak dijawab. Yakin bahwa hak guna usaha tanah perkebunan itu telah berakhir, para petani yang bergabung dalam Serikat Petani Pasundan itu kembali mengajukan permohonan menggarap tanah ke tingkat kabupaten. Permohonan itu lagi-lagi tidak dijawab. Setahun kemudian para petani melakukan aksi reklaiming dengan menebangi pohon-pohon karet yang ada di kawasan itu.

Dari lahan yang direklaim sekitar 170 hektar, tiap keluarga petani mendapatkan tanah garapan sekitar 200 bata atau sekitar seperempat hektar. Sampai sekarang Badan Pertanahan Nasional belum memberi lampu hijau tanah itu dikembalikan pada petani.

“Saya yakin tanah ini nanti akan jatuh ke rakyat,” kata Oyon yang bersekolah hanya sampai kelas VI SD.

Perjuangan para petani Pasawahan tidak berhenti di situ. Setelah kehidupan para petani itu mulai tertata, mereka bersama berembuk untuk menggarap pendidikan. Sampai tahun 2002, hanya sekitar 5 persen anak usia SMP di desa itu yang bersekolah. Setelah lulus SD biasanya anak-anak laki-laki menghabiskan waktunya untuk bermain. Anak-anak perempuan membantu ibunya, menjadi buruh jahit bordir, atau kawin di bawah umur.

Dengan bantuan aktivis SPP yang tinggal di desa itu sebagai guru sukarelawan, tahun ajaran baru 2003 mereka mulai menyelenggarakan sekolah. Bangunannya meminjam gedung madrasah. Anak-anak yang datang dari desa lain tinggal satu pondokan bersama guru-guru.

SMP Plus Pasawahan kini memiliki 65 murid. Mereka telah memiliki gedung sekolah dengan bangunan permanen. Dua kelas dibangun dengan dana swadya masyarakat. Dana yang terkumpul dari petani dan sahabat sekolah tidak kurang dari Rp 80 juta. Bangunan sekolah dibuat tinggi.

Plafon dibuat dari papan kayu, dipergunakan untuk perpustakaan dan tempat penginapan. Dua lainnya dibangun dari hibah Departemen Pendidikan sebesar Rp 100 juta. Sekolah itu berdiri di atas areal pertanian seluas empat hektar, bekas tanah perkebunan karet, yang masih bermasalah.

“Dulu, sebelum ada sekolah ini, anak-anak Pasawahan paling-paling bersekolah sampai lulus SD. Banyak anak yang tidak bisa melanjutkan

sekolah. Memang, katanya, sekolah gratis tetapi tetap saja butuh ongkos transpor. Padahal petani di sini hidup pas-pasan,” kata Sartiwi (17), siswa kelas III SMP Plus Pasawahan.

Untuk mencapai lokasi SMP terdekat, anak-anak di Pasawahan harus mengeluarkan ongkos ojek sekitar Rp 10.000 per hari. Belum lagi kalau hujan, jalanan tidak bisa dilewati.

Cerita Sartiwi dibenarkan Saud Sunaryo (50). Kata Sunaryo, petani di desa itu sebenarnya ingin anak-anaknya terus sekolah paling tidak sampai lulus SMP. Namun karena berat di ongkos, mereka akhirnya membiarkan anak-anak putus sekolah. Saud menuturkan, di desa itu memang pernah didirikan kelas jauh tetapi bubar setelah dua bulan berjalan.

Keberadaan SMP Plus Pasawahan ternyata bukan hanya berkah bagi anak-anak Pasawahan, tetapi juga bagi anak-anak dari desa-desa di Ciamis Selatan yang menjadi wilayah kerja Serikat Petani Pasundan.

Dari 65 anak yang kini belajar di SMP Plus Pasawahan, sejumlah 22 anak berasal dari desa lain. Mereka tinggal di pondokan bersama guru.

Pondokannya sangat sederhana. Mereka hanya tidur di lantai beralaskan tikar. Makanan pun seadanya. Beras disumbang dari petani dan sayur diambil di kebun. Untuk lauk-pauk, mereka biasanya memperoleh sepotong ikan asin atau tahu-tempe sebesar ibu jari.

“Kami memasak secara bergantian. Semua anak di sini bisa memasak,” kata Deni Sunaryo (16).

Anak-anak petani yang bersekolah di SMP Plus Paswahan merupakan anak-anak yang beruntung. Sekalipun memiliki seragam, mereka tidak harus bersekolah dengan mengenakan baju seragam. Mereka boleh pergi sekolah tanpa bersepatu. Tidak seperti anak-anak di sekolah pada umumnya, mereka bisa berinteraksi bebas dengan kawan-kawan dan guru.

Mereka bisa belajar sambil tiduran. Mereka memiliki waktu yang leluasa untuk berkesenian. Dua jam tiap hari Jumat dan sehari penuh tiap hari Sabtu mereka belajar bertani.

Tidak hanya itu. Tiap hari anak-anak itu dibiasakan menulis. Mereka bisa menulis puisi, cerita pendek, laporan kunjungan lapangan, ataupun membuat jurnal pengalaman mereka berkebun. Tiap anak mendapat bagian tanah untuk bereksperimen seluas 2 x 5 meter yang bebas dipergunakan untuk menanam apa saja. Rata-rata anak kelas II telah menghasilkan puluhan puisi.

Tiap bulan mereka menerbitkan buletin kelas yang diperbanyak dengan cara fotokopi. Sebagian dari mereka, ketika baru masuk ke SMP Plus Pasawahan, masih gagap membaca dan menulis. Kini membaca dan menulis menjadi menu penting dalam keseharian mereka.

Sekolah itu dilayani oleh empat belas guru, tiga di antaranya adalah anak-anak muda aktivis petani dari luar desa. Mereka bekerja tanpa dibayar. Baru beberapa bulan ini saja mereka mendapatkan uang transpor sebesar Rp 7.000 sehari mengajar berkat adanya dana bantuan operasional sekolah.

Saeful Milah (25), alumnus Universitas Galuh, sudah hampir dua tahun mengajar di Pasawahan tanpa memperoleh gaji. Ia makan dan tidur bersama anak-anak. Saeful sebelumnya pernah mengajar di Madrasah Tsanawiyah Sururon Garut. Sejak semester empat ia sudah terlibat dalam kegiatan-kegiatan pendampingan petani.

“Tidak terpikir mau berapa tahun saya mengajar di sini. Kalau sekolah ini sudah aman, tenaga pengajarnya mencukupi, saya baru mau meninggalkan sekolah ini dan merintis di tempat lain,” kata Saeful.

Haslinda Qadariyah (28), jebolan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, juga jatuh hati pada SMP Plus Sururon. Ia tidak merisaukan masa depannya. “Tidak tahu sampai kapan saya di sini. Anak-anaklah yang bikin saya betah. Kalau bisa, saya ingin lama tinggal di sini,” kata Haslinda.

SMP Plus Pasawahan merupakan kebanggaan petani Pasawahan. Di areal bekas tanah perkebunan, yang hanya bisa dijangkau dengan bersusah payah dengan menggunakan ojek atau mobil bak terbuka, terdapat sebuah sekolah yang tidak kalah dengan sekolah-sekolah di kota.

Perjuangan untuk memperoleh hak atas tanah dan pendidikan memberikan harapan baru bagi para petani yang selama ini dipinggirkan.***

Mereka Bangga Jadi Anak Desa

Kompas, 8 November 2006

P Bambang Wisudo

Seonggok jagung di kamar tak akan menolong seorang pemuda yang pandangan hidupnya berasal dari buku, dan tidak dari kehidupan. … Apakah gunanya pendidikan bila hanya akan membuat seorang menjadi asing di tengah kenyataan persoalannya.

Kritik terhadap dunia pendidikan dalam penggalan syair Rendra “Sajak Seonggok Jagung” ternyata tidak berlaku untuk SMP Plus Pasawahan. Sekolah yang berdiri di atas areal eks perkebunan karet di perbukitan Cipucung, sekitar 70 kilometer selatan Kota Ciamis, mendidik murid-muridnya untuk mencintai dan bangga menjadi anak petani.

Anak-anak SMP Plus Pasawahan tidak hanya dari buku-buku teks pelajaran, guru-buru bersertifikat tetapi juga bergulat dengan tanah yang kering di musim kemarau, belajar bersama masyarakat petani, dan mengenali dari dekat persoalan-persoalan yang menjadikan petani terpinggirkan. Bukan hanya itu saja, mereka diajak masuk ke dalam dunia tulis-menulis. Anak-anak itu tidak hanya membaca buku dan guntingan koran, tetapi juga menulis cerita pendek, puisi, kisah-kisah perjuangan hidup petani, sampai pengalaman mereka sehari-hari bergaul dengan tanaman. Di sekolah milik komunitas petani di desa terpencil itu, hampir tiada hari tanpa menulis.

Sebulan sekali, tiap kelas menerbitkan buletin sendiri. Penerbitan itu sangat sederhana. Sebagian ditulis tangan dan diperbanyak dengan fotokopi. Di kelas II, tiap anak pernah menulis belasan hingga puluhan puisi dan cerita pendek.

Akhir tahun lalu, sebagian kumpulan tulisan anak-anak itu diterbitkan dalam sebuah buku Aku Bangga Jadi Anak Desa yang mencantumkan tulisan pengantar Ketua Komnas Perlindungan Anak Seto Mulyadi.

Antara pena dan cangkul

Di SMP Plus Pasawahan, anak-anak bersahabat dengan pena dan cangkul. Tidak laki-laki, tidak perempuan. Semua harus mengenal cangkul.

Ketika musim kering tiba, anak-anak perempuan pun ikut bersusah payah mengangkat ember-ember air untuk menyirami tanaman. Perempuan dan laki-laki mendapatkan giliran untuk mencari rumput buat kambing-kambing yang dikandangkan di halaman sekolah. Mereka juga belajar menyemaikan bibit di kantong-kantong plastik.

Selain diberi tanggung jawab untuk menggarap petak tanah masing-masing, anak-anak itu juga menggarap kebun bersama di depan sekolah. Juni lalu mereka memanen 1,5 kuintal mentimun yang dijual dengan harga Rp 300.000. Tidak seperti petani kebanyakan, tiap anak menuliskannya dalam bentuk laporan.

“Kami ingin anak-anak ini kelak bisa bertani dengan cerdas. Dengan menuliskan semua kegiatan yang dilakukan, bila panenan jelek, mereka bisa melihat catatan untuk mencari penyebabnya,” kata Saeful Milah (25), guru SMP Plus Pasawahan.

Sindi (15), yang kini duduk di kelas dua, mengaku sudah terbiasa menulis puisi sejak ia kelas I. Hampir tiap hari, sebelum masuk sekolah, kalau tidak menulis puisi ia menulis cerita pendek. Ai Syatul Avifah (16) juga hampir tiap hari menulis.

Ia sering mengikuti pertemuan-pertemuan organisasi tani. Ia merekam baik-baik peristiwa-peristiwa menjelang dan sesudah aksi penebangan pohon karet oleh petani, penyerangan para preman, dan perlawanan balik oleh petani. Cerita-cerita itu dituliskan Avifah antara lain dalam sebuah cerita pendek tentang percakapan antara tanah dan pohon karet.

Menurut Saeful, pilihan untuk membiasakan anak-anak menulis merupakan hasil pemikiran bersama guru-guru SMP Plus Pasawahan. Saeful sendiri mengaku tidak mempunyai pengalaman dalam dunia tulis-menulis.

“Yang penting guru bisa mendorong murid untuk menulis. Mereka dibiasakan saja membuat catatan tertulis tentang apa yang dikerjakan, membuat puisi, atau cerita. Nyambung atau tidak, itu belakangan,” kata Saeful.

Haslinda Qadariyah (28), jebolan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran yang mengajar di sekolah itu, kebetulan sebelumnya menjadi sukarelawan pengelola majalah Komite Pembaruan Agraria (KPA) di Bandung.

Keterampilan itulah yang ditularkan kepda anak-anak Pasawahan.

“Tiap hari ada kegiatan membaca dan menulis. Mereka kami biasakan membaca tulisan dari guntingan-guntingan koran, mendiskusikan, dan menuliskannya kembali,” tutur Haslinda.

Secara periodik anak-anak Pasawahan diterjunkan ke organisasi-organisasi tani yang di Banjarsari untuk membuat laporan perjalanan.


Kurikulum nasional

SMP Plus Pasawahan mengadopsi kurikulum nasional. Mereka bersekolah antara jam 07.30 sampai jam 14.00. Tiap hari Jumat ada pelajaran bertani selama dua jam. Hari Sabtu merupakan hari penuh untuk bertani.

Sebelum sekolah dimulai, anak-anak biasanya telah berdatangan di sekolah untuk melihat kebun mereka. Setelah pelajaran usai, biasanya anak-anak itu masih berada di sekolah sampai sore untuk mengikuti kegiatan kesenian.

Tanpa kehadiran guru, anak-anak tersebut bisa belajar mandiri. Ketika diberi tugas oleh gurunya untuk mempersiapkan acara kesenian untuk pertemuan orangtua murid, anak-anak itu berembuk sendiri apa yang akan mereka lakukan.

Ada sekelompok anak yang berlatih membaca puisi, ada yang membuat teater dalam bahasa Sunda, ada yang berlatih calung. Jalan cerita, pembagian peran, dan lain-lainnya ditentukan oleh anak-anak sendiri.

Paryono (14) yang kini duduk di kelas dua, sangat terampil dalam memainkan calung, berteater, maupun bertani. “Saya senang bermain drama, main calung, dan banyak lagi. Saya kelak mau jadi guru di sini,” kata Paryono yang selalu sibuk mengerjakan sesuatu.

Sekalipun mengadopsi kurikulum nasional akan tetapi pendekatan yang dipakai SMP Plus Pasawahan berbeda dengan sekolah pada umumnya.

Mereka ingin mengembangkan anak sesuai kecerdasan yang dimiliki masing-masing. “Kami tidak menyamaratakan anak dan memaksa anak menyukai segala hal,” kata Saeful.

Dalam buku berjudul Aku Bangga Menjadi Anak Desa, anak-anak Pasawahan bercerita tentang desa mereka, tentang perjuangan orangtua mereka memperebutkan hak atas tanah, tentang sekolah mereka, bahkan opini tentang kenaikan harga Bahan Bakar Minyak yang menyengsarakan petani. Mereka memprotes ketidakberpihakan pemerintah kepada petani dan tidak diperhatikannya pendidikan bagi anak-anak di desa.

Rani Anggraeni (16) menulis tentang kebanggaannya sebagai anak desa. Ia sempat kebingungan mencari sekolah lanjutan karena ketiadaan biaya.

Ia tidak mau seperti seorang kawannya yang menyesal tidak bisa meneruskan sekolah karena harus pergi ke Jakarta mencari uang.

Ia juga bercerita tentang seorang temannya yang ke Bandung, katanya mau bersekolah, tetapi ternyata hanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga.

“Aku bangga hidup di desa. Walaupun orangtuaku menjadi petani, aku tetap bangga. Desa dalah kekuatan ekonomi, desa menjadi harapan kita. Aku di desa sambil sekolah. Aku ingin membuat masyarakat di desaku tidak bodoh lagi …,” tulis Rani.

Sekolah komunitas mendekatkan pendidikan dengan persoalan nyata yang ada di lingkungannya.**

PERESMIAN SMK PERTANIAN SERIKAT PETANI PASUNDAN

Garut, 22 Juli 2008

Para Sahabat yang Terhormat,

Untuk menguatkan kedudukan tawar dari para petani,
kini tak bisa lagi diharapkan dari kerja tambal sulam.
Pendidikan petani sejak masa mudanya merupakan jaminan sepenuhnya untuk
memerdekakan mereka dari belenggu ketakadilan dalam kehidupan pedesaan.

Serikat Petani Pasundan dan YAPEMAS akan mengadakan Peresmian (sekaligus MOS) :
SMK Pertanian Pasawahan Ciamis pada 22 July 2008 dan
SMK Pertanian Sururon Sarimukti Garut, pada 24 Juli 2008

Sekolah ini diselenggarakan dalam upaya melanjutkan sekolah yang sudah ada
yaitu, SMP Plus Pasawahan Ciamis dan Madrasah Tsanawiyah Sururon Garut
yang telah berjalan selama 6 tahun yang lalu.

Mohon Do'a dan Restunya.

Salam Hangat

Nissa Wargadipura
Direktur YAPEMAS (Lembaga Pelayan Serikat Petani Pasundan)
Jalan Raya Samarang 108A Honje Luhur
Tarogong Garut – Jawa Barat 44151
Telp/ Fax : +62262 231849
Blog: http://sppasundan.multiply.com

SMP Pasawahan, Sekolah Plus Ala Perdesaan

PIKIRAN RAKYAT, Selasa, 14 Nopember 2006

DALAM beberapa tahun ini, Serikat Petani Pasudan (SPP)
telah mendirikan tiga sekolah menengah (SMP) plus.
Salah satu SMP plus yang dirintis berada di daerah
Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kab. Ciamis.

Sampai saat ini, SMP Plus Pasawahan baru membuka dua
kelas, dengan jumlah murid kelas satu 25 anak, dan
kelas dua 37 anak . Lokasinya, berada di sebuah puncak
Gunung Cipicung, yang terletak sekira 70 km dari Kota
Ciamis, ke selatan daerah Banjarsari. Dari Banjarsari
naik ke gunung, dengan menempuh perjalanan cukup
berat. Sekolah ini dirintis mulai tahun 2003 oleh
masyarakat, aktivis pergerakan dan SPP. Mereka mulai
menerima murid sejak tahun 2004.

Ada beberapa pertimbangan, membangun sekolah di daerah
ini. Pertama, untuk memberikan kesempatan kepada anak
petani miskin agar bisa menikmati pendidikan lanjutan
setelah tamat SD. Kedua, mempersiapkan anak-anak
petani terdidik dengan memiliki keterampilan tani yang
baik dan modern. Sehingga, pada akhirnya mereka
menjadi pelopor di desanya, dalam berbagai bidang,
terutama pertanian.

"Lokasinya, kita pilih di Pasawahan, karena daerah itu
paling jauh dan banyak anak tidak bisa melanjutkan
sekolah. Di daerah itu ada enam SD. Sebagian besar,
tak mampu melanjutkan, karena ke SMP sangat jauh dan
juga miskin. Makanya, kita bangun sekolah di daerah
itu," jelas Sekjen SPP Agustiana.

Bangunan sekolah didirikan empat ruangan, dibangun
dengan cara gotong royong bersama masyarakat setempat.
Dananya sebagian dari sumbangan pemerintah dan
swadaya.

Guru yang mengajar di sekolah ini sebanyak 12 orang.
Mereka berasal dari berbagai perguruan tinggi, seperti
Univeritas Galuh, ITB, Unpad dan lain-lain. Para guru
sama sekali tidak mendapatkam gaji. "Murni
pengabdian," kata Agustiana.

Guru SMP Plus, Saeful dan Haslinda, ketika ditemui
"PR" di sela-sela memberikan pelajaran, mengemukakan,
siswa di sekolahnya belajar dengan lesehan. Mereka
bebas menggunakan pakaian ke sekolah, baik seragam
atau tidak. Siswa juga boleh beralas kaki atau sama
sekali telanjang kaki.

"Namun, anak-anak itu kami rangsang untuk kreatif,
serta berani dalam mengemukakan pendapat. Kita
memosisikan mereka pada derajat yang sama," kata
Saeful, seorang sarjana pendidikan ini.

Sebelum materi pelajaran diberikan di sekolah, setelah
salat subuh, anak-anak belajar bertani di kebun.
Sekolah ini memiliki lahan seluas empat hektare, yang
digarap oleh anak didik. Mereka merawat atau mengolah
lahan, memelihara tanaman, seperti kacang tanah dan
mentimun. Setelah dari kebun, anak-anak ini mulai
pukul 8.00 WIB.

Mereka akhirnya bisa menanam kacang tanah, mentimun,
dan pertanian lainnya. Sebagian hasil tanamnya, untuk
biaya beli buku dan keperluan sekolah lainnya. "Saya
senang bisa bertani," kata Susilawaty, pelajar asal
sekolah ini.

Suasana di dalam ruang belajar dibuat senyaman
mungkin. Anak boleh berdebat dengan guru, boleh
bertanya kapan saja, kalau ada pelajaran tak mengerti
atau bingung. Dengan demikian, proses belajar-mengajar
menjadi lebih hidup, karena disampaikan dengan
egaliter.

Haslinda, lulusan Fikom Unpad Bandung misalnya,
--sewaktu "PR" melihat dari dekat-- mengajarkan
tentang budaya antre. Saat itu, anak didik langsung
praktik melakukan antre. Masing-masing anak diminta
komentarnya tentang maksud dan manfaat antre tersebut.
Baru setelah itu, guru memberi benang merah arti
penting antre.

Sekira pukul 11.30 WIB, anak-anak beristirahat untuk
makan dan salat. Mereka masuk kembali sejam kemudian,
untuk melanjutkan belajar hingga pukul 15.30 WIB.
Setelah itu, anak-anak diajak praktik ke lapangan.
Malam harinya, mereka mengaji dan latihan seni atau
drama.

Calung sebagai budaya setempat diajarkan kepada
anak-anak. Mereka juga diajak terlibat dalam
permasalahan yang terjadi di daerah itu. Untuk anak
yang rumahnya jauh dari sekolah, dititipkan di
masyarakat sekitar secara gratis.

Menurut Saeful, kelebihan plus di sekolah ini bukan
hanya gratis, tapi anak-anak melakukan praktik
langsung, khususnya dalam masalah pertanian, mulai
dari pembuatan pupuk organik, pembibitan, mencangkul,
hingga menanam sayur mayur.

"Kalau panen, sebagian hasilnya dimasukkan ke kas, dan
sebagian lainnya untuk pelajar. Biasanya dibelikan
buku tulis dan pensil," jelasnya.

Selain 12 guru tetap, para petani unggulan juga
memberikan pelatihan terhadap siswa. Sementara para
ustaz setiap malam memberikan bimbingan belajar
mengaji, termasuk pada hari Jumat. Mereka belajar
kitab-kitab kuning.

Jangan pernah membayangkan guru yang ada juga
berseragam safari atau batik. Mereka juga menggunakan
pakaian seadanya. Hal yang menonjol adalah semangat
mengajar mereka, sekalipun tanpa digaji sama sekali.
Kehidupan mereka atau guru juga berasal dari
penggarapan lahan atau bantuan warga setempat.

Setiap anak, juga diharuskan menulis cerita setiap
harinya, tentang pengalaman 24 jam yang dilakukan atau
pendapat tentang berbagai hal. Tulisan anak-anak desa
ini, telah dibukukan dengan judul, "Aku Bangga Jadi
Anak Desa" akhir Desember 2005. Buku itu merupakan
kumpulan tulisan terpilih dari anak-anak ini.

Menurut Seto Mulyadi, dalam pengantar buku itu,
tulisan siswa SMP Plus Pasawahan ini, adalah gambaran
jiwa yang lugu dan polos, mereka mengambilnya dari
pengalaman dan kejadian yang mereka alami atau orang
tuanya.

"Mereka berhasil meluruskan arah prinsip pendidikan
nasional menjadi lebih humanis dan populis," kata
tokoh yang akrab dipanggil Kak Seto ini melihat
pendidikan di daerah ini. (Undang Sudrajat/"PR")***

13 Januari 2009

Belajar dari Serikat Petani Pasundan

Sinar Harapan, 12 Agustus 2008

Oleh Usep Setiawan

Belum lama ini, ratusan petani dari Jawa Barat menuntut pembubaran Perhutani, karena Perhutani telah menjadikan kaum petani sebagai kambing hitam yang dituduh melakukan aksi pembalakan liar (23/06/08). Agustiana dan Serikat Petani Pasundan (SPP) yang dipimpinnya sontak menjadi sumber pembicaraan publik setelah dituduh sebagai dalang pembalakan liar di Jawa Barat oleh Kapolda Jawa Barat Susno Duadji (Pikiran Rakyat, 18/06/08).
Ikhwal operasi pemberantasan illegal logging yang digencarkan Kepolisian Daerah (Polda) Jabar tak seorang pun antipati. Terlebih lagi, pemulihan hutan yang rusak parah tengah jadi fokus perhatian pemerintah provinsi Jabar di bawah pemimpin baru, Ahmad Heryawan (gubernur) dan Dede Yusuf (wakil gubernur).
Yang perlu dijernihkan ialah cap negatif terhadap gerakan rakyat (tani) yang memperjuangkan haknya atas tanah melalui jalan reforma agraria. Ketauladanan Agustiana dan SPP selama belasan tahun dalam memperjuangkan reforma agraria tak boleh hancur oleh tuduhan busuk sebagai perusak hutan.
Bagi penulis, perdebatan mengenai pengelolaan hutan adalah persoalan bersama yang harus ditilik dari berbagai sudut pandang. Berangkat dari polemik tentang siapa dalang perusakan hutan di Jabar, kita perlu menengok paradigma kebijakan pengelolaan hutan sebagai cermin dari problem agraria dan sumber daya alam (SDA) yang menanti perombakan total.

Pertarungan Paradigma
Aneka paradigma pengelolaan sumberdaya alam (termasuk hutan), bisa dipinjam dari Ton Dierz (1996), terdapat tiga pilihan paradigma kebijakan, yakni (i) yang menempatkan lingkungan dan sumber-sumber alam sebagai objek eksploitasi (eco-developmentalism), (ii) yang membuat isolasi tertentu terhadap suatu kawasan agar bebas dari intervesi manusia sama sekali (eco-totalism atau eco-fasism), atau (iii) yang menempatkan rakyat di sekitar suatu kawasan sebagai subjek utama (eco-populism).
Paradigma pengelolaan hutan Indonesia selama ini menempatkan hutan sebagai objek eksploitasi yang sejatinya cermin dari paradigma eco-developmentalism. Melalui paradigma ini, Orba menelurkan berbagai kebijakan yang menempatkan hutan sebagai objek eksploitasi demi pertumbuhan ekonomi dan akumulasi modal.
Paradigma pengelolaan kawasan hutan semacam ini, dilengkapi pula dengan tidak diberikannya ruang yang memadai bagi keterlibatan masyarakat setempat dalam pengelolaan hutan. Disimpulkan, paradigma kehutanan yang berlaku adalah kombinasi eco-developmentalism dengan eco-fasism.
Faktanya, pilihan ini telah membuahkan konflik antara negara dan/atau pemodal besar yang diberi mandat mengelola hutan versus penduduk yang punya klaim sejarah budaya yang bersifat kosmologis atas kawasan sekitarnya. Buah yang sekarang kita temukan di depan mata adalah disharmoni, karena tidak ditemukannya kesatuan padang antara negara dan/atau para ”pengelola formal” kawasan hutan dengan aspirasi penduduk yang hidup dan berkembang di sekitar kawasan tersebut.
Selain itu, dampak nyata yang memprihatinkan adalah tidak adanya upaya penanganan yang efektif dalam mencegah perusakan dan memulihkan kerusakan hutan yang membuahkan tragedi bencana alam yang mengerikan, seperti banjir besar yang sekarang kerap melanda (Warta FKKM, Mei 2002).
Belakangan disinyalir, dalam praktiknya paradigma lama ini telah melahirkan senyawa korupsi di dalam korporasi pengelolaan hutan, laju perusakan hutan secara massif, dan disertai pelanggaran hak asasi manusia.
Paradigma lama sudah waktunya ditinggalkan. Perlu paradigma baru yang kontekstual zaman dan selaras kepentingan simultan sosial, ekonomi dan ekologis. Masyarakat sekitar hutan jangan jadi objek atau penonton, apalagi korban. Karenanya, wajib diajak bicara tentang kemauan dan kebutuhannya. Mereka harus dilindungi dan didorong kemampuannya dalam memenuhi keselamatan dan kesejahteraan hidupnya.
Model pengelolaan hutan oleh rakyat yang hasilnya dinikmati secara adil bagi semua adalah dambaan kita. Karena keadilan bersama dapat efektif mencegah perusakan hutan, sehingga bisa memperpanjang layanan alam. Mendorong kemampuan kolektif rakyat dalam menghasilkan syarat-syarat keselamatan dan kesejahteraan hidupnya.
Dengan produksi kolektif, nilai kemakmuran dinilai berdasar tingkat kesejahteraan bersama (Sangkoyo, 2000). Sekarang kita butuh model pengelolaan hutan yang memungkinkan terjadinya pemulihan dan mencegah perusakan hutan sekaligus lebih berkeadilan sosial. Untuk itulah, paradigma eco-populism layak dipilih.

Belajar dari SPP
Kerumitan terhampar dari paradigma yang tegang antara reforma agraria dengan kukuhnya kuasa rezim kehutanan. Kekusutan juga melekati peraturan perundangan dan kelembagaan, bahkan di balik sumsum kultur dan psikologis birokrat kehutanan.
Dalam sebuah diskusi, penulis terhenyak mendengar seorang pejabat kehutanan berujar: ”Reforma agraria: Yes!, tapi distribusi tanah kehutanan: No!”. Penataan ulang sektor kehutanan itu padahal keniscayaan jika mau merombak struktur ketimpangan penguasaan tanah/kekayaan alam.
Secara operasional, perlu audit menyeluruh terhadap segala jenis usaha kehutanan yang selama ini ada. Keberadaan Perhutani, Inhutani, dan seluruh perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan sejenisnya mendesak diaudit sebagai langkah awal dalam meletakkan dasar baru penguasaan dan pengelolaan hutan di Tanah Air.
Hemat penulis, kita perlu belajar dari Serikat Petani Pasundan–organisasi tani independen berbasis di Garut, Ciamis dan Tasikmalaya–Jawa Barat, yang mencoba mencari jawaban sendiri atas kerumitan pelaksanaan reforma agraria di kawasan hutan.
SPP telah berusaha melakukan pemulihan kerusakan hutan, sehingga sulit menyimpulkan ia sebagai biang kerusakan hutan. SPP juga akan terus melakukan penataan lingkungan dalam upaya mengembalikan fungsi hutan.
Beberapa wilayah yang dianggap berhasil mengembalikan fungsi hutan secara swadaya: Desa Sagara, Kaledong, dan Cipaganti (Garut), Desa Nagrog, Cigalontang, Cipatujah, Cikatomas, dan Taraju (Tasikmalaya), Desa Cikujang, Margaharja dan Bangunkarya (Ciamis).
Setelah sempat berseteru di media massa, akhirnya Agustiana (Sekjen SPP) dan Susno Duadji (Kapolda Jabar) bersepakat untuk saling bahu-membahu dalam mencegah laju kerusakan hutan di Jabar dan mengembalikan fungsi ekologisnya. Dan dalam hal ini, SPP akan menjadi garda terdepan penyelamatan hutan di Jabar.
SPP akan membangun kerja sama dengan semua pihak dalam mengembangkan program reboisasi atau penghijauan, serta secara khusus akan mendi-dik dan membentuk Laskar Penyelamat Hutan (Siaran Pers SPP, 25/06/08).
Dengan begitu, SPP telah memberi contoh yang baik dalam pengelolaan lahan secara mandiri sehingga membanggakan secara sosial, produktif secara ekonomis dan lestari secara ekologis. Dalam konteks yang lebih luas, selama ini SPP telah jadi contoh inisiatif rakyat realisasi reforma agraria secara partisipatif.

Penulis adalah Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)

Petani Pertanyakan Ganti Rugi

Pikiran Rakyat, Jum'at, 09 Januari 2009

SUMEDANG, (PRLM).- Para petani yang terlibat dalam sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) pada lahan Perhutani terkena projek Waduk Jatigede di Desa Pajagan, Kecamatan Cisitu, Kabupaten Sumedang, mempertanyakan besaran nilai ganti rugi atas tanaman tumpangsari mereka pada lahan tersebut. Pasalnya, menurut mereka dalam proses pembebasan sampai pembayaran ganti rugi atas tegakan pohon Perhutani dan tanaman tumpangsari pada lahan tersebut, masyarakat yang terlibat dalam PHBM tidak dilibatkan dalam musyawarah penentuan harga ganti ruginya.

Terkait dengan itu, para petani melayangkan surat perihal masalah tersebut kepada Bupati Sumedang. Surat tersebut, juga ditembuskan kepada Ketua DPRD, Kepala Kejaksaan Negeri, Tim Pembebasan Projek Jatigede, dan Administratur (Adm) Perhutani Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Sumedang.

Dalam surat tersebut, mereka menyebutkan bahwa uang ganti rugi atas tanaman tumpangsari dari lahan PHBM itu sudah diterima. Besaran uang ganti rugi yang diterima masing-masing petani penggarap berdasarkan data yang turut dilampirkan dalam surat tersebut bervariasi, antara Rp 250.000,00 hingga ada yang menerima Rp 8,6 juta, dengan jumlah keseluruhan Rp 100 juta.

Namun, mereka menilai penentuan nilai ganti rugi hingga pembagian uang ganti rugi kepada masing-masing petani pengarap oleh pihak pengurus tidak transparan. Sehingga mereka juga melontarkan dugaan di balik proses pembebasan dan pembayaran ganti rugi tanaman tumpangsari mereka telah diwarnai adanya tindakan penggelapan terhadap uang negara.

Menanggapi adanya surat tersebut, anggota Komisi A DPRD Kab. Sumedang H. Ending Achmad Sajidin menyebutkan, untuk menjawab pertanyaan para petani, pihaknya dalam waktu dekat akan mengundang dan meminta penjelasan terhadap semua pihak terkait. Sementara itu, Adm Perhutani KPH Sumedang Dadan Suwardi menyatakan pihaknya belum menerima tembusan surat dari masyarakat tersebut.

Dadan Suwardi menambahkan, dalam hal pembayaran sharing PHBM di lahan Perhutani, sesuai aturan yang disepakati seharusnya diberikan kepada para petani yang terlibat dalam PHBM melalui pihak Perhutani.

Namun, untuk pembayaran sharing PHBM tanaman tumpangsari dari pembebasan pohon dan tanaman pada lahan Perhutani terkena projek Waduk Jatigede, Dadan Suwardi menyatakan tidak mengetahui persis. Sebab, menurutnya, proses pembebasan aset Perhutani yang terkena projek nasional Waduk Jatigede itu, diselesaikan dan ditangani langsung oleh pihak terkait dengan pihak Perhutani unit III Jabar Banten. (A-91/A-147)***

Perusak Kantor Perhutani Ditangkap

Pikiran Rakyat, Minggu, 19 Oktober 2008

CIAMIS, (PRLM).- Polres Ciamis menangkap tiga orang tersangka pelaku perusakan Kantor Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Perhutani Pangandaran. Tidak menutup kemungkinan jumlah tersangkanya akan bertambah.

“Saat ini kita telah menangkap tiga tersangka pelaku perusakan kantor Perhutani. Ketiganya juga kita amankan di tahanann Mapolres Ciamis. Soal perannya apa saja, masih dalam proses penyidikan intensif,” tutur Kapolres Ciamis AKBP Aries Syarief Hidayat didampingi Kasatreskrim AKP Agus Gustiaman, Minggu (19/10).

Ketiga tersangka yakni NS (38) warga Kec. Sidamulih. Sut (23) dan Pai (31) keduanya warga Desa/Kec. Pangandaran. Berdasarkan informasi sementara dari tersangka, merekanya menyatakan hanya ikut-ikutan melempar dan merusak kantor.

“Keterangan awal mereka hanya ikut-ikutan saja. Meski hanya ikut-ikutan saja, mereka tetap bersalah. Namun demikian untuk memastikan perannya, juga harus dicek silang dengan tersangka lainnya. Dan tidak menutup kemungkinan juga ada tersangka lainnya,” ungkapnya.

Secara terpisah Kepala ADM Perhutani Ciamis Dicky Riyadi meminta agar polisi mengungkap tuntas kasus tersebut. Pihaknya juga tidak segan untuk memberikan sanksi tegas apabila ada anggotanya yang berbuat kesalahan.

Seperti diketahui Kantor BKPH Perhutani Pangandaran diserbu sedikitnya 200 warga. Mereka merusak peralatan kantor. Massa mencari Kepala BKPH Perhutani Pangandaran, Totong Karya. Namun yang bersangkutan berhasil menyelamatkan diri setelah bersembunyi di bawah kolong meja. Sedangkan dua anggota Polhut yakni Paswa (38) dan Wahyudin (35) menderita akibat pukulan dan hantaman benda tumpul.

Akibat penyerangan itu Perhutani menderita kerugian sekitar Rp 20 juta. Polres Ciamis juga sempat diterjunkan untuk mengamankan lokasi.(A-101/A-147)***

Ratusan Petani dan ARBP Demo Tuntut Usut Korupsi

Pikiran Rakyat, Senin, 23 Juni 2008

JAKARTA, (PRLM).- Ratusan masyarakat dan petani Jawa Barat yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bubarkan Perhutani (ARBP), melakukan aksi di depan kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jln. Rasuna Said, Jakarta, Senin (23/6).

Mereka menuntut agar KPK mengusut korupsi dan ilegal loging yang dilakukan oleh Perhutani, khususnya di Jabar. Dari KPK mereka pun bergerak ke Mabes Polri meminta kepada aparat kepolisian segera mengusut operasi ilegal loging yang disertai tindakan intimidasi dan kekerasan terhadap petani dan serikat petani.

"Sejauh ini Perhutani tidak pernah disentuh oleh penegak hukum. Padahal, Perhutani telah mengalihfungsikan hutan lindung menjadi hutan produksi yang menyebabkan rusaknya lingkungan di Jabar," kata Ibang Lukman Nurdin, Deputi Umum Serikat Petani Pasundan (SPP) yang merupakan bagian dari ARBP.

Mereka juga akan mempraperadilkan Polda Jabar yang telah menangkap Sekjen SPP dan beberapa aktivis lingkungan yang dianggap sebagai perusak lingkungan.

"Sekarang kami sedang mengumpulkan materi yang akan dipraperadilkan," kata Ibang. (A-154/A-140)

Baru 62 Desa Terlibat PHBM

Pikiran Rakyat, Jum'at, 28 November 2008

TASIKMALAYA, (PRLM).- Perum Perhutani Tasikmalaya mentargetkan sebanyak 129 desa di Tasikmalaya yang berada di sekitar kawasan hutan, bisa terlibat dalam program pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM). Tujuanya, agar kesejahteraan petani di sekitar hutan semakin membaik, serta punya rasa memiliki kawasan hutan.

”Selama tahun 2008 baru 62 desa sekitar hutan yang ikut PHBM, dengan lahan dikelola bersama seluas 11.248 ha. Kita harapkan, nantinya mulai tahun 2009 semua desa sekitar hutan bisa terlibat. Masih ada 64 desa sekitar hutan yang belum terlibat secara langsung dalam PHBM,” kata Administratur Perhutani Tasikmalaya Ir. Taufiek Rahardjo, Jumat (28/11) .

Menurut Taufiek, masyarakat sekitar kawasan hutan yang dikelola perhutani diharapkan terlibat langsung dalam pengelolaan hutan bersama-sama. Mereka bisa tumpangsari, dengan mengembangkan kopi, pandan, nilam, salak, palawija dan lainnya. Dengan demikian, ada tambahan ekonomi untuk masyarakat sekitar hutan, selain itu mereka bisa menjaga tanaman keras yang ada di kawasan hutan itu.

”Kalau kawasan hutan terjaga, maka lingkungan hutan akan semakin baik. Namun, Perhutani Tasikmalaya juga ingin mereka yang ada di kawasan hutan itu, memiliki keterampilan lain. Termasuk, juga memiliki pengetahuan dalam bidang koperasi, wirausaha, manajemen usaha, dan lainnya,” katanya. (A-97/A-147)***

Setelah Operasi Hutan Lestari, Lalu Apa..?

Pikiran Rakyat

HUTAN produksi milik negara di hutan Cigugur Kab. Ciamis rusak akibat
dijarah kelompok massa terorganisasi. Perlu waktu cukup lama
memulihkan kawasan hutan yang gundul tersebut.* KODAR SOLIHAT/"PR"

BERAWAL dari bincang-bincang, menjadi sebuah aksi nyata dan
(rencananya) berkesinambungan. Itulah Operasi Hutan Lestari Lodaya
2008 yang digelar Polda Jabar sejak 15 Juni lalu.

Dialog itu antara Kapolda Jabar Irjen Pol. Susno Duadji dan sejumlah
tokoh dan sesepuh Jawa Barat. Banyak yang dibicarakan dalam
silaturahmi tersebut, salah satunya pembalakan liar di Jawa Barat,
dengan mengambil contoh Hutan Cigugur, Ciamis.

Saat itu, Kapolda berjanji segera mengirim pasukan ke Cigugur.
Beberapa hari kemudian, 600 anggota Polda Jabar dari berbagai satuan
antara lain brimob, reserse, dan intelijen, dikirimkan ke lokasi.

Satgas dikomandani tiga pejabat Polda Jabar, Kepala Biro Operasional
Rahmat Effendi, Direktur Samapta Kombes Pol. Sudarmanto, dan AKBP
Mitra dari Brimob. Tugas mereka, menangkap pelaku pembalakan liar yang
diduga dimotori sebuah kelompok mengatasnamakan petani.

Di awal-awal penugasan, pasukan menemui beberapa hambatan, terutama
dari preman-preman hutan. Masyarakat pun sangat tertutup dan terkesan
takut memberi informasi. Polisi melakukan strategi dengan membagi dua
pasukan. Pasukan pertama ditempatkan di puncak gunung dan pasukan
kedua siaga di kaki gunung.

Pasukan pertama menyisir dan mencari para pembalak liar, mendata
lokasi-lokasi yang telah dibabat, dan mengumpulkan bukti-bukti.
Sementara itu, pasukan di bawah, bersiap-siap "menampung" pelaku yang
hendak melarikan diri.

Dari hasil operasi itu, polisi mendapatkan beberapa cara para pelaku
menghindari petugas dan menyembunyikan kayu hasil pembalakan liar.
Salah satu cara menghindari pengawasan petugas ialah membuat pos-pos
pemantau dengan kamuflase rumah tinggal.

Saat petugas melakukan penggerebekan, pos-pos pemantau yang ada di
dalam kawasan hutan itu sudah dikosongkan. Dari keadaannya, usia
bangunan itu sekitar 6 bulan hingga 1 tahun.

Pos pemantau tersebut terletak di pinggir jalan utama hutan. Di
halaman belakang rumah itu, polisi menemukan bentangan tali sepanjang
100 meter lebih. Di ujungnya, digantungkan beberapa instrumen yang
berbunyi jika tali digerakkan. Ternyata, tali itu semacam alarm yang
berfungsi memberi tahu rekan di bawahnya, untuk menghentikan "proses
produksi" pembalakan liar.

Polisi juga menemukan kayu-kayu hasil tebangan liar di beberapa rumah
penduduk dan di kolam-kolam ikan. Warga dipaksa kelompok pembalak liar
untuk menyembunyikan kayu-kayu itu. "Jadi, perlu dipertanyakan
komentar Komnas HAM soal pelanggaran HAM yang dilakukan polisi saat
operasi itu. Warga justru senang. Kalau ada yang resah dan ketakutan,
ya mungkin mereka terlibat dalam pembalakan liar itu," kata Kabid
Humas Polda Jabar Kombes Pol. Dade Achmad.

**

Pembantu Pelaksana Teknis Direktur Perum Perhutani Unit III Jabar Upik
Rosalina Wasrin pernah mengungkapkan, hutan Cigugur adalah kawasan
yang sangat potensial. Namun, pengelolaannya tidak bisa optimal karena
lahan dikuasai oleh sekelompok orang sejak 2005.

Kepala Desa Langkaplancar Herry Syarief, sudah sejak lama berharap
digelarnya operasi seperti Operasi Hutan Lestari Lodaya 2008.
Bertahun-tahun masyarakat tidak berani berbicara karena selalu diancam
akan dibunuh para pelaku.

Dalam Operasi Hutan Lestari Lodaya 2008 tahap pertama (15 Juni-23
Juni), polisi berhasil membebaskan 1.000 hektare lahan Perhutani yang
diserobot kelompok tertentu. Mengamankan 60 lebih truk bermuatan kayu
gelondongan hasil pembalakan liar, menyita mesin gergaji, senjata
tajam, mengamankan empat tersangka, Dudu bin Abdulloh alias Dulloh,
Maman, Ayi, dan, Sadiman, serta sebuah bendera.

Dari penuturan empat tersangka dan bukti sebuah bendera, kelompok yang
diduga melakukan pembalakan liar itu adalah Serikat Petani Pasundan
(SPP). Sang pemimpin, Agustiana, menjadi orang yang paling dicari
Polda Jabar karena diduga menjadi inisiator pembalakan liar dan
penyerobotan tanah negara yang dikelola Perhutani.

Menurut Dulloh, penyerobotan tanah negara, khususnya milik Perhutani,
merupakan perintah Agustiana. Caranya, dengan membabat pohon di lahan
tersebut, lalu mendirikan gubuk. "Dia (Agustiana-red.) berjanji, akan
memasukkan lahan garapan yang kita ambil itu dalam perdes sehingga
nantinya menjadi hak milik," kata Dulloh kepada polisi.

Karena dinyatakan "halal", Dulloh menduduki lahan Perhutani di Pageur
Ageung Cigugur. Atas perintah Agustiana, ia memperluas lahan garapan
hingga Desa Harum Mandala, dan Desa Pageur Bumi. Lahan itu menjadi
garapan 200 petani penggarap.

"Pohon-pohon yang dibabat memakai gergaji mesin kebanyakan jati dan
mahoni. Kayu-kayunya dijual ke Ag (pengusaha kayu di Ciamis) dan Den
(anggota SPP)," ujarnya.

Alasan Dulloh melakukannya karena ia ditekan dan dipaksa dua anggota
SPP "senior" yaitu Yus dan Muh. Masuknya Dulloh menjadi anggota SPP
pada Desember 2007 juga karena dipaksa dan diancam kedua orang
tersebut.

Seorang anggota SPP lainnya yang diamankan polisi, Maman, menegaskan,
tujuan utama SPP ialah memiliki lahan Perhutani dengan alasan
menyejahterakan rakyat. "Itu yang selalu dikatakan Agustiana. Kata
dia, kalau tanah itu sengketa, kita bisa memilikinya dan mendapat
sertifikat. Jadi, dia tahu kalau anggota-anggotanya membabat pohon di
lahan Perhutani dan mendudukinya," katanya.

Selain penyerobotan tanah dan pembalakan liar, anggota SPP kerap
dikerahkan dalam sejumlah aksi unjuk rasa. Setidaknya itulah pengakuan
anggota SPP lainnya yang diamankan polisi, yaitu Maman, Ayi, dan
Sadiman.

Agenda aksinya bermacam-macam mulai soal agraria, hingga penolakan
kenaikan BBM. Dalam setiap aksi, anggota SPP diminta menyumbang. Besar
sumbangan paling kecil Rp 5.000,00.

**

Sadar dirinya dicari dan bermaksud mengklarifikasi statusnya, Senin
(23/6), Agustiana mendatangi Mapolda Jabar. Agustiana datang dengan
membawa sejumlah data tentang pembalakan liar yang diduga dilakukan
oknum Perum Perhutani.

Setelah melaporkan itu, Agustiana menjalani pemeriksaan dan harus
menginap satu malam di Mapolda Jabar. Dalam berkas acara pemeriksaan,
Agustiana dijerat pasal 50 ayat (3) huruf a dan b UU No. 41/1999
tentang Kehutanan. Ayat 3 dalam pasal itu menyebutkan, setiap orang
dilarang mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan
hutan secara tidak sah (huruf a), dan merambah kawasan hutan (huruf
b). Untuk pelanggaran pidananya, polisi menjerat Agustiana dengan
pasal 55 KUH Pidana tentang Ikut Serta Dalam Aksi Pembalakan Liar.

Ia baru diperbolehkan pulang pada Selasa (24/6) pukul 19.30 WIB. Rabu
(25/6), Agustiana menggelar jumpa pers di daerah Cigadung, Kota
Bandung. Dalam kesempatan itu, Agustiana membantah keterlibatannya
dalam aksi penyerobotan tanah dan pembalakan liar di sejumlah lahan
Perhutani di Jabar.

Namun, Agustiana mengakui, pembalakan liar dan penyerobotan tanah itu
dilakukan anggotanya. "Anggota SPP ada 76.000. Tidak mungkin saya bisa
mengawasinya satu per satu. Itu kesalahan beberapa anggota saya yang
tidak mengerti keputusan organisasi tentang pengawasan dan
penyelamatan lingkungan," ujarnya.

Agustiana malah balik menyerang Perum Perhutani, polisi, dan aparat
dengan menuduh Perhutani sebagai otak semua aksi pembalakan liar di
Jabar, dan dilindungi oknum polisi, serta aparat. Ia membeberkan
sejumlah modus yang dilakukan Perhutani, aparat, dan polisi dalam
melakukan pembalakan liar.

Modus pertama melibatkan Administratur Perhutani Kesatuan Pengelolaan
Hutan (Asper KPH), mandor, masyarakat sekitar, bandar kayu, penadah,
polisi, dan aparat. Ia menuturkan, asper dan mandor memanfaatkan
tenaga masyarakat untuk menebang kayu di malam hari.

Hasil tebangan diangkut masyarakat memakai kendaraan jip. Proses
pemindahan kayu dari dalam hutan hingga ke jalan raya, diawasi dan
dijaga sejumlah polisi sehingga warga tidak takut ditangkap.

Jalur yang dipakai ialah jalan yang telah disediakan asper dan mandor.
Dari jip, kayu-kayu itu dipindahkan ke truk yang telah disiapkan. Kayu
dikirim ke bandar di Tasikmalaya dan Cipatujah, memakai jalur selatan.

Di jalur-jalur tersebut, truk yang mengangkut kayu hasil pembalakan
liar melintasi beberapa polsek seperti Polsek Parigi, Cimerak,
Cikalong, dan Cipatujah. Oleh karena itu, bandar harus memberi
"japrem" (jatah preman) kepada kapolsek Rp 500.000,00-Rp 700.000,00
untuk setiap truk yang lewat. "Tiap malamnya, rata-rata 10 truk yang
melintas. Semuanya membawa kayu ilegal," katanya.

Modus kedua, melibatkan oknum Perum Perhutani, bandar, dan (lagi-lagi)
polisi. Dalam modus ini, bandar bekerja sama dengan oknum Perhutani
menerbitkan surat BP untuk pembelian kayu resmi. Namun, data jumlah
kayunya dimanipulasi.

Misalnya, dalam surat BP, kayu yang dibeli 10 m3. Namun, kenyataannya
mengangkut 50m3-70 m3. Hasil penjualannya dibagi dua.

Modus ketiga, tetap melibatkan Asper KPH, mandor, pengusaha, polisi
dan aparat. Modusnya dengan memanipulasi data penebangan di sebuah
areal. Contohnya, Perhutani melaporkan akan menebang hutan dengan
perkiraan kayu yang diperoleh sebanyak 100 m3. Di lapangan, jumlah
yang ditebang tiga kali lipat dari yang dilaporkan. Tebangan yang
lebih itu dijual ke bandar dengan dokumen yang aspal (asli tapi
palsu).

**

Ada kesamaan kondisi terparah yang dialami Perum Perhutani Unit III
selaku pengelola kehutanan negara dan PTPN VIII pengelola perkebunan
negara di Jabar. Lahan-lahan mereka dijarah massa terorganisasi,
misalnya provokasi Serikat Petani Pasundan (SPP), bermodus lahan
negara dari kehutanan dan perkebunan akan dibagi-bagikan kepada
masyarakat.

Adalah Perum Perhutani III yang mengawali tindakan pengamanan hutan
mereka yang dijarah dengan bertindak represif bekerja sama dengan
Polda Jabar di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Ciamis, RPH Cigugur.

Namun, langkah pengamanan hutan tak hanya sampai di situ.
Pascapengamanan penjarahan hutan di Cigugur, Perum Perhutani Unit III
sudah menyusun langkah mengondusifkan, terutama melalui Pengelolaan
Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), untuk memberi lapangan kerja bagi
masyarakat sekitar sambil meningkatkan rasa tanggung jawab ikut
memelihara hutan negara.

Kepala Unit III Perum Perhutani, Moch. Komarudin, mengatakan, pihaknya
terus meningkatkan pembinaan serta penyuluhan kepada masyarakat
mengenai pentingnya menjaga ekosistem hutan dan akibat-akibat yang
timbul jika terjadi penebangan hutan yang tak terkendali.

"Ini sebagai motivasi kepada masyarakat agar turut serta mencegah
terjadinya penebangan hutan, terutama yang dilakukan oleh para pemodal
dari luar daerah. Soalnya, masyarakat lokal hanya akan menjadi korban.
Sementara itu, orang luar daerah memperoleh keuntungan namun tidak
bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang ditinggalkan,"
katanya. (Satrya Graha/Kodar Solihat/"PR") ***

PERAMBAHAN HUTAN DI KPH CIAMIS

Ditulis Oleh Humas Perum Perhutani, Selasa, 24 Juni 2008

Pembalakan tanpa izin (illegal loging) dan perambahan/pendudukan kawasan hutan meningkat secara signifikan terjadi pada awal era reformasi. Kegiatan illegal tersebut dilakukan oleh kelompok kecil masyarakat atau kelompok masyarakat secara masal, yang diduga dilakukan oleh kelompok masyarakat tertentu. Kasus perambahan hutan yang terjadi di Kabupaten Garut dan Sukabumi penjarah umumnya berasal dari kabupaten lain (bukan penduduk setempat). Di samping kawasan hutan negara, yang menjadi sasaran kelompok tersebut adalah kawasan perkebunan (terutama yang HGU-nya sudah/hampir habis). Sampai dengan akhir April 2008, kawasan hutan yang dijarah :

Hutan lindung dan hutan produksi seluas 4.985 Ha;

Kawasan konservasi seluas 778,45 Ha (perambahan hutan : 678,15 Ha dan pemukiman liar : 100,3 Ha);

Modus operandi yang dilakukan dalam perambahan hutan oleh kelompok masyarakat tersebut adalah melakukan pencurian hasil hutan, perambahan kawasan hutan untuk dijadikan areal pertanian (tanaman pangan/buah-buahan) dan pemukiman, okupasi/pendudukan kawasan hutan untuk dimiliki dan pengajuan sertifikasi dengan klaim sebagai tanah adat. Sampai dengan saat ini areal jarahan yang sudah diajukan untuk disertifikasi ke BPN adalah kawasan hutan Blok Cigaronggong, KPH Garut seluas 1.650,5 Ha. Berdasarkan BATB tanggal 27 Mei 1929 kawasan tersebut merupakan kawasan hutan namun diklaim masyarakat sebagai tanah milik adat an. Ahdi bin Arnasih, dengan nomor leter C No. 18.



Beberapa kejadian yang dilakukan oleh mereka yang tergabung dalam Serikat Petani Pasundan antara lain :

16 November 2007, terjadi penganiayaan dan penyanderaan yang dilakukan oleh kelompok penjarah yang mengatasnamakan Serikat Petani Pasundan (SPP) ter­hadap Petugas Perhutani KRPH Cigugur dan 3 orang Mandor Polter beserta Briptu Sumardi, anggota Polsek Cigugur ketika sedang melaksanakan patroli dan peng­amanan barang bukti.

1 April 2008, terjadi pengrusakan / penembakan kantor Asper/KBKPH Cijulang oleh oknum TNI anggota Kodim Ciamis, sebagai dampak dari penangkapan truk yang mengangkut kayu illegal yang berasal dari lokasi penjarahan hutan Petak 83, RPH Cigugur.

23 April 2008, terjadi penyerangan dan perusakan rumah dinas KRPH Cigugur oleh ± 45 orang dengan menggunakan kendaraan roda dua.

April 2008, terjadi penjarahan seluas 15,20 ha Petak 83, RPH Cigugur, BKPH Cijulang yang merupakan petak rencana tebangan tahun 2008 dengan target produksi 2.093 m3.

Saat ini kegiatan pencurian kayu bahkan sudah tidak terkendali dan tersebar secara sporadis di beberapa petak, misalnya Petak 99a dan 100c yang dilakukan ratusan orang mengatasnamakan Serikat Petani Pasundan.


Perum Perhutani dalam melakukan pengamanan hutan berusaha untuk mendepankan upaya preemtif dan persuasif. Upaya pendekatan dengan penyuluhan dan peringatan yang telah dilaksanakan berkali-kali tidak pernah diindahkan dan digubris oleh SPP. Aktifitas penjarahan / perambahan yang dilakukan kelompok SPP kalau tidak segera ditangani sampai tuntas melalui operasi represif, maka penjarahan / perambahan dan penguasaan kawasan hutan akan semakin meluas ke lokasi di sekitarnya yang kondisi hutan / tegakannya sangat potensial dan tidak menutup kemungkinan seluruh kawa­san hutan di KPH Ciamis akan dijarah / dirambah. KPH Ciamis adalah KPH yang sedang dalam proses untuk memperoleh sertifikat Pengelolaan Hutan Lestari, maka adanya penjarahan / perambahan menjadi ganjalan perolehan sertifikat dan juga sangat mengganggu kepentingan ekologi, sosial, dan ekonomi, mengingat bahwa KPH Ciamis adalah KPH andalan bagi pendapatan Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten.

Karena penjarahan dilakukan oleh masyarakat secara terorganisir dalam jumlah masal, Polisi Kehutanan mengalami hambatan/kesulitan dalam upaya pemberantasan praktik illegal loging dan perambahan kawasan hutan tersebut. Untuk itu Pemerintah Provinsi Jawa Barat membentuk Tim Pengamanan dan Penanganan Gangguan Keamanan Hutan dan Perkebunan Besar, melalui Keputusan Gubernur Nomor : 522.05/Kep.560-Binprod/2007 tanggal 13 November 2007, dengan anggota dari Sekretariat Daerah Jawa Barat, Kepolisian Daerah Jawa Barat, Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Kodam III/Siliwangi, Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, Perum Perhutani Unit III, Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat, Dinas/Badan terkait di Provinsi Jawa Barat dan LSM.

Kegiatan pengamanan hutan terus dilakukan oleh Polisi Kehutanan atau operasi gabungan oleh Tim melalui upaya persuasif, preventif dan represif. Di beberapa lokasi upaya ini memberikan hasil, ditunjukkan dengan menurunnya jumlah pencurian hasil hutan khususnya yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok kecil masyarakat yang tidak terorganisir. Namun upaya perlindungan dan pengamanan hutan yang dilakukan oleh Perum Perhutani, BBKSDA dan Balai Taman Nasional dengan melibatkan aparat kepolisian setempat kurang memberikan hasil yang optimal terutama untuk mengatasi kegiatan kelompok yang terorganisir bahkan di KPH Ciamis dalam satu tahun terakhir petugas Polisi Kehutanan tidak dapat masuk ke Blok Hutan yang dijarah.

Menyikapi kondisi tersebut dan adanya eskalasi gangguan keamanan hutan dan dampak yang ditimbulkan cukup luas maka Perum Perhutani, Dinas Kehutanan, Pemerintah Provinsi, Polda Jabar, Kodam III/Siliwangi dan Kejaksaan Tinggi bersama-sama menyusun rencana Operasi Hutan Lestari Lodaya 2008 dan dilakukan sejak tanggal 16 sd 24 Juni 2008 langsung dibawah kendali Polda Jawa Barat. Sasaran lokasi adalah RPH Cigugur, BKPH Cikulang, KPH Ciamis. Hasil operasi sampai hari ketujuh (21 Juni 2008) telah ditangkap 3 orang tersangka, 300m3 kayu (jati dan mahoni dalam berbagai sortimen), 5 buah gergaji/bent saw dan dokumen-dokumen Serikat Petani Pasundan. Kapolda Jabar juda sudah menetapkan Sekjen SPP (Agustiyana) yang diduga mengorganisir penjarahan hutan di Jawa Barat sebagai tersangka utama dan masih dalam pengejaran (DPO).

Pada tanggal 18 Juni 2008 Gubernur Jawa Barat, Kapolda Jabar, Kajati Jabar, Kastaf Kodam III/Siliwangi dan Plt Dirut Perum Perhutani telah meninjau lokasi pelaksanaan OHLL 2008. Kehadiran Bapak Gubernur Jawa Barat beserta seluruh Muspida Jabar menunjukkan dukungan dan komitmen pemerintah dan masyarakat Jabar untuk memberantas praktik illegal logging dan perambahan hutan, sebagai salah satu upaya dalam menjaga kelestarian sumberdaya hutan di Jabar.

Operasi Hutan Lestari Lodaya dilaksanakan dalam 3 tahapan :

Tahap 1 : Penguasaan kembali kawasan hutan

Kawasan hutan yang dikuasai oleh para perambah dan selama ini belum bisa "dimasuki" oleh petugas diupayakan untuk dikuasai kembali. Upaya yang dilaku­kan adalah menangkap / menindak para tokoh perambah dan menyadarkan masya­rakat melalui pendekatan personal kepada tokoh-tokoh masyarakat dan melakukan penyuluhan ke desa-desa, selanjutnya menguasai kembali kawasan hutan untuk dikelola sebagai­mana mestinya.

Tahap 2 : Penindakan terhadap pelaku pencurian / penjarahan kayu

Aktifitas perambahan didahului dengan kegiatan penebangan / pembabatan tegakan (dengan chainsaw), pencurian pohon, pengumpulan dan pengangkutan kayu. Terhadap aktifitas pen­curian kayu baik para pelaku pencurian maupun penadahnya dilakukan penindakan/penangkapan, serta dilakukan pengamanan barang bukti kayu yang masih ada di dalam hutan maupun yang disimpan di sekitar hutan serta melakukan proses hukum kepada para pelaku oleh Polda Jabar dan Pomdam/Propam (jika ada keterlibatan aparat Polisi/TNI).

Tahap 3 : Pemulihan, rehabilitasi dan implementasi PHBM

Untuk memulihkan situasi / kondisi sebagai dampak dari operasi represif, maka pasca operasi akan ditindaklanjuti dengan "operasi pemulihan" yang bersifat persuasif. Operasi pemulihan akan dilakukan oleh Tim yang terdiri atas unsur Polda Jawa Barat (Biro Bina Mitra), LSM (Forum Penyelamat Lingkungan Hidup, Dewan Pemerhati Lingkungan dan Kehutanan Tatar Sunda) dan unsur KTH-A (Kelompok Tani Hutan Andalan Jawa Barat) melalui pembinaan/penguatan kelembagaan masyarakat dan pengembangan kelompok usaha produktif (KUP). Dengan operasi pemulihan, diharap­kan masyarakat sekitar hutan berkolaborasi dengan Perhutani dalam kegiatan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Selain itu juga dilakukan rehabilitasi eks perambahan pada musim awal tahun 2009 dan pengembangan ekonomi rakyat, dengan penanaman tanaman produktif cepat menghasilkan.

Reformasi agraria (land reform) menjadi issue atau tujuan utama dalam aksi ini tidak tepat sasaran karena reformasi agraria yang sedang dibahas pemerintah bukan untuk di dalam kawasan hutan tetapi di luar kawasan hutan serta merupakan upaya penertiban lahan. Perum Perhutani merupakan BUMN yang diberi kewenangan oleh pemerintah melakukan pengelolaan kawasan hutan. Untuk itu perlu kami jelaskan bukti-bukti penguasaan kawasan hutan sebagai berikut :

Sebelum berlakunya UU No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Keterntuan Pokok Kehutanan; dan

Setelah berlakunya UU No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Keterntuan Pokok Kehutanan.


Sebelum berlakunya UU No. 5 Tahun 1967

Sebelum berlakunya UU No.5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, bukti-bukti kawasan hutan berupa Berita Acara Penataan Batas (BATB) atau Akta Process Verbaal berikut Lampiran Petanya.


Setelah berlakunya UU No. 5 Tahun 1967

Setelah berlakunya UU No.5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, bukti-bukti kawasan hutan berupa :

Surat Keputusan Penunjukan sebagai Kawasan Hutan berikut Lampiran Peta.

Berita Acara Penataan Batas (BATB) berikut Lampiran Peta.

Surat Keputusan Penetapan sebagai Kawasan Hutan berikut Lampiran Peta.


Seluruh bukti-bukti ini dimiliki oleh Perum Perhutani sebagai pemegang kewenangan pengelolaan kawasan hutan. Penunjukan Perum Perhutani sebagai pengelola kawasan hutan adalah berdasarkan :

UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (pasal 21);

PP No. 30 tahun 2003 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara;

PP No. 6 tahun 2007 tentang Tata, Hutan, Perencanaan Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan jo PP No.3 tahun 2008 tentang Perubahan PP No.6 tahun 2007.


Adanya pernyataan yang pernah dilansir pemerintah akan membagi 8,15 juta lahan untuk dikelola masyarakat adalah diluar kawasan hutan. Tujuan pemerintah adalah mempertahankan keberadaan kawasan hutan terutama di Pulau Jawa yang telah pada tahap yang sangat memprihatinkan. Luasan lahan hutan sudah kurang dari luas minimal yang dipersyaratkan oleh Undang-Undang yaitu hanya sekitar 24% dari 30% sehingga luasan yang ada harus dapat dipertahankan untuk menjaga dan mendukung kehidupan di Pulau Jawa khususnya, bahkan semua pihak diharapkan dapat berperan dalam menjaga dan mempertahankan keberadaan hutan dengan mengadakan reboisasi dan rehabilitasi baik dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan.


Perum Perhutani mengajak semua pihak untuk ikut menyuarakan perlunya mempertahankan keberadaan hutan bagi kelangsungan hidup umat manusia, pelindung tata air, sumber plasma nutfah, penghasil berbagai bahan kebutuhan pokok bagi seluruh umat manusia.







Jakarta, 23 Juni 2008

Plt Direktur Utama




Upik Rosalina Wasrin

500 Ibu-ibu Unjuk Rasa

Pikiran Rakyat, Selasa, 24 Juni 2008

BANDUNG, (PRLM),- sekitar 500 orang ibu-ibu dari Tasikmalaya, Garut dan Ciamis yang mengaku tergabung dalam "Aliansi Rakyat yang Menuntut Pembubaran Perhutani," Selasa (24/6) melakukan aksi unjuk rasa di halaman Kejati Jabar, Jln. R.E Martadinata.Selain berorasi Mereka juga menggelar poster yang intinya meminta Perhutani Dibubarkan.

Menurut juru bicara mereka, Erni Kartini, selain meminta pembubaran Perhutani, mereka juga meminta dihentikannya operasi illegal logging serta meminta dihentikannya kekerasan dan kriminalisasi terhadap petani dan kepada pimpinan Serikat Petani Pasundan (SPP), Agustiana.

Perwakilan pengunjukrasa sebanyak 10 orang, akhirnya diterima Kasie Penkum Kejati Jabar, Dadang Alex. "Kami terima aspirasinya dan kami akan menyampaikan kepada atasan,"kata Dadang. (A-113/A-120).***

Polisi Tembak Pelaku Pembalakan Liar

Pikiran Rakyat, Rabu, 06 Agustus 2008

CIAMIS, (PRLM).- Polres Ciamis berhasil menangkap lima orang tersangka pelaku pembalakan liar di kawasan hutan Cigugur, Pagerbumi dan Harumandala, Kec. Cigugur. Kab. Ciamis. Bahkan salah seorang tersangka Den (37) yang selama ini masuk dalam daftar pencarian orang (DPO), terpaksa harus ditembak kakinya karena berupaya melarikan diri saat hendak ditangkap di tempat persembunyiannya di Dusun Pongkor, Desa/Kec. Leuwiliang Kab. Bogor.

Sementara itu sebanyak 29 anggota Serikat Petani Pasundan (SPP) yang berasal dari dua dusun, yakni Dusun Cantilan dan Cibungur, Desa Kertajaya, Kec. Cigugur, Kab. Ciamis menyerahkan diri, Rabu (6/8). Bahkan empat orang di antaranya juga menyerahkan kartu anggota SPP.

“Den terpaksa ditembak karena melarikan diri saat hendak ditangkap. Selama ini dia masuk dalam DPO. Setelah Operasi Wana Lestari Lodaya yang berlangsung pada pertengahan Bulan Juni lalu, kita menangkap lima tersangka. Dengan demikian totalnya sudah sembilan orang yang berhasil ditangkap,” tutur Kapolres Ciamis AKBP Aries Syarief Hidayat, Rabu (6/8).

Dia mengungkapkan hal itu didampingi Waka Polres Kompol Ari Wibowo, Kasat Reskrim AKP Agus Gustiaman serta beberapa perwira lainnya. Dikatakan dari sembilan tersangka, petugas berhasil mengamankan 42 meter kubik kayu jati dan mahoni. Beberapa kayu diambil dari tempat persembunyiannya, seperti di dalam kolam, maupun di kawasan hutan yang selama ini mereka kuasai. (A-101/A-147)***

Massa SPP Dukung Terdakwa Maman

Pikiran Rakyat, Rabu, 15 Oktober 2008

CIAMIS, (PRLM).- Sekitar 200 massa mendatangi Pengadilan Negeri (PN) Ciamis, untuk memberikan dukungan moral terhadap salah seorang anggota Serikat Petani Pasundan (SPP), Maman Surahman (50) dalam kasus penyerobotan lahan Perhutani. Selain massa SPP, sejumlah siswa dari sebuah SMP dan SMK di Kec. Banjarsari ikut ambil bagian dalam aksi happening art di depan PN, Rabu (15/10).

Rombongan massa SPP datang sekitar jam 11.00 WIB. Begitu sampai di lokasi, mereka langsung masuk ke halaman PN Ciamis. Sementara itu sejumlah anggota polisi juga telah melakukan penjagaan ketat di pintu masuk PN. Beberapa siswa yang mengecat wajahnya dengan warna putih dan hitam, sebagian siswa masih mengenakan baju seragam sekolah. Sementara itu ada dua orang, yakni laki-laki dan perempuan mengenakan baju dari klaras (daun pisang kering), wajahnya juga dicat warna hitam.

"Kita tidak demo, tapi hanya memberikan dukungan moral terhadap teman kami, Pak Maman yang dituduh telah melakukan penyerobotan tanah yang diklaim milik perhutani. Padahal areal yang digarap itu masih dalam sengketa antara SPP dengan Perhutani, sehingga tidak bisa dikatakan menjarah lahan Perhutani," ungkap koordinator lapangan sekaligus penanggung jawab kegiatan tersebut, Arif Budiman.

Sementara itu sidang yang dipimpin Dedi Hermawan, S.H. dengan anggota Agus Komarudin, S.H. dan Johni Kondolele, S.H. dengan agenda pembacaan tuntutan. Bertindak selaku Jaksa Penuntut Umum, Yuliarti, S.H. Sedangkan terdakwa Maman adalah Korwil SPP Desa Bangunkarya, Kec. Langkaplancar.

Sebagian massa SPP memenuhi ruang siding. Dengan tertib mereka mengikuti jelannya persidangan hingga usai.

Jaksa menuntut terdakwa dengan hukuman selama 2 tahun penjara, denda Rp 500.000,00 subsider 5 bulan kurungan. Terdakwa Maman dituduh telah memberi kesempatan menggarap lahan secara tidak sah. Hal itu melanggar pasal 78 ayat (2) UU nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. (A-101/A-147)***