09 Juni 2010

LSM Mengutuk Penembakan Petani di Riau

Jakartapress.com, Rabu, 09/06/2010, Jakarta - Elemen Masyarakat Sipil yang terdiri atas Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)-Eknas, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Sawit Watch, Kontras, PBHI, Imparsial, LMND, pergerakan, dan IGJ, mengecam keras tindakan represif aparat kepolisian Riau (Polres Riau, Brimob dan Polda Riau) dalam menangani demonstrasi petani kelapa sawit 8 Juni 2010 di Kuantan Senggigi (Kuansing) Riau, kemarin.

”Kami menyayangkan sikap aparat kepolisian dalam menangani demonstran. Reformasi kepolisian belum maksimal, hal ini terlihat dari catatan tindakan kekerasan kepolisian terhadap masyarakat khususnya petani. Artinya, polisi tidak profesional,” ujar aktivis Kontras Sri Suparyati saat Press Confrence di kantor Walhi-Eknas, Jakarta, Rabu (9 Juni 2010).

Sementara itu, Deputi Advokasi Kebijakan KPA D.D. Shineba menyatakan kejadian ini berulang kali terjadi dan kerapkali melibatkan Polri dan TNI. Lebih jauh ia menyarakankan agar Polisi dan juga TNI tidak boleh ikut campur dalam sengketa tanah agar peristiwa kekerasan tersebut tidak terjadi lagi.

”Ada banyak cara agar peristiwa ini tidak lagi terjadi. Pertama, Polisi dan TNI tidak boleh ikut campur dalam urusan sengketa tanah. Kedua, Pemerintah harus membuat lembaga sengketa agraria, dan ketiga, laksanakan reforma agraria seutuhnya,” ujarnya.

Apa yang diungkapkan oleh kalangan elemen masyarakat sipil tersebut terasa wajar jika melihat data-data yang dikeluarkan oleh Walhi, Sawit Watch, dan SPKS tentang jumlah korban kekerasan aparat kepolisian selama semester I 2010 dalam menghadapi aksi petani. 80 orang tercatat menjadi korban meninggal dunia di seluruh Indonesia, terbesar di daerah Luwuk, Sulawesi Tengah ketika petani berhadapan dengan PT. KLS.

Peristiwa kekerasan di Riau kemarin sendiri menurut Walhi-Eknas berawal dari aksi demonstrasi warga pukul 09.00, 8 Juni 2010 dimana massa petani dari 11 desa Kecamatan Lubuk Jambi berkumpul di Desa Cengar. Mereka adalah anggota Koperasi Tani Prima Sehati yang selama ini berkonflik dengan PT. TBS. Kemudian massa masuk areal perkebunan untuk memanen tandan sawit. Ketika panen sedang berlangsung, polisi masuk dan menghadang, mengejar bahkan menembaki warga dengan senjata api.

Akibat bentrokan tersebut, 1 orang petani bernama Yusniar (45 tahun) meninggal tertembus peluru dibahagian dada dari belakang dan Disman (43 Tahun) kritis. Aparat beralasan bahwa tembakan tersebut untuk membela diri dari amukan massa. Bentrokan juga menghasilkan 11 orang ditahan, namun pada malam harinya dibebaskan kembali oleh pihak kepolisian Mapolres Kuantan Senggigi.

Roadshow Menuntut Keadilan dan Boikot
Atas peristiwa itu Deputi Direktur Walhi-Eknas Erwin Usman menyatakan dalam 10 hari kedepan, ia bersama seluruh elemen yang tergabung akan melakukan roadshow ke instansi terkait seperti Komnas HAM, Mabes Polri dan lain-lain agar megusut tuntas kasus penembakan tersebut.

Sementara itu Deputi Kampanye dan pendidikan publik Sawit Watch Edi Sutrisno mendesak agar Dirjen harus mencabut izin usaha dan BPN untuk meninjau kembali HGU dari PT. TBS. ”Pembeli (konsumen pasar CPO) harus hati-hati ketika membeli CPO, mereka harus mengetahui apakah CPO tersebut berasal dari perusahaan pelanggar HAM. Jika ya, maka jangan dibeli. Lakukan boikot” serunya.

Awal Persengketaan
Menurut elemen masyarakat sipil tersebut, demonstrasi petani tersebut dipicu konflik atas ketidakadilan pengelolaan areal kelapa sawit yang dikuasai oleh PT. Tri Bakti Sarimas (PT. TBS). Pada awalnya, pengelolaan luas lahan 9.314 Ha dikelola oleh masyarakat bekerjasama dengan PT. TBS melalui konsep plasma, namun PT. TBS dituding melakukan perubahan perjanjian secara sepihak dengan mengelola sendiri dengan alasan kebijakan revitalisasi perkebunan.

Lahan seluas 12.000 Ha pada awalnya merupakan milik 4000 KK yang kemudian diserahkan kepada PT. TBS tahun 1999 untuk dibangun menjadi kebun kelapa sawit. Areal yang baru dikelola hingga saat ini hanya 9.314 Ha dan yang berhasil dipanen hanya 4.500 Ha saja. Presiden SPKS Mansuetus Darto menuturkan bahwa kebijakan revitalisasi perkebunan produk pemerintahan SBY melahirkan ketidakadilan bagi petani.

”kebijakan revitalisasi perkebunan produk pemerintahan SBY telah menyebabkan ketidakadilan bagi petani. Indikasinya adalah pendapatan petani akibat kebijakan tersebut menurun drastis dari seharusnya Rp. 1,6 juta perbulan/Ha menjadi hanya Rp. 30 ribu s/d Rp. 150.000 saja tiap bulannya,” ujarnya.

Ia juga menambahkan bahwa PT. TBS tidak ada niat baik dalam mengelola lahan perkebunan. ”Baru 4000 Ha saja yang dikelola dan itupun menghaslkan produksi jauh dari standar, belum lagi kondisi lahan yang tidak dirawat,” imbuhnya. (jzg)

Tidak ada komentar: