29 Agustus 2008

SPP Akan Gugat Perhutani

PR, Jum'at, 29 Agustus 2008

CIAMIS, (PRLM).- Serikat petani Pasundan (SPP) berencana mengajukan gugatan ke PTUN terhadap Perhutani yang dinilainya telah menyerobot hutan seluas 708,6 hektare. Hutan tersebut tersebar di lima desa, yakni Desa Cikaso, Cigayam, Banjaranyar, Pasawahan dan Kalijaya. Seluruhnya berada di wilayah Kecamatan Banjarsari.

Deputy SPP Ciamis Imam Bambang mengatakan, proses penguasaan oleh Perum Perhutani itu tidak sesuai dengan peraturan perundangan. Hal ini terungkap pada pertemuan yang dimediasi BPN Pusat di Jakarta tahun 2001.

“Dalam pertemuan terbukti Perhutani tidak mempunyai surat penunjukkan kawasan hutan, dan tidak pernah melakukan penataan batas dan pemetaan atas wilayah708,6 hektare tersebut,” tuturnya.

Menanggapi hal itu, Waka ADM Perhutani Ciamis, Amas Wijaya mengatakan, Perhutani mengelola hutan berdasarkan buku Berita Acara Tapal Batas (BATB) yang di dalamnya juga dilengkapi dengan peta wilayah. Dengan demikian, apabila ada keberatan atas wilayah tersebut, harus dapat dibuktikan kepemilikannya.

“Sekalian juga cross chek (cek silang) apakah benar milik rakyat atau bukan. Apabila milik rakyat, silakan diproses jadi hak milik. Dalam hal ini Perhutani hanya sebagai pengelola saja, sedangkan penentuan tanah merupakan hak negara,” ujarnya.

Berkenaan dengan PTUN yang akan dilakukan oleh SPP, dengan tegas Amas juga mengatakan silakan saja. “Kami siap untuk menghadapi gugatan tersebut. Justru melalui jalur hukum akan lebih elegan,” tambahnya.(A-101/A-147)***

27 Agustus 2008

Tiga Aktivis Tani Diculik di Garut!

Urgent Release (26/08/2008):
Front Perjuangan Rakyat (FPR)
 
Petani vs PTPN VIII Condong
Tiga Aktivis Tani Diculik di Garut!
 
Hentikan kekerasan terhadap petani! Bebaskan seluruh petani yang ditangkap! Laksanakan Land-reform sejati!
 
Jakarta, AGRA. Pada hari ini, sekelompok orang tidak dikenal—diduga dari pihak Brimob Polda Jawa Barat—menculik tiga aktivis Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), atas nama Mulyana, Asep, dan Dayat, di Kabupaten Garut, Jawa Barat.
 
Ketiga aktivis yang diculik setelah memimpin unjuk rasa damai petani desa Karangsari, Pakenjeng, Garut yang memprotes intimidasi dan kekerasan yang dilakukan pihak Brimob Polda Jabar dan aparat PTPN VIII Condong.
 
Tindakan penculikan ini secara jelas tidak hanya memperkeruh proses penyelesaian sengketa agraria yang melibatkan PTPN VIII Condong dengan petani dari Desa Karangsari, Kabupaten Garut, melainkan turut memperburuk keamanan warga desa setempat.
 
Ragil Sugiyarna, juru bicara Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) menyatakan pihaknya menuntut agar ketiga aktivis AGRA tersebut dibebaskan dan mengecam keras berbagai tindakan kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian dalam kasus sengketa agraria antara PTPN VIII dengan petani.
 
Kuat dugaan bila aksi penculikan tersebut dilakukan oleh pihak Brimob Polda Jawa Barat, mengingat menurut laporan warga, selama ini Brimob berada di lokasi dan menjadikan wilayah desa Karangsari Kabupaten Garut semacam daerah operasi militer. Petani-petani yang dikenal aktif memperjuangkan hak-haknya atas tanah kerap mengalami intimidasi dan penangkapan.
 
Tindakan kepolisian ini memancing reaksi dari Lembaga Bantuan Hukum Bandung (LBHB). Gatot Riyanto, Direktur LBH Bandung, menyatakan pihaknya mengecam dan meminta klarifikasi dari kepolisian resort Garut atas peristiwa tersebut. "Kami menuntut kepolisian untuk menghentikan intimidasi dan membuka kesempatan penyelesaian sengketa secara damai," tegas Gatot.
 
Sebelumnya, pihak Brimob Polda Jawa Barat telah menangkap 6 orang warga, termasuk seorang siswa SMU, yang disangka terlibat dalam aksi-aksi menuntut hak atas tana h. Dengan penangkapan yang dilakukan dengan cara penculikan ini, berarti sudah ada 8 orang yang telah ditangkap oleh kepolisian.
 
Menyikapi kasus-kasus kekerasan yang melibatkan kepolisian dalam sengketa agraria, 14 Agustus 2008 lalu, Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) bersama Front Perjuangan Rakyat (FPR) menggelar aksi protes secara damai di depan Mabes Polri dan Kantor Pusat Badan Pertanahan Nasional.
 
Pada saat ini, AGRA tetap menuntut agar kepolisian membebaskan seluruh petani yang ditangkap karena terkait dengan sengketa agraria. "Sengketa agraria adalah masalah politik yang menuntut penyelesaian politik. Tindakan kekerasan terhadap petani, tidak akan pernah bisa meredam perjuangan tani menuntut hak atas tanah, tegas Sugiyarna.***
 
Referensi:
Ragil Sugiyarna

23 Agustus 2008

Australia Bertekad Tanam Modal di Bidang Pertanian Indonesia

Jakarta (ANTARA News) 21/08/08 - Pemerintah Australia menyatakan tekadnya mendorong penanaman modal dan peningkatan pembangunan kemampuan di bidang pertanian Indonesia.

Menteri Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Australia Tony Burke dalam jumpa pers di Jakarta pada Kamis mengatakan, "Pemerintah Australia serius mendorong penanaman modal serta membantu meningkatkan pembangunan keamampuan pemerintah Indonesia di bidang pertanian."

Menurut Burke, Australia mengenali tantangan penghasil pertanian di Indonesia dan akan bekerja sama dengan pemerintah Indonesia untuk membantu mengembangkan bidang pertanian.

"Saya sangat senang melanjutkan pembicaraan, yang selama ini telah berlangsung, terutama menjabarkan keuntungan bagi kedua negara," katanya dengan menambahkan bahwa ia mengetahui dari Menteri Perdagangan Mari Pangestu dan Menteri Pertanian Anton Apriyantono bahwa modal di bidang pertanian merupakan prioritas di Indonesia.

"Kami juga melihat kemungkinan keuntungan bagi penghasil tananam budidaya Australia. Kami pikir terdapat kesempatan di industri agribisnis bagi produsen Australia dan Indonesia untuk bekerja sama guna melakukan ekspor ke seluruh dunia," katanya.

Burke menilai perjanjian perdagangan kawasan akan memberikan keuntungan besar bagi kedua negara di pasar dunia.

"Langkah apa pun untuk liberalisasi perdagangan pertanian juga dapat membantu mengatasi kekurangan pangan dunia," kata Burke merujuk pada Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-Australia-Selandia Baru, yang tengah dibahas.

Burke, yang melakukan lawatan ke Indonesia pada 20-22 Agustus 2008, telah melakukan pertemuan dengan Menteri Pertanian Anton Apriyantono, Menteri Perdagangan Mari Pangestu, Menteri Kehutanan MS Kaban dan melakukan kunjungan ke tempat penggemukan sapi dan salah satu penghasil tepung terigu terbesar di dunia.

Burke juga akan bertemu dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi dan Menteri Keuangan dan Penjabat Menteri Koordinator Ekonomi Sri Mulyani.

Pada hari pertama lawatannya, Burke berkunjung ke pusat penggemukan sapi, yang memiliki 22.000 sapi impor dari Darwin. Australia adalah pemasok utama sapi bagi Indonesia. Benua Kanguru itu mengirim lebih dari 520.000 sapi pada 2007, senilai 339 juta dolar Australia.

Ia juga mengunjungi penghasil tepung terigu Bogasari, dengan daya hasil 3,6 juta ton setahun. Perusahaan itu dipercaya sebagai penghasil terbesar tepung terigu di dunia dalam satu tempat.

Australia tercatat sebagai pemasok utama gandum bagi Indonesia, dengan jumlah 1,5 juta ton pada 2007.

Kunjungan Burke disertai perutusan industri, termasuk perwakilan dari Meat and Livestock Australia, Cattle Council of Australia, Australian Livestock Exporters Council dan Australian Citrus Growers.(*)

COPYRIGHT © 2008

20 Agustus 2008

KAMPANYE PILKADA: Keberpihakan kepada Petani Dipertanyakan

Rabu, 20 Agustus 2008

Palembang, Kompas - Konsep keberpihakan kedua pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur Sumatera Selatan kepada petani dinilai tidak tegas karena belum menyinggung pembaruan agraria. Pembaruan agraria diperlukan untuk memastikan agar semua petani memiliki tanah untuk berproduksi.

Demikian Wakil Ketua Majelis Nasional Petani Serikat Petani Indonesia (SPI), JJ Polong, di sela diskusi menyambut hari ulang tahun ke-10 SPI di Hotel Bumi Asih, Palembang, Selasa (19/8).

Menurut Polong, sebelum pemerintah daerah (pemda) memastikan investasi untuk perkebunan yang membutuhkan areal luas, pemda seharusnya lebih dulu memastikan agar semua petani mempunyai lahan yang cukup untuk berproduksi dan berpenghasilan di atas garis kemiskinan.

Mengacu garis kemiskinan standar Perserikatan Bangsa- Bangsa, yakni 2 dollar AS per hari, maka satu keluarga petani dengan lima anggota keluarga harus mampu menghasilkan 10 dollar AS per hari. Ini setara dengan sekitar Rp 100.000 per hari atau Rp 3 juta per bulan.

”Itu hanya bisa dihasilkan kalau petani memiliki tanah setidaknya 2 hektar. Kenyataannya, masih banyak petani di Sumatera Selatan yang tidak memiliki tanah atau hanya menjadi buruh tani,” kata Polong.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Lembaga Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia, Komite Masyarakat Konstitusi Sumatera Selatan, Bambang Purnomo menuturkan, pembaruan agraria tergantung dari political will pemerintah.

Kalau tak ada keberanian dari pemerintah, pembaruan agraria tidak akan pernah tercapai. Terkait kebijakan hukum soal reforma agraria, kata Bambang, pemerintah selama ini berpegang pada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960.

Namun di sisi lain, UU organik yang menyangkut sektor-sektor yang berkaitan dengan pertanahan, misalnya UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Perkebunan, sering tidak sejalan dengan eksistensi UUPA Tahun 1960.

”Dalam konteks otonomi seperti saat ini, seharusnya ada keberanian dari pemerintah lokal untuk melakukan terobosan, misalnya dalam bentuk perda (peraturan daerah) mengenai redistribusi tanah bagi sektor pertanian,” kata Bambang.

Terkait redistribusi tanah ini, menurut Bambang, pemerintah dapat mengalokasikan tanah yang sudah lama ditinggalkan atau tidak produktif, semisal tanah eks hak pengusahaan hutan, untuk dibagikan kepada petani yang tidak memiliki tanah.

Pembuatan perda semacam itu dapat melibatkan Badan Pertanahan Nasional, legislatif, dinas dan instansi terkait, serta organisasi masyarakat yang menyuarakan kepentingan petani. Hal itu agar petani bisa lebih sejahtera. (CAS)