26 Mei 2007

Reforma Agraria Dinilai Belum Bisa Dijalankan

Sabtu, 26 Mei 2007

TEMPO Interaktif, Jakarta
: Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia, Sutrisno Iwantono, meminta pemerintah sebaiknya tak menjalankan reforma agraria dalam dua tahun ke depan. Alasannya, pemerintah belum memiliki konsep yang jelas yang didukung dengan data tanah dan warga calon penerimanya.

“Seratus persen saya yakin, progam ini tidak memungkinkan untuk dijalani,” katanya dalam diskusi bertajuk “Bagi-bagi Tanah Gratis” di Time Break Caofee, Plaza Semanggi, Jakarta, Sabtu (26/5).

Pemerintah berencana membagikan tanah bersertifikat gratis bagi rakyat miskin sebagai bagian dari reformasi agraria dan pengentasan kemiskinan. Rencananya, ada 9,25 juta hektar tanah yang akan dibagikan pada sembilan juta penduduk miskin.

Menurut Sutrisno, lembaga pelaksana reforma agraria juga belum memiliki otoritas untuk membagi tanah. Badan Pertanahan Nasional (BPN), kata dia, tak memiliki payung hukum untuk melaksanakan program semacam ini. “Pembagian tanah harus didasarkan pada undang-undang, bukan hanya keputusan menteri atau Kepala BPN. Apalagi, tanah yang dibagikan adalah tanah milik negara,” katanya.

Pembentukan undang-undang pun, kata dia, memerlukan waktu yang tak sebentar.
Pemerintah masih harus memikirkan sarana produksi dan infrastruktur untuk program ini. Penerima tanah tak mungkin bisa mengembangkan produktivitas lahan tanpa ada fasilitas seperti bibit, pupuk, sistem irigasi, dan infrastruktur.

Ia khawatir, akan timbul kekacauan dalam pelaksanaan program ini jika pemerintah tak menyiapkan berbagai kelengkapan sebelumnya. Sutrisno mempertanyakan kesiapan Badan Pertanahan Nasional untuk melakukan reforma.

Ia mencontohkan, untuk pelaksanaan tugas pokok seperti mengurus sertifikat tanah biasa saja, diperlukan waktu satu tahun. “Apalagi, pemerintah telah telanjur memberitahukan program ini. Kalau sampai tidak jalan, rakyat akan kecewa,” katanya.

Sutrisno mengatakan bahwa kalaupun ingin mempercepat reforma, pemerintah hanya bisa menggunakan lahan milik negara dan Badan Usaha Milik Negara. Pemerintah tak bisa mengambil alih tanah pribadi begitu saja, walaupun tanah itu tak produktif.

Selain itu, pemerintah harus menyeleksi penerima tanah dengan ketat. “Kriterianya jangan hanya penduduk miskin, tapi yang terpenting masyarakat yang memiliki budaya mengelola tanah,” katanya.

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria, Usep Setiawan, mengatakan bahwa prioritas penerima tanah harus diberikan pada buruh tani dan petani gurem yang memiliki lahan tak lebih dari setengah hektar. Masih banyak petani yang tak memiliki tanah sendiri. “Reforma agraria seharusnya bisa menciptakan petani sejati yang memiliki tanah sendiri,” katanya.

Setelah petani tanpa tanah dan petani gurem, kata Usep, pemerintah bisa melibatkan masyarakat miskin perkotaan. Masyarakat kota yang miskin ini harus ditransformasi menjadi masyarakat desa melalui transmigrasi. “Mereka diberi pelatihan pengolahan tanah terlebih dulu. Cara ini pernah diterapkan di Brazil dan cukup berhasil,” katanya.

Wakil Ketua Komisi Pemerintahan Dalam Negeri Dewan Perwakilan Rakyat, Priyo Budi Santoso, mengatakan bahwa pekan depan komisinya berencana memanggil Kepala Badan Pertanahan Nasional, Joyo Winoto. “Kami akan meminta dia menerangkan konsep yang akan diterapkan,” katanya.
Stefanus Teguh Pramono

Tidak ada komentar: