05 Oktober 2004

Memorandum untuk Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam

Agenda 100 Hari Pemerintahan Baru

Di masa Orde Baru, pembangunan telah berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi, namun di sisi lain gagal dalam mewujudkan keadilan sosial dan ekologi. Hal ini terlihat dari makin meningkatnya kesenjangan ekonomi, kegagalan mengatasi kemiskinan, dan meningkatnya kerusakan sumber-sumber agraria dan sumber daya alam serta degradasi lingkungan hidup.

Kombinasi antara krisis ekonomi yang kemudian secara cepat berkembang menjadi krisis multidimensional dan oposisi mahasiswa serta kelompok pro-demokrasi dengan dukungan rakyat yang massif, akhirnya berhasil meruntuhkan rezim Orde Baru yang menandai sebuah era baru, Era Reformasi.

Transisi demokrasi yang telah berlangsung selama 5 tahun lebih ini, ternyata tidak mampu memenuhi harapan dan aspirasi rakyat. Terjadi proses liberalisasi politik, seperti kebebasan mendirikan partai-partai politik, pemilu yang lebih bersih dan kebebasan pers, namun demikian perubahan yang terjadi hanyalah mencerminkan pergeseran dan sirkulasi di tingkat elit kekuasaan dengan mengabaikan aspek akuntabilitas dan representasi kepentingan publik.

Ketidakadilan dan kemiskinan struktural tetap bertahan bahkan bertambah parah dengan terjadinya penghancuran sistem penunjang kehidupan. Terjadi peningkatan frekuensi bencana, baik banjir, tanah longsor, dan kekeringan akibat rusaknya ekosistem maupun meningkatnya intensitas pencemaran atas udara, laut, sungai, dan tanah, yang menimbulkan penurunan kualitas hidup, peningkatan konflik-konflik sosial-ekonomi untuk memperebutkan sumber-sumber agraria-sumberdaya alam, hancurnya sistem ekonomi, sosial dan budaya lokal, serta meningkatnya pengungsi pembangunan dan ekologi.

Hal ini disebabkan kebijakan pembangunan masih bertumpu pada pertumbuhan ekonomi (eksploitatif dan skala besar), memberlakukan sumber-sumber agraria/sumber daya alam sebagai komoditas dan memarginalkan akses dan kedaulatan rakyat atas sumber-sumber kehidupan tersebut. Pertama, berbagai kebijakan dan juga perundang-undangan, seperti UU Perkebunan, UU Sumber Daya Air, Perpu 1/2004, dan Rancangan Undang-Undang (RUU), seperti RUU Sumberdaya Agraria, RUU Pertambangan, RUU Migas dan Panas Bumi, didominasi oleh kepentingan pelaku bisnis (pemodal) atau memiliki motif untuk meliberalisasi dan privatisasi sumber-sumber agraria/sumberdaya alam. Kedua, proses legislasi masih bertumpu pada sistem pengelolaan yang bersifat sektoral yang menyebabkan peraturan yang saling tumpang tindih dan bahkan bertentangan. Ketiga, belum adanya kemauan politik untuk penegakan hukum terhadap tindak pidana kolusi dan korupsi yang terjadi dalam sistem pengelolaan sumber-sumber agraria dan sumber daya alam. Keempat, masih kuatnya keterlibatan aparat militer dalam bisnis maupun dalam melindungi dan mengamankan bisnis-bisis legal maupun ilegal yang berkaitan dengan sumber agraria atau sumber daya alam. Kelima, meningkatnya intensitas represi dan kriminalisasi atas kebebasan berekspresi bagi masyarakat korban yang menuntut hak-haknya.

Pemerintahan baru hasil pemilu 2004 yang menempatkan program pemulihan ekonomi dan pemberantasan kemiskinan sebagai prioritas pertama harus keluar dari paradigma pembangunan lama. Ke depan, pemerintah harus menerapkan kebijakan pembangunan yang berorientasi kepada keadilan dan keberlanjutan ekonomi, sosial, dan ekologi (daya dukung lingkungan hidup).

Dalam jangka pendek, pemerintah harus meletakkan pondasi kelembagaan dan kebijakan untuk memulihkan, menegakkan, menguatkan hak-hak politik, ekonomi, sosial rakyat atas sumber-sumber kehidupan (agraria dan sumberdaya alam), dan lingkungan hidup. Untuk itu, pemerintah harus segera melaksanakan amanat TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Sebagai langkah pertama pemerintah harus segera melakukan:

  • Moratorium Peraturan Perundangan-undangan Baru dan Melakukan Peninjauan Kembali Perundang-undangan Sektoral yang ada.

Semua perundangan-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan agraria dan sumberdaya alam harus mengacu kepada keadilan ekonomi-sosial-ekologi intra dan antar-generasi, mengacu kepada prinsip kehati-hatian, kepastian hukum dan akuntabilitas publik, perlindungan masyarakat adat, keterpaduan antar sektor dan keberkelanjutan. Untuk itu, dilakukan moratorium peraturan perundangan baru di bidang agraria dan sumber daya alam dan melakukan tinjauan terhadap semua perundangan sektoral yang telah ada. Dengan landasan itu, kemudian dapat disusun sistem perundang-undangan baru yang bersifat holistik, integratif, dan partisipatif, di antaranya adalah undang-undang untuk melaksanakan pembaharuan agraria (1) yang diperlukan untuk menghilangkan dan mengatasi ketimpangan dan ketidakadilan akses, kontrol, dan kepemilikan sumberdaya agraria, perundangan yang mengatur pengelolaan agraria dan sumberdaya alam (2) yang mampu mengintegrasikan semua perundang-undangan sektoral (inisiasi untuk penyusunan perundang-undangan ini telah dilakukan selama lebih kurang 4 tahun dengan melibatkan seluruh ‘stakeholder’ dan melalui proses konsultasi publik yang luas di 159 lokasi) serta undang-undang perlindungan lingkungan hidup (3) yang mengatur upaya pencegahan dan penanganan kerusakan, penegakkan hukum/sanksi dan upaya rehabilitasi atau pemulihan lingkungan hidup. Moratorium dilakukan paling tidak dalam jangka waktu 1 tahun, sebagai waktu yang efektif untuk melakukan kaji ulang perundang-undangan sektoral yang ada. Untuk itu, dalam 100 hari ke depan, telah ada penetapan pemerintah untuk melakukan kaji ulang terhadap perundang-udangan sektoral yang ada dan penyiapan undang-undang yang baru.

  • Moratorium Perizinan Pemanfaatan Sumber Daya Alam dan Melakukan Evaluasi Atas Perizinan yang telah dikeluarkan.

Untuk mencegah intensitas pengurasan sumber daya alam dan penghancuran lingkungan hidup, maka salah satu cara efektif untuk membendungnya adalah dengan cara memberlakukan moratorium perizinan pemanfaatan sumber daya lama (terutama di sektor ekstraktif skala besar, seperti pertambangan, pulp-paper, dan perkebunan). Moratorium ini dilakukan untuk kurun waktu 1 tahun untuk membenahi sistem pengelolaan sumber daya alam dari aspek keadilan ekonomi, sosial, dan ekologi yang berpihak kepada rakyat banyak. Dalam waktu 100 hari ke depan, terkait pula dengan poin 1 di atas, pemerintah telah mengeluarkan satu kebijakan untuk melakukan evaluasi terhadap perizinan pemanfaatan sumber daya alam, terutama perijinan usaha yang memiliki dampak besar terhadap kehidupan masyarakat dan lingkungan hidup.

  • Pembentukaan kelembagaan khusus yang bersifat independen untuk menyelesaikan konflik atau sengketa berkenaan dengan sumberdaya agaria atau sumber daya alam.

Pendirian lembaga penyelesaian sengketa dimaksudkan untuk memulihkan hak-hak rakyat yang telah dilanggar dan konflik-konflik yang sangat intens dan meluas di bidang agraria dan pengelolaan sumber daya alam akibat pola pemerintahan masa lalu yang sentralistik, koruptif, kolusif, dan represif. Hanya melalui pemulihan hak-hak rakyat dan konflik-konflik agraria dan sumber daya alam sebagai upaya menyeimbangkan neraca kedaulatan dan keadilan ini, negara akan memperoleh legitimasi dan dukungan untuk melakukan pembaharuan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Komnas HAM dan beberapa organisasi non-pemerintah telah menyiapkan kerangka pembentukkan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria dan Sumber Daya Alam. Untuk itu, dalam 100 hari ke depan, telah ada ketetapan pemerintah untuk pembentukkan Komisi tersebut.

  • Penegakkan Hukum

Untuk menunjukkan kesungguhan pemerintah dalam melakukan pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, pemerintah harus segera mempercepat proses penegakan hukum menyangkut aspek pidana dan administrasi terhadap pelanggaran hukum yang terkait dengan operasi perusahaan PT Newmont Minahasa Raya, baik menyangkut aspek perampasan tanah rakyat, pencemaran lingkungan hidup dan kemungkinan adanya kolusi dan korupsi dalam kasus ini. Serta memberikan kompensasi dan pemulihan hak-hak para korban. Kedua, segera melakukan pengusutan terhadap indikasi penyuapan dalam penetapan UU No. 1/2004 yang mengatur izin pertambangan di hutan lindung bagi 13 perusahaan pertambangan dan membatalkan UU yang kontroversial baik dari sisi substansi maupun proses penyusunannya tersebut.

  • Keterlibatan Militer dalam Bisnis yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam.

Masih kuatnya indikasi keterlibatan aparat militer dalam bisnis maupun dalam melindungi dan mengamankan bisnis-bisis legal maupun ilegal yang berkaitan dengan sumber agraria atau sumber daya alam, maka dalam waktu 100 hari untuk menunjukkan kemauan politik pemerintah dan netralitasnya terhadap kepentingan militer, maka presiden harus mengeluarkan pernyataan untuk melarang dan menindak oknum-oknum militer tersebut. Selain itu, pemerintah harus segera menginstruksikan untuk menarik unit-unit militer dari wilayah-wilayah konsesi seperti pertambangan dan mengembalikan masalah keamanan kepada aparat kepolisian.

Pemenuhan Agenda 100 Hari Pemerintah Baru hasil pemilu 2004 untuk Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam tidak semata-mata merupakan tanggung jawab Presiden tetapi juga pihak parlemen. Untuk itu, Koalisi untuk Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam akan mengawal proses ini, baik kepada pihak eksekutif maupun parlemen. Kami juga menyerukan kepada masyarakat yang dalam pemilu presiden putaran kedua memilih pasangan SBY-Kalla yang berjanji untuk memprioritaskan program pemulihan ekonomi dan pemberantasan kemiskinan, untuk bersama-sama mengawal agenda ini. Karena pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam untuk menegakkan keadilan ekonomi, sosial dan ekologi adalah fondasi bagi pemulihan ekonomi dan pemberantasan kemiskinan.

Selain itu, untuk mewujudkan pemulihan ekonomi dan pemberantasan kemiskinan sesuai komitmen ekonomi kerakyatan yang dicanangkan, pemerintah harus menitikberatkan pembangunan dan mengerahkan bagian besar dari sumberdaya yang dimiliki (termasuk alokasi dana sektor perbankan) untuk membangun infrastruktur dan peningkatan kapasitas sektor ekonomi menengah dan kecil (petani, nelayan, industri rumahan termasuk sektor informal). Di sisi lain, pemerintah harus menunjukkan langkah-langkah efektif untuk penegakkan hukum terhadap praktek-praktek kolusi, korupsi dan nepotisme penguasa-pengusaha di masa lalu, dan melakukan langkah-langkah pencegahan terhadap praktek KKN yang akan menggerogoti anggaran dan merugikan ekonomi negara.

Setelah 100 hari pemerintahan baru berjalan, kami akan menyampaikan kepada publik evaluasi kami atas pemenuhan agenda pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Sekaligus menyampaikan sikap kami, apakah kami akan memberikan kesempatan kepada pemerintah baru ini untuk 100 hari berikutnya atau menyampaikan sikap politik kami yang tegas terhadap legitimasi pemerintahan baru ini.

Jakarta, 4 Oktober 2004


Koalisi untuk Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam

WALHI, Pokja PA-PSDA, ICEL, KEHATI, LEAD Indonesia,
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), SKEPHI , Petani Mandiri
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Forest Watch Indonesia (FWI),
RACA Institute, Institut Hukum Sumberdaya Alam (IHSA), dan
Tranparency International Indonesia.

Kontak:

Ridha Saleh (WALHI)
Indro Sugianto (ICEL)
Taufiq Alimi (LEAD Indonesia)
Nur Amalia (RACA Institute)


Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Ridha Saleh
Deputi Direktur
Email Ridha Saleh
Telepon kantor: +62-(0)21-791 93 363
Mobile:
Fax: +62-(0)21-794 1673

Tidak ada komentar: