29 Desember 2008

Independent candidates win Garut election

The Jakarta Post ,  Jakarta   |  Sun, 12/28/2008

Independent regent candidate Aceng H.M. Fikri and his running mate Diki Chandra have won the second round of voting in Garut regency, West Java, to become the new Garut regent and deputy regent, the local elections commission (KPUD) announced Sunday.

KPUD chairman Mohammad Iqbal Santoso told Antara news agency that Aceng won 535,289 votes, or 55.8 percent of total votes cast.

Aceng beat out Rudi Gunawan and his running mate Oim Abdurochim, backed by the Golkar Party and the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P). Rudi took in 423,263 votes, or 44.2 percent of total votes.

A total of 985,898 votes were cast during the second round of the election, or 62.3 percent of total registered voters.

After the KPUD's announcement, actor and TV host Diki Chandra pledged to leave behind the glitz and glamour of the showbiz world, saying he would do his best to keep the promises he made while campaigning.

Garut is a popular tourist destination in West Java.

11 Desember 2008

Sekolah Lapangan: Kekuatan Ada di Halaman Sendiri

KOMPAS/AUFRIDA WISMI WARASTRI / Kompas Images
Seorang petani memperlihatkan hasil kebun cokelat yang sudah dirawat di Desa Siforrasi, Kabupaten Nias, Sumatera Utara.

Kompas, Selasa, 9 Desember 2008

Oleh AUFRIDA WISMI WARASTRI

Ternyata memang perlu sekolah untuk mengetahui betapa kayanya alam yang dipunyai, dinikmati, dan terutama menghidupi selama ini. Dalam sekolah muncul sebuah kesadaran bahwa dengan perawatan dan pemeliharaan yang baik, alam akan memberi pengembalian yang paling baik pula kepada manusia.

Hal ini dibuktikan oleh warga Desa Siforoasi, Kecamatan Bawolato, Kabupaten Nias. Selama ini semua tersedia melimpah di Desa Siforoasi. Tanaman kakao tumbuh rimbun. Babi, ternak khas Nias, tumbuh gemuk dan bisa disembelih saat pesta atau menjadi investasi untuk mahar dalam perkawinan.

Namun, saat warga Desa Siforoasi, Kecamatan Bawolato, Kabupaten Nias, baik ibu maupun bapak bergabung dalam sekolah lapangan di balai desa setempat, mereka baru sadar bahwa dengan perawatan yang baik, hasil tanaman dan ternak itu akan lebih baik. Ternak dan tanaman akan lebih sehat, manusianya juga lebih sehat.

Sekolah lapangan itu juga mengajak siswa melakukan pendekatan dalam mengolah tanah secara organik.

Hal ini dirasakan salah satunya oleh Nurlida Bawamenewi (27). Empat kali dalam satu minggu selama enam bulan warga Desa Siforoasi itu bersekolah. Dua kali seminggu ibu tiga anak itu belajar bagaimana memelihara babi, dua kali seminggu lainnya ia belajar bagaimana memelihara tanaman kakao atau cokelat.

Di sekolah peternakan, Nurlida belajar dari mencuci kandang babi, memandikan babi, mengidentifikasi penyakit babi, meramu makanan yang sehat untuk babi, hingga menyuntikkan obat ke tubuh hewan tambun itu. ”Selama ini ya kami kasih makan saja ke babi,” tutur Nurlida akhir September lalu.

Ia baru tahu, agar bisa cepat tumbuh, saat masih kecil, gigi babi harus dicopot. Sebelum gigi dicopot, babi harus disuntik vitamin B kompleks, supaya radang gusi cepat sembuh. Gigi babi dicopot supaya babi banyak minum susu induknya dan tidak mengigit induknya.

Selain daun ubi, babi juga perlu diberi makanan tambahan, berupa campuran parutan kelapa dan telur.

Sedangkan di sekolah cokelat ia belajar memelihara tanaman coklat yang selama ini sudah tumbuh di ladangnya. Bagaimana memangkas pohon cokelat supaya hasilnya maksimal, bagaimana memupuk pohon dengan kotoran babi yang sudah diolah, hingga bagaimana mengeringkan biji-biji cokelat supaya hasilnya lebih harum dan punya nilai jual tinggi. Diajarkan pula teknik okulasi.

Bagaimana jika pohon cokelat diserang ulat? Cukup lubang tempat ulat berada disumpal tembakau. Ulat pasti mati.

Kakao

Pulau Nias yang selalu diguyur hujan ternyata juga menguntungkan petani kakao karena tanaman kakao di Nias tak mengenal gugur daun. Produksi terus bisa terjadi.

Cokelat dan babi sudah menghidupi Nurlida dan sekitar 2.500 warga Siforoasi selama hidupnya. Semuanya tumbuh bersama dirinya di seputar pekarangan rumah. Hanya saja selama ini Nurlida dan juga warga Siforoasi tidak tahu bagaimana merawatnya.

Selama ini jebolan sekolah dasar itu mendapatkan ilmu perawatan pertanian dan peternakan dari orangtuanya sebagai sebuah kebiasaan tanpa tahu alasannya. Ketidaktahuan itu sekarang terbuka.

Jika sebelumnya kandang babi hanya sebatas kandang belaka plus bau busuk kotoran babi, sekarang kandang babi selalu bersih diguyur air. Saluran pembuangan air dibuat di setiap kandang babi. Kotoran babi dikumpulkan di belakang kandang untuk dijadikan pupuk tanaman cokelat.

Dua kali sehari Nurlida membersihkan kandang babi. Babi juga ia sikat dua kali sehari. ”Empat bulan saya lakukan itu, babi sehat, cepat besar, makannya banyak, dan tidak bau,” kata Nurlida.

Sedangkan tanaman cokelat yang biasanya tumbuh bersama semak-semak dan penuh dahan- dahan kini terpotong rapi dengan tanah yang bersih. Semak- semak, dahan, dan kulit buah biji cokelat yang sudah dipanen juga tidak dibuang begitu saja. Sampah organik itu ditanam ke tanah untuk dijadikan pupuk.

Nurlida merasakan memang perbedaan babi yang dirawat baik dengan babi yang hanya diberi makan. Meskipun sama- sama gemuk, babi yang tidak dirawat tubuhnya penuh lemak seperti yang selama ini terjadi. Sementara babi yang dirawat baik menjadi gemuk karena tubuhnya penuh daging. Saat ditimbang, babi yang dirawat baik lebih berat dibandingkan babi yang tidak dirawat.

Demikian juga dengan kakao. Tanaman kakao yang dirawat menghasilkan biji kakao yang lebih besar dan berisi. Setiap butir dalam buah kakao menjadi biji yang padat meskipun jumlahnya sedikit.

Heribertus Bawamenewi (26) yang 250 batang kakaonya dijadikan demplot sekolah lapangan menunjukkan perbedaan biji kakao dari tanaman yang dirawat dengan baik dan dirawat seadanya.

Biji kakao yang dipangkas dahannya, disiangi tanahnya, dipupuk organik, hasilnya lebih padat. Sementara yang dirawat ala kadarnya, dipupuk dengan pupuk kimia, justru banyak yang kopong. ”Dulu dalam satu kali panen maksimal 5 kilogram, sekarang ada 12 kilogram,” ujar Heribertus. Biasanya dalam satu ons kakao terdapat 120 biji kakao, sekarang cukup 80 biji kakao.

Sekolah pertanian

Sekolah pertanian itu juga membuat wawasan para peserta meluas. Perlakuan yang sama di sekolah antara laki-laki dan perempuan membuat peserta perempuan lebih percaya diri.

Dalam salah satu pelajaran, seluruh tugas harian bapak dan ibu diinventarisasi. Ternyata ditemukan bahwa pekerjaan seorang ibu lebih banyak daripada pekerjaan bapak. Selain harus mengurus rumah dan makan bagi seluruh keluarga, tanggung jawab merawat kebun dan ternak sejatinya ada pada ibu. Sementara para bapak lebih bertanggung jawab pada hal-hal di luar rumah. Para bapak pun akhirnya tersadar selama ini telah membebani istri mereka dengan banyak pekerjaan.

Mengapa Heribertus, Nurlida, dan warga Siforoasi begitu antusias dengan sekolah pertanian itu? ”Selama ini tidak pernah ada kegiatan seperti ini, kami ini seolah tidak pernah diperhatikan,” kata Kepala Desa Siforoasi Fatulusi Bawamenewi (32). ”Sekolah ini ibarat kail, bukan materi yang kami dapat, tetapi ilmu yang sangat bermanfaat bagi kami,” kata Fatulusi.

Sekolah dimulai pukul 09.00 hingga pukul 15.00 di balai desa. Di Dusun III ada 99 ibu yang ikut kelas ternak dan 99 bapak yang ikut kelas kakao, khususnya di Dusun III. Total 610 petani di Siforoasi, 340 petani perempuan, dan 290 petani laki-laki yang mengikuti sekolah. Sekolah juga mendidik kader-kader petani.

Sekolah yang diselenggarakan sebuah tim kerja sama antara Oxfam dan Pertanian Alternatif Sumatera Utara (Pansu) itu menarik karena mereka tidak hanya berdiskusi, tetapi juga praktik dalam demplot percontohan. Selama enam bulan peserta benar-benar bisa membuktikan perbedaan antara kakao yang dirawat dan yang tidak dirawat serta babi yang dirawat dan yang tidak dirawat.

Para siswa sekolah lapangan itu juga membentuk koperasi. Setiap bulan siswa membayar iuran Rp 10.000. Ada tiga koperasi yang dibentuk di Desa Siforoasi. ”Uangnya sudah bisa dipinjam,” kata Nurlida yang juga kader koperasi itu.

Sayangnya, desa yang masyarakatnya bersemangat itu tidak terfasilitasi infrastruktur yang baik. Desa itu terisolasi oleh Sungai Idanömulö yang lebarnya 60 meter. Tak ada jembatan yang menghubungkan Desa Siforoasi dengan desa tetangga. Untuk mencapai Desa Siforoasi, seseorang harus menyeberang sungai. Kalau banjir, air sungai baru surut setelah lima jam.

”Padahal, dalam seminggu kami bisa menghasilkan dua truk kakao,” kata Fatulusi. Desa berpenduduk 2.500 jiwa itu juga belum teraliri listrik. Tidak ada kendaraan di desa yang terbagi dalam empat dusun itu. Perjalanan ke dusun lain dan desa tetangga harus dilakukan dengan jalan kaki selama dua jam. Petugas kesehatan di puskesmas desa setempat pun hengkang karena tidak betah.

”Kami harus berobat ke desa tetangga sehingga banyak warga kami yang meninggal karena terlambat ditangani,” kata Fatulusi.

Ini yang membuat masyarakat sangat gembira ketika ada lembaga yang membantu daerahnya dan memberi perhatian. Bukankah pemerintah juga punya penyuluh pertanian?

Menurut sejumlah warga, penyuluh pertanian bukan orang pertanian. Selama ini malah sibuk berdagang. ”Tidak ada pejabat yang pernah datang ke desa kami,” kata Fatulusi. Pejabat yang datang pertama kali ke desa itu adalah Kepala Subdin Koperasi Dinas Koperasi Kabupaten Nias T Mendrofa yang harus berjuang menyeberang menembus banjir untuk mencapai desa itu. Ia datang mewakili kepala dinas untuk hadir dalam acara penyerahan sertifikat kelulusan sekolah lapangan sekaligus pendirian koperasi. ”Saya juga baru pertama kali ke sini,” tutur Mendrofa.

Saat masyarakat bekerja giat dan sadar akan kekayaan alamnya dan kini mampu mengembangkannya sendiri, pemerintah ditunggu memfasilitasi infrastruktur.

10 Desember 2008

House bill to upgrade standards for OFW security

The Philippines Times, Dec. 10, 2008

A planned means to raise standards of protection and assistance for migrant labourers moved nearer to becoming a law after it passed the committee level at the House of Representatives.

The proposed measure, which is anticipated to replace House Bills 628, 699, 700, 769 and 4783, earned the approval of the House Committee on Overseas Workers Affairs for plenary deliberations.

In an article in the House of Representatives website, the bill seeks to amend Republic Act No. 8042, otherwise known as "The Migrant Workers and Overseas Filipino Act of 1995."

Under the provisions of the bill, every worker deployed or processed by the Philippine Overseas Employment Administration and any other licensed recruitment agency shall be covered by a compulsory employment liability insurance equivalent to three months of the labourer's wage for every year of his contract.

Furthermore, only reputable private insurance companies registered with the Insurance Commission (IC), duly endorsed by a known accredited association of recruitment agencies and are in existence for at least five years will be qualified to offer the said insurance coverage.

The bill also works on adding three members to the current composition of the Boards of POEA and the Overseas Workers Welfare Administration (OWWA).

The members will come from the women, sea-based and land-based sectors respectively, to be selected and nominated openly by the general membership of the sector being presented.

The process will be kept open, transparent and democratic, according to its pursuers.

It is also said that only non-government organizations that safeguard the welfare and promote the rights of migrant Filipino workers registered and in good name for three years will be the ones eligible to nominate for the board.

09 Desember 2008

Siaran Pers: “Reforma Agraria adalah Pemenuhan Hak Asasi Warga Negara”

Siaran
Pers Bersama Peringatan Hari HAM

Organisasi Pelaku, Pendukung dan Penganjur Gerakan Reforma Agraria

"Reforma Agraria adalah Pemenuhan Hak Asasi Warga Negara"


2008 adalah tahun buruk bagi dunia dan khususnya di Indonesia. Rakyat,
tahun ini dan pada tahun depan terlanggar aksesnya kepada kebutuhan
sandang, pangan, papan, dan kesehatan sebagai akibat dari minimnya
perhatian negara terhadap pemajuan, pemenuhan dan perlindungan hak
asasi petani baik laki-laki maupun perempuan, pembaruan agraria dan
pembaruan desa berkelanjutan, sebagaimana diamanatkan dalam Deklarasi
Final ICARRD (International Conference on Agrarian Reform and Rural
Development – Konferensi Internasional tentang Pembaruan Agraria dan
Pembangunan Desa) tahun 2006.

Sepanjang tahun hingga akhir tahun ini, berita kematian akibat
kelaparan dan gizi buruk tetap merebak. Ambruknya sistem keuangan
dunia, dalam waktu singkat telah membuahkan kematian seorang perempuan
yang depresi akibat harga kelapa sawit yang diagung-agungkan
pemerintah melonjak jatuh, sementara pemerintah sibuk menutupi
lobang-lobang kebobrokan sistem perbankan Indonesia, tanpa pernah
belajar dari krisis 1997-1998, bahwa perekonomian nasional yang hanya
bisa terselamatkan oleh sektor informal (kaum miskin kota) dan
pertanian subsisten di pedesaan.

Pemerintah dan Parlemen harus mengambil langkah konkrit untuk menjawab
masalah krisis hari ini dengan mengeluarkan kebijakan dan program yang
mampu menjamin kelangsungan ketersediaan pangan, daya beli masyarakat,
dan jaminan bagi petani untuk dapat terus bekerja. Krisis hari ini,
khususnya krisis pangan tidak bisa dijawab hanya dengan himbauan.
Laporan anggota Dewan HAM PBB, dan deliberasi PBB jelas mengarah pada
desakan agar pemerintah berani menyediakan sumber daya bagi masyarakat
untuk dapat memperbaiki kebijakan yang salah mengenai pangan. Begitu
juga, Dewan HAM PBB mendesak pemerintah untuk tidak
begitu saja mengubah tanaman pangan menjadi energi bagi industri, dan
mendesak pemerintah memelihara keragaman pangan. Indonesia sebagai
anggota Dewan HAM PBB adalah bagian dari tanggungjawab itu.

Kami menuntut pemulihan hak konstitusi yang terkandung dalam pasal 28
UUD 1945, yaitu untuk melindungi diri dari tindakan yang melanggar hak
asasi manusia yang dilakukan oleh pihak negara atau pihak bukan negara
(termasuk pihak korporat) yang telah melindas segala bentuk keragaman
ekonomi rakyat. Dan dalam peringatan 60 tahun Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia, bersama dengan seluruh kalangan masyarakat dunia, kami
menyerukan bahwa manusia adalah ukuran terpenting globalisasi dan
kesejahteraan petani baik laki-laki maupun perempuan adalah tolak ukur
pembangunan pedesaan. Dan Reforma Agraria yang sejati, yang tidak
semata-mata mengatur hubungan manusia dengan tanah tetapi mengatur
hubungan antar manusia dengan ekosistem di atas tanah, merupakan jalan
bagi terwujudnya kesejahteraan petani dan pembangunan desa yang
berkeadilan bagi semua.

Untuk itu kami menyerukan agar pemerintah mengambil peran dalam
tatanan dunia sesuai cita-cita bangsa/pembukaan UUD 1945 dan memenuhi
tanggungjawab kepada warganya. Segala bentuk pelanggaran hak-hak
ekonomi sosial dan budaya akan kami sertakan dalam laporan 2008 kami
kepada Dewan Ekonomi, sosial dan budaya, maupun mekanisme di PBB
lainnya.

Kini setelah 68 Tahun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, saatnya
diwujudkan Kovensi Internasional Hak Asasi Petani dan pengadilan bagi
pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, serta saatnya
pengadilan untuk TNCs yang melakukan pelanggaran HAM berat

Jakarta, 09 Desember 2008

Hormat
Kami

IHCS (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice)
Bina Desa Sadajiwa
SPI (Serikat Petani Indonesia)
KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria
WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia)
SNI (Serikat Nelayan Indonesia)
Sains (Sajogyo Institute)
Dewan Tani Indonesia

Nb:
Kontak Person

Gunawan (Sekjend Komite Eksekutif IHCS)
081584745469

Jl. Kokar-AD No. 43 RT 12 RW 15 Menteng Dalam
Tebet Jakarta Selatan
www.ihcs.or.id

Tina Napitupulu (Staf Advokasi dan Kajian Bina Desa)
Jl. Saleh Abud 18-19 Otista Jakarta Timur 13330
www.binadesa.or.id

Agus Ruli A (Kepala Departemen Politik, Hukum, dan Keamanan SPI)
081585138077
Jalan mampang Prapatan XIV No 5 Jakarta Selatan
Telp. 021 -7991890 Fax 021 7993426
www.spi.or.id

05 Desember 2008

Intensive farming brings rewards

Trisha Sertori ,  Contributor ,  Gianyar   |  Thu, 11/27/2008

Hundreds of farmers across Bali and other parts of Indonesia are yielding bumper rice harvests from minimal seed use thanks to a revolutionary planting method.

The method allows for a 50 percent increase in harvest using just one 10th of the normal seed planted, virtually no chemical fertilizers and little water.

The System of Rice Intensification, or SRI, was first developed in Madagascar in the 1980s and has since been introduced to 36 nations across the globe, including major rice growers, China and Thailand.

Convincing local farmers that if they plant just five kilograms of seed over a hectare instead of the standard 50 kilograms of seed they will almost double their yield was hard work, say SRI adherents and trainers I Made Chakra, Made Warsa, Wayan Balik and Ketut Murjana.

Today across Bali, 32 subak, or water management organizations comprising hundreds of farmers, are applying SRI with an additional 40 farmers seeking training in the method.

"That's the problem with SRI -- it seems too good to be true. How can you plant just five to seven kilograms of rice instead of 50 kilograms and double the yield and have higher quality grains with fewer empty husks? But once farmers have tried the system they are convinced," said Warsa, who has been using SRI for the past four growing seasons and is now an SRI trainer.

A farmer measures the greater distance between single-seed planted SRI rice. (JP/J.B. Djwan)A farmer measures the greater distance between single-seed planted SRI rice. (JP/J.B. Djwan)

In conventional rice planting, 15 seedlings are planted at 15 centimeter intervals into flooded fields. With SRI, just one seedling is planted each 30 centimeters into muddy fields using organic fertilizers instead of chemical fertilizers.

On of the SRI trainers, respected organic farmer I Made Chakra, said the greater distance between seedlings allowed for better airflow where the single seedlings were not competing for soil nutrients.

This allowed the seedlings to grow heavier grain heads with higher productivity.

Young SRI farmer and trainer Wayan Balik said when he first saw the system he was skeptical, but willing to test the method on a small plot of land while still farming rice conventionally on the bulk of his land.

"I was very nervous about trying the system. I could not afford for it to be a failure, but I felt I had to test it for myself. The neighboring farmers all said I was crazy and that made me even more nervous," he said.

"But once I saw the seedlings growing so well I was very happy and relieved. The farmers around me have not actually joined SRI, but I have noticed they now plant just three seedlings at 30 centimeters apart."

Balik now uses SRI across his entire farm and is keen to lease additional land to increase his crop, protecting Bali's farmlands in the process.

"What I see is a lot of young people don't want to take over the family farms. A friend of mine is too old to continue farming and his kids don't want to be farmers.

"I would like to lease their land. That would give us all an income and protect the land from being sold," said Balik.

SRI farmers, (left to right) Ketut Murjana, Made Warsa, Wayan Balik and I Made Chakra examine organically fertilized soil ready for SRI planting. (JP/J.B. Djwan)SRI farmers, (left to right) Ketut Murjana, Made Warsa, Wayan Balik and I Made Chakra examine organically fertilized soil ready for SRI planting. (JP/J.B. Djwan)

Less rice is being produced annually on Bali, with more land sold and less available water for conventional rice farming.

Murjana, after seeing SRI in action, turned his entire crop over to the new system a year ago.

"I had seen SRI and I knew it worked. I had no fear applying this farming technique across all my rice fields. We (SRI farmers) are all going organic. We might as well, as chemical fertilizers are expensive and hard to find," Murjana said.

"With SRI, the grains are very healthy with few empty husks. I took 41 kilograms of rice to the miller and after milling I had 33 kilograms. That is a lot. You get much less milled rice if there are a lot of empty husks, which is what happens in conventional plantings."

With conventional rice production, almost 50 percent of the harvest weight is lost in the milling process. Under SRI, however, farmers lose just 25 percent of harvest weight during milling.

The rise in rice harvests along with massively reduced seed and fertilizer costs through SRI is allowing farmers the capital to expand their holdings and plant out more fields, generating further income and making rice farming more viable.

"SRI farming is viable and I don't need to sell my land, but can instead add to it. Farming is still very tough, but there is no way I would sell my land," said Warsa.

He said as farmers discover the benefits of SRI, it may help prevent the ongoing loss of arable lands to villas and hotels across Bali.

Other benefits of the system are that women and children readily learn the planting technique, according to Balik.

"This means that instead of having to employ outside help to plant, whole families work together in the rice fields, so money is saved there as well," said Balik.

Murjana agreed, adding there was less physical stress on the back with SRI, despite requiring greater work in planting and weeding the immature plants.

The greater workload is the only drawback to SRI seen by these farmers. But all agree the added work is well repaid in increased harvests, reduced fertilizer and seed costs and minimal water use.

"There is a message to the government in all this. The government needs to support farmers so their quality of life improves and they continue to grow the rice Indonesia needs," Balik said, pointing out that Indonesia has increased its annual import levels of rice, an issue hundreds of farmers across the archipelago believe needs to be seriously addressed.

18 Oktober 2008

Hak Asasi Manusia: Reforma Agraria Mendesak Dilaksanakan

Sabtu, 18 Oktober 2008

Jakarta, Kompas
- Kondisi petani yang terus dirongrong kemiskinan dan perlunya kemandirian pangan menjadi alasan mendesaknya pelaksanaan reforma agraria. Hal itu dapat dilihat dari terus naiknya jumlah petani gurem di Indonesia.

Mengutip hasil sensus pertanian, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria Usep Setiawan mengatakan, sejak tahun 1983, 1993, hingga 2003, jumlah petani gurem di Indonesia semakin meningkat. Pada tahun 1983 tercatat jumlah keluarga petani gurem mencapai 9,4 juta. Jumlah itu meningkat menjadi 10,7 juta rumah tangga tahun 1993 dan kembali meningkat menjadi 13,3 juta rumah tangga petani tahun 2003.

Dihubungi hari Kamis (16/10), Usep Setiawan mengatakan reforma agraria menjadi penting untuk memudahkan petani mengakses tanah. ”Dan itu berimplikasi pada kesejahteraan mereka,” kata Usep.

Lebih jauh, implikasi dari langkah itu adalah penguatan ketahanan pangan nasional. Menurut Usep, kedaulatan pangan dapat diraih jika kemandirian pangan dicapai. ”Reforma agraria menjadi jawaban atas persoalan itu. Petani memiliki tanah, lahan-lahan pertanian terpelihara sehingga perluasan lahan pangan terjadi. Itulah strateginya, kesejahteraan petani dan kemandirian pangan,” kata Usep lagi.

Namun, untuk itu perlu dukungan politik yang kuat dan ketegasan Presiden. Hanya saja, sejauh ini, Usep menilai, pemerintah kurang berani mengambil risiko mengganggu pemilik lahan besar atau investor.

Usep mengatakan, sering terjadi kriminalisasi terhadap petani yang menggugat tanah ulayat yang diambil oleh pemodal. Terakhir, bentrokan antara aparat dan petani terjadi di Takalar, Sulawesi Selatan.

Bentrokan terjadi ketika petani menuntut kembali tanah ulayat yang telah dikelola PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIV. Ia berharap kriminalisasi terhadap petani dihentikan.

Hal senada diungkapkan Koordinator Kontras Usman Hamid. Ia meminta Kepala Polri Bambang Hendarso Danuri segera bertindak tegas terhadap polisi yang menembak warga ketika peristiwa itu terjadi.

Menurut Usman, polisi sebaiknya bersikap netral dan mengutamakan warga petani. Selain itu, Usman juga berpendapat Badan Pertanahan Nasional harus mengembalikan tanah ulayat kepada warga agar warga tidak selalu berhadapan dengan aparat.

”Jika tidak, petani dan warga terus menjadi korban yang rentan terhadap kriminalisasi,” kata Usman. (JOS)

17 Oktober 2008

LAND REFORM AGENDA

The Jakarta Post, Friday, October 17, 2008

Thousands of farmers from throughout the country stage a rally on Jl. Sudirman, Jakarta, on Thursday. The protesters demanded the government reform land ownership laws and regulations during the demonstration, which also commemorated World Food Day. (JP/J. Adiguna)

Jatuhnya Harga sawit; Cerita Manis Itu Kini Berubah Duka

Kompas, Jumat, 17 Oktober 2008

SYAHNAN RANGKUTI

Anjloknya harga sawit sampai Rp 300 per kilogram dari harga sebelumnya mencapai Rp 2.000 per kg telah membuat petani, terutama petani swadaya (yang tidak memiliki kerja sama dengan perkebunan besar BUMN maupun swasta), babak belur.


Bahori (23) masih bisa tersenyum. Walau senyum itu kecut. Sesekali ia juga tertawa, tetapi ketawa itu pun sumbang. Ketika dijumpai di areal kebun kelapa sawit miliknya, ia baru saja menjual hasil panen tandan buah segar sawit sebanyak 1 ton.

Selasa, menjelang senja, ia sendiri saja di tengah kebunnya seluas 2 hektar di Desa Sialang Jaya, Kecamatan Rambah, Kabupaten Rokan Hulu, Riau—sekitar 200 kilometer dari Pekanbaru.

Dengan harga tandan buah segar (TBS) sekarang ini yang hanya Rp 300 per kilogram, ayah seorang bayi itu tentunya mendapat penghasilan Rp 300.000. Tetapi, tunggu dulu. Hitungan matematis itu belum putus. Bahori harus mengeluarkan uang Rp 50.000 untuk upah melangsir (membawa TBS dari kebunnya ke pinggir jalan besar dengan menggunakan kendaraan berpenggerak empat roda). Dia juga harus mengeluarkan uang Rp 300.000 untuk membayar upah tiga pekerja harian masing-masing Rp 100.000 untuk memanen selama dua hari. ”Saya nombok Rp 50.000. Namun, apa boleh buat. Saya memilih untuk tetap memanen karena kata orang, kalau tidak dipanen, nanti pohon sawit rusak dan tidak mau berbuah lagi,” kata Bahori.

Untuk menutup utang, Bahori kembali ke profesi lama, yaitu menjadi buruh di kebun orang lain. Sepanjang Selasa itu dia bekerja di kebun orang. Upahnya Rp 60.000 sehari. Alhasil, setelah membayar utang Rp 50.000, penghasilan bersihnya hari itu hanya Rp 10.000.

Syaifudin yang memiliki kebun seluas 5 hektar juga senasib dengan Bahori. Hari itu ia mempekerjakan enam orang untuk panen sebanyak 2 ton. Padahal, masih ada 2 ton lagi TBS siap panen.

”Biarlah 2 ton lagi itu tetap dipohonnya sampai panen dua minggu lagi. Mana tau harga bisa membaik. Kalau pohonnya mau rusak, biarlah. Asal jangan seluruhnya,” kata Syaifudin.

Syaifudin mengatakan, ia mendapat uang Rp 600.000 dari panen sebanyak 2 ton. Namun uang itu langsung dipotong Rp 240.000 untuk upah empat buruh angkut TBS ke tempat penumpukan dan Rp 140.000 lagi untuk upah dua pendodos (pemetik buah dari pohon). Pendapatannya masih berkurang lagi karena harus membayar upah melangsir dengan mobil Rp 100.000. Artinya, penghasilan bersih hari itu sebesar Rp 120.000 untuk hasil panen sebanyak 2 ton.

”Sebelum harga anjlok, biasanya saya mendapat uang minimal Rp 4 juta dari sekali panen. Dalam satu bulan panen dua kali atau Rp 8 juta sebulan. Sekarang ini hitung saja pendapatan saya,” kata Syaifudin.

Tentang upah melangsir yang mahal lebih disebabkan buruknya kondisi jalan ke perkebunan petani.

Tidak mengherankan bila biaya untuk mengangkut satu ton TBS dari kebun ke pinggir jalan yang berjarak sekitar 1 kilometer, petani harus membayar Rp 50.000 atau Rp 50 per kilogram.

Di sebuah desa eks transmigrasi, biaya transportasi bahkan mencapai Rp 200 per kilogram atau Rp 200.000 per ton. Hal itu disebabkan jalan hancur dan jaraknya lebih dari 5 kilometer.

Namun tidak semua jalan ke perkebunan petani di Rokan Hulu, begitu buruk. Di sebuah tempat tidak jauh dari kota Pasirpengarayan, ibu kota Kabupaten Rokan Hulu, jalan menuju perkebunan seorang kuat di Rokan Hulu ternyata diaspal hotmiks dengan lebar 12 meter.

Cerita manis pemilik kebun sawit di Riau tersebut saat ini sudah berubah menjadi cerita duka. Harga TBS Rp 300 per kilogram, menurut Ardiman Daulay, Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Cabang Rokan Hulu, sama seperti kondisi 12 tahun lalu saat menjelang krisis moneter melanda Indonesia tahun 1997. ”Dulu sebelum krismon, harga sawit memang Rp 300 per kilogram, tetapi harga-harga barang masih jauh lebih murah dibandingkan sekarang. Waktu itu harga beras masih ada yang Rp 1.000 per kilogram. Pada saat krismon dahulu, petani kami justru menikmati hasil karena harga sawit naik menjadi Rp 800 sampai Rp 1.000 per kilogram. Sekarang ini petani sawit yang mengalami krisis,” kata Daulay yang memiliki 2.500 anggota dengan lahan 118.000 hektar.

Menurut Daulay, bukan hanya petani yang mengalami krisis. Pedagang pengumpul mengalami nasib sama. Kusno, seorang tauke sawit (sebutan untuk pedagang pengumpul), sudah meminta keringanan kepada Bank BRI setempat untuk menunda pembayaran cicilan utangnya.

Sebelum harga anjlok, Kusno meminjamkan uang kepada petani, nilainya Rp 200 juta. Ini biasa dilakukan toke sawit agar petani mau menjual buah kepada mereka. Seluruh uang berasal dari pinjaman di Bank BRI. Sekarang ini seluruh piutang Kusno tidak dapat ditagih, karena petani peminjam tidak mampu membayar. ”Kalau BRI tidak bersedia menunda cicilan, rumah Kusno akan segera disita bank,” ujar Daulay.

Menurut Daulay, petani dari Desa Tandun sampai mencoba bunuh diri, meminum obat serangga, karena dililit utang Rp 200 juta di bank dan tidak dapat membayar. Untungnya, niat bunuh diri cepat ketahuan keluarganya dan si petani dapat diselamatkan.

Krisis sawit seperti musim kemarau yang merontokkan segala sesuatu. Empat hari lalu, empat sepeda motor ditarik dealer karena petani menunggak cicilan. Lalu, dua pabrik kelapa sawit di Rokan Hulu, yaitu di Desa I, Ujung Batu, dan Petapahan, terpaksa pula ditutup karena cadangan CPO pabrik belum terjual.

Krisis keuangan global kali ini, eksesnya ternyata menjalar tanpa ampun kepada petani kecil. Sayangnya, 80 persen dari 2.500 anggota Apkasindo Rokan Hulu merupakan petani kecil dengan lahan rata-rata 2 hektar.

”Yang kami harapkan, pemerintah mau minta perbankan menunda pembayaran cicilan petani. Kalau tidak, akan lebih banyak petani sawit yang stres atau gila,” kata Daulay.

16 Oktober 2008

Peringatan Hari Pangan se-Dunia Diwarnai Demonstrasi

Demo petani dan mahasiswa di Kendari.

16/10/2008

Liputan6.com, Kendari: Peringatan Hari Pangan se-Dunia yang jatuh Kamis (16/10) ini diwarnai unjuk rasa petani dan mahasiswa di berbagai daerah. Di Kendari, Sulawesi Tenggara, para petani dan mahasiswa berunjuk rasa di Alun-Alun Kota Kendari.

Mereka mengecam kebijakan pemerintah setempat yang mengizinkan investor asing mengkapling lahan pertanian untuk keperluan pertambangan. Setelah itu para pengunjuk rasa mendatangi Kantor Badan Pertanahan Nasional menuntut pembatalan izin pengelolaan lahan pertanian untuk keperluan tambang.

Para mahasiswa di Solo, Jawa Tengah berdemonstrasi menentang politisasi pertanian. Para mahasiswa juga mengecam partai politik tertentu yang menggalakkan penanaman padi Supertoy atau bibit padi lainnya yang akhirnya merugikan para petani. Mahasiswa juga menolak impor beras yang berlebihan yang menyebabkan harga beras produksi dalam negeri terpuruk.

Sementara di Jakarta, ratusan orang dari berbagai kelompok organisasi petani berunjuk rasa di depan kantor Badan Usaha Milik Negara di kawasan Monas, Jakarta. Mereka menuntut pembaruan agraria bagi kaum tani di seluruh Indonesia. Mereka menilai selama ini para petani tidak banyak mendapat keuntungan karena pembaruan agraria belum menjadi prioritas [baca: Petani Menuntut Pembaruan Agraria].(IAN/Tim Liputan 6 SCTV)

Petani menuntut pembaruan agraria

16/10/2008

Liputan6.com, Jakarta
: Ratusan orang dari berbagai kelompok organisasi petani berunjuk rasa di depan Kantor Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di kawasan Monas, Jakarta, Kamis (16/10). Mereka mereka menuntut pembaruan agraria bagi kaum tani di seluruh Indonesia.

Para pengunjuk rasa juga menilai para petani tidak banyak mendapat keuntungan selama pembaruan agraria belum menjadi prioritas. Mereka juga mendesak dicabutnya sejumlah peraturan yang dianggap menghambat kemajuan para petani. Para penunjuk rasa menunding monopolistik perusahaan swasta menjadi salah satu penyebab belum sejahteranya kaum tani. Aksi yang berlangsung sejak pagi tadi hingga siang ini masih berlangsung.(IAN/Tim Liputan 6 SCTV)

LSM: Pemerintah Agar Berlaku Adil Kepada Petani

16/10/08

Jakarta, (ANTARA News)
- Ribuan aktivis LSM di Jakarta, Kamis, turun ke jalan menggelar aksi demonstrasi sekaligus memperingati Hari Pangan Sedunia dan menyerukan aspirasi agar pemerintah benar-benar berlaku adil kepada petani di Indonesia.

Menurut Ketua Koalisi Anti Utang (KAU), Dani Setiawan, peserta demo memang lebih banyak berasal dari aktivis yang berkecimpung di bidang pertanian dan lingkungan.

Di antara para peserta demo, antara lain terdapat LSM Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Serikat Petani Indonesia (SPI).

Selain itu, terdapat juga elemen lainnya dari buruh dan mahasiswa, seperti Aliansi Buruh Menggugat (ABM) dan Front Aksi Mahasiswa (FAM).

Para pengunjuk rasa menuntut adanya pembaruan atau reformasi di bidang agraria yang merupakan amanat dari konstitusi RI.

Aksi yang memiliki tema "Wujudkan Kedaulatan Pangan dan Hak Asasi Petani dengan Melaksanakan Agenda Reforma Agraria" itu mendesak agar pemerintah menata ulang restrukturisasi kepemilikan tanah yang lebih berpihak, antara lain kepada kaum tani dan rakyat kecil.

Menurut LSM tersebut, bila agenda tersebut tidak dijalankan maka dicemaskan akan membuat pondasi perekonomian menjadi melemah antara lain karena adanya akumulasi monopoli penguasaan tanah dan juga terjadinya konflik pertanahan yang berlarut-larut.

Unjuk rasa serupa juga diagendakan dilakukan di sejumlah daerah lainnya di Tanah Air, seperti di Medan, Lampung, Bandung, Yogyakarta, dan Makassar.

"Aksi tersebut merupakan bagian dari rangkaian Pekan Aksi Global Melawan Utang dan Lembaga Keuangan Internasional pada tanggal 13 - 18 Oktober yang dilaksanakan serentak di seluruh dunia," kata Dani.

Demonstrasi yang dilakukan di depan Kantor Kementerian Negara BUMN di Jalan Medan Merdeka Selatan tersebut menimbulkan efek kemacetan parah di sekitar kawasan Monumen Nasional dan Jalan MH Thamrin.(*)

COPYRIGHT © 2008

Serikat Petani Gelar Unjukrasa Menuntut Pembaruan Agraria

16/10/08

Jakarta (ANTARA News)
- Ratusan orang dari Serikat Petani Indonesia (SPI) menggelar unjukrasa menuntut dilaksanakannya pembaruan agraria, dengan meredistribusi lahan-lahan produktif untuk para petani kecil.

"Ini semua penting untuk mewujudkan kedaulatan pangan di tengah krisis pangan dan keuangan yang sedang menghantam dunia," kata Ketua Umum SPI, Henry Saragih, yang bersama massa berdemo di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Rabu, dalam rangka memperingati Hari Pangan Dunia 16 oktober.

Menurut dia, program ketahanan pangan yang digagas World Food Summit 1996 serta Gerakan Petani Internasional dengan pertanian masif, monokultur, berorientasi ekspor dan padat modal tidak akan berhasil.

Sebaliknya, pertanian kecil berbasis keluarga, polikultur, berorientasi memenuhi kebutuhan pangan lokal dan padat karya justru akan memecahkan masalah mendasar pertanian dan pangan, sekaligus kemiskinan, ujarnya.

"Dalam kurun waktu 10 tahun sejak berdiri 1998, SPI telah mengubah perkebunan besar dan lahan subur yang tidak digarap menjadi tanah rakyat dan dikuasai secara adil untuk memenuhi kebutuhan pangan," katanya.

Pada 2007-2012, lanjut dia, pihaknya berencana melaksanakan reforma agraria sejati dan mewujudkan 200 ribu hektar lahan produktif untuk petani kecil berbasis keluarga di seluruh Indonesia.

Massa yang hadir terlihat duduk-duduk kelelahan di sepanjang jalur hijau Jl Medan Merdeka Selatan dengan pakaian bermacam-macam, termasuk ibu-ibu yang menggendong anaknya. Sejumlah bus dan mini bus terlihat terparkir di sisi-sisi jalan dan menyebabkan kemacetan.

Beberapa pemuda menyebarkan brosur dan berorasi. Beberapa mengaku dari Komite Bersama Peringatan Hari Tani Nasional 2008. Para pedagang kaki lima tidak melepas kesempatan untuk datang berjualan di tengah kerumunan massa. (*)

COPYRIGHT © 2008

Ratusan Petani Protes Keadilan di Depan Istana Merdeka

16/10/08

Jakarta (ANTARA News)
- Ratusan demonstran dari gabungan petani mendatangi Istana Merdeka Kamis pagi dengan berjalan kaki maupun menggunakan beberapa mobil bak terbuka yang dilengkapi dengan pengeras suara.

Massa demonstran membawa sejumlah spanduk dan pamflet yang antara lain menuntut adanya perlakukan adil terhadap para petani termasuk meminta dilakukannya "landreform".

Lalu lintas di sejumlah jalan sekitar kawasan Monas, Jakarta Pusat Kamis sekitar pukul 10.00 WIB tersendat akibat aksi demonstrasi para petani yang hendak menuju depan Istana Merdeka.

Lalu lintas di sekitar Jalan Merdeka Selatan tersendat karena terhalang massa demonstran yang memadari satu jalur dari tiga jalur di Jalan Merdeka Selatan.

Kemacetan juga terjadi di depan bundaran Patung Tani dan Jalan Medan Merdeka Timur.

Meski demikian arus lalu lintas di Jalan M.H Thamrin menuju arah Medan Merdeka Barat masih lancar.(*)

COPYRIGHT © 2008

15 Oktober 2008

Teknologi Pertanian: Dengan ATP Atasi Kemiskinan

Kompas, Rabu, 15 Oktober 2008

Yuni Ikawati

Kembali ke kampung halaman untuk menghindari konflik di daerah transmigrasi, para eks transmigran asal Jawa Barat menghadapi ancaman lain, yakni kemelaratan. Menjadi warga terpinggirkan di daerah asalnya, mereka ditempatkan di kawasan perbukitan yang terisolasi, kurang subur, dan rawan longsor di Cianjur Selatan.

Untuk melepaskan mereka dari jerat kemiskinan, Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Cianjur menjalin kerja sama dengan Kementerian Negara Riset dan Teknologi memperkenalkan sistem pertanian terpadu berbasis teknologi tepat guna.

Cita-cita para transmigran mencari kehidupan lebih baik di tanah seberang telah tercapai ketika mereka berhasil menjadi petani sukses dan beranak-pinak. Namun, nasib baik rupanya tidak lama berpihak pada warga transmigran di Nanggroe Aceh Darussalam, Lampung, Kalimantan Barat, dan Maluku.

Konflik berdarah di daerah- daerah pada pasca-reformasi mendorong mereka—termasuk para transmigran dari Jawa Barat—berangsur-angsur kembali ke desa asalya, mulai tahun 1997.

Namun, di kampung halaman, mereka kembali ke titik nol, ibarat putaran roda pedati, kini mereka di titik terbawah. Mereka berjumlah 3.000 kepala keluarga, menjadi warga kelas bawah di lahan marginal.

Dengan lahan seluas 8.000 meter persegi yang diberikan kepada tiap kepala keluarga di desa Koleberes, Kecamatan Cikadu, mestinya mereka sudah dapat bangkit dari keterpurukan. Namun, ternyata lahan yang ada —seluas 25 hektar—tidak tergolong subur. ”Padahal pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, daerah itu merupakan bagian dari sentra perkebunan teh di Jawa Barat, yang terbesar di Asia,” ungkap Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman dalam kunjungan kerjanya ke daerah relokasi, 7-8 Oktober 2008. Daerah itu kemudian dijadikan agrotechno park (ATP).

Ketidaksuburan kawasan perbukitan itu dibuktikan dengan hasil penelitian Sutardjo, Kepala Bidang Tanaman Perkebunan dan Kehutanan Pusat Teknologi Pertanian Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Penelitiannya menyebutkan, kadar karbon organik pada tanah di Koleberes di bawah 1 persen. Padahal untuk lahan pertanian minimal 3 persen.

Unsur hara dalam tanah akan terbawa dalam tanaman yang dipanen. Tanpa pemberian unsur hara dari bahan organik, antara lain pupuk kompos, kesuburan tanah akan terus menurun.

Rehabilitasi lahan di daerah itu, menurut Sutardjo, dapat dilakukan dengan memberikan limbah serbuk gergaji. Bahan organik dapat kembali menyuburkan tanah karena kemampuannya menyerap air dua kali dari bobotnya. Jumlah limbah penggergajian di daerah itu tak sebanding dengan luas tanah.

Beberapa waktu lalu, pakar pertanian terpadu mantan peneliti BPPT, Achsin, menjelaskan, untuk skala kecil penyuburan tanah juga dapat dilakukan dengan memberikan kotoran sapi atau ternak pemamah biak lainnya. Pada skala besar, penyuburan tanah dapat memakai legium cover crop atau tanaman perintis, seperti lamtoro sebagai tegakan dan gamal tanaman yang merambat. Keduanya dapat menyerap nitrogen untuk ditambatkan pada tanah.

”Bulan Oktober merupakan saat tepat untuk menanam tanaman perintis. Sehingga pada akhir musim hujan mendatang, di bulan Maret-April, tanaman itu sudah subur,” ujar Achsin yang merintis pembangunan ATP Palembang. Tanaman perintis itu lalu diintegrasikan dengan jenis kambing kacang yang tahan terhadap HCN (asam sianida) yang ada di daunnya.

Kotoran ternak ini ditebar untuk menambah kesuburan. ”Akan lebih subur kalau ditambah jenis rizobium atau mikoriza penyubur,” tambahnya.

Pada lahan yang ditanami lamtoro dan gamal per hektarnya bisa memelihara 50 ekor induk kambing kacang, yang dalam dua tahun dapat beranak enam ekor. Menurut Achsin yang kini tengah merintis pendirian Muara Enim Practical University, menjelang kemarau kambing dapat dijual karena cadangan pangannya terbatas.

Pada sistem pertanian terpadu di ATP Koleberes diternakkan domba garut di samping sapi dan ayam, urai Ophirtus Sumule, Ketua Tim dari KNRT.

Dalam kunjungannya, Kusmayanto Kadiman menyerahkan bantuan kepada petani andalan Partidjo, eks transmigran Lampung, berupa lahan 8.000 meter persegi (untuk ditanami rumput gajah, jagung, kopi, dan kina), 2 sapi, 3 kambing, dan 50 ayam. ”Dengan modal itu, ia akan menjadi model bagi petani lain dalam menerapkan sistem pertanian terpadu,” ujarnya.

Dengan tanaman dan ternak itu, petani dapat memperoleh kecukupan sumber untuk pakan ternak, pupuk, dan memberikan mereka penghasilan dalam skala harian, mingguan, bulanan, hingga tahunan.

Melalui ATP Koleberes, Kementerian Negara Riset dan Teknologi akan terus memberikan supervisi dan fasilitasi teknologi hingga masyarakat sekitar menjadi mandiri mengelola potensi sumber daya alamnya. Ini diperkirakan dapat terwujud pada 2011. ATP Koleberes diharapkan menjadi rujukan bagi kabupaten lain di Jawa Barat.

Perkebunan kina

Pembangunan ATP Koleberes Cianjur dirintis oleh Pemda Jabar sejak tahun 2005. Hingga tahun ini, pembangunan ATP telah melibatkan KNRT, Kadin Jabar, Balitbangda Jabar, Dinas Pendidikan Jabar, Unpad, dan Depdiknas.

Kawasan ATP seluas 25 hektar ini terdiri dari kebun kina 6 ha, jagung 4 ha, jahe 5,75 ha, dan sisanya untuk hijauan makanan ternak, kopi, dan pisang. Juga terbangun kadang ternak, gedung pascapanen/prosessing: pengering hybrid (6 ton per hari), ruang prosesing hasil panen, dan gudang serta warung informasi teknologi, serta ruang pendidikan dan pelatihan.

ATP Koleberes Cianjur akan dikembangkan untuk perkebunan kina—kini masih impor 5.000 ton per tahun. Produksi kulit kina di dalam negeri sendiri hanya sekitar 1.800 ton per tahun.

Permintaan kulit kina oleh industri nasional tinggi karena kegunaannya beragam, yaitu untuk bahan baku farmasi, minuman ringan, kosmetik, penyamakan kulit, dan biopestisida.

Menurut Sutardjo, Indonesia memiliki jenis tanaman kina yang tinggi kandungan kinina sulfatnya, yaitu zat yang digunakan untuk membuat pil kina, di atas 14 persen—dua kali lipat dari kina di negara lain.

Penanaman tanaman perkebunan yang berjangka tahunan berfungsi untuk mengikat tanah sehingga mencegah longsor, erosi, dan sebagai penahan air untuk memperbaiki sistem hidrologis wilayah perbukitan itu. ”Pemilihan lokasi Koleberes Cikadu didasarkan hasil studi Badan Penelitian Pengembangan Daerah Jawa Barat yang merekomendasikan pengembangan kina di kawasan ini,” jelas Ophirtus Sumule, Kepala Bidang Pengembangan Sistem Jaringan Produksi KNRT.

07 September 2008

BUPATI DJALAL [Jember, Jatim]: “PENTINGNYA SERTIFIKAT TANAH UNTUK USAHA TANI”

Website Pemkab Jember, Rabu, 9 April 2008

Keberpihakan Bupati Jember, MZA Djalal kepada petani tidak saja kepada persiapan atau menjelang mereka mulai tanam padi, tetapi lebih dari itu Djalal juga berpikir untuk pasca panen dengan menyediakan alat perontok dan pengering (dreyer) padi. “Saya bersama Wakil Bupati akan berpikir pasca panen setelah satu dua tahun yang lalu banyak memberikan bantuan seperti pompa dan traktor untuk meningkatkan produksi, “kata Bupati Jember MZA Djalal dalam sebuah kesempatan temu wicara dengan para petani di Desa Pontang Kecamatan Ambulu.

Dengan demikian secara bergantian dari satu desa/kelurahan dalam setiap minggunya Bupati Jember MZA Djalal terus memantau kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) terutama di wilayah endemis penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) yang dilakukan masyarakat bersama dengan aparat, baik desa maupun kelurahan semata-mata untuk membebaskan Jember dari Wabah Demam Berdarah yang pernah menjadi KLB di Kabupaten ini, Jumat minggu lalu Bupati Djalal mendatangi Kelurahan Sumbersari untuk melihat dari dekat laporan dari para Juru Pemantau Jentik (Jumantik) yang mulai pagi sudah masuk kerumah-rumah warga untuk memastikan adanya jentik dibeberapa tempat.

Disisi lain Bupati Djalal berharap kepada para generasi muda yang masih mempunyai tenaga, semangat dan ilmu pengetahuan untuk tidak menyerah dengan kondisi yang ada, melainkan harus lebih inovasi dan selalu mengadakan pembaharuan terus dipacu. Contohnya dengan adanya sawah dan pekarangan yang dimiliki diusahakan untuk ditanami sebagiannya dengan ikan gurami, lele, sehingga dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. “Dipacu dan dikuras semua ilmu pengetahuan, pikiran maupun renungan, jangan menyerah dan hanya mengandalkan padi dan tembakau karena tanah yang subur dapat dikembangkan apa saja untuk meningkatkan taraf hidup kita, “ajak Djalal berapi-api.

Sementara itu Wakil Bupati Jember, Kusen Andalas sangat bangga dan merasa senang melihat petani sekarang sudah mulai bekerjasama secara kelompok, karena dengan berkelompok sangat menguntungkan bagi pemerintah, alasannya bahwa untuk mensosialisasikan program pemerintah cukup kepada simpul-simpul yang ada dalam kelompok tersebut. “Mari kita manfaatkan kehidupan berkelompok ini tidak saja kepada bidang pertanian saja melainkan juga kepada bidang lainnya, “harap Kusen Andalas.

Kepala Bank Jatim Cabang Jember, Wonggo Prayitno mengatakan bahwa pengurusan sertifikat tanah sebaiknya diurus secara berkelompok tidak sendiri-sendiri, karena selain biayanya sangat murah pengurusannya juga mudah. “Biaya perbidang tanah biayanya berkisar antara 400 hingga 800 ribu sesuai dengan luas bidang masing-masing dan kalau diurus sendiri biayanya bisa mencapai 3 juta rupiah, “katanya.

Untuk lebih memberikan pemahaman kepada masyarakat, pihaknya juga bersedia memberikan sosialisasi terkait cara pengurusan sertifikat tanah hingga untuk agunan pinjaman di Bank. “Kami sudah melaksanakan sosialisasi di beberapa Kecamatan diantaranya di Kecamatan Ajung, “jelasnya.

Terkait dengan kredit di Bank Jatim, salah satu persyaratannya berupa jaminan pokok yaitu proyek yang dibiayai dan jaminan tambahan bisa berupa barang tetap maupun barang bergerak seperti BPKB kendaraan bermotor, sedangkan barang tetap bisa berupa sertifikat. “Makanya sangat penting sekali memiliki sertifikat karena bukan saja untuk kegiatan usaha tani saja melainkan untuk kegiatan yang lainnya, “ujarnya.
(H-2)

05 September 2008

Penanganan Perkara Banyak yang Belum Selesai

Jumat, 5 September 2008

Medan, Kompas
- Perkara agraria di Sumatera Utara masih banyak yang belum selesai. Sebagian perkara kerap berpihak kepada kelompok kuat yang menghadapkan dengan masyarakat kecil.

”Ini persoalan kita bersama yang menentukan arah pembangunan nasional. Menyelesaikan perkara seperti ini bukan perkara mudah, ibarat mengolah tanah liat yang sudah lama kering,” kata Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Sumut Horasman Sitanggang, Kamis (4/9) di Medan, dalam kesempatan dialog agraria bertajuk ”Mewujudkan Keadilan Melalui Kebijakan Agraria Nasional”.

Seiring dengan menguatkan reformasi agraria, BPN Sumut coba menegakkan kembali semangat itu. Selama 2008, BPN Sumut menangani 210 kasus pertanahan.

Perkara ini terdiri dari 136 dengan obyek penguasaan dan pemilikan tanah serta 74 perkara dengan penetapan obyek penetapan hak dan pendaftaran tanah.

Perkara agraria yang menjadi perhatian publik di antaranya sengketa tanah antara warga Sei Silau, Kabupaten Asahan, dan PT Perkebunan Nusantara III; warga Bandar Betsy dengan PTPN IV di Kabupaten Simalungun; dan masyarakat Sarirejo dengan Pangkalan TNI AU di Medan.

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Usep Setiawan mengatakan, meski banyak kasus agraria yang terjadi, dia masih menaruh harapan pada petugas dan mendukung upaya BPN terus-menerus menyelesaikan persoalan agraria yang terjadi di masyarakat. Menurut dia, pembaruan agraria merupakan hal penting guna menyelesaikan persoalan kemiskinan.

Kepala Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Negeri Medan Majda El Muhtaj mengatakan, dari beberapa kasus, masyarakat kecil berhadapan dengan pihak yang kuat. (NDY)

01 September 2008

Warga Keluhkan Pungli Oknum BPN

Suara Merdeka, 31/08/2008

Depok, CyberNews. Sejumlah warga Kelurahan Pasir Gunung Selatan, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok, Jawa Barat mengeluhkan pungutan liar yang dilakukan oleh oknum Badan Pertahanan Nasional (BPN) Kota Depok, ketika akan mengurus sertifikat tanah di wilayahnya.

"Seharusnya dengan program pemutihan sertifikat tanah ini gratis, tetapi kenapa ada tarifnya," kata Chandra, seorang warga Pasir Gunung Selatan, di Depok, Minggu (31/8). Menurut dia, dengan program ajudikasi tanah yang dibiayai oleh Bank Dunia tersebut, seharusnya gratis dan tidak ada pungutan.

Ia menjelaskan tarif yang ditentukan oleh oknum BPN yaitu untuk biaya pengurusan dari girik ke sertifikat hak milik mencapai Rp1,350 juta, untuk balik nama sertifikat dikenakan tarif Rp2 juta, dan untuk biaya pengurusan akta jual beli ke sertifikat senilai Rp350 ribu. "Masa semuanya ada tarifnya dan tidak bisa negosiasi sama sekali," katanya.

Hal senada juga dikatakan oleh warga Pasir Gunung yang tidak mau disebutkan namanya. Ia mengatakan tidak ada kejelasan untuk biaya apa pungutan tersebut. Padahal jelas-jelas program tersebut gratis. "Sebenarnya saya tidak keberatan dengan adanya biaya tambahan tapi jangan terlalu besar. Akhirnya saya putuskan untuk tidak jadi membayar," katanya.

Dikatakannya pada awal Juli lalu ia mendapat surat edaran dari kelurahan yang isinya untuk mengurus pemutihan sertifikat secara gratis. Tapi ternyata ada biaya dan sangat besar untuk ukuran warga. Warga juga mengeluhkan tidak adanya sosialisasi pengurusan sertifikat tersebut, sehingga banyak warga yang tidak memahami mekanisme pengurusan, dan persyaratan.

Ia mengharapkan aadya kejelasan dari pihak-pihak terkait yaitu kelurahan dan BPN untuk menjelaskan untuk apa saja biaya tersebut, sehingga jelas untuk apa biaya tersebut. Praktek pungli oleh oknum BPN bukan yang pertama kali di Kota Depok. Sebelumnya program tersebut juga pernah diterapkan di Kelurahan Cipayung, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok. Sejumlah warga setempat juga mengluhkan adanya pungutan yang ebsar dan sudah ada tarif tersendiri yang sangat memberatkan masyarakat.

Dari informasi sejumlah warga setempat mengaku di pungut biaya untuk luas tanah 0-100 meter persegi dikenai Rp 350 ribu, 100-200 meter persegi (Rp 450 ribu), 200-300 meter persegi (Rp 550 ribu), dan tanah di atas 500 meter dikenai biaya sebesar Rp 1 juta.

(Ant /CN05)

29 Agustus 2008

SPP Akan Gugat Perhutani

PR, Jum'at, 29 Agustus 2008

CIAMIS, (PRLM).- Serikat petani Pasundan (SPP) berencana mengajukan gugatan ke PTUN terhadap Perhutani yang dinilainya telah menyerobot hutan seluas 708,6 hektare. Hutan tersebut tersebar di lima desa, yakni Desa Cikaso, Cigayam, Banjaranyar, Pasawahan dan Kalijaya. Seluruhnya berada di wilayah Kecamatan Banjarsari.

Deputy SPP Ciamis Imam Bambang mengatakan, proses penguasaan oleh Perum Perhutani itu tidak sesuai dengan peraturan perundangan. Hal ini terungkap pada pertemuan yang dimediasi BPN Pusat di Jakarta tahun 2001.

“Dalam pertemuan terbukti Perhutani tidak mempunyai surat penunjukkan kawasan hutan, dan tidak pernah melakukan penataan batas dan pemetaan atas wilayah708,6 hektare tersebut,” tuturnya.

Menanggapi hal itu, Waka ADM Perhutani Ciamis, Amas Wijaya mengatakan, Perhutani mengelola hutan berdasarkan buku Berita Acara Tapal Batas (BATB) yang di dalamnya juga dilengkapi dengan peta wilayah. Dengan demikian, apabila ada keberatan atas wilayah tersebut, harus dapat dibuktikan kepemilikannya.

“Sekalian juga cross chek (cek silang) apakah benar milik rakyat atau bukan. Apabila milik rakyat, silakan diproses jadi hak milik. Dalam hal ini Perhutani hanya sebagai pengelola saja, sedangkan penentuan tanah merupakan hak negara,” ujarnya.

Berkenaan dengan PTUN yang akan dilakukan oleh SPP, dengan tegas Amas juga mengatakan silakan saja. “Kami siap untuk menghadapi gugatan tersebut. Justru melalui jalur hukum akan lebih elegan,” tambahnya.(A-101/A-147)***

27 Agustus 2008

Tiga Aktivis Tani Diculik di Garut!

Urgent Release (26/08/2008):
Front Perjuangan Rakyat (FPR)
 
Petani vs PTPN VIII Condong
Tiga Aktivis Tani Diculik di Garut!
 
Hentikan kekerasan terhadap petani! Bebaskan seluruh petani yang ditangkap! Laksanakan Land-reform sejati!
 
Jakarta, AGRA. Pada hari ini, sekelompok orang tidak dikenal—diduga dari pihak Brimob Polda Jawa Barat—menculik tiga aktivis Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), atas nama Mulyana, Asep, dan Dayat, di Kabupaten Garut, Jawa Barat.
 
Ketiga aktivis yang diculik setelah memimpin unjuk rasa damai petani desa Karangsari, Pakenjeng, Garut yang memprotes intimidasi dan kekerasan yang dilakukan pihak Brimob Polda Jabar dan aparat PTPN VIII Condong.
 
Tindakan penculikan ini secara jelas tidak hanya memperkeruh proses penyelesaian sengketa agraria yang melibatkan PTPN VIII Condong dengan petani dari Desa Karangsari, Kabupaten Garut, melainkan turut memperburuk keamanan warga desa setempat.
 
Ragil Sugiyarna, juru bicara Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) menyatakan pihaknya menuntut agar ketiga aktivis AGRA tersebut dibebaskan dan mengecam keras berbagai tindakan kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian dalam kasus sengketa agraria antara PTPN VIII dengan petani.
 
Kuat dugaan bila aksi penculikan tersebut dilakukan oleh pihak Brimob Polda Jawa Barat, mengingat menurut laporan warga, selama ini Brimob berada di lokasi dan menjadikan wilayah desa Karangsari Kabupaten Garut semacam daerah operasi militer. Petani-petani yang dikenal aktif memperjuangkan hak-haknya atas tanah kerap mengalami intimidasi dan penangkapan.
 
Tindakan kepolisian ini memancing reaksi dari Lembaga Bantuan Hukum Bandung (LBHB). Gatot Riyanto, Direktur LBH Bandung, menyatakan pihaknya mengecam dan meminta klarifikasi dari kepolisian resort Garut atas peristiwa tersebut. "Kami menuntut kepolisian untuk menghentikan intimidasi dan membuka kesempatan penyelesaian sengketa secara damai," tegas Gatot.
 
Sebelumnya, pihak Brimob Polda Jawa Barat telah menangkap 6 orang warga, termasuk seorang siswa SMU, yang disangka terlibat dalam aksi-aksi menuntut hak atas tana h. Dengan penangkapan yang dilakukan dengan cara penculikan ini, berarti sudah ada 8 orang yang telah ditangkap oleh kepolisian.
 
Menyikapi kasus-kasus kekerasan yang melibatkan kepolisian dalam sengketa agraria, 14 Agustus 2008 lalu, Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) bersama Front Perjuangan Rakyat (FPR) menggelar aksi protes secara damai di depan Mabes Polri dan Kantor Pusat Badan Pertanahan Nasional.
 
Pada saat ini, AGRA tetap menuntut agar kepolisian membebaskan seluruh petani yang ditangkap karena terkait dengan sengketa agraria. "Sengketa agraria adalah masalah politik yang menuntut penyelesaian politik. Tindakan kekerasan terhadap petani, tidak akan pernah bisa meredam perjuangan tani menuntut hak atas tanah, tegas Sugiyarna.***
 
Referensi:
Ragil Sugiyarna

23 Agustus 2008

Australia Bertekad Tanam Modal di Bidang Pertanian Indonesia

Jakarta (ANTARA News) 21/08/08 - Pemerintah Australia menyatakan tekadnya mendorong penanaman modal dan peningkatan pembangunan kemampuan di bidang pertanian Indonesia.

Menteri Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Australia Tony Burke dalam jumpa pers di Jakarta pada Kamis mengatakan, "Pemerintah Australia serius mendorong penanaman modal serta membantu meningkatkan pembangunan keamampuan pemerintah Indonesia di bidang pertanian."

Menurut Burke, Australia mengenali tantangan penghasil pertanian di Indonesia dan akan bekerja sama dengan pemerintah Indonesia untuk membantu mengembangkan bidang pertanian.

"Saya sangat senang melanjutkan pembicaraan, yang selama ini telah berlangsung, terutama menjabarkan keuntungan bagi kedua negara," katanya dengan menambahkan bahwa ia mengetahui dari Menteri Perdagangan Mari Pangestu dan Menteri Pertanian Anton Apriyantono bahwa modal di bidang pertanian merupakan prioritas di Indonesia.

"Kami juga melihat kemungkinan keuntungan bagi penghasil tananam budidaya Australia. Kami pikir terdapat kesempatan di industri agribisnis bagi produsen Australia dan Indonesia untuk bekerja sama guna melakukan ekspor ke seluruh dunia," katanya.

Burke menilai perjanjian perdagangan kawasan akan memberikan keuntungan besar bagi kedua negara di pasar dunia.

"Langkah apa pun untuk liberalisasi perdagangan pertanian juga dapat membantu mengatasi kekurangan pangan dunia," kata Burke merujuk pada Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-Australia-Selandia Baru, yang tengah dibahas.

Burke, yang melakukan lawatan ke Indonesia pada 20-22 Agustus 2008, telah melakukan pertemuan dengan Menteri Pertanian Anton Apriyantono, Menteri Perdagangan Mari Pangestu, Menteri Kehutanan MS Kaban dan melakukan kunjungan ke tempat penggemukan sapi dan salah satu penghasil tepung terigu terbesar di dunia.

Burke juga akan bertemu dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi dan Menteri Keuangan dan Penjabat Menteri Koordinator Ekonomi Sri Mulyani.

Pada hari pertama lawatannya, Burke berkunjung ke pusat penggemukan sapi, yang memiliki 22.000 sapi impor dari Darwin. Australia adalah pemasok utama sapi bagi Indonesia. Benua Kanguru itu mengirim lebih dari 520.000 sapi pada 2007, senilai 339 juta dolar Australia.

Ia juga mengunjungi penghasil tepung terigu Bogasari, dengan daya hasil 3,6 juta ton setahun. Perusahaan itu dipercaya sebagai penghasil terbesar tepung terigu di dunia dalam satu tempat.

Australia tercatat sebagai pemasok utama gandum bagi Indonesia, dengan jumlah 1,5 juta ton pada 2007.

Kunjungan Burke disertai perutusan industri, termasuk perwakilan dari Meat and Livestock Australia, Cattle Council of Australia, Australian Livestock Exporters Council dan Australian Citrus Growers.(*)

COPYRIGHT © 2008

20 Agustus 2008

KAMPANYE PILKADA: Keberpihakan kepada Petani Dipertanyakan

Rabu, 20 Agustus 2008

Palembang, Kompas - Konsep keberpihakan kedua pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur Sumatera Selatan kepada petani dinilai tidak tegas karena belum menyinggung pembaruan agraria. Pembaruan agraria diperlukan untuk memastikan agar semua petani memiliki tanah untuk berproduksi.

Demikian Wakil Ketua Majelis Nasional Petani Serikat Petani Indonesia (SPI), JJ Polong, di sela diskusi menyambut hari ulang tahun ke-10 SPI di Hotel Bumi Asih, Palembang, Selasa (19/8).

Menurut Polong, sebelum pemerintah daerah (pemda) memastikan investasi untuk perkebunan yang membutuhkan areal luas, pemda seharusnya lebih dulu memastikan agar semua petani mempunyai lahan yang cukup untuk berproduksi dan berpenghasilan di atas garis kemiskinan.

Mengacu garis kemiskinan standar Perserikatan Bangsa- Bangsa, yakni 2 dollar AS per hari, maka satu keluarga petani dengan lima anggota keluarga harus mampu menghasilkan 10 dollar AS per hari. Ini setara dengan sekitar Rp 100.000 per hari atau Rp 3 juta per bulan.

”Itu hanya bisa dihasilkan kalau petani memiliki tanah setidaknya 2 hektar. Kenyataannya, masih banyak petani di Sumatera Selatan yang tidak memiliki tanah atau hanya menjadi buruh tani,” kata Polong.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Lembaga Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia, Komite Masyarakat Konstitusi Sumatera Selatan, Bambang Purnomo menuturkan, pembaruan agraria tergantung dari political will pemerintah.

Kalau tak ada keberanian dari pemerintah, pembaruan agraria tidak akan pernah tercapai. Terkait kebijakan hukum soal reforma agraria, kata Bambang, pemerintah selama ini berpegang pada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960.

Namun di sisi lain, UU organik yang menyangkut sektor-sektor yang berkaitan dengan pertanahan, misalnya UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Perkebunan, sering tidak sejalan dengan eksistensi UUPA Tahun 1960.

”Dalam konteks otonomi seperti saat ini, seharusnya ada keberanian dari pemerintah lokal untuk melakukan terobosan, misalnya dalam bentuk perda (peraturan daerah) mengenai redistribusi tanah bagi sektor pertanian,” kata Bambang.

Terkait redistribusi tanah ini, menurut Bambang, pemerintah dapat mengalokasikan tanah yang sudah lama ditinggalkan atau tidak produktif, semisal tanah eks hak pengusahaan hutan, untuk dibagikan kepada petani yang tidak memiliki tanah.

Pembuatan perda semacam itu dapat melibatkan Badan Pertanahan Nasional, legislatif, dinas dan instansi terkait, serta organisasi masyarakat yang menyuarakan kepentingan petani. Hal itu agar petani bisa lebih sejahtera. (CAS)

30 Juli 2008

Posting dari Kabar Indonesia: Membongkar Kebobrokan PPAN

Oleh : April Perlindungan - Dikutip dari www.kabarindonesia.com

30-Jul-2008

KabarIndonesia - Jika ditanya, apakah Program Pembaruan Agraria Nasional (PAN) yang digulirkan pemerintah SBY-JK sudah sejati? Secara subjektif penulis berpendapat, jika PPAN itu adalah pembaruan agraria palsu. Selain abai terhadap permasalahan sengketa lahan di lapangan, keberpihakan PPAN kepada buruh tani juga patut di pertanyakan. Meskipun pada kenyataannya, PPAN sudah membuat percaya diri sebagian NGO yang bergelut dengan isu pembaruan agraria. Sebagian NGO itu meyakini, PPAN merupakan program pemerintah yang patut di berikan dukungan dan apresiasi oleh masyarakat (petani). Para NGO itu pun bergandeng tangan dengan pemerintah untuk melaksanakan program tersebut. Bahkan, berlomba-lomba menentukan tanah yang akan di jadikan obyek PPAN. Bila disikapi secara reaksioner, PPAN memiliki kesan pro rakyat, namun jika dibaca secara detail, arti rakyat dalam PPAN sangatlah luas. Tidak menutup kemungkinan juga, rakyat dimaksud dalam program tersebut berbentuk pengusaha. Pasalnya, selain objek PPAN itu sifatnya kompetensi, juga adanya poin yang menyebutkan jika objek PPAN itu orang yang tidak bertanah (tanahnya hanya tempat tinggal).

Arti orang yang tidak punya kepemilikan tanah itu bisa saja dia seorang pegawai Bank, Birokrat dan lain sebagainya. Selain itu, ketidakjelasan PPAN dapat di lihat dari penamaan tempat yang tidak sesuai dengan administrasi kewilayahan, misalnya di sebutkan jika objek PPAN sebanyak sekian ribu hektar dilaksanakan di Jawa Selatan. Pertanyaannya, apakah ada provinsi atau kabupaten di Indonesia yang bernama Jawa Selatan? Terus kampung mana, desa mana kabupaten dan provinsi mana juga tidak di sebutkan secara detail, karena, yang kita kenal, Jawa Selatan itu hanya sebutan bagi sejumlah kabupaten di pulau Jawa bagian selatan, bukan nama sebuah provinsi di pulau Jawa.


Buruh Tani

Selain uraian di atas, tidak sejatinya PPAN juga dapat dibongkar, dimana pemerintah tidak menggunakan analisa kelas dalam penentuan objek PPAN.Hal itu di tambah, dengan NGO yang selama ini memperjuangkan nasib petani dengan UUPA no 5 tahun 1960 sebagai rujukan, tidak konsisten dalam memperjuangkannya. Buruh Tani, merupakan orang yang menjual tenaganya kepada pemilik tanah. Hal itu fakta, jika mereka merupakan kelas tertindas, dan ketertindasannya itu akibat ia tidak memiliki tanah garapan.

Jika diukur dari kompetensi, Buruh Tani merupakan orang yang berpengalaman dalam bertani, kendalanya adalah mereka tidak memilki modal dan akses yang maksimal terhadap tanah. Lalu bagaimana agar konsep PPAN itu terlihat sejati ( entah dalam pelaksanaannya). Hemat penulis, PPAN sudah sejati jika objek PPAN itu secara tegas dan jelas menyebutkan, jika Buruh Tani merupakan prioritas utama sebagai objek. Namun, di sela-sela penindasan perkebunan, yang menjadi pemantik berkobarnya api perlawanan sejak VOC hingga kini. Yang membekas itu hanya luka, luka berabad-abad buruh tani. Dimana mereka tak mendapatkan hasil dari apa yang mereka perjuangkan.


*Penulis aktif di Sarekat Hijau Indonesia ( SHI ) Jabar
Mohon kritik dari kawan-kawan pembaca!

19 Juli 2008

Setahun Sertifikat Tanah Belum Selesai

Radar Cirebon, 19 Juli 2008

MAJALENGKA-Meski Badan Pertanahan Nasional (BPN) telah mengeluarkan regulasi standar waktu pelayanan surat-surat pertanahan, namun kenyataannya di Kabupaten Majalengka hal itu tidak berlaku sama sekali. Proses pembuatan sertifikat maupun akta tanah selain mahal, juga memakan waktu yang cukup lama dari lima bulan hingga satu tahun.

Hal itu seperti yang dikeluhkan Durahman (33), warga Desa Bantaragung, Kecamatan Sindangwangi. Kepada Radar, lelaki ini mengaku kecewa karena sudah mengeluarkan uang sebesar Rp1,5 juta sebagai persyaratan pembuatan sertifikat seperti yang diminta petugas BPN, dengan janji akan selesai paling lambat satu bulan. Namun kenyataannya, hingga tiga bulan lebih sertifikat tersebut tidak kunjung selesai.

“Katanya menurut peraturan BPN No 6 Tahun 2008 biaya pembuatan sertifikat cuma Rp25 ribu dan selesai maksimal lima hari. Kenyataannya hingga tiga bulan lebih sertifikat saya belum selesai,” ujarnya dengan nada kesal, kemarin (18/7).

Hal tersebut ternyata tidak hanya dialami oleh Durahman saja melainkan dialami Sobari, warga lainnya. Menurut Sobari, proses pengukuran dan persyaratan administrasi lainnya sudah dipenuhi termasuk uang sebesar Rp2 juta yang diminta petugas. Tapi hingga setahun lebih sertifikat itu tidak juga selesai.

“Kalau dari awal saya tahu proses pembuatan sertifikat tanah di BPN Majalengka mangkrak, lebih baik saya mengurus lewat jasa notaris. Jelas saya sangat kecewa sekali dengan pelayanan pihak BPN Majalengka,” rungutnya.

Sayangnya, saat dikonfirmasi Radar kepala BPN maupun sejumlah staf yang membidangi masalah pembuatan akta tidak ada di kantor. Keterangan beberapa stafnya, kepala BPN sedang istirahat. “Sepertinya bapak lagi istirahat nanti saja ke sini lagi atau hari Senin saja,” sarannya. (pai)

16 Juli 2008

Belajar Dari Serikat Petani Pasundan

Usep Setiawan

Belum lama ini, ratusan petani dari Jawa Barat menuntut pembubaran Perhutani, karena Perhutani telah menjadikan kaum petani sebagai kambing hitam yang dituduh melakukan aksi pembalakan liar (23/06/08). Agustiana dan Serikat Petani Pasundan (SPP) yang dipimpinnya sontak menjadi sumber pembicaraan publik setelah dituduh sebagai dalang pembalakan liar di Jawa Barat oleh Kapolda Jawa Barat Susno Duadji (Pikiran Rakyat, 18/06/08).

14 Juli 2008

Reforma Agraria, Tanah Tanpa HGU Bakal Disita Pemerintah

08/07/08 Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah akan menyita tanah tanah perkebunan di Pulau Jawa yang saat ini tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU) yang sah dan diterlantarkan, untuk kemudian dibagikan ke masyarakat, sedangkan kepada pemilik tanah perkebunan tersebut akan diberikan tanah pengganti di luar Pulau Jawa.

"Kalau di Pulau Jawa maka objek reforma agraria adalah perkebunan-perkebunan yang HGU sudah habis dan terlantar. Nah itu yang akan diminta dan kemudian di tukar di luar Pulau Jawa, yang di Jawa akan dibagi untuk masyarakat," kata Direktur Tata Ruang dan Pertanahan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Deddy Koespramono di Jakarta, Selasa.

Ia menambahkan, untuk reforma agraria di luar Pulau Jawa maka pihaknya akan berkoordinasi dengan Depertemen Kehutanan mengingat sebagian besar objek reforma agraria di luar Jawa adalah tanah kehutanan. Namun, tambahnya, hal itu akan memerlukan proses yang lumayan panjang karena harus adanya alih fungsi lahan dari yang dulunya hutan menjadi lahan produktif.

Di sisi lain, Deddy mengatakan, yang terpenting dalam melaksanakan reforma agraria adalah terbentuknya Badan Layanan Umum (BLU) pada Badan Pertanahan Nasional (BPN) sedang dalam proses penyelesaian agar reforma agraria bisa berjalan di tahun 2009. Sedangkan untuk Depertemen Kehutanan proses pembentukan BLU sudah selesai. "Tapi masih ada hambatan karena ada beberapa syarat yang belum dipenuhi," jelasnya.

Sebelumnya Staf Ahli Menteri Kehutanan Ahmad Fauzi mengatakan, bahwa dalam reforma agraria di sektor kehutanan, tidak ada alih fungsi lahan hutan, melainkan pemberian kuasa mengelola lahan hutan tanpa pengalihan fungsinya.

Jika dalam reforma agraria kehutanan, tanah tersebut tidak akan menjadi hak milik, maka untuk tanah non kehutanan dimungkinkan untuk menjadi hak milik, meski tidak serta merta diberikan.

Dia menjelaskan, BPN akan memberikan hak pakai kepada penerima tanah selama 3 tahun, jika dianggap bagus maka BPN baru akan memproses kepemilikannya. "Setelah jadi hak milik maka selama 10 tahun tidak boleh dipindah tangankan," kata Kepala BPN Joyowinoto, baru-baru ini. Untuk menjalankan program tersebut maka BPN akan membentuk Lembaga Pengelola Reforma Agraria berbentuk BLU.

Namun sayangnya, Depkeu masih keberatan untuk merealisasikan keinginan BPN membentuk BLU termasuk memberikan penyertaan modal pertama sebesar Rp 2 triliun karena BPN belum merinci bagaimana pola "cost recovery" dari dana yang sudah disetorkan oleh negara, yang berarti BPN harus pula memperhitungkan bagaimana memperoleh pendapatan dari pelaksanaan pembaharuan agraria ini.

Seperti diketahui, pemerintah bakal menjalankan pembaharuan di bidang pertanahan (reforma agraria) mulai 2009. Target itu tercantum dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2009, yang diharapkan mampu membagi 310.000 bidang tanah bagi masyarakat. 310.00 bidang tanah itu terdiri dari 9,25 juta hektar tanah dimana 1,25 juta hektar merupakan tanah negara yang dikelola BPN dan sisanya tanah hutan.

Tidak hanya tanah pertanian di luar Jawa saja, namun bagi-bagi tanah juga di daerah perkotaan, dari tanah terlantar milik negara dan tanah kehutanan. Tanah-tanah itu akan dibagikan kepada penduduk miskin di 17 provinsi.(*)

COPYRIGHT © 2008

08 Juli 2008

Buruh Tani Menganggur

Senin, 7 Juli 2008

Cirebon, Kompas
- Gara-gara sebagian tanaman padi gagal panen, sejumlah buruh tani di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, kehilangan penghasilan. Mereka terpaksa menganggur karena tidak dapat lagi menjadi buruh tani. Padahal, upah dari pekerjaan tersebut selama ini menjadi sebagian dari sumber nafkah mereka.

Partaji (32), warga Desa Dukuh, Kecamatan Kapetakan, yang biasanya bekerja sebagai buruh tani, kini tidak mempunyai pekerjaan lagi. Belum ada pemilik sawah yang memanggilnya untuk bekerja. "Biasanya kami melakukan kerja borongan, seperti menanam hingga panen sawah. Sekarang sepi, tak ada yang memanggil kami untuk bekerja di sawah atau panen," ujarnya.

Biasanya Partaji bekerja dengan sistem borongan. Untuk mengerjakan sawah satu bahu (0,74 hektar) butuh 4-7 orang dengan bayaran sekitar Rp 350.000. Adapun untuk panen, mereka mendapatkan upah seperlima dari hasil panen. Gabah hasil panen itulah yang kemudian disimpan untuk cadangan makanan sehari-hari.

Jika kini tak ada lagi panen, para buruh seperti Partaji tak mempunyai cadangan makanan dan memilih makanan alternatif lain, seperti singkong, ubi, dan nasi aking.

Saat ini, misalnya, sekitar 20 hektar tanaman padi di Kabupaten Cirebon puso karena kekeringan. Hamparan padi yang puso terlihat di Kecamatan Kapetakan, sebagian Kecamatan Gegesik, dan Suranenggala. Tanaman padi yang gagal panen ada yang masih berbentuk persemaian, ada pula yang sudah berumur dua bulanan.

Menurut Cariman (47), petani di Desa Suranenggala Kidul, Kapetakan, sebagian petani sudah meninggalkan sawah mereka karena tak bisa diselamatkan lagi. Hanya beberapa petani yang tetap mengusahakan air agar padi miliknya yang sudah berusia dua bulanan dapat diselamatkan.

Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Kabupaten Cirebon Ali Efendi mengungkapkan, masalah kekeringan menjadi persoalan yang belum bisa dituntaskan karena sebagian area kekeringan adalah sawah tadah hujan. Saat ini Dinas Pertanian dan Peternakan masih menyalurkan bantuan pompa air bagi kelompok tani yang sawahnya membutuhkan pengairan dan masih ada air tanah di daerahnya. (nit)

26 Juni 2008

Insinuasi Kompas: "7.000 Hektar Hutan di Jawa Barat Dijarah - Perlu Pendekatan Holistik yang Libatkan Berbagai Pihak"

KOMPAS/DWI BAYU RADIUS / Kompas Images
Hutan di daerah Langkaplancar, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Kamis (19/6). Hutan yang mulai gundul itu dijaga petugas polisi dalam Operasi Hutan Lestari Lodaya 2008.
Kamis, 26 Juni 2008 | 03:00 WIB

Bandung, Kompas - Kepolisian Daerah Jawa Barat berniat memerangi pembalakan liar di Jawa Barat. Catatan Perhutani menunjukkan, dari 597.647 hektar hutan produksi dan hutan lindung yang mereka kelola, setidaknya 7.000 hektar dirambah dan dijarah oleh masyarakat petani yang tinggal berbatasan dengan hutan.

Tekat itu diungkapkan Kepala Polda Jabar Inspektur Jenderal Susno Duadji dalam acara Curah Pendapat Pembalakan Liar Hutan di Grha Kompas-Gramedia Bandung, Rabu (25/6).

Acara itu dihadiri LSM lingkungan, dinas kehutanan, Perum Perhutani, tokoh masyarakat Jabar, dan akademisi.

Sekretaris Serikat Petani Pasundan (SPP) Agustiana pada 19 Juni lalu melaporkan Polda Jabar ke Komnas Hak Asasi Manusia. Polda Jabar dinilai membuat petani resah dan takut.

Susno mengatakan, Komnas HAM semestinya tidak mengurusi hal tersebut. Tanggung jawab Komnas HAM adalah hal-hal yang terkait dengan pelanggaran HAM berat, seperti genosida dan kejahatan perang.

Polda Jabar akan melanjutkan operasi di sekitar hutan di Ciamis Selatan. Dari operasi itu, Polda Jabar menyita 100 truk kayu gelondongan, alat potong kayu, dan bendera SPP. Susno berharap aparat desa berfungsi kembali. Masyarakat juga semestinya turut mencegah pembalakan liar.

Kepala Unit Jawa Barat-Banten Perum Perhutani Mohammad Komarudin mengatakan, pemberantasan pembalakan liar dan perambahan hutan diupayakan dengan memperkenalkan program pemanfaatan hutan bersama masyarakat.

Pendekatan holistik

Kepala Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda Sobirin Supardiyono mengatakan, pemberantasan pembalakan liar perlu pendekatan holistik yang melibatkan para pemangku kepentingan. Hal itu dapat ditempuh dengan melakukan penegakan hukum dan penyuluhan kepada masyarakat terkait.

Pakar ekologi dari Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, Chay Asdak, berpendapat, selain pendekatan holistik, perlu ada revisi Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif Pendapatan Negara Bukan Pajak yang berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di luar Kegiatan Kehutanan. (MHF/A15)

25 Juni 2008

Brimob Sisakan Satu Kompi di Kawasan Operasi Pembalakan Hutan

CIAMIS, (PRLM) - Sebagian personel anggota Brimob Polda Jabar sudah ditarik dari wilayah Operasi Hutan Lestari Lodaya 2008, yang dipusatkan di kawasan hutan Cigugur dan Harumandala Kec. Cigugur, Kab. Ciamis. Namun demikian, masih ada satu kompi Brimob dan polsus Perhutani lainnya masih disiagakan di kawasan operasi, sampai batas waktu yang belum ditentukan.


"Unlimited. Tidak dibatasi waktu, bisa seminggu lagi, sebulan, bahkan bisa setahun. Jika masih kurang siap untuk menambah personel, kita masih melakukan penyisiran sekaligus tahap pemulihan" kata Ketua Satgas Pemulihan Operasi Hutan Lestari Lodaya 2008, AKBP Supratman, di sela-sela sosialisasi PHBM (Pemanfaatan Hutan Bersama Masyarakat) di Kecamatan Cigugur, Rabu (25/6).

Hingga saat ini, sudah empat orang yang ditangkap dan diminta keterangannya. Selain itu ada delapan orang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Bahkan, tidak menutup kemungkinan jumlah DPO akan bertambah sesuai dengan perkembangan yang saat ini terjadi di lapangan.

Saat ini, tambahnya, masyarakat harus terus diberi motivasi serta kepercayaan tidak perlu takut terhadap kelompok yang selama ini melakukan pembalakan liar. Selain itu masyarakat diminta untuk tetap bersatu, sehingga kelompok terorganisir itu tidak lagi melakukan aktivitasnya. "Masa warga satu kampung, satu desa kalah hanya oleh satu, lima atau 30 orang. Kita beri motivasi tentang daya tangkal masyarakat. Selain itu dibarengi dengan penyuluhan dari Perhutani maupun polisi," katanya searaya menambahkan selama opersai berhasil mengamanakan 105 truk kayu jati dan mahoni.

Dalam kegiatan sosialisasi yang diadakan di Kec. Cigugur diikuti sedikitnya 50 tokoh masyarakat, di antaranya tujuh kepala desa sekitar kawasan hutan Cigugur dan Harumandala, seperti Desa Cigugur, Kertamanadala, Kertaharja, Cempaka, Pagerbumi, Cimindi, dan Bunisari.

Selain Supratman, sosialisasi juga melibatkan Kasi PHBM Perhutani Jabar Isnin Soiban dan Camat Cigugur Irwansyah, Danramil Cigugur Kapten Inf. Erick Ruswana. Secara umum, mereka menegaskan bahwa masyarakat tidak lagi perlu takut terhadap kelompok terorganisir yang ikut berperan dalam pembalakan liar di kawasan tersebut.(A-101/A-37)***

Agustiana Bentuk Laskar Penyelamat Hutan

GARUT, (PRLM) - Sekjen Serikat Petani Pasundan (SPP), Agustiana menyatakan, dalam waktu satu minggu ini pihaknya tengah mempersiapkan pembentukan laskar penyelamat hutan dan lingkungan. Laskar yang akan dipimpin komando Ai Sumarni itu akan melibatkan 6.000 massa dari tiga kabupaten, yakni Garut, Tasik, dan Ciamis.

Dibentuknya laskar sebagai upaya membantu menyelamatkan hutan dari para penjarah kayu, sekaligus membongkar siapa sebenarnya aktor di balik para pelaku perambahan hutan. Selama ini dalam melakukan aksinya seringkali mengambinghitamkan, atau menudingkan terhadap anggota Serikat Petani Pasundan (SPP).

"Itu memang terbukti dari kasus kemarin dimana dalam aksi pengrusakan hutan seolah-olah saya dan anggota SPP yang berbuat. Padahal, kenyataannya kami hanya dikambinghitamkan oleh para penjarah kayu. Itu sebabnya, setelah Selasa (24/6) pukul 19.00 malam saya dinyatakan bebas dari tuduhan pelaku illegal loging oleh Kapolda Jawa Barat. Saya berpikir, agar kasus serupa atau tuduhan pencurian kayu tidak lagi dilemparkan pada kami," tutur Agustiana, Rabu (25/6).

Ia katakan itu, saat menggelar acara syukuran bersama sejumlah anggota SPP dari sejumlah daerah di Kabupaten Garut, yang dilangsungkan di sekretariat SPP, Jln. Samarang Tarogong Kidul, Garut. Selain membentuk laskar, SPP juga telah mengagendakan untuk melakukan reboisasi secara besar-besaran, sekaligus memberikan tantangan kepada mereka yang mengatasnamakan para pencinta alam atau pencinta lingkungan.

Berbeda dengan reboisasi yang biasa dilakukan sejumlah lembaga lainnya, dalam pelaksanaannya nanti SPP akan menanam sejumlah pepohonan seperti kopi, coklat, beringin dan sejumlah pepohonan lainnya yang tidak akan bisa ditebang. Itu untuk menghindari atau memancing terjadinya kembali aksi penebangan kayu di hutan. (A-14/E-21A-37)***

Brimob Sisakan Satu Kompi di Kawasan Operasi Pembal;akan Hutan

CIAMIS, (PRLM) - Sebagian personel anggota Brimob Polda Jabar sudah ditarik dari wilayah Operasi Hutan Lestari Lodaya 2008, yang dipusatkan di kawasan hutan Cigugur dan Harumandala Kec. Cigugur, Kab. Ciamis. Namun demikian, masih ada satu kompi Brimob dan polsus Perhutani lainnya masih disiagakan di kawasan operasi, sampai batas waktu yang belum ditentukan.


"Unlimited. Tidak dibatasi waktu, bisa seminggu lagi, sebulan, bahkan bisa setahun. Jika masih kurang siap untuk menambah personel, kita masih melakukan penyisiran sekaligus tahap pemulihan" kata Ketua Satgas Pemulihan Operasi Hutan Lestari Lodaya 2008, AKBP Supratman, di sela-sela sosialisasi PHBM (Pemanfaatan Hutan Bersama Masyarakat) di Kecamatan Cigugur, Rabu (25/6).

Hingga saat ini, sudah empat orang yang ditangkap dan diminta keterangannya. Selain itu ada delapan orang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Bahkan, tidak menutup kemungkinan jumlah DPO akan bertambah sesuai dengan perkembangan yang saat ini terjadi di lapangan.

Saat ini, tambahnya, masyarakat harus terus diberi motivasi serta kepercayaan tidak perlu takut terhadap kelompok yang selama ini melakukan pembalakan liar. Selain itu masyarakat diminta untuk tetap bersatu, sehingga kelompok terorganisir itu tidak lagi melakukan aktivitasnya. "Masa warga satu kampung, satu desa kalah hanya oleh satu, lima atau 30 orang. Kita beri motivasi tentang daya tangkal masyarakat. Selain itu dibarengi dengan penyuluhan dari Perhutani maupun polisi," katanya searaya menambahkan selama opersai berhasil mengamanakan 105 truk kayu jati dan mahoni.

Dalam kegiatan sosialisasi yang diadakan di Kec. Cigugur diikuti sedikitnya 50 tokoh masyarakat, di antaranya tujuh kepala desa sekitar kawasan hutan Cigugur dan Harumandala, seperti Desa Cigugur, Kertamanadala, Kertaharja, Cempaka, Pagerbumi, Cimindi, dan Bunisari.

Selain Supratman, sosialisasi juga melibatkan Kasi PHBM Perhutani Jabar Isnin Soiban dan Camat Cigugur Irwansyah, Danramil Cigugur Kapten Inf. Erick Ruswana. Secara umum, mereka menegaskan bahwa masyarakat tidak lagi perlu takut terhadap kelompok terorganisir yang ikut berperan dalam pembalakan liar di kawasan tersebut.(A-101/A-37)***

24 Juni 2008

Ribuan Petani Desak Polisi Periksa Perhutani -- Kasus Pembalakan Liar di Jawa Barat

Selasa, 24 Juni 2008

TEMPO Interaktif, BANDUNG
:Seribuan petani dan perempuan yang tergabung dalam Aliansi Perempuan Indonesia hari ini berunjuk rasa di di depan Gedung Sate, Bandung. Mereka menuntut pemerintah dan polisi, mengusut tuntas pembalakan liar di Jawa Barat. Terutama dengan memeriksa oknum Perhutani. " Pengelolaan hutan yang dilakukan Perum Perhutani banyak kejanggalan" kata Erni Kartono, Koordinator unjuk rasa.

Para warga asal Ciamis, Garut, Tasikmalaya, Subang dan Sumedang yang mayoritas perempuan ini mengelar aksinya dengan duduk-duduk di depan pintu gerbang bagian barat Gedung Sate. Mereka duduk meriung, di depan peralatan soundsystem, tempat beberapa rekannya berorasi.

Menurut Erni, mereka berunjuk rasa karena petani di sekitar hutan takut dituduh pembalak liar. Mereka menuduh Perhutani itu sebenarnya adalah dalang dari pembalakan liar yang sebenarnya. " Tapi Perhutani malah memfitnah masyarakat" ujarnya.

Erni mengatakan, Perhutani sebenarnya hanya diberikan hak pengelolaan hutan atas tanahnya. Ini tak bisa diartikan, Perhutani menguasai atau mendapatkan tanahnya. "Kenapa mereka berani menjual, menukar dan menyewakan ke pihak lain? " katanya berorasi.

Bahkan, kata Erni, beberapa kawasan hutan juga dieksplorasi untuk tambang dalianse seperti di Gunung Guntur, Cipanas, Garut. Karenanya, mereka minta polisi dan pemerintah mengusut tuntas pencurian kayu. Terutama di kawasan hutan lindung Cigugur, Ciamis, Gunung Gelap, kabupaten Garut, dan Cikelet, Garut.

Selain itu, di desa Tanjung Karang dan Ngantang, kecamatan Cigalontang Tasikmalaya.

Mereka menyatakan, apabila Polda tidak segera mengusut kerusakan di kawasan itu, mereka akan melapor ke Mabes Polri dan KPK.

Erick Priberkah Hadi

23 Juni 2008

Agustiana Akhirnya ke Polda Jawa Barat

Kasus Pembalakan Liar di Jawa Barat

Senin, 23 Juni 2008

TEMPO Interaktif, BANDUNG
: Aktivis yang juga Sekretaris Jenderal (Sekjen) Serikat Petani Pasundan Agustiana Senin (23/6) petang akhirnya datang ke Markas Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Barat. Meski begitu, kedatangan Agustiana tidak untuk menyerahkan diri. "Dia sudah datang dan memberikan keterangan pada penyidik, " kata Kapolda Jawa Barat Inspektur Jenderal Susno Duadji di Bandung, Senin (23/6) petang.

Menurut Susno, Agustiana datang ke Mapolda Jabar untuk mengklarifikasi terkait statusnya yang dinyatakan sebagai DPO (daftar pencarian orang) oleh Polda Jabar. Sejauh ini, Polisi tidak menetapkan ia buron. "Beberapa waktu lalu saya menghimbau dia. Dia sendiri yang merasa buron dan sudah menjelaskan duduk persoalannya,"ujarnya.

Termasuk, kemungkinan ada oknum instansi tertentu yang melakukan pembalakan liar. Juga anggota petugas keamanan lainnya. Sejauh ini, Susno mengaku telah meminta timnya mengecek, adakah yang terlibat. "Jika ada, siapapun yang mencampuri kedaulatan hukum, kami libas semuanya" ujarnya.

Susno mengaku tak gentar dan akan terus mengusut kejahatan pembalakan liar di Ciamis Jawa Barat. Menurut dia,apa yang dilakukannya semata mengembalikan kedaulatan Negara. "Jika kemarin di kawasan sekian ribu hektar itu, petugas perhutani, kepala desa dan camat pun di sweefing. Itu kedaulatan siapa? Ini tidak bisa dibenarkan.,"ujarnya seraya menyatakan, tugas aparatnya di kawasan itu, menegakkan hukum dan kedaulatan negara.

Seperti diketahui, pekan lalu, Agustiana masuk dalam DPO Polda Jawa Barat karena diduga terlibat pembalakan liar di sejumlah hutan di kawasan Cigugur, Ciamis, Jawa Barat. Ini adalah hasil operasi berbagai satuan dari Polda Jawa Barat ke ke hutan Cigugur Kab. Ciamis. Tim yang terdiri dari Satuan Brimob, Reserse, dan Intelkam itu diharapkan mengungkap kasus pembalakan dan menangkap pelakunya.

Alwan Ridha Ramdhani

Kasus Pembalakan Liar Di Ciamis: Agustiana akan Datang ke Polda Jawa Barat Senin

Sabtu, 21 Juni 2008

TEMPO Interaktif, Bandung
:Sekretaris Jenderal Serikat Petani Pasundan Agustiana, dikabarkan akan mendatangi Markas Polda Jawa Barat Senin besok. "Rencananya Kang Agus (Agustiana) akan ke Polda hari Senin," kata Ai Nanan Handayani, aktivis Serikat Petani Pasundan Desa Pasawahan Kabupaten Ciamis.

Menurut Ai, kedatangan Agustiana untuk mengklarifikasi tuduhan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat Inspektur Susno Duadji. Sebelumnya, Susno mengatakan Agustiana terlibat dalam pembalakan liar di hutan Cigugur, Ciamis, Jawa Barat. Dia diminta menyerahkan diri ke kantor polisi. Rencananya Agus akan didampingi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.

Sejak Sabtu lalu, Polda Jawa Barat menggelar operasi ke area Hutan Cigugur. Operasi itu untuk memburu pelaku pembalakan yang marak terjadi di kawasan tersebut. Sedikitnya 650 personel Brigade Mobil, reserse, intel, dan petugas Perhutani dilibatkan dalam operasi.

Hingga Sabtu sore, Agustiana sendiri tidak dapat dimintai konfirmasi. Saat dihubungi, telepon selularnya selalu dalam kondisi tidak aktif. Begitu pula dengan rekan-rekannya aktivis Serikat Petani Pasundan. "Kawan-kawan memang sedang sulit dihubungi karena sedang melakukan konsolidasi di lapangan," kata Ai.

Rana Akbari Fitriawan

Komnas HAM Klaim Temukan Pelanggaran HAM di Cigugur

Senin, 23 Juni 2008

TEMPO Interaktif, BANDUNG
:Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menemukan indikasi pelanggaran hak asasi manusia dalam operasi anti pembalakan liar oleh Kepolisian Daerah Jawa Barat di kawasan hutan Cigugur, Ciamis, Jawa Barat.

Menurut anggota Sub Komisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Johny Nelson Simanjuntak, pelanggaran itu diantaranya banyaknya warga biasa sekitar hutan yang hingga kini terpaksa mengungsi karena takut ditangkap polisi. "Mereka takut dianggap pembalak liar oleh polisi,"kata Johny saat dihubungi di Bandung Senin (23/6).


Menurut Johny, operasi anti pembalakan dengan mengerahkan ratusan aparat bersenjata adalah berlebihan. "Seperti mau perang saja,"katanya. Akibatnya, kata dia, alih-alih efektif menangkap para pembalak liar sesungguhnya, operasi itu malah mengancam rasa aman warga sekitar hutan.

Minggu (22/6), Johny mengunjungi pemukiman warga di sekitar hutan Cigugur. Kunjungan itu untuk verifikasi laporan warga ke Komnas HAM tentang dugaan pelanggaran hak asasi manusia dalam operasi anti pembalakan liar oleh Kepolisian Daerah Jawa Barat.

Menurut laporan tersebut, dalam operasinya polisi menggeledah rumah warga sekitar hutan untuk mencari kayu gelondongan yang diduga hasil pembalakan liar. Polisi langsung melakukan penyitaan bila menemukan kayu gelondongan di rumah warga. Alasannya, kayu tersebut diduga sebagai hasil pembalakan liar. "Akibatnya banyak warga ketakutan dan kemudian meninggalkan rumah dan
dusunnya," katanya.

Polda Jawa Barat menggelar operasi hutan lestari atau anti pembalakan liar di Cigugur, Ciamis, Jawa Barat sepekan terakhir. Dalam operasi itu, ditemukan sekitar 130 meter kubik kayu.

Johny menambahkan dalam waktu dekat pihaknya akan mengeluarkan opini terkait kasus Cigugur. "Sebelum mengeluarkan opini terlebih dahulu kami akan menemui markas Polda Jawa Barat untuk meminta penjelasan," kata Johny yang saat dihubungi sudah kembali ke Jakarta.

Erick P Hardi

Komnas HAM Temukan Pelanggaran

CIAMIS, (PRLM).- Komnas HAM menemukan indikasi adanya pelanggaran HAM dalam Operasi Hutan Lestari Lodaya 2008 di kawasan hutan Cigugur dan Harumandala, Kab. Ciamis, yang dilakukan oleh aparat. Indikasi tersebut di antaranya telah menimbulkan rasa ketakutan masyarakat.

Sub Komisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Johny Nelson Simanjuntak, mengungkapkan hal tersebut kepada wartawan, Senin (23/6). Dia mengatakan itu setelah sehari sebelumnya melakukan investigasi lapangan.

Dia menilai digelarnya pasukan yang jumlahnya mencapai 600 personel Brimob, merupakan tindakan yang di luar batas kewajaran. Sebab, lokasi atau sasarannya tidak sedang dikuasai oleh masyarakat sipil bersenjata atau pemberontak.

"Tidak harus berlebihan, pengerahan pasukan besar-besaran itu tidak normal. Wilayah tersebut kan tidak sedang dikuasai sipil bersenjata, itu wilayah damai. Misalkan operasi cukup 10 orang atau satu kompi saja," tuturnya.

Investigasi yang dilakukan Komnas HAM berlangsung pada Minggu (22/6) malam. Dia mengungkapkan berdasarkan kesimpulan dari lapangan, selama berlangsungnya operasi ada indikasi terjadinya pelanggaran HAM. Misalnya telah memunculkan perasaan takut masyarakat sekitar hutan. Selain itu tindakan aparat yang memasuki rumah dengan cara membongkar dan mengacak-acaknya, juga merupakan kesalahan.

"Bahkan kita juga menerima keterangan adanya beberapa ekor ayam dan beras hilang. Ini adalah tindakan yang tidak sesuai hukum. Termasuk ada warung yang isinya juga sudah hilang. Ini tidak bisa dibenarkan. Saya kira tindakan itu tidak diketahui oleh komandan, tetapi itulah yang terjadi di lapangan," tuturnya.

Bahkan Johny juga mengungkapkan sampai saat ini masih ada sekitar 40 kepala keluarga yang belum pulang ke rumah. Demikian pula anak-anak murid juga belum masuk sekolah. "Keberadaan mereka belum diketahui. Dan anak yang tidak sekolah juga merupakan pelanggaran. Itu harus menjadi perhatian dari Polda," katanya menegaskan.

Berbeda dengan temuan yang dilakukan Komnas HAM, Forum Penyelamat Lingkungan Hidup (FPLP) Jawa Barat yang telah melakukan investigasi sejak tanggal 28 April 2008, tidak menemukan adanya pelanggaran HAM dalam operasi tersebut. Bahkan masyarakat sekitar juga sepenuhnya mendukung langkah tegas Polda Jabar dalam memerangi pembalakan liar (illegal logging).

"Soal pada awalnya adanya ketakutan itu masih dalam batas sangat wajar dan manusiawi. Namun hanya berlangsung dua hari, selanjutnya masyarakat justru mendukung operasi. Mereka juga menyatakan terimakasih dengan operasi tersebut. Bahkan banyak ibu-ibu yang ikut memasak untuk mereka," tuturnya.

Anak-anak sekolah, lanjutnya, memasuki hari ketiga operasi juga sudah bermain di lapangan Jayasari Desa Langkaplancar tempat didirikannya tenda komando operasi. Lokasi tersebut berada di perbatasan dengan kawasan hutan Harumandala dan Cigugur. "Mereka juga akrab dengan polisi, bahkan juga bermain di sekitar truk polisi. Jadi kalau takut pada awalnya, itu sangat wajar," katanya.

Poppy mengatakan, tindakan tegas yang dilakukan Kapolda Jabar Irjen Pol Susno Duadji harus mendapat dukungan dari semua pihak. "Kejadian pembalakan liar itu kan sudah berlangsung bertahun-tahun, namun baru kali ini ada gebrakan tegas. Ini yang harus kita dukung," tuturnya.(A-101)