15 November 2010

Pimpinan Ormas, OKP dan LSM Tasik Menentang Kekerasan

TASIKMALAYA, (PRLM).- Para pemimpin organisasi masyarakat (Ormas), organisasi kemasyarakatan pemuda (OKP), forum masyarakat, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan Keluarga Besar Nahdlatul Ulama (KBNU) se-Priangan Timur, melakukan aksi menentang pemerasan dan kekerasan dalam suatu deklarasi di depan Sekretariat Pengurus Cabang (PC) NU Jln. Dr. Sukarjo, Kota Tasikmalaya, Senin (15/11).

Hadir kesempatan itu, Wali Kota Tasikmalaya, H. Syarif Hidayat, Kapolresta Tasikmalaya, Ajun Komisaris Besar Moch Hendra Suhartiyono, Dandim 0612/Tasikmalaya, Letkol Inf Bahram, dan para pimpinan Ormas, LSM dan ratusan santri.

Selama deklarasi dilakukan, jalur Jln. Dr. Sukarjo diblokir dari arah selatan dan utara. Petugas juga melakukan penjagaan di kawasan tersebut. Menurut Kepala Bagian Ops Polresta Tasikmalaya, Komisaris Yono Kusyono, sekitar 500 personil bantuan dari Brimob Polda Jabar, Polres Ciamis, dan Polresta Banjar lengkap dengan truk Dalmas diperbantukan berjaga-jaga di sekitar Mesjid Agung Jln HZ Mustopa sampai Jln Dr. Sukarjo.

Sebelum deklarasi dilakukan, massa sudah berkumpul di depan kantor PCNU Kota Tasikmalaya, sejak pagi hari. Di depan kantor itu, dipasang panggung besar sejak Minggu (14/11) lalu. Konsentrasi massa, selain di PCNU Kota Tasikmalaya, pada saat yang sama juga berlangsung di PCNU Kab. Tasikmalaya di Jln. Raya Singaparna. Massa NU di Kab. Tasikmalaya dalam waktu bersamaan melakukan aksi unjuk rasa di Pemkab Tasikmalaya dan ke Polres Singaparna. Aksi dipimpin Ketua Gerakan Muda Nahdlatul Ulama (GMNU) Kab. Tasikmalaya Jamaludin Malik. GMNU minta agar LSM Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) dibubarkan, karena telah meresahkan dan melecehkan warga NU.

Sedangkan saat deklarasi di Kota Tasikmalaya, beberapa komponen masyarakat juga hadir menyaksikan. Menurut Koordinator Deklarasi Dindin C Nurdin, deklarasi tersebut agar tidak terjadi kembali tindakan kekerasan atau pemerasan yang pernah dilakukan oleh oknum dari GMBI yang mengganggu kondusifitas keamanan dan ketentraman daerah.

"Membangunkan kesadaran kolektif sekaligus melahirkan komitmen, bahwa sesungguhnya kekerasan, pemerasan dan penindasan dengan segala bentuknya adalah musuh kita bersama," kata Dindin.
Mewujudkan nilai dan prinsip mencegah terulangnya kembali kekerasan maupun tindakan yang mengganggu kenyamanan masyarakat, kata Dindin, perlu adanya komitmen bersama seluruh elemen masyarakat, pemerintah maupun aparat penegak hukum.

Ia berharap seluruh kelompok masyarakat yang menyatakan sikap dalam deklarasi damai tersebut menjadi barisan depan dalam ikut menciptakan perdamaian jika terjadi perseteruan antar kelompok.
"Maka siapapun yang melakukan tindakan kekerasan dan pemerasan serta merusak tatanan norma religi, etika dan budaya maka kami berada di depan untuk melakukan pembelaan kepada masyarakat," katanya.

Sementara itu, perwakilan dari tokoh pemuda NU, Abdul Muis menyampaikan, ketidak puasannya jika terjadi tindakan yang merugikan masyarakat dengan mengatasnamakan kelompok dan tidak segera ditindak oleh pihak berwajib atau pemerintah. “Harus ada sanksi jelas terhadap GMBI,” katanya.

Di hadapan Wali Kota, Kapolresta, serta Dandim dan massa yang berjumlah sekitar seribu lebih, Abdul Muis mengatakan, jika kelompok massa yang melanggar norma dan hukum masih tetap dinyatakan legal oleh pemerintah maupun aparat keamanan, maka dia menduga ada ketarkaitannya sebagai kepanjangan tangan pemerintah maupun aparat keamanan.

"Jangan sampai rakyat dibiarkan hidup dengan kekerasan. Kita ingin dilindungi oleh pemerintah, kalau kekerasan dibiarkan, maka kita akan melakukan kekerasan juga," tegasnya.

Sementara itu, Wali Kota Tasikmalaya, H Syarif Hidayat menyatakan, jika ada kelompok massa yang terbentuk dalam organisasi melanggar ketentuan dan peraturan hukum, maka pihaknya akan menarik surat yang terdaftar legal di Kesbangpol Pemerintah Kota Tasikmalaya.

Penarikan surat terdaftarnya di Kesbangpol tersebut, kata Syarif, tentunya melalui prosedur dan proses sesuai dengan aturan yang berlaku.

Selanjutnya, para pemimpin ormas, OKP, Forum, serta LSM yang hadir masing-masing menandatangani deklarasi menentang pemerasan dan kekerasan. Selanjutnya massa menuju gedung DPRD Kota Tasikmalaya dan bertemu dengan Ketua Dewan, H Otong. Di depan gedung DPRD Kota Tasikmalaya, massa dari GMNu Kab. Tasikmalaya yang dipimpin oleh Jamaludin Malik ikut bergabung, lalu disusul dari Kab. Ciamis. Hadir di dewan, sejumlah tokoh ulama seperti K.H. Miftah Fauzi, K.H. Ijaj, lalu K.H. Mimih, Sekjen Serikat Petani Pasundan Agustiana dan lainnya.

Kelompok massa dari GMNU Kab. Tasikmalaya, setelah dari Dewan Kota Tasikmalaya, langsung menuju kantor GMBI Kota Tasikmalaya, Jln. Cimulu. Mereka berniat untuk melakukan sweeping ke kantor tersebut. Namun, sekitar 20 meter menjelang kantor GMBI, massa dari GMNU Kab. Tasikmalaya, dihadang oleh petugas. Begitu juga massa dari Ciamis, tidak bisa melintas ke kantor GMBI ini.
Aksi massa ini, diduga terkait adanya dugaan permintaan uang ke sekolah NU oleh oknum GMBI. Lalu, dilaporkan oleh anak muda NU ke polisi. GMBI sempat aksi ke Polresta Tasikmalaya, terkait masalah itu. Belakangan berkembang isu, bahwa GMBI minta NU dibubarkan.

Ketua Bidang Investigasi GMBI Kota Tasikmalaya Joni Ahmad Mulyono mengatakan, sama sekali tidak benar kalau GMBI minta NU dibubarkan. Terkait, adanya dugaan permintaan uang, kata Joni itu, sama sekali diluar sepengetahuan GMBI. Tindakan itu adalah diduga dilakukan oknum, dan sekarang dalam proses kepolisian.(A-14/A-97/A-120)***

30 Juli 2010

Budiman, Inovator Pita Volume Kayu

Kompas, Jumat, 30 Juli 2010

Adhitya Ramadhan

Minimnya informasi, tingkat pengetahuan yang rendah, dan mendesaknya kebutuhan ekonomi sering kali menyebabkan petani hutan rakyat menjadi tidak berdaya ketika berhadapan dengan tengkulak. Akibatnya, ketika menjual kayu, petani menghitungnya berdasarkan jumlah batang pohon yang akan dijual. Padahal, lazimnya di pasaran, penjualan kayu dihitung berdasarkan volume.

Konsekuensi lanjutan dari praktik seperti itu ialah petani rugi. Sebaliknya, si tengkulak dapat mengeruk untung besar dari cara jual-beli kayu seperti itu karena mereka akan menjual kayu tersebut berdasarkan volume. Akibatnya, ada potensi pendapatan yang tidak diterima oleh petani.

Di samping itu, dari sisi kelestarian hutan, praktik penjualan kayu berdasarkan batangan ini mengancam keberadaan hutan. Karena petani menjual kayu dalam bentuk log atau batangan, mereka cenderung menjual lebih banyak pohon daripada jika menjual berdasarkan volume.

Padahal, kayu sangat berharga dan bernilai tinggi. Semakin lama kayu berada di hutan, fungsi ekologisnya akan semakin lama berjalan.

Kondisi seperti itulah yang menggugah Budiman Achmad mencari jalan keluar yang tidak merugikan petani. "Kalau hutan rakyat mau lestari, petani harus sejahtera. Kalau petani hutan rakyat sejahtera, ancaman gangguan terhadap hutan negara pun bisa ditekan. Sebenarnya, hanya dengan menjual kayu sedikit saja mereka sudah bisa mencukupi kebutuhannya. Tidak perlu menjual kayu banyak-banyak," tuturnya.

Budiman adalah Ketua Kelompok Peneliti Sosial Ekonomi Kehutanan pada Balai Penelitian Kehutanan Ciamis (BPKC).

Budiman tak hanya berwacana, tetapi dia juga menawarkan solusi konkret berupa sebuah pita pengukur volume kayu.

Sepintas, pita volume kayu hasil karya Budiman tidak jauh berbeda dengan pita meteran yang biasa dipakai penjahit pakaian. Pita volume kayu lebarnya sekitar 3 sentimeter. Di situ tertera dua deret angka. Deret pertama adalah angka yang menunjukkan panjang lingkar kayu dalam sentimeter yang ditulis dengan tinta merah. Sementara angka pada deret kedua ialah deretan angka penunjuk volume dalam meter kubik yang ditulis dengan tinta hijau.

Pengukur volume kayu

Selama ini, kata Budiman, petani biasanya menggunakan tabel volume untuk mengukur volume kayu. Cara ini dinilai merepotkan sebab petani harus mengukur terlebih dulu berapa lingkar batang pohon, kemudian menghitung diameter. Setelah itu, baru mencocokkannya dengan tabel volume kayu.

Beda halnya jika petani menggunakan pita volume. Cukup hanya mengukur lingkar pohon dengan cara melingkarkan pita volume, petani sudah mengetahui berapa meter kubik volume batang pohon itu. Selain itu, pita volume sangat praktis untuk dibawa-bawa dalam saku celana atau baju.

Namun, Budiman menegaskan, pita volume kayu ciptaannya hanya berlaku untuk pohon pinus di Tapanuli Utara. Pita ini tidak untuk dipakai pada komoditas lain dan daerah lain. "Pita volume ini memang dibuat di Ciamis, tetapi rumus pembuatan pita ini saya bikin berdasarkan data lapangan di Tapanuli Utara, tempat saya bekerja sebelum dipindah ke Ciamis," ujar pria kelahiran Nganjuk, Jawa Timur, 51 tahun lalu, itu.

Setiap daerah memiliki karakter tanah yang berbeda-beda. Demikian pula respons dan pertumbuhan tanaman terhadap tanah tersebut. Karena itu, kata Budiman, mengonversi panjang lingkar batang suatu jenis tanaman di satu daerah ke dalam ukuran volume memiliki penghitungan tertentu. Begitu juga kayu di daerah lain, ada rumus penghitungannya sendiri-sendiri.

Setelah sering dipamerkan dalam seminar dan gelar teknologi kehutanan di BPKC, banyak pihak yang meminta Budiman membuat pita volume kayu untuk komoditas lain, misalnya sengon. Akhirnya, BPKC pun meresponsnya dan kini sebuah tim sedang bekerja membuat pita volume untuk kayu sengon.

Forum Rimbawan

Bagi pria yang kini mengikuti program doktoral di Universitas Gadjah Mada (UGM) itu, pita volume kayu merupakan contoh karya nyata peneliti untuk petani. Hasil-hasil riset dari berbagai lembaga penelitian akan sia-sia jika tidak bisa diaplikasikan oleh masyarakat petani secara sederhana. Jika demikian adanya, peneliti dan karya-karyanya akan tetap menjadi menara gading yang sulit dijangkau oleh petani yang merupakan sebagian besar penduduk negeri ini.

Sebagai peneliti, Budiman tidak melulu berkutat dengan penelitian. Dia terlibat secara langsung membina sejumlah kelompok tani hutan. Dalam setiap pertemuan dengan para petani, ia selalu menyampaikan apa saja teknologi kehutanan yang terbaru, mulai dari cara menanam yang baik hingga fasilitasi pasar. Semua ia lakukan semata-mata agar petani lebih cerdas.

Kuatnya keinginan untuk mencerdaskan petani mendorong Budiman membuka saluran komunikasi dengan petani, baik melalui telepon, surat elektronik, maupun datang langsung ke kantor. Dia bersedia membantu petani mengatasi permasalahannya, kapan saja.

Budiman juga membina Forum Rimbawan Bina Wana Enterprise (semacam kelompok tani hutan) di wilayah Ciamis-Banjar, dengan jumlah tanaman mencapai 79.000 pohon.
Setiap berinteraksi dengan petani, Budiman selalu menerima keluhan petani yang sulit menaksir volume kayu. Akibat pengetahuan yang minim itu, petani tidak memiliki posisi tawar yang tinggi di hadapan pembeli atau tengkulak ketika menjual kayunya.

Akhirnya setiap bertemu dengan petani, misalnya dalam gelar teknologi, sosialisasi, maupun penelitian di lapangan, Budiman menyampaikan bagaimana menghitung volume kayu yang benar kepada petani. Ketika terjun ke lapangan atau dalam gelar teknologi, ia selalu mendemonstrasikan cara menghitung volume kayu yang benar.

Untuk lebih memudahkan petani menghitung volume kayu, ia pun sedang menyiapkan pita pengukur volume kayu untuk kayu sengon di Jawa Barat. "Nantinya pita volume kayu itu akan kami bagikan gratis kepada kelompok tani," ujarnya.

Dia mengharapkan, ke depan peneliti semakin mampu melahirkan karya yang aplikatif untuk kepentingan petani. Pita volume kayu hasil proses kreatifnya semoga menjadi inspirasi bagi peneliti lain.

• Lahir: Nganjuk, 4 November 1959

• Pekerjaan: Pegawai Negeri Sipil

• Jabatan: Ketua Kelompok Peneliti Sosial Ekonomi Kehutanan di Balai Penelitian Kehutanan Ciamis

• Istri: Dian Dhiniyati (42)

• Anak: Hanifah Ramdaniah (11),Yasmin Sekar Arum (9), Kurnia Cahya Nisa (5)

• Pendidikan:
- S-1 Manajemen Hutan IPB, lulus 1985
- Magister School of Forestry, University of Canterbury, Selandia Baru, lulus 1995
- Program doktoral Kebijakan Kehutanan, UGM Yogyakarta, masuk 2009

10 Juni 2010

Walhi Laporkan Kasus Penembakan Petani Ke Polisi

THURSDAY, 10 JUNE 2010 - DEDE RIANI, WALHI

LSM lingkungan Walhi resmi melaporkan bentrokan yang terjadi antara para petani di Riau dengan aparat kepolisian ke Kepolisian Indonesia. Pasalnya akibat insiden ini 1 orang petani tewas dan 1 dalam kondisi kritis.

Direktur Walhi Nasional Erwin Usman mengatakan, 3 orang saksi akan dihadirkan untuk memperkuat bukti penembakan dilakukan oleh polisi. Walhi juga memiliki bukti foto-foto saat peristiwa perebutan lahan milik petani yang berlangsung ricuh, termasuk selongsong peluru yang mengenai salah satu petani Riau.

“Jadi ada statement dari kepolisian lokal yang diterbitkan di media lokal bahwa peluru yang bersarang di tubuh Isniar punggung tembus depan, itu bukan dari aparat kepolisian dan ini menarik bagi Walhi, karena visum yang kami lakukan kemarin, testimoni warga jelas yang menyebabkan kematian bukan karena benda tumpul tapi karena peluru itu,” papar Erwin Usman.

Kasus ini bermula dari perselisihan antara PT Tri Bakti Sarimas (TBS) dan warga selaku anggota Koperasi Unit Desa Prima Sehati. KUD dan PT TBS bekerjasama menanam kelapa sawit. Petani KUD Prima Sehati menyediakan lahan seluas 9.300 hektar, sementara PT TBS yang melakukan penanaman sampai panen.

Penanaman sudah dilakukan sejak tahun 1998, namun petani baru mendapatkan hasil usaha pada tahun 2008 atau setelah enam tahun masa panen. Hasil panen yang diberikan PT TBS juga dinilai sangat rendah, yakni Rp 70.000 sebulan untuk lahan seluas dua hektar. Padahal di luar, kelapa sawit yang sudah berumur 10 tahun sudah dapat menghasilkan uang Rp 4 juta.

Warga anggota KUD kemudian berupaya untuk membicarakan kenaikan setoran hasil panen PT TBS. Namun, perusahaan itu tidak menggubris tuntutan petani.

Pada Selasa pagi (8/6) ratusan petani KUD Prima Sehati memanen sendiri kelapa sawit plasma di areal yang disengketakan. Sementara pihak perusahaan berupaya menghentikan upaya paksa petani itu dengan mendatangkan aparat Brimob dari Polres Kuansing.

Polisi meminta petani menghentikan pemanenan namun tidak digubris. Bentrokan akhirnya pecah dan polisi menghalau massa dengan tembakan. Dua orang tertembak dan seorang diantaranya meninggal dunia.

LAST UPDATED ( THURSDAY, 10 JUNE 2010 17:03 )

09 Juni 2010

"POLISI MASIH MENJADI ALAT PELINDUNG PEMODAL BESAR"

Siaran Pers Bersama
Tentang Penembakan dan Pembunuhan Petani Riau oleh Polisi
Membela Perkebunan Kelapa Sawit

"POLISI MASIH MENJADI ALAT PELINDUNG PEMODAL BESAR"

Jakarta, (9/6/2010)--Pancasila sebagai dasar negara, khususnya sila kedua menyebutkan dengan jelas Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Insiden berlanjutnya penembakan terhadap petani oleh kepolisian khususnya Brigade Mobil patut dipertanyakan kembali. Apakah Kepolisian mulai redup mengamalkan Panca Sila, atau polisi juga lupa bahwa mereka bukanlah institusi militer. Karena faktanya akhir-akhir ini Polisi selalu melakukan tindakan kekerasan. Sepatutnya, sebagai alat negara benar-benar menjalankan fungsinya sebagai pengayom rakyat dan bukan sebagai alat perusahaan. Dengan insiden kekerasan belakangan ini membantah telah terjadi reformasi di tubuh Polri.

Nyawa rakyat kecil solah tak berharga. Setelah melakukan penembakan terhadap petani di Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan, Buton Sulawesi Tenggara, dan Banggai Sulawesi Tengah, kini melanjutkan penembakan petani di wilayah Kabupaen Kuala Sengingi (Kuansing) Riau. Dipertengahan tahun ini kembali seorang Ibu petani kelapa sawit tewas setelah ditembus peluru aparat Kepolisian Polres Kuala Sengingi dan Brimob Polda Riau pada Selasa, 8 Juni 2010.

Adalah Ibu Yusniar (45) dan Disman (43) warga Desa Koto Cengar Kecamatan Kuantan Mudik yang menjadi korban. Ibu Yusniar meninggal di tempat, sedangkan Bapak Disman masih di rawat di RSUD Taluk Kuantan. Selain menewaskan petani, polisi juga telah menahan sekurangnya 11 warga meski siang ini telah dibebaskan, dan saat ini berada di Puskemas Lubuk Jambi untuk perawatan akibat pemukulan. Tidak cukup dengan menembak dan menangkap petani, polisi juga telah membakar dan menembaki 10 unit sepeda motor dan satu unit mobil. Tidak heran jika petani melakukan tindakan serupa pula.

Dalam semester pertama tahun 2010, kami mencatat 65 orang sudah menjadi korban kriminalisasi dan kekerasan aparat polisi. Korban Yusniar (45) di Kabupaten Kuansing, adalah yang paling parah. Dan terdapat 64 orang petani yang ditahan, yaitu enam (6) di Riau, enam (6) di Sumatera Barat, 3 (tiga) di Bengkulu, lima (5) di Tapanuli Selatan-Sumatera Utara, dua (2) orang di Kabupaten OKI-Sumatera Selatan, 24 orang di Banggai Sulawesi Tengah, dan 18 orang di Kalimantan Barat.

Kekerasan terhadap petani kelapa sawit di Riau merupakan cermin adanya ketidakadilan dalam sistem perkebunan kelapa sawit. Duduk perkaranya, lahan seluas 12.000.00 Ha merupakan milik 4000 KK telah diserahkan kepada PT. Tribakti Sari Mas tahun 1999 untuk dibangun menjadi kebun kelapa sawit. Dan yang telah dikelola seluas 9000 Ha, serta yang telah berhasil panen seluas 4500 Ha sejak tahun 2008. Duduk ketidakadilan yang dialami petani; pertama dirugikan dengan masa konvesi lahan yang seharusnya berjalan lima (5) tahun menjadi Sembilan (9) tahun. Artinya ada kesempatan untuk panen yang di hilangkan selama empat (4) tahun. Kedua, dari pendapatan, seharusnya dalam setiap bulan atas per hektar lahan, petani mendapatkan Rp.1,6 juta dan dikurangi empat jenis potongan sebesar 34,5%, maka total pendapatan bersih senilai Rp.502 ribu per bulan. Sedangkan kenyataan yang didapat oleh seorang petani hanya Rp. 72.000 per bulan. Hal inilah yang memicu kemarahan petani terhadap perusahaan.

Masyarakat sesungguhnya telah memperjuangkan keadilan selama dua tahun terakhir. Upaya yang ditempuh yaitu mengadu kepada DPR RI, ke Pemda Propinsi dan DPRD sebanyak tujuh kali dan di tingkat Pemda dan DPRD K sebanyak 15 kali. Serta menuntut perbaikan manajemen pengelolaan kepada pihak perusahaan sebanyak empat kali.
Namun hasilnya nihil hingga petani memutuskan untuk melakukan panen paksa atas lahan seluas 100 Ha yang berujung bentrok dan menewaskan dua orang petani.

Insiden seperti ini seharusnya tidak perlu terjadi jika perusahaan mau melakukan tindakan jujur dan adil dalam bagi hasil, dan polisi menjadi penengah dalam perselisihan. Bukan berlawan dengan petani.

Atas insiden ini, kami elemen masyarakat sipil yang peduli pada nasib petani, lingkungan hidup, demokrasi dan hak asasi manusia menyampaikan;

Mengutuk tindakan keberutalan aparat Polisi dalam menangani perjuangan keadilan petani kelapa sawit yang diperlakukan tidak adil dan sewenang-wenang oleh PT. Tribakti Sari Mas.
Mendesak KAPOLRI untuk sungguh-sungguh melakukan reformasi di kesatuannya, karena masih banyaknya tindakan anggota POLRI yang berada di luar batas kemanusiaan dengan melakukan penangkapan paksa, penembakan serta penggunaan senjata berpeluru tajam dalam penanganan persoalan masyarakat.
Meminta KAPOLRI dengan atas nama kemanusiaan agar mencopot KAPOLRES Kuantan Sengingi dari jabatannya selaku pihak bertanggung jawab atas tragedi ini
Meminta Presiden RI untuk menjadikan POLRI berada satu tubuh dalam Kementerian Dalam Negeri, agar Polisi betul-betul bertindak sebagai polisi sipil.
Atas nama keadilan, polisi pelaku penembakan agar segera di tangkap dan di hukum seberat-beratnya.
Mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, agar memerintahkan departemen terkait untuk melakukan audit sistem perkebunan kelapa sawit di Indonesia secara umum, dan di PT. Tribakti Sari Mas secara khusus. Audit ini beserta dengan seluruh kebijakan-kebijakan terkait perkebunan kelapa sawit. Selain itu, kami juga mendesak kepada Presiden untuk melakukan moratorium rencana perluasan perkebunan kelapa sawit seluas 6 juta ha hingga 2015 mendatang. Tercatat yang harus dievaluasi adalah sekitar 9,4 juta ha perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Meminta kepada seluruh pasar-pasar konsumen Crude Palm Oil (CPO) dalam dan luar negeri untuk memboikot CPO milik perusahaan PT. Tribakti Sari Mas yang melakukan tindakan kriminal dan melakukan tindakan tidak adil terhadap petani kelapa sawit, dan bersama-sama mendorong perbaharuan dalam sistem perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Kami juga mendukung sepenuhnya upaya-upaya perjuangan masyarakat Kuantan Sengingi untuk memperoleh keadilan dengan cara-cara damai.
Terim kasih.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Sarekat Hijau Indonesia (SHI), Sawit Watch, KontraS, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Petani Indonesia (API), Serikat Petani Indonesia (SPI), PRP, PBHI, IMPARSIAL, LMND, PEBEBASAN, Perempuan Mahardika, PERGERAKAN Bandung, Institute Global Justice (IGJ).

Sumber: Kontras

LSM Mengutuk Penembakan Petani di Riau

Jakartapress.com, Rabu, 09/06/2010, Jakarta - Elemen Masyarakat Sipil yang terdiri atas Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)-Eknas, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Sawit Watch, Kontras, PBHI, Imparsial, LMND, pergerakan, dan IGJ, mengecam keras tindakan represif aparat kepolisian Riau (Polres Riau, Brimob dan Polda Riau) dalam menangani demonstrasi petani kelapa sawit 8 Juni 2010 di Kuantan Senggigi (Kuansing) Riau, kemarin.

”Kami menyayangkan sikap aparat kepolisian dalam menangani demonstran. Reformasi kepolisian belum maksimal, hal ini terlihat dari catatan tindakan kekerasan kepolisian terhadap masyarakat khususnya petani. Artinya, polisi tidak profesional,” ujar aktivis Kontras Sri Suparyati saat Press Confrence di kantor Walhi-Eknas, Jakarta, Rabu (9 Juni 2010).

Sementara itu, Deputi Advokasi Kebijakan KPA D.D. Shineba menyatakan kejadian ini berulang kali terjadi dan kerapkali melibatkan Polri dan TNI. Lebih jauh ia menyarakankan agar Polisi dan juga TNI tidak boleh ikut campur dalam sengketa tanah agar peristiwa kekerasan tersebut tidak terjadi lagi.

”Ada banyak cara agar peristiwa ini tidak lagi terjadi. Pertama, Polisi dan TNI tidak boleh ikut campur dalam urusan sengketa tanah. Kedua, Pemerintah harus membuat lembaga sengketa agraria, dan ketiga, laksanakan reforma agraria seutuhnya,” ujarnya.

Apa yang diungkapkan oleh kalangan elemen masyarakat sipil tersebut terasa wajar jika melihat data-data yang dikeluarkan oleh Walhi, Sawit Watch, dan SPKS tentang jumlah korban kekerasan aparat kepolisian selama semester I 2010 dalam menghadapi aksi petani. 80 orang tercatat menjadi korban meninggal dunia di seluruh Indonesia, terbesar di daerah Luwuk, Sulawesi Tengah ketika petani berhadapan dengan PT. KLS.

Peristiwa kekerasan di Riau kemarin sendiri menurut Walhi-Eknas berawal dari aksi demonstrasi warga pukul 09.00, 8 Juni 2010 dimana massa petani dari 11 desa Kecamatan Lubuk Jambi berkumpul di Desa Cengar. Mereka adalah anggota Koperasi Tani Prima Sehati yang selama ini berkonflik dengan PT. TBS. Kemudian massa masuk areal perkebunan untuk memanen tandan sawit. Ketika panen sedang berlangsung, polisi masuk dan menghadang, mengejar bahkan menembaki warga dengan senjata api.

Akibat bentrokan tersebut, 1 orang petani bernama Yusniar (45 tahun) meninggal tertembus peluru dibahagian dada dari belakang dan Disman (43 Tahun) kritis. Aparat beralasan bahwa tembakan tersebut untuk membela diri dari amukan massa. Bentrokan juga menghasilkan 11 orang ditahan, namun pada malam harinya dibebaskan kembali oleh pihak kepolisian Mapolres Kuantan Senggigi.

Roadshow Menuntut Keadilan dan Boikot
Atas peristiwa itu Deputi Direktur Walhi-Eknas Erwin Usman menyatakan dalam 10 hari kedepan, ia bersama seluruh elemen yang tergabung akan melakukan roadshow ke instansi terkait seperti Komnas HAM, Mabes Polri dan lain-lain agar megusut tuntas kasus penembakan tersebut.

Sementara itu Deputi Kampanye dan pendidikan publik Sawit Watch Edi Sutrisno mendesak agar Dirjen harus mencabut izin usaha dan BPN untuk meninjau kembali HGU dari PT. TBS. ”Pembeli (konsumen pasar CPO) harus hati-hati ketika membeli CPO, mereka harus mengetahui apakah CPO tersebut berasal dari perusahaan pelanggar HAM. Jika ya, maka jangan dibeli. Lakukan boikot” serunya.

Awal Persengketaan
Menurut elemen masyarakat sipil tersebut, demonstrasi petani tersebut dipicu konflik atas ketidakadilan pengelolaan areal kelapa sawit yang dikuasai oleh PT. Tri Bakti Sarimas (PT. TBS). Pada awalnya, pengelolaan luas lahan 9.314 Ha dikelola oleh masyarakat bekerjasama dengan PT. TBS melalui konsep plasma, namun PT. TBS dituding melakukan perubahan perjanjian secara sepihak dengan mengelola sendiri dengan alasan kebijakan revitalisasi perkebunan.

Lahan seluas 12.000 Ha pada awalnya merupakan milik 4000 KK yang kemudian diserahkan kepada PT. TBS tahun 1999 untuk dibangun menjadi kebun kelapa sawit. Areal yang baru dikelola hingga saat ini hanya 9.314 Ha dan yang berhasil dipanen hanya 4.500 Ha saja. Presiden SPKS Mansuetus Darto menuturkan bahwa kebijakan revitalisasi perkebunan produk pemerintahan SBY melahirkan ketidakadilan bagi petani.

”kebijakan revitalisasi perkebunan produk pemerintahan SBY telah menyebabkan ketidakadilan bagi petani. Indikasinya adalah pendapatan petani akibat kebijakan tersebut menurun drastis dari seharusnya Rp. 1,6 juta perbulan/Ha menjadi hanya Rp. 30 ribu s/d Rp. 150.000 saja tiap bulannya,” ujarnya.

Ia juga menambahkan bahwa PT. TBS tidak ada niat baik dalam mengelola lahan perkebunan. ”Baru 4000 Ha saja yang dikelola dan itupun menghaslkan produksi jauh dari standar, belum lagi kondisi lahan yang tidak dirawat,” imbuhnya. (jzg)

21 Mei 2010

Serikat Petani Laporkan Dugaan Korupsi

Petani Inginkan Reformasi Agraria

Jumat, 21 Mei 2010

BANDUNG, KOMPAS
- Serikat Petani Pasundan (SPP) melaporkan dugaan korupsi hasil hutan yang diduga dilakukan Dinas Kehutanan Jawa Barat dan Perum Perhutani Unit III Jabar Banten kepada Kejaksaan Tinggi dan Kepolisian Daerah Jabar, Kamis (20/5), seusai beraudiensi dengan DPRD Jabar di Bandung. Mereka juga melaporkan Kepala Dinas Kehutanan Jabar Anang Sudarna kepada polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik SPP.

Pertemuan dengan anggota DPRD Jabar itu dipicu kekecewaan anggota SPP atas pernyataan Kepala Dinas Kehutanan Jabar sebagaimana diberitakan Kompas, 11 Mei 2010. Dalam berita itu dituliskan, Anang mengaku sukar mengatasi perambahan hutan karena harus berhadapan dengan organisasi kemasyarakatan yang menghimpun warga, seperti SPP yang ditemui di Tasikmalaya dan Ciamis.

"Pak Anang seperti menuduh SPP sebagai perambah hutan. Pernyataan itu jelas memicu keresahan dan kemarahan warga karena selama ini petani yang tergabung dalam SPP telah menggarap lahan dengan memerhatikan prinsip-prinsip ekologis," kata Agustiana, Sekretaris Jenderal SPP.

Di hadapan anggota DPRD Jabar yang dalam pertemuan itu dipimpin Wakil Ketua DPRD Komarudin Thaher, Agustiana mengatakan, pembatasan akses rakyat terhadap lahan dan hutan adalah pelanggaran hak. Itu karena lahan-lahan tersebut pada awalnya adalah milik warga yang di masa kolonial dirampas penjajah Belanda.

Lahan-lahan itu dikuasai jawatan kehutanan di bawah pemerintahan kolonial, dan pengelolaannya sekarang diteruskan Perum Perhutani. "Jika merunut dari sejarah tersebut, siapa yang layak disebut sebagai perambah hutan?" katanya.

Korupsi hutan

Agustiana menyebutkan dugaan korupsi dilakukan Perhutani atas hasil penebangan hutan di Kabupaten Ciamis, yakni seluas 913 hektar di Cibulu dan 300 hektar di Cigugur. Ia juga mempersoalkan penjualan aset tanah milik Perhutani untuk pembangunan kawasan industri Jababeka dan Tol Cipularang.

Pada 2008 Dinas Kehutanan Jabar juga disebut Agustiana memberikan izin penebangan kayu di wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan Ciamis sebanyak 40.000 meter kubik. Padahal, saat itu wilayah hutan tersebut belum memasuki masa tebang.

Laporan dugaan korupsi dan pencemaran nama baik itu diterima langsung oleh perwakilan Polda dan Kejati Jabar yang hadir mendampingi anggota DPRD Jabar.

Kepala Seksi Hukum Perum Perhutani Unit III Yuniar Permadi mengatakan, pihaknya tidak akan menghalangi proses hukum. "Kami selaku BUMN diberi kewenangan mengelola hutan oleh negara. Jika kemudian ada dugaan penyelewengan, kami serahkan ke proses hukum," ujarnya.

Selain puluhan perwakilan yang menemui anggota DPRD Jabar, ada massa SPP yang berorasi di halaman Gedung Sate. Mereka menuntut reformasi agraria, pembubaran Perhutani dan pemberhentian Anang Sudarna.

Dihubungi terpisah, Anang menolak disebut telah mencemarkan nama baik SPP. "Itu fakta bahwa mereka merambah hutan. Saya memiliki data-datanya. Jika saya memiliki data, apakah saya bisa disebut mencemarkan nama baik mereka?" katanya. Menyikapi hal ini, Anang berencana menuntut balik SPP karena tuduhan tidak berdasar dan pencemaran nama baik atas dirinya. (REK/*)

20 Mei 2010

Serikat Petani Laporkan Dugaan Korupsi

BANDUNG, KOMPAS - Serikat Petani Pasundan (SPP) melaporkan dugaan korupsi hasil hutan yang diduga dilakukan Dinas Kehutanan Jawa Barat dan Perum Perhutani Unit III Jabar Banten kepada Kejaksaan Tinggi dan Kepolisian Daerah Jabar, Kamis (20/5), seusai beraudiensi dengan DPRD Jabar di Bandung. Mereka juga melaporkan Kepala Dinas Kehutanan Jabar Anang Sudarna kepada polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik SPP.

Pertemuan dengan anggota DPRD Jabar itu dipicu kekecewaan anggota SPP atas pernyataan Kepala Dinas Kehutanan Jabar sebagaimana diberitakan Kompas, 11 Mei 2010. Dalam berita itu dituliskan, Anang mengaku sukar mengatasi perambahan hutan karena harus berhadapan dengan organisasi kemasyarakatan yang menghimpun warga, seperti SPP yang ditemui di Tasikmalaya dan Ciamis.

"Pak Anang seperti menuduh SPP sebagai perambah hutan. Pernyataan itu jelas memicu keresahan dan kemarahan warga karena selama ini petani yang tergabung dalam SPP telah menggarap lahan dengan memerhatikan prinsip-prinsip ekologis," kata Agustiana, Sekretaris Jenderal SPP.

Di hadapan anggota DPRD Jabar yang dalam pertemuan itu dipimpin Wakil Ketua DPRD Komarudin Thaher, Agustiana mengatakan, pembatasan akses rakyat terhadap lahan dan hutan adalah pelanggaran hak. Itu karena lahan-lahan tersebut pada awalnya adalah milik warga yang di masa kolonial dirampas penjajah Belanda.

Lahan-lahan itu dikuasai jawatan kehutanan di bawah pemerintahan kolonial, dan pengelolaannya sekarang diteruskan Perum Perhutani. "Jika merunut dari sejarah tersebut, siapa yang layak disebut sebagai perambah hutan?" katanya.

Korupsi hutan

Agustiana menyebutkan dugaan korupsi dilakukan Perhutani atas hasil penebangan hutan di Kabupaten Ciamis, yakni seluas 913 hektar di Cibulu dan 300 hektar di Cigugur. Ia juga mempersoalkan penjualan aset tanah milik Perhutani untuk pembangunan kawasan industri Jababeka dan Tol Cipularang.

Pada 2008 Dinas Kehutanan Jabar juga disebut Agustiana memberikan izin penebangan kayu di wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan Ciamis sebanyak 40.000 meter kubik. Padahal, saat itu wilayah hutan tersebut belum memasuki masa tebang.

Laporan dugaan korupsi dan pencemaran nama baik itu diterima langsung oleh perwakilan Polda dan Kejati Jabar yang hadir mendampingi anggota DPRD Jabar.

Kepala Seksi Hukum Perum Perhutani Unit III Yuniar Permadi mengatakan, pihaknya tidak akan menghalangi proses hukum. "Kami selaku BUMN diberi kewenangan mengelola hutan oleh negara. Jika kemudian ada dugaan penyelewengan, kami serahkan ke proses hukum," ujarnya.

Selain puluhan perwakilan yang menemui anggota DPRD Jabar, ada massa SPP yang berorasi di halaman Gedung Sate. Mereka menuntut reformasi agraria, pembubaran Perhutani dan pemberhentian Anang Sudarna.

Dihubungi terpisah, Anang menolak disebut telah mencemarkan nama baik SPP. "Itu fakta bahwa mereka merambah hutan. Saya memiliki data-datanya. Jika saya memiliki data, apakah saya bisa disebut mencemarkan nama baik mereka?" katanya. Menyikapi hal ini, Anang berencana menuntut balik SPP karena tuduhan tidak berdasar dan pencemaran nama baik atas dirinya. (REK/*)

11 Mei 2010

52.654 Hektar Hutan di Jawa Barat Dirambah

Alih Fungsi Lahan

Selasa, 11 Mei 2010

BANDUNG, KOMPAS
- Dinas Kehutanan Jawa Barat mencatat 52.654 hektar hutan di wilayah provinsi ini dirambah pihak swasta atau warga. Seluas 21.971 ha di antaranya digunakan untuk permukiman, jalan, sekolah, dan fasilitas umum lain. Sementara 9.681 ha dimanfaatkan untuk tambak, 86 ha untuk pertambangan, dan 20.916 ha untuk perkebunan swasta.

"Perambahan hutan ini sukar diatasi karena harus berhadapan dengan organisasi kemasyarakatan yang menghimpun warga, seperti Serikat Petani Pasundan yang ditemui di Tasikmalaya dan Ciamis," kata Kepala Dinas Kehutanan Jabar Anang Sudarna, Senin (10/5) di Bandung.

Daerah yang dirambah warga itu disebut Anang sebagai wilayah konflik, sedangkan di luar wilayah konflik ada 14.000 ha hutan rusak. "Khusus untuk wilayah hutan di luar konflik pada tahun ini akan ditanami sekitar 10.000 ha, sisanya tahun depan," ujarnya.

Pesimistis

Namun, ia pesimistis hutan di wilayah konflik bisa dihutankan kembali hingga tahun depan. Upaya persuasif dan represif terus dilakukan terhadap perambah yang mengatasnamakan diri sebagai petani. Menurut hitung-hitungan normal, kawasan hutan di Jabar seluas sekitar 847.000 ha seharusnya bisa dihutankan kembali pada 2010 dengan program Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis dari Pemerintah Provinsi Jabar dan Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan dari pemerintah pusat.

Anang beralasan target itu belum tercapai karena Dinas Kehutanan Jabar harus menghadapi warga yang nekat mempertahankan usaha pertanian sayur di kawasan hutan. "Okupasi lahan oleh warga itu dilakukan sedikit demi sedikit, ada yang 2 ha, bahkan 1 ha. Sukar menyadarkan mereka, khususnya warga kampung yang berbatasan dengan hutan," katanya.

Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Jabar Setiawan Wangsaatmaja mengatakan, reboisasi termasuk dalam konsep Jabar menuju provinsi hijau (green province) pada 2025. (REK)

25 April 2010

Mengapa Sukapura Menjadi Tasikmalaya ?


Nama Tasikmalaya diduga muncul setelah peristiwa meletusnya Gunung Galunggung pada Oktober 1822. Berdasarkan catatan Belanda, "Topographien Dienst", Tasikmalaya berasal dari "keusik ngalayah" yang dalam bahasa Sunda berarti pasir di mana-mana. Seabad kemudian, daerah itu tumbuh sebagai pusat perekonomian di Priangan Timur.
Tasikmalaya merupakan bagian dari Kabupaten Sukapura. Kabupaten itu merupakan bentukan Mataram ketika menguasai Priangan (1620-1677). Sultan Agung memberikan daerah ini kepada Tumenggung Wiraadegdaha atas jasanya menumpas pemberontakan Dipati Ukur pada 1629-1632. Wiraadegdaha kemudian menjadi bupati pertama Sukapura dengan gelar Wiradadaha I (1633-1673).
Tahun 1832, pemerintah kolonial meminta Bupati Wiradadaha VIII (1807-1837) memindahkan pusat pemerintahan Sukapura ke Manonjaya. Perpindahan ini terkait dengan kepentingan perkebunan Hindia Belanda. Dibandingkan dengan Sukaraja, topografi Manonjaya lebih datar sehingga memudahkan pengangkutan nilam, tanaman wajib perkebunan pada masa itu.
Namun, ibu kota Manonjaya bertahan 68 tahun. Tanggal 1 Oktober 1901, pemerintah kolonial memerintahkan pemindahan ibu kota ke Afdeling Tasikmalaya, sebuah daerah di kaki Gunung Galunggung. Daerah yang bernama Tasikmalaya itu dinilai lebih luas, subur, dan indah sehingga cocok dijadikan ibu kota sekaligus untuk pengembangan perkebunan nilam.
Perpindahan ini terjadi pada masa RT Wiraadiningrat (1901-1908). Bupati yang bergelar Dalem Aria ini adalah bupati pertama yang berkedu-dukan di Tasikmalaya. Seiring dengan perkembangan Tasikmalaya, nama Sukapura diganti menjadi Kabupaten Tasikmalaya pada tahun 1913. Kabupaten ini tercatat sebagai pusat Karesidenan Priangan Timur pada tahun 1925. 

11 April 2010

Ciamis Hanya Dapat Rp 2,4 M untuk Rehab Sekolah Korban Gempa

SABTU, 10 APRIL 2010 CIAMIS, TRIBUN - Dari 273 ruang kelas SD korban gempa 7,3 SR yang belum direhab, hanya 62 ruang kelas yang mendapat bantuan APBN untuk direhab pada tahun anggaran (TA) 2010 ini. 

"Besar bantuannya Rp 2,4 miliar untuk merehab 62 ruang kelas korban gempa," ujar Kepala Dinas Pendidikan Ciamis Drs H Akasah MBA seusai pembukaan pemilihan siswa, guru, dan komite sekolah berprestasi se-Ciamis di kampus SMAN III Ciamis, Sabtu (10/4). 

Pemilihan siswa, guru dan komite sekolah berprestasi ini diikuti oleh 579 orang siswa mulai dari tingkat TK, SD, SMP, hingga SMA/SMK, guru, dan komite sekolah.

Jumlah bantuan yang diterima Ciamis ini, kata Akasah jauh, di bawah jumlah yang diterima Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Bandung. Padahal Ciamis merupakan daerah terparah dilanda gempa 2 September 2009 itu.

Menurut Akasah, gempa tersebut telah memorakporandakan 482 ruang kelas di 119 SD yang ada di Ciamis. Sejumlah SD malah luluh lantak semua ruang kelasnya, seperti SD Pusakanegara II Baregbeg, SD Purwodadi I dan SD Purwodadi II, serta SD Kertaharja II Cijeungjing.

Sebanyak 169 ruang kelas dari 482 ruang yang porak poranda akibat goncangan gempa itu sudah direhab dari dana DAK Tahun Anggaran (TA) 2009 karena kebetulan ke-169 ruang kelas itu sudah masuk daftar penerima DAK dan porak poranda diguncang gempa sebelum direhab. Dan 40 ruang kelas lainnya sudah dan sedang direhab oleh pihak ketiga.(sta)

Dana untuk Korban Gempa Dipotong Hingga 85 Persen

Tribunjabar.co.id, SELASA, 5 JANUARI 2010

"Tidak jelas siapa saja yang menerima bantuan pada tahap pertama ini. Akibatnya timbul gejolak di masyarakat..."

TASIKMALAYA, TRIBUN- Dana bantuan untuk korban gempa yang rumahnya mengalami kerusakan tingkat sedang diduga disunat pengurus kelompok masyarakat (Pokmas) di lapangan. Alasan penyunatan bantuan, dana digunakan uang lelah pengurus dan dibagikan kepada korban lain yang belum masuk daftar penerima bantuan.

Seharusnya korban gempa menerima dana rehab rumah sedang sebesar Rp 10 juta per rumah. Namun yang terjadi, mereka hanya menerima Rp 1,5 juta hingga Rp 1,8 juta.

Padahal Bupati Tasikmalaya, H Tatang Farhanul Hakim, saat seremoni pencairan dana gempa, beberapa waktu lalu, sudah mewanti-wanti kepada petugas di lapangan agar dana bantuan rehab rumah itu tidak dipotong dan dibagi rata. Sebab aturan dari pusat mensyaratkan demikian. Selain itu, bantuan kali ini merupakan bantuan tahap pertama dan warga yang belum masuk daftar akan memperoleh bantuan pada tahun depan.

"Rumah saya mengalami rusak sedang dan sudah menerima dana bantuan sebesar Rp 1,5 juta. Selain menerima uang itu, saya pun menyerahkan uang Rp 150 ribu sebagai uang lelah Pokmas yang sudah ke sana kemari mengurusi pencairan dana bantuan ini," kata Undang (45), korban gempa di Kampung Munjulm, Desa Sukasukur, Kecamatan Cisayon, Senin (4/1).

Ditanya apakah ia tahu bahwa jatah yang harus diterimanya Rp 10 juta, Undang sempat termenung namun lantas mengatakan,  pihak Pokmas untuk sementara memberikan dana sebesar itu. Sisanya Rp 8,5 juta untuk korban lain yang belum kebagian. "Saya ikhlas saja, apalagi dibagi rata untuk warga lain. Termasuk memberi uang lelah, saya juga ikhlas," ujarnya.

Sadar (48), salah seorang tokoh warga Kampung Munjul, mengungkapkan, selain adanya pembagian rata dana bantuan serta munculnya "uang lelah" bagi Pokmas, tahapan penyaluran bantuan pun tidak transparan dan tidak ada koordinasi dengan seluruh Ketua RT. "Tidak jelas siapa saja yang menerima bantuan pada tahap pertama ini. Akibatnya timbul gejolak di masyarakat," ujarnya.

Hal itu diakui Ketua RT 01 RW 05 Kampung Munjul, Ny Ari Ariasih. "Saya didatangi para korban gempa yang belum kebagian. Mereka marah?marah dan menuding saya sengaja tidak membagikan dana tersebut. Padahal boro-boro memegang uang, dikasih tahu pun tidak oleh Pokmas. Tapi saya lah yang kena getahnya. Harusnya mereka protes ke Pokmas," katanya.

Pemerintah pusat dan provinsi telah mengucurkan dana bantuan untuk korban gempa, akhir Desember tahun lalu. Pemerintah Provinsi Jabar mengucurkan bantuan Rp 36,8 miliar, sementara pemerintah pusat melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana membantu sebesar Rp 31,3 miliar. Di Kabupaten Tasikmalaya terdapat 28.484 KK yang rumahnya tergolong rusak ringan, 3.024 KK termasuk rusa berat, dan 16.018 KK masuk kategori rusak sedang.(stf)


"Mau Lihat Dulu Aturannya"

TERKAIT dugaan pemotongan dana bantuan bagi korban gempa untuk kategori rusak sedang, Ketua Satkorlak Penanggulangan Bencana Kabupaten Tasikmalaya, HE Hidayat, mengatakan, jika kebijakan membagi rata dana bantuan dikeluarkan Satkorlak maupun Satlak di tingkat kecamatan, jelas menyalahi aturan. Tetapi jika hal itu dilakukan atas dasar kearifan masyarakat, pihaknya akan mengkaji aturan yang ada apakah itu menyalahi atau tidak.

"Kita akan lihat, apakah kebijakan itu dikeluarkan oleh Satkorlak, Satlak atau atas kearifan masyarakat saja. Jika memang itu hasil musyawarah di tingkat masyarakat, kita tidak lantas menindak. Tapi mau dilihat dulu aturannya apakah hal seperti itu melanggar atau tidak," ujar Hidayat, Senin (4/1).

Selain persoalan pemotongan dana bantuan, di lapangan pun banyak korban gempa yang tidak tercatat sebagai penerima bantuan. Ny Euis (50), misalnya, terpaksa hanya bisa gigit jari karena tidak akan menerima dana bantuan. Rumahnya yang retak?retak mengangga dibiarkan. Sedang yang retak kecil berupaya ditambah. "Tidak punya biaya untuk memperbaikinya, jadi dibiarkan saja begitu," katanya.(stf)

Hari Ini 442 SD Mulai Direhab

Tribunjabar.co.id, SENIN, 28 SEPTEMBER 2009

Sebanyak 1.042 ruang kelas rusak di 442 SD yang menyebar di 36 kecamatan di Ciamis hari ini, Senin (28/9), mulai diperbaiki kembali. Perbaikan ke 1.042 ruang kelas INI dibiayai oleh DAK dari APBN dengan nilai anggaran Rp 70 juta per ruang kelas, termasuk untuk pengadaan mebelernya.

"Rehabilitasi ke 1.042 ruang kelas tersebut akan dimulai secara serentak  Senin (28/9)," ujar Kadisdik Ciamis Drs H Akasah MBA kepada Tribun, Jumat (25/9).

Akasah mengingatkan proses pengerjaan fisik ruang kelas ini jangan sampai mengganggu kegiatan belajar mengajar. "Kegiatan belajar mengajar harus tetap berlangsung meski lokasi belajar diungsikan atau dipindahkan ke tempat lain yang aman," Imbuhnya.

Menurut Akasah, meski rehabilitasi tersebut dijadwalkan dimulai secara serentak  hari ini,  proses rehab ruang kelas di 179 SD di antaranya terpaksa ditunda dulu. "Kebetulan dari 442 SD penerima DAK tersebut ada 179 SD yang mengalami kerusakan akibat guncangan gempa 7,3 SR Rabu (2/9) lalu," ujar Akasah.

Penundaan itu sampai dilakukannya pemeriksaan teknis oleh tim khusus untuk memperhitungkan kelayakan teknis bangunan. "Apakah bisa dilanjutkan dengan proses rehab dengan biaya DAK saja atau perlu ada tambahan biaya lain atas pertimbangan teknis  kondisi bangunan pasca gempa," jelasnya.

Dari sejumlah sekolah yang luluhlantak akibat gempa itu, ungkap Akasah, sudah ada pihak yang berminat untuk membangun kembali seperti Lions Club dan Buda Suci. "Kita juga sudah menjajaki dengan Total Indonesie. Ada sejumlah sekolah yang ambruk dan rusak parah akibat gempa seperti SD Purwadadi II dan SD Pusaka Negara I yang kegiatan belajarnya terpaksa dialihkan ke tenda darurat," pungkasnya. (sta)

Kasus SD Sejahtera di Tangan Jaksa

Sabtu, 3 Oktober 2009 BANDUNG, TRIBUN - Berkas para tersangka kasus ambruknya bangunan dua ruang kelas SDN Sejahtera IV, Jalan Sejahtera Nomor 12, Bandung, telah diajukan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Bandung. Apabila telah selesai sidang akan digelar.

Kasus ambruknya ruangan kelas ini menjerat tiga orang tersangka, yaitu Agus Suganda seorang pengawas proyek, seorang pengusaha Asep Ruhimat, dan Kepala Sekolah SDN Sejahtera IV Fatimah yang juga istri dari Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung Oji Mahroji.

"Kelanjutan proses tersangka ambruknya SDN Sejahtera sudah diajukan pihaknya ke JPU. Kini, polisi tinggal menunggu pemberitahuan," kata Kapolresta Bandung Barat AKBP Baskoro Tri Prabowo dalam pesan singkatnya kepada Tribun, Sabtu (3/10).

Dua tersangka, yakni Agus Suganda dan Asep Ruhimat yang telah ditahan juga sudah ditangguhkan penahanannya.

Fatimah hingga kasus ini berjalan belum ditahan. Agus terancam dijerat Pasal 387 Ayat (1) dan (2) jo pasal 201 huruf e KUHPidana, sedangkan Asep dan Fatimah dijerat UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, terutama Pasal 2, 3 dan 7.

Robohnya dua ruangan yang nyaris menimbulkan korban jiwa tersebut baru seminggu digunakan untuk belajar setelah direnovasi.
Menurut Suprio Kepala SDN I dananya sebesar Rp 320 juta dari program role sharing Provinsi Jabar. Dana tersebut untuk 8 ruang kelas, tapi digunakan untuk merehab 13 ruangan. "Rehab ditangani swakelola sekolah agar bisa menghemat," ujar Suprio, beberapa waktu lalu.

Suprio mengatakan ruangan tersebut sebenarnya milik SDN Sejahtera IV, sedangkan SDN I hanya menggunakannya saja. Menurutnya penanggung jawab renovasi gedung adalah Fatimah, Kepada Sekolah SDN Sejahtera IV.

Bangunan SD Sejahtera dibangun pada 1978 melalui Istruksi Presiden (Inpres). Sejak itu, bangunan tersebut baru direnovasi lantai dan atapnya saja dengan mengganti asbes dengan genting. Adapun tembok yang terbuat dari batako belum pernah direnovasi. (sob)

SDN Sejahtera I Kembali Roboh

TRIBUN JABAR/FERRY AMIRIL M SELASA, 31 MARET 2009
BANDUNG, TRIBUN-Sejumlah bangunan di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Sejahtera di Jalan Sejahtera 12,  Kelurahan Pasteur, Kecamatan Sukajadi, Bandung kembali roboh sedikit demi sedikit sepanjang malam hingga menjelang siang ini.

Ratusan siswa dari enam kelas terpaksa mengungsi di beberapa ruangan yang dinilai aman, termasuk ruang guru dan mesjid. Di mesjid yang dipakai mengungsi, beberapa saat lalu, para siswa belajar di atas lantai tanpa kursi dan meja.

SDN Sejahtera mulai roboh sejak Senin (30/3). Saat itu tak ada korban jiwa atau terluka. Namun jika evakuasi siswa saat itu dilakukan terlambat sebentar saja, bisa dipastikan korban siswa akan berjatuhan.

Menurt Sri Winarsih guru kelas IV yang kelasnya berhadapan dengan ruangan yang ambruk, sempat mendengar suara dan melihat atap sanggar  pramuka dan kelas perlahan-lahan kayunya turun. Tanpa membuang waktu, Sri berlari ke ruangan dan meminta 30 anak dan seorang guru untuk keluar kelas. Saat itu, mereka tengah belajar matematika. "Saya kira roboh karena gempa," ujar Sri.

Dua ruangan yang nyaris menimbulkan korban nyawa tersebut baru seminggu digunakan untuk belajar setelah direnovasi. Menurut Suprio Kepala SDN I dananya sebesar Rp 320 juta dari program role sharing Provinsi Jabar. Dana tersebut untuk 8 ruang kelas, tapi digunakan untuk merehab 13 ruangan. "Rehab ditangani swakelola sekolah agar bisa menghemat," ujar Suprio.

Suprio mengatakan ruangan tersebut sebenarnya milik SDN Sejahtera IV, sedangkan SDN I hanya menggunakannya saja. Menurutnya penanggung jawab renovasi gedung adalah Fatimah, Kepada Sekolah SDN Sejahtera IV.

Bangunan SD Sejahtera dibangun pada 1978 melalui Istruksi Presiden (Inpres). Sejak itu, bangunan tersebut baru direnovasi lantai dan atapnya saja dengan mengganti asbes dengan genting. Adapun tembok yang terbuat dari batako belum pernah direnovasi.

Agus, pemborong,  mengatakan sebagai pemborong dia hanya bertugas merehab bagian atas dan lantai. "Saya hanya mengganti asbes dengan genting dan mengganti lantai, sedangkan tembok tidak dianggarkan," ujar Agus. (tsm)

Agus tadinya yakin tembok ruangan tersebut tidak akan ambruk. "Temboknya terlihat kokoh tapi ternyata tidak kuat menahan beban genting baru," ujar Agus.

Saat ini, sudah tujuh orang diperiksa oleh Satuan Reserse Kriminal Polresta Bandung Barat terkait peristiwa tersebut. Rencananya, siang ini, Kepsek SDN Sejahtera I Suprio akan diperiksa polisi.(tsm)

SD Sukaraja Tasik Ambruk

Selasa, 25 Agustus 2009 TASIKMALAYA, TRIBUNJabar.co.id – Satu lokal kelas SD Sukaraja III di Kampung Sukamulya, Desa Sukanagalih, Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya, ambruk, Senin (24/8) petang. Tidak ada murid yang terluka karena musibah terjadi saat murid sudah pulang. Dua lokal bangunan lain kondisinya sangat mengkhawatirkan dan sewaktu-waktu bisa ambruk.

           Kelas yang ambruk sudah sejak dua bulan lalu tidak digunakan lagi, karena pihak sekolah khawatir melihat kondisi bangunan kelas itu. Sedangkan dua lokal lainnya yang masih satu atap, masih digunakan untuk kegiatan belajar mengajar (KBM) kelas III dan IV. Namun jika hujan lebat turun atau ada angin kencang, seluruh murid kelas III dan IV terpaksa dibubarkan.

           "Sekitar pukul 09.00 sudah ada tanda-tanda kelas akan ambruk. Yakni dengan munculnya bunyi derak kayu-kayu atap. Kepala Sekolah memerintahkan seluruh murid kelas III dan IV segera keluar," ungkap Engkus, Penjaga Sekolah, yang ditemui Selasa (25/8). Benar saja, sekitar pukul 14.30, satu lokal ruangan yang sudah dikosongkan itu ambruk.

           Tidak hanya kuda-kuda, usuk serta genting yang jatuh berhamburan berhamburan menghempas lantai, tapi dinding tembok terutama yang ditempati kusen juga turut ambruk. Kaca jendela pun berhamburan ke mana-mana. "Saat itu di sekolah sudah tidak ada siapa-siapa. Saya sendiri sedang di rumah jaga. Tiba-tiba dikejutkan oleh bunyi ambruknya bangunan itu," tutur Engkus.

           Untuk sementara, murid kelas III dan IV masing-masing berjumlah 18 dan 24 orang melaksanakan KBM di Mandrasah Nurul Hidayah yang lokasinya sekitar 200 meter dari sekolah. "Kebetulan madrasah itu memiliki dua ruangan, dan untuk sementara murid kelas III dan IV ditampung di sana, karena sekolah sendiri sudah tidak memiliki ruangan lagi," jelas Engkos.

           Kepala SD Sukaraja III, Drs Memed, saat akan dimintai konfirmasinya sudah pulang. Di tempat terpisah, Sekretaris PGRI Kecamatan Rajapolah, Dadang Sudrajat SPd, mengungkapkan, bangunan tiga lokal kelas tersebut dibangun tahun 1979 lalu dan hingga kini tidak pernah direhab.

           "Sebetulanya pada hari kemarin, beberapa saat sebelum ambruk, pihak sekolah tengah membuat ajuan permohonan rehab ketiga lokal bangunan itu. Mereka berkumpul di depan bangunan, menunggu datang tukang foto untuk mengabadikan bangunan yang akan diusulkan itu. Eh, belum juga diambil gambarnya sudah ambruk duluan," kata Dadang.

           Ia menambahkan, tiga lokal bangunan SD Sukaraja III yang memprihatinkan itu, tergolong bangunan SD yang paling parah di Kecamatan Rajapolah. "Karenanya kami mendukung penuh upaya pihak sekolah mengajukan rehab di Dinas Pendidikan Kabupaten. Mudah-mudahan mendapat tanggapan," harap Dadang. (stf)

Bantuan Untuk Sekolah Rusak

Website Kabupaten Pesisir Selatan, Rabu, 14 Oktober 2009

PAINAN, Okt.

           Limapuluh tujuh (57) ruang kelas sekolah yang rusak di Kabupaten Pesisir Selatan pasca gempa 30 September lalu mendapat bantuan dari Gubernur Sumatera Barat H.Gamawan Fauzi sebesar Rp.456 juta.

           Bantuan itu berasal dari berbagai donatur yang memberikan sumbangan melalui Pemerintah Proponsi Sumatera Barat yang oleh gubernur disalurkan untuk biaya pembangunan ruang kelas yang rusak akibat gempa.

           "Kita sudah terima bantuan itu. Dan telah pula disalurkan ke sekolah-sekolah yang rusak. Dalam waktu seminggu kelas yang rusak itu harus siap dengan anggaran  sebesar Rp.8 juta untuk satu kelas", kata Kabid Sarana dan Prasarana Diknas Pesisir Selatan Isman Ismael, BAE.

           Menurut Isman, kelas yang rusak di Pesisir Selatan pasca gempa sejumlah 117 kelas, namun yang benar-benar tidak bisa dipakai lagi sejumlah 57 kelas. Alhamdulillah, kita sudah terima dana itu dari gubernur dan sekarang pelaksanaan pembangunan kelas darurat itu tengah dikerjakan.

           Kelas darurat itu akan mampu bertahan selama 2 tahun menjelang dibangunnya kelas permanen seperti biasa.

           Berbicara soal pendidikan Pesisir Selatan pasca gempa, Isman Ismael menjelaskan sudah normal kembali. Anak-anak sudah pada belajar. Kelas yang rusak akibat gempa, siswa belajar dua shift disekolah itu menjelag kelas darurat selesai.*(sabay).

DPRD Meminta Ada Standardisasi Biaya Minimal Sekolah

Kompas.com, Senin, 7 April 2008

GRESIK, SENIN - Ketua DPRD Gresik Ahmad Nadir meminta ada standardisasi minimal biaya sekolah khususnya menyangkut biaya masuk untuk pendaftaran siswa baru di Gresik. Jika orang tua masih dibebani biaya pendidikan yang tinggi alokasi anggaran pendidikan yang tinggi hingga 20 persen akan percuma. Nadir meminta Komisi D DPRD Gresik berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan dan Dewan pendidikan Gresik untuk menetapkan standar minimal biaya masuk sekolah sesuai dengan kelas sekolah.

Dia tidak melarang sekolah menarik biaya pendaftaraan hingga jutaan rupiah asalkan harus diikuti konsekuensi anggaran untuk pembangunan, pemeliharaan dan operasional sekolah. Selama ini anggaran pemerintah hanya untuk membayar gaji guru. "Percuma saja, APBD untuk pendidikan dialokasikan tinggi, jika dalam kenyataan pihak sekolah masih membebeni orang tua siswa," kata Nadir usai Laporan Keterangan Pertanggungjawawaban Bupati Gresik Robbach Ma'sum.

Selain membuat standarisasi biaya minimal pendidikan, Nadir juga meminta Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Gresik mendata ulang biaya pendaftaran agar bisa dilakukan pengawasan. Tujuannya dinas pendidikan dapat mengontrol sekolah, supaya tidak merugikan orang tua murid.

"Setelah biaya minimal sekolah bisa dirumuskan barulah ditetapkan dalam regulasi untuk diaplikasikan ke masing-masing sekolah. Langkah sekolah menarik biaya tinggi saat ini tidak ada aturannya," kata Nadir.

Ketua Komisi D DPRD Gresik, Syafiqi Mahfudz Zein menyatakan akan memanggil pihak-pihak terkait. Jika memang penarikan biaya penerimaan siswa baru (PSB) di Sekolah Dasar Negeri dikeluhkan akan digelar dengar pendapat. Pihaknya akan meminta penjelasan seputar uang gedung sebesar Rp 2,5 juta dan proses PSB.  

"Ada hal yang kami nilai keliru dan perlu diluruskan yakni saat ini seleksi SD dilakukan ketika siswa TK belum lulus. Seharusnya PSB digelar ketika murid TK sudah lulus, sebagaimana PSB di SMP dan SMA," jelas Syafiqi.

Sementara Anggota Dewan Pendidikan Gresik, Nur Faqih menyatakan pihaknya tengah melakukan survei untuk mencari fotmat standardisasi biaya minimal pendidikan di Gresik mulai dari tingkat sekolah dasar, sekolah menengah pertama hingga sekolah menangah atas dan yang sederajat.

Dia meminta sekolah tidak membebani orang tua siswa dengan biaya sekolah yang mahal. Penarikan biaya harus disepakati Komite sekolah tetapi besarannya tidak bisa dipatok lebih dulu. Tugas pemerintah menyediakan sarana prasarana sekolah bila dinilai kurang bisa diambil dari sumbangan orang tua tetapi besarnya tidak ditetapkan sepihak oleh sekolah.

Menurut dia selama ini Gresik belum memiliki kepastian anggaran pendidikan sehingga menimbulkan variasi biaya pendidikan di setiap sekolah yang memberatkan orang tua. Oleh karena itu harus dicari standardisasi biaya minimal sekolah agar tidak merugikan orang tua. Parameter yang dipakai Dewan Pendidikan Gresik untuk menentukan standar tersebut diantaranya biaya-biaya pokok yang dikeluarkan orang tua sekolah untuk biaya alat-alat sekolah, seragam, hingga prasana sekolah.

Dari berbagai indikator yang ada akan diperoleh biaya minimal yang harus ditanggung orang tua, dan dipilah mana biaya pendidikan yang ditanggung sekolah, pemerintah dan orang tua serta masyarakat. Semua ada standarnya sebab sebenarnya biaya pendidikan itu tanpa batas. "Berapa pun biayanya selalu kurang. Buktinya meskipun ada bantuan operasional sekolah (BOS) dan sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) dihapuskan selalu masih ada tarikan untuk siswa," katanya.

Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Gresik, Chusaini Mustaz mengemukakan penarikan uang gedung mestinya dilakukan pada saat mulai tahun ajaran baru. Hal itu diawali komite sekolah mengajak orang tua untuk menyampaikan kebutuhan pembangunan sekolah. "Kebutuhan masing-masing biaya harus dimusyawarahkan dulu. Sekolah tidak dibenarkan memutuskan sumbangan secara sepihak," jelasnya.

Terkait besarnya tarikan untuk orang tua siswa baru di SD Negeri Sidokumpul II Gresik Anggota Komite Sekolah Abdul Harus Irianto menjelaskan sumbangan uang gedung sebelumnya sudah dimusyawarahkan dengan pihak sekolah. Biaya pembangunan sekolah jika dikalk ulasi mencapai Rp 275 juta diantaranya untuk fasilitas perpustakaan Rp 181 juta, pembuatan taman adiwiyata Rp 25 juta, pengadaan lima unit komputer Rp 5 juta, pemasangan keramik di enam kelas Rp 38 juta. "Setelah dimusyawarahkan tiap satu siswa dikenai sumbangan bervariasi Rp 2 juta hingga Rp 2,5 juta," jelasnya.

Sementara itu pada penerimaan siswa baru SD Negeri Sidokumpul II tahun ajaran 2008/2009 tercatat ada 215 calon siswa dan diterima 105 siswa. Biaya uang pendaftaran Rp 40.000, biaya daftar ulang Rp 1,335 juta, dan sumbangan sarana prasarana minimal Rp 2 juta hingga Rp 3,5 juta. (ACI)            

Dibangun, 160 Kelas dari Bambu

Jum'at, 02 Oktober 2009 SOREANG, (PR).- 

Lihat juga di website kabupaten Bandung ini.

Untuk mengatasi kekurangan tenda, Pemkab Bandung akan mendirikan 160 bangunan kelas darurat dari bilik bambu untuk kegiatan belajar-mengajar (KBM) para murid yang sekolah mereka ambruk diguncang gempa.

"Bantuan tenda peleton untuk sekolah-sekolah darurat memang sudah mulai datang. Nanti sore (kemarin-red.) akan datang 40 tenda peleton dari 60 tenda bantuan dari Unicef," kata Bupati Bandung H. Obar Sobarna di sela-sela kunjungan ke korban gempa di Haurgombong, Desa Jagabaya, Kec. Cimaung, Kab. Bandung, Kamis (1/10).

Ikut dalam kunjungan tersebut, Ketua DPRD Kab. Bandung H. Toto Suharto, Kapolres Bandung Ajun Komisaris Besar Imran Yunus, Dandim 0609 Kab. Bandung Letnan Kolonel Kav. Yanuar Adil, dan sejumlah kepala dinas terkait. Peninjauan tersebut sekaligus survei untuk pelaksanaan praktik kuliah dari mahasiswa akademi militer AD, AU, AL, dan akademi kepolisian mulai 9 Oktober mendatang.

Selain itu, sebanyak 25 tenda peleton yang sudah tidak dipakai oleh pengungsi, akan digunakan untuk sekolah darurat. Meski begitu, kata Obar, kebutuhan tenda untuk sekolah darurat masih belum terpenuhi. Untuk pelaksanaan sekolah darurat di Kab. Bandung, setidaknya dibutuhkan 367 tenda peleton.

Untuk alas duduk, para murid akan menggunakan tenda-tenda bantuan Departemen Sosial (Depsos) yang sudah tidak digunakan lagi oleh pengungsi. "Jumlah tenda yang bisa digunakan untuk alas duduk sebanyak 260 buah, sesuai permintaan Dinas Pendidikan. Namun, kalau ada kekurangan, kita akan kirim lagi," kata Kepala Dinas Sosial Kab. Bandung H. Yoyon Setiawahyono.

Sekolah bilik

Saat meninjau ke SDN Pangalengan 1 dan SDN Pangalengan 2, Obar melihat pelaksanaan KBM di tenda kurang efektif karena jarak antartenda terlampau dekat. Para murid pun harus berdesak-desakkan di dalam tenda. Belum lagi kurangnya cahaya yang masuk meski pada siang hari. "Meski namanya darurat, lebih baik cari lahan yang lebih luas agar jarak antartenda tidak berimpitan," ujar Obar.

Sekolah di tenda juga membuat murid kurang nyaman. "Semakin siang, udara di dalam tenda makin panas sehingga membuat murid tidak bisa konsentrasi belajar," ucapnya.

Untuk itu, ungkap Obar, Pemkab Bandung telah mempertimbangkan untuk memperbanyak sekolah darurat dari bilik bambu. Ia menilai, sekolah dari bilik bambu jauh lebih layak meski ukuran ruangannya sekitar 5 x 5 meter. Di dalamnya bisa dilengkapi dengan meja dan kursi untuk para murid.

"Bahan-bahan bekas reruntuhan, seperti genting, kusen, atau triplek juga masih bisa dipakai sehingga biaya membangun satu sekolah bambu cukup Rp 12,5 juta," tutur Obar saat meninjau sekolah darurat dari bambu di SD Sukalaksana 2, Desa Kertamanah, Pangalengan.

Plt. Kepala Disdikbud Kab. Bandung Juhana mengatakan, ke-160 ruang kelas dari bilik bambu akan dibangun di tiga kecamatan. "Sebanyak 115 kelas di Pangalengan, 33 kelas di Kertasari, dan 15 kelas di Rancabali," katanya. (A-71)***

10 April 2010

PP 11/2010 Penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan Pasal 27, Pasal 34, dan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, hak atas tanah hapus antara lain karena diterlantarkan;
b. bahwa saat ini penelantaran tanah makin menimbulkan kesenjangan sosial, ekonomi, dan kesejahteraan rakyat serta menurunkan kualitas lingkungan, sehingga perlu pengaturan kembali penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar;
c. bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, tidak dapat lagi dijadikan acuan penyelesaian penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar sehingga perlu dilakukan penggantian;

SBY dan Wisata Lumpur

Kompas, Jumat, 9 April 2010

Oleh Subagyo

Beberapa hari lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengunjungi lokasi lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. SBY mengusulkan agar danau lumpur itu dijadikan lokasi wisata geologi.

Namun, SBY hanya bisa mengimbau agar pihak yang berkewajiban (Lapindo Brantas Inc) segera menyelesaikan pembayaran kepada korban tepat waktu.

Sebagian aktivis dan relawan pendamping korban lumpur Lapindo menilai, wisata lumpur adalah gagasan tidak bermutu. Warga korban lebih berharap Lapindo Brantas Inc dan pemerintah segera menyelesaikan masalah sosial yang mereka derita.

Meski sudah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), pelunasan ganti rugi tanah dan rumah yang terendam lumpur pada sebagian besar korban Lapindo belum beres.

Dalam debat calon presiden 2009 yang ditayangkan di televisi, SBY berjanji mengevaluasi kebijakan pemerintah dalam penanganan lumpur Lapindo. Ternyata, setelah jadi presiden, SBY hanya mengamandemen Perpres No 14 Tahun 2007 jo Perpres No 48 Tahun 2008 dengan Perpres No 40 Tahun 2009 yang justru memperingan kewajiban Lapindo dan lebih membebani APBN.

Saya tidak tahu apakah SBY pernah membaca hasil penelitian Tim Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS). Hasil penelitian itu menunjukkan, wilayah sebelah barat danau lumpur Lapindo sangat tidak layak huni sebab kandungan gas hidrokarbonnya (HS) 55.000 ppm. Ambang batas untuk kesehatan maksimum 0,24 ppm.

Sudah ada korban Lapindo asal Kelurahan Siring yang meninggal pada 2008 akibat gas beracun itu, yaitu Soetrisno, Yakup, dan Luluk.

Setahu saya, belum ada satu pun pihak atau lembaga yang meneliti dampak gas beracun lumpur Lapindo, misalnya, berapa jumlah korban yang sakit dan meninggal, sehingga belum ada data untuk acuan. Ini menunjukkan, pemerintah terlalu cuek, tidak bertanggung jawab.

PBB—dalam hal ini United Nations Disaster Assessment and Coordination (UNDAC)—pada Juni-Juli 2006 pernah memantau lumpur Lapindo. Dalam laporannya, UNDAC menulis, meski tak ada informasi lebih lanjut tentang ukurannya, konsentrasi 700 ppm bisa berdampak langsung dan akut pada kesehatan manusia dan berakibat kematian. Gagasan wisata lumpur yang diusulkan SBY

belum didasari data yang benar dan akurat. Memang, jika kita datang ke tanggul lumpur Lapindo, ada ”kreativitas” para korban Lapindo yang jadi pemandu ”wisata lumpur”. Mereka ini sudah lama kehilangan pekerjaan begitu lumpur menghabisi nasib mereka.

Gagasan wisata lumpur harus diteliti dan dikaji lebih jauh, menyangkut keselamatan (kesehatan) rakyat. Gas HS dan lain-lainnya yang merupakan senyawa polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH) sangat berbahaya bagi kesehatan, dan dalam kadar tertentu akan berdampak jangka panjang, berupa kanker.


Negara kalah?

Saat ini yang dibutuhkan para korban Lapindo adalah ketegasan Presiden SBY yang sudah mengambil alih penyelesaian masalah lumpur Lapindo. Namun, bukan dengan gagasan-gagasan muluk yang tidak karuan, apalagi jika malah membahayakan.

Nasib rakyat korban tidak boleh lagi digantung dengan alasan-alasan privat korporasi, seperti kesulitan finansial Lapindo akibat krisis ekonomi global dan susur tembakau itu. Lapindo Brantas Inc adalah anak korporasi Grup Bakrie yang terkenal kebesarannya dan merambah berbagai sektor energi negara ini. Jika nasib korban Lapindo terus digantung dengan alasan-alasan privat seperti itu, ini tanda negara telah kalah dan dikalahkan kehendak korporasi.

Mengapa Presiden tampak lemah, tidak mampu menegakkan Perpres No 14 Tahun 2007 yang dibuatnya sendiri, dengan membiarkan Lapindo mencicil dan mempersulit pembayaran kepada warga korban? Mengapa Presiden tidak menggunakan otoritas

yang dibenarkan secara hukum? Misalnya, dengan mencabut izin Lapindo Brantas Inc serta mengambil alih sumur-sumur gas produktif di Blok Brantas.

Jika Grup Bakrie melawan, Presiden harus bertindak selaku pemerintahan, misal dengan memailitkan demi kepentingan umum. Bersamaan dengan itu, pembayaran kepada korban Lapindo diselesaikan dengan uang negara lebih dulu, mengacu pada saran Badan Pemeriksa Keuangan dalam laporan audit 29 Mei 2007.

Akhirnya, apakah kita akan menjadi turis wisata ketidakberdayaan negara melawan korporasi dan derita rakyat korban? Negara ini sudah dilahap kompeni asing, masa juga disantap kompeni domestik. Capek deh!


Subagyo Advokat dan Pekerja Sosial; Mantan Anggota Tim Investigasi Komnas HAM dalam Kasus Lumpur Lapindo

Gaharu Buatan Balitbang Kehutanan

REKAYASA HASIL HUTAN

Kompas, Jumat, 9 April 2010

Oleh Nawa Tunggal

Bagi awam, kerap kali gaharu dikenal sebagai pohon berkayu wangi layaknya kayu cendana. Padahal, berbeda sama sekali. Gaharu pun sekarang bukan melulu berkah alam tanpa campur tangan manusia karena ditemukan metode produksi gaharu buatan yang tak kalah dengan yang alami.

Di Bogor, Jawa Barat, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kehutanan pada Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan mengembangkan rekayasa produksi gaharu buatan.

Risetnya dimulai sejak tahun 2000. Riset itu menunjukkan keberhasilan dalam waktu satu sampai dua tahun terakhir ini.

Gaharu itu sendiri sebagai hasil persenyawaan enzim jamur tertentu yang menginfeksi kayu jenis tertentu pula. Persenyawaan itu menghasilkan damar wangi yang kemudian dikenal sebagai gaharu.

Kayu yang mengandung damar wangi atau gaharu kategori paling bagus atau kelas super mencapai harga Rp 50 juta per kilogram. Melalui metode penyulingan, gaharu umumnya dimanfaatkan sebagai pewangi.

Kepala Bidang Puslitbang Hutan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan Sulityo A Siran mengatakan, gaharu mulai diendus pula untuk obat herbal berbagai jenis penyakit berat, seperti tumor, kanker, lever, tuberkulosis, dan ginjal.

Soal pepatah, ”Sudah gaharu, cendana pula!”, menurut Sulistyo, itu hanyalah pepatah untuk menguatkan suatu hal. Gaharu beraroma wangi. Tentu akan wangi berlipat-lipat jika gaharu terdapat di kayu cendana yang memang sudah wangi. ”Pada kenyataanya, gaharu tidak pernah berada di kayu cendana,” ujarnya.

Teknik budidaya

Beberapa jenis tumbuhan berpotensi untuk memproduksi gaharu sudah dieksplorasi. Jenis tumbuhan itu meliputi Aquilaria spp, Aetoxylon sympetallum, Gyrinops, dan Gonsystylus.

Berbagai jenis tumbuhan itu tersebar di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Papua. Tetapi, keberadaannya sekarang mulai langka.

Masyarakat juga sulit mengenali jenis tumbuhan tersebut. Salah satu jenis Aquilaria di Kalimantan dikenal dengan nama lokal karas. Keberadaannya mulai jarang dijumpai pula.

Teknik budi daya gaharu dengan cara penginfeksian jamur pembentuk gaharu ke dalam batang pohon potensial. Isolat jamur penginfeksi atau pembentuk gaharu sudah dieksplorasi Balitbang Kehutanan dengan hasil diperoleh dari genus Fusarium dan Cylindrocarpon.

Saat ini diperoleh dari genus Fusarium sebanyak 23 isolat jamur. Empat isolat jamur Fusarium paling cepat menginfeksi kayu berpotensi menjadi gaharu.

”Dalam satu bulan kayu yang diinfeksi dengan keempat isolat jamur tersebut sudah mampu menunjukkan tanda-tanda keberhasilannya,” kata Sulistyo.

Kemudian gaharu buatan itu bisa dipetik pada usia satu hingga tiga tahun. Pohon potensial yang dipilih untuk membentuk gaharu, yang sudah berdiameter lebih dari 15 sentimeter dan usianya di atas 5-6 tahun.

Untuk menyuntikkan isolat jamur penginfeksi, sebelumnya pohon potensial dilukai. Pada bagian pelukaan tersebut, isolat jamur disuntikkan. ”Dalam satu pohon disuntikkan isolat jamur pada 200 sampai 300 titik pelukaan batang,” kata Sulistyo. Dalam pelukaan kemudian terjadi infeksi jamur yang membentuk warna kehitam-hitaman.

Selama tiga tahun, semburat warna kehitaman itu akan menyebar ke atas dalam jarak hanya 3-4 sentimeter saja. Semburat warna kehitam-hitaman pada serat kayu itulah yang disebut gaharu.

Selama ini gaharu alam yang paling bagus disebut gaharu super yang berwarna hitam pekat, padat, keras, mengilap, dan beraroma kuat khas gaharu.

Gaharu super tidak menampakkan serat kayunya. Bentuknya seperti bongkahan yang di dalamnya tidak berlubang.

”Klasifikasi mutu gaharu ditetapkan ada enam. Berturut-turut dari yang paling bagus, yaitu kelas super, tanggung, kacangan, teri, kemedangan, dan cincangan,” kata Sulistyo.

Kelas cincangan merupakan potongan kecil-kecil dari kayu yang terinfeksi menjadi gaharu. Meskipun tidak berwarna kehitaman atau tidak mengandung getah gaharu, kelas cincangan masih menunjukkan aroma khasnya. Biasanya, gaharu ini digunakan untuk pembuatan dupa atau hio.

Dalam proses produksi gaharu buatan, yang sangat penting dikuasai adalah proses pembenihan, persemaian, penanaman, dan pemeliharaan pohon-pohon berpotensi gaharu.

Tidak kalah pentingnya, yaitu tahapan pembentukan isolat jamur yang akan diinfeksikan. Metodenya, meliputi isolasi jamur pembentuk yang diambil dari jenis pohon penghasil gaharu.

Setelah jamur berhasil diidentifikasi kesesuaiannya, kemudian diperbanyak ke dalam media cair atau padat. Isolat jamur hasil perbanyakan pun siap disuntikkan ke pohon berpotensi gaharu.

Gabah Turun Jadi Rp 2.000 Per Kg

Gabah Turun Jadi Rp 2.000 Per Kg

Bulog Diminta Percepat Pembelian
Jumat, 9 April 2010

Semarang, Kompas - Panen raya padi kali ini tidak membuat petani gembira. Harga gabah kering panen dengan kualitas standar di tingkat petani hanya Rp 2.000 per kilogram. Harga itu lebih rendah Rp 640 per kilogram dari harga pembelian pemerintah untuk gabah kering panen.

Oleh karena itu, Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir, Kamis (8/4) di Jakarta, meminta agar Perum Bulog segera menurunkan satuan tugasnya ke lapangan untuk membeli gabah petani. ”Bila tidak, kerugian yang diderita petani akan semakin besar,” kata dia.

Di Jawa Timur, rendahnya harga GKP di tingkat petani karena gabah petani tidak terserap pengusaha penggilingan. Alasannya, dana pengusaha penggilingan macet di pasar.

Pada panen kali ini, rata-rata kadar patahan (broken) beras di sejumlah wilayah di Jatim 25-30 persen. Padahal, Bulog hanya boleh menyerap beras dengan kadar patahan 20 persen.

”Karena tidak bisa dijual ke Bulog, beras dijual ke pasar. Sayangnya, pembayaran di pasar kurang lancar sehingga pengusaha penggilingan tidak punya modal lagi,” kata Winarno.

Akibat tidak ada penyerapan, gabah petani tidak terbeli. ”Saya sudah minta Bank BRI dan Bukopin menambah alokasi kredit pada pengusaha penggilingan agar mereka bisa membeli gabah lagi,” ujarnya.

Ketua KTNA Lumajang Hartono menyatakan, kualitas GKP petani sebenarnya masuk kategori standar karena kadar air 20-25 persen. Namun, GKP dengan kualitas itu dihargai rendah oleh pedagang penggilingan. ”Kerugian petani pada musim panen kali ini besar bila pemerintah tidak segera turun tangan menaikkan harga beras,” katanya.

Dengan menghitung selisih harga jual dengan HPP rata-rata Rp 300 per kg, untuk 1 juta GKP yang tidak terserap akan mengakibatkan kerugian petani hingga Rp 300 miliar.

Pantauan per 7 April 2010 menunjukkan, harga GKP petani di Kabupaten Lumajang, Jatim, Rp 2.300 per kg. Harga GKP di Bojonegoro lebih rendah, Rp 2.000-Rp 2.150 per kg. Di Banten, juga dilaporkan rendah.

Hartono meminta Bulog segera turun tangan. Kalau perlu, mengecek ke perusahaan penggilingan untuk melihat kualitas gabah yang digiling atau turun langsung ke petani.

Melihat rendahnya harga gabah, petani minta pemerintah memperlunak kebijakan penyerapan beras. Kadar broken dikurangi dari maksimal 20 persen jadi 25 persen dan butir hampa dari 3 persen jadi 5 persen.

Menurut Sekretaris Jenderal Dewan Tani Indonesia Anggawira, pemerintah daerah seharusnya tidak tinggal diam melihat harga gabah petani jatuh. Pemda seharusnya memiliki mekanisme untuk menyelamatkan petani.

"Bulog tidak bisa dipaksa membeli beras kualitas rendah, apalagi beras Bulog akan diberikan kepada rakyat miskin dalam bentuk raskin," katanya.

Menanggapi jatuhnya harga gabah di tingkat petani, Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi berpendapat, itu hanya di sejumlah wilayah. Secara umum, rata-rata harga GKP per Maret 2010 masih di atas Rp 2.800 per kg.

"Karena itu harus dicari solusi, apalagi kalau sifatnya lokal,” ujarnya. (MAS/HAN)

Perhutani Memperluas Hutan Pinus

Perhutani Memperluas Hutan Pinus


Selasa, 2 Maret 2010

BANDUNG, KOMPAS - Perum Perhutani berencana memperluas hutan pinus di wilayah Jawa Barat pada 2010 hingga 100.000 hektar dari sebelumnya 60.000 hektar. Perluasan ini guna mendukung peningkatan produksi minyak gondorukem yang ditargetkan meningkat 60 persen, melalui pembangunan pabrik baru di Sukabumi.

Kepala Perum Perhutani Unit III Jabar-Banten Bambang Setiabudi, Senin (1/3) di Bandung, mengatakan, produksi gondorukem pada 2009 sekitar 10.000 ton per tahun. "Pembangunan pabrik gondorukem yang rencananya berlokasi di Sukabumi meningkatkan kapasitas produksi hingga 16.000 ton per tahun," katanya.

Fasilitas pabrik gondorukem di Sukabumi akan ditingkatkan untuk menghasilkan produk turunan gondorukem, seperti bahan cat, campuran bahan kosmetik, dan tinta pena. Saat ini permintaan pasar gondorukem yang berbahan baku getah pinus di dunia sangat besar, seperti ke Eropa, Amerika Serikat, India, dan China.

Pada 2009, dari total produksi getah pinus, sekitar 70 persen diolah menjadi minyak gondorukem, dan 15 persen menjadi terpentin. Permintaan minyak gondorukem dunia tinggi, yakni mencapai 900.000 ton. Namun, karena keterbatasan lahan pinus, Perhutani Jabar-Banten baru mampu memenuhi sekitar 5 persen di antaranya.

Wilayah Jabar, ujar Bambang, berpotensi menjadi salah satu produsen getah pinus karena iklim yang cocok dengan tanaman tersebut. "China juga menjadi salah satu produsen gondorukem, tetapi di sana produksi bisa terhenti apabila musim salju. Dari sisi kualitas, minyak gondorukem Indonesia juga lebih bagus," katanya.

Harga minyak gondorukem di pasar dunia fluktuatif. Pada 2008 harganya hanya 900 dollar AS per ton, tetapi pada 2009 melonjak hingga 1.500 dollar AS per ton. Ini yang membuat Perhutani menilai pengembangan produksi minyak gondorukem cukup prospektif.

Desain ulang hutan

Kepala Humas Perum Perhutani Unit III Jabar-Banten Ronald Suitela menambahkan, pihaknya akan menanam pinus pada lahan kosong dalam program reboisasi, dan mendesain ulang hutan yang kurang produktif. Penghasilan dari getah pohon bisa menjadi solusi jangka panjang pelestarian hutan, sekaligus meningkatkan proyeksi peningkatan pendapatan Perhutani. Hingga kini produksi getah pinus terbesar di Sukabumi, Kuningan, Garut, dan Sumedang.

Keberadaan pohon pinus dengan sejumlah produk turunannya berbeda dengan hutan jati yang selama ini menjadi andalan Perhutani. Pendapatan kayu jati, murni hanya dari kayu. Adapun dari pinus, keuntungan bisa diraih hanya dengan mengambil getahnya, sementara kayunya dipertahankan. Komoditas lain yang potensial diambil getahnya adalah pohon damar untuk produksi minyak kopal (bahan dasar cairan pelapis kertas atau campuran parfum). (GRE)




USUT KORUPSI PERTANAHAN


Jakarta, Rabu, 31/03/10

Kejaksaan Terus Selidiki Dugaan Korupsi Prona 2008

Kamis, 8 Oktober 2009 Indramayu (ANTARA News) - Kejaksaan Negri Indramayu, Jawa Barat terus melakukan penyelidikan kasus dugaan korupsi Prona 2008 yang melibatkan pejabat BPN Indramayu.

Kepala Kejaksaan Negri Indramayu Kusnin SH di Indramayu Kamis mengatakan, semua kasus korupsi akan kami tindak lanjuti seperti Prona 2008, dalam kasus pembuatan sertifikat gratis mestinya masyarakat tidak dipungut biaya kembali karena sudah tersedia anggaran dari pemerintah.

"Anggaran telah disediakan bantulah masyarakat kecil, kasihan mereka harus mengeluarkan uang kurang dari Rp1,5 juta hanya untuk mendapatkan sertifikat, padahal sertifkat tersebut gratis," ujarnya.

Dia menambahkan,korban dalam dugaan kasus korupsi prona 2008, rakyat kecil yang sehari-hari hanya sebagai petani dimana pengasilan mereka terbatas, mestinya pejabat BPN punya hati nurani menginjak daerah miskin bukan menekan bahkan memungut mereka dengan nilai uang hingga milyaran.

Menurut dia, kapan kota penghasil minyak ini akan berubah, kalau korupsi terus merajalela di setiap sektor, kita harus segera hentikan perbuatan jahat mereka, karena merusak dan menghancurkan kemajuan di Indramayu,

Sementara itu Kepala seksi Pidana Khusus Drs Mahfudiyanto SH mengaku, kasus prona sudah masuk ketahap penyelidikan dimana semua pihat yang terlibat dimintai keterangan.

"Kami akan terus berusaha untuk membukitkan dugaan kasus korupsi, yang dilakukan oleh pejabat BPN Indramayu dalam proyek pembuatan sertifikat gratis (PRONA) 2008, semua pelaku akan ditindak tanpa membedakan statusnya," tandasnya.

Ia menambahkan,kejahatan korupsi membahayakan pembangunan di Indramayu, untuk itu kami harus segera mengambil tindakan tegas, supaya mereka jera dan tidak mengulangi perbuatan jahat tersebut, harapan kami semua kasus korupsi dapat diselesaikan di pengadilan dengan hukuman yang setimpal.

H.Dartem seorang warga yang dipungut biaya dalam pembuatan sertifikat gratis mengaku, kecewa setelah mengetahui bahwa tidak perlu mengeluarkan biaya untuk mendapatkan sertifikat tersebut.

"Uang yang harus kami keluarkan kurang dari Rp1,5 juta, uang tersebut terpaksa disediakan karena keinginan tanahnya bersertifikat," ujar Dartem.(*)

Pengunjuk Rasa Tuntut KPK Tuntaskan Korupsi di BPN Sidoarjo

Senin, 04 Mei 2009 JAKARTA--MI: Massa yang menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, Senin (4/5), mendesak dituntaskannya dugaan korupsi Rp24 milliar di Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sidoarjo, Jawa Timur.

Pengunjuk rasa yang mengatasnamakan Lingkar Aksi Berantas Korupsi Indonesia (Labirin) itu terdiri dari berbagai elemen masyarakat, di antaranya mahasiswa, pemuda dan masyarakat antikorupsi asal Jawa Timur (Jatim).

"Kami mendesak KPK segera turun tangan untuk mengusut dugaaan korupsi yang dilakukan Kepala BPN Sidoarjo,"ungkap Kordinator Lapangan (Korlap) Labirin Fauzan ditemui di sela-sela aksi unjuk rasa.

Selain membagi-bagikan selebaran kepada pengguna jalan, unjuk rasa yang dijaga belasan polisi dari Polres Jakarta Selatan tersebut juga dilakukan dengan berorasi di pintu masuk kantor KPK.

"Dugaan korupsi yang dilakukan Kepala BPN Sidorajo itu bermula dari sengketa tanah di Desa Peranti, Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo, seluas 24 hektare antara Puskopkar (Pusat Koperasi Karyawan) Jatim dengan pihak PT Fortuna Harisindo Diantama,"ujar Fauzan.

BPN Sidoarjo kata Korlap Labirin itu, terindikasi berpihak kepada PT Fortuna Harisindo Diantama, karena mengeluarkan kebijakan dengan memberi peta bidang tanah yang disengketakan, tanpa mempertimbangkan riwayat kepemilikan tanah yang disengketakan itu.

"Riwayat tanah itu menunjukkan secara sah dimiliki oleh Puskopkar Jatim. Namun, pihak BPN Sidoarjo terindikasi berpihak pada salah satu pihak bersengketa sehingga tindakan tersebut kami nilai tidak memenuhi rasa keadilan hukum," ujarnya.

Pengunjuk rasa akhirnya membubarkan diri setelah perwakilan mereka diterima anggota KPK. Namun, mereka berjanji akan kembali menggelar aksi unjuk rasa dengan massa yang lebih besar jika KPK tidak merespon laporan mereka.

"Kami akan datang dengan massa yang lebih besar jika KPK tidak merespon laporan tersebut. Kami telah menyampaikan data-data dugaan korupsi tersebut dan jika lima hari tidak ada respon dari KPK, kami akan kembali berunjukrasa," ungkap Korlap Labirin itu. (Ant/OL-01)

Giliran Mantan Kepala BPN Dan Sekda Banyuwangi Ditahan

detikSurabaya, Jumat, 29/08/2008
(Dugaan Korupsi Tanah Lapter)

Zaini


Banyuwangi - Satu persatu tersangka kasus dugaan korupsi lapangan terbang (Lapter) Banyuwangi ditahan. Setelah kemarin Efendi yang berperan sebagai calo dalam pembebasan tanah untuk lapter ditahan, hari ini giliran dua orang yang di tahan pihak kejaksaan.

Mereka adalah Nawolo Prasetyo, mantan Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Banyuwangi dan Sudjiharto, mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Banyuwangi.

Nawolo yang kini masih aktif sebagai kepala BPN Sangata, Kalimantan timur di resmi di tahan pihak kejaksaan, Jumat Pagi (29/8/2008). Setelah itu giliran Sudjiharto yang ditahan. Dengan menggunakan mobil tahanan Kejaksaan Negeri, Nawolo dan Sudjiharto kemudian di bawa menuju Lembaga Pemasyarakatan Banyuwangi di Jalan Letkol Istiklah.

Ketua Satgas Pengusutan Kasus Korupsi Pengadaan Tanah Lapter Mohamad Anwar mengatakan Nawolo berperan sebagai pihak yang melegalisir sertifikat tanah yang diajukan oleh Efendi sebagai calo pembebasan tanah Lapter. Ini berlangsung antara tahun 2003 hingga 2005. "Seharusnya dia bisa memfilter, kan ada aturannya," beber Nawolo.

Sementara Sudjiharto dianggap bertanggung jawab atas pencairan dana yang di gunakan untuk pembebasan tanah untuk lapangan terbang yang berlokasi di Desa Blimbingsari kecamatan Rogojampi. "Dia yang melegalisir, dia juga di panitia anggaran. Kalau dia bisa memfilter maka uang tidak akan cair," jelas Anwar pada sejumlah wartawan di kejaksaan negeri Banyuwangi Jalan Jaksa Agung Suprapto.

Sementara itu penahanan Sudjiharto mendapat reaksi dari kuasa hukumnya, Yun Suryotomo. Menurut pengacara asal Surabaya ini, ada yang tidak sesuai prosedur dala proses penyidikan dan penahanan. Namun sayangnya Yun menolak untuk menjelaskan lebih lanjut.

"Yang pasti kami akan melakukan pra Peradilan dan melaporkan hal ini pada komnas HAM," tegasnya beberapa saat seteah kliennya di bawa menuju Lembaga pemasyarakatan.

Setelah penahanan Nawolo dan Sudjiharto, dari tujuh tersangka yang sudah di tetapkan Kejaksaan Agung hanya tiga tersangka yang belum ditahan yakni, Sugiharto, mantan Kabag Perlengkapan Pemkab Banyuwangi, Suharno Mantan PLT Kepala BPN Banyuwangi serta Sugeng Siswanto Mantan Camat Kabat.

Sementara mantan Bupati Banyuwangi Samsul Hadi, kini sedang menjalani hukuman penjara dalam kasus korupsi pengadaan dok apung. (bdh/bdh)

09 April 2010

Ada Potensi Korupsi di Badan Pertanahan Nasional

Kompas/antikorupsi,org, Jumat, 28 Oktober 2005

Layanan jasa bagi masyarakat di Badan Pertanahan Nasional atau BPN berpotensi menimbulkan peluang pungutan liar (pungli) dan munculnya korupsi. Jumlah pungli dan korupsi bervariasi, bergantung layanan yang diberikan di loket Kantor BPN. Semakin rumit layanan, semakin besar pula jumlah pungli dan korupsi. Demikian temuan yang dipaparkan oleh Direktur Monitor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Roni Irham Maulana di aula Kantor BPN, Jakarta, Kamis (27/10).

Dalam acara tersebut hadir Ketua KPK Taufiequrrahman Ruki dan Kepala BPN Joyo Winoto. Temuan itu merupakan hasil pantauan KPK selama Juli-Agustus 2005 di Kantor BPN Wilayah Jakarta Selatan. Pemantauan dilakukan atas sepengetahuan BPN sehingga, kata Roni, selama pemantauan berlangsung, pegawai BPN menjadi "baik-baik".

Pemantauan dilakukan menggunakan kamera video, observasi langsung, atau wawancara. Temuan KPK antara lain menyebutkan, terjadi kontak langsung antara masyarakat sebagai pengguna jasa dan pejabat "back office", atau di luar loket resmi. Akibatnya, itu berpotensi menimbulkan transaksi di luar layanan sesungguhnya. Dalam jumpa pers,

Taufiequrrahman Ruki menyampaikan, KPK sudah menyelesaikan kajian pelayanan publik di bidang pertanahan. Berikutnya, menyusul bidang imigrasi dan bidang lainnya. Kajian ini dalam upaya meningkatkan pelayanan publik, sebagai bentuk reformasi birokrasi di Indonesia. "Saat ini indeks persepsi korupsi di Indonesia 2,2. Turun dan naiknya indeks ini ditentukan oleh pelayanan publik, seperti kepolisian, pajak, dan sebagainya," kata Ruki. (idr) Sumber: Kompas, 28 Oktober 2005

Diduga Terlibat Korupsi Dana PPAN dan IP4T Rp23 M, Mantan Kakanwil BPN Sumut Diadili

Diduga Terlibat Korupsi Dana PPAN dan IP4T Rp23 M, Mantan Kakanwil BPN
Sumut Diadili

Medan, (Analisa), 26/1/2010

Diduga terlibat korupsi dana Program Pembaharuan Agraria Nasional
(PPAN) dan Inventarisasi Penggunaan Pemanfaatan Pengawasan Pemilikan
Tanah (IP4T) tahun 2008, total senilai Rp23 miliar, mantan Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Negara (Kakanwil BPN) Sumut, Horasman
Sitanggang diadili di PN Medan, Selasa (26/1) .

Sidang perdana dengan majelis hakim diketuai Asmui, tim Jaksa Penuntut
Umum (JPU) di antaranya Juni Hariaman dan Ida Bagus mendakwa terdakwa
dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UURI No.31 tahun 1999 tentang
tindak pidana korupsi (tipikor) jo Pasal 55 ayat (1) KUHPidana.

JPU menuturkan, terdakwa bersama saksi R Jojor Sitorus selaku Kasubbag
Perencanaan dan Keuangan Kanwil BPN Sumut dan Samuel M Simatupang
selaku Kasi Survei Potensi Tanah pada BPN Sumut, diduga melakukan
tindakan korupsi proyek tersebut yang terjadi di 10 kabupaten/kota di
Sumatera Utara.

Dana tersebut ditargetkan mampu mengerjakan 57.674 bidang, namun dalam
pelaksanaannya hanya mampu mengerjakan 46.100 bidang dengan realisasi
anggaran sebesar Rp18.778.028. 038.

Namun pada pelaksanaan pengerjaan proyek di 10 kabupaten/kota
dikenakan biaya pemotongan sebesar tujuh persen dari jumlah dana yang
dikucurkan ke masing-masing kabupaten/kota, termasuk di dalamnya dana
taktis. Sehingga terkumpul dana dari hasil pemotongan sebanyak
Rp562.068.360,.

Dari perbuatan pemotongan dana PPAN 2008, indikasi mark-up biaya
pengukuran dan membuat pertanggungjawaban fiktif pengukuran keliling
desa dan pengolahan data berhasil mengumpulkan dana taktis senilai
Rp2. 319.770.360, di antaranya sekitar Rp1.300.000.000 berada pada
Bendahara pengeluaran Kanwil BPN Sumut, Ruslan SE. Adanya pemotongan
tersebut negara dirugikan sebesar Rp2 miliar. Usai pembacaan dakwaan,
majelis hakim menunda persidangan hingga Selasa depan dengan agenda
pembacaan eksepsi terdakwa. (dn)