19 Januari 2007

Buah Simalakama Politik Beras (Opini)

Sinar Harapan, 19 Januari 2007

Oleh
Posman Sibuea

Beberapa minggu terakhir ini harga beras melambung tinggi. Pengakuan pedagang beras di sejumlah daerah, saat ini adalah harga beras termahal yang pernah mereka rasakan. Menko Perekonomian Boediono pun mengaku khawatir mengikuti perkembangan harga beras. Untuk itu pemerintah telah melakukan operasi pasar (OP) beras di sejumlah daerah guna meredam kenaikan harga makanan pokok yang satu ini.

Kenaikan harga beras adalah buah simalakama politik beras. Jika harga beras naik, maka masyarakat konsumen beras yang jumlahnya amat banyak di negeri ini akan mengalami kesulitan untuk memperolehnya di tengah daya beli yang kian menurun. Sementara, jika harga beras turun petani, si pahlawan ketahanan pangan, akan mengalami keterpurukan ekonomi, karena harga gabahnya tidak akan mengalami kenaikan meski berbagai kebutuhan hidup lainnya sudah mengalami kenaikan harga.

Pertanyaannya, mengapa setiap ada kelangkaan beras yang memicu kenaikan harga, pemerintah selalu mengambil langkah jangka pendek, yakni operasi pasar. Rasanya sulit memprediksi kesaktian OP dapat menyelesaikan masalah. OP dapat diibaratkan sebagai alat pemadam kebakaran.

Jika apinya sudah mereda, dibutuhkan keseriusan untuk menjaga dan merawat bangunan agar tidak terulang kebakaran. Lantas, dalam hal perwudan ketahanan pangan yang kokoh, pemerintah harus berhenti menggiring warga untuk terus mengonsumsi beras lewat pengadaan OP beras.

Implikasi pelaksanaan OP beras akan menetaskan nikmat membawa sengsara. Nikmat bagi masyarakat konsumen beras di perkotaan karena dapat membeli beras dengan harga murah. Namun membawa sengsara bagi petani padi karena gabah mereka tidak pernah menyentuh level harga dasar yang sudah mencapai Rp 2000 per kg.

Jika pemerintah selalu ikut campur tangan dalam penentuan harga beras, rakyat perkotaan akan merasa dininabobokan dan tidak memberi ruang untuk memulai mengonsumsi pangan nonberas berbasis diversifikasi.

Mimpi Buruk Malthus

Di tengah OP beras, muncul pertanyaan, apa yang salah dalam konsep diversifikasi konsumsi pangan sehingga begitu susah mewujudkan? Padahal kata diversifikasi bak sebuah mantra yang sering dikomat-kamitkan sejak tahun 1974, berkaitan dengan ketahanan pangan nasional yang menempatkan melulu beras sebagai makanan pokok.

Operasi pasar menjadi bukti kegagalan program diversifikasi pangan. Beras telah mengkristal sebagai makanan pokok, mengingkari deklarasi yang dideklarasikan pemerintah sendiri sejak 32 tahun lalu. Program diversifikasi dijangka menjadi buffer untuk mengurangi laju konsumsi beras.
Namun, hingga kini tingkat konsumsi beras di Indonesia tetap tinggi, yakni 135 kg per kapita per tahun. Dengan jumlah penduduk 222 juta jiwa, pemerintah harus menyediakan sekitar 30 juta ton beras per tahun. Suatu beban amat berat di tengah maraknya alih fungsi lahan belakangan ini.

Berangkat dari masalah kelangkaan beras saat ini, muncul pertanyaan bagaimana situasi pangan 2007? Ada dua alasan mengapa pertanyaan ini diajukan. Pertama, mimpi buruk Thomas Malthus bahwa pertambahan penduduk terjadi secara eksponensial, sementara kenaikan produksi pangan terjadi secara linier, sudah mendekati kenyataan di Indonesia. Laju pertumbuhan penduduk saat ini tetap tinggi, yakni 1,60 persen.

Artinya, ada pertambahan penduduk pemakan nasi sekitar tiga juta jiwa lebih per tahun yang membutuhkan beras sebanyak 420.000 ton per tahun. Sementara produksi padi tahun 2006 hanya naik 1,11 persen.

Kedua, pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya tak dapat ditunda-tunda sehingga permasalahan pangan harus ditempatkan pada topik sentral dalam pembangunan nasional. Namun, kenyataannya belum terjadi perubahan fundamental baik pada aras kebijakan, visi maupun paradigma dalam menangani persoalan ketahanan pangan ke arah yang lebih baik.

Kegagalan mempertahankan swasembada 1984 padahal dapat dijadikan sebagai petunjuk untuk melangkah ke arah peningkatan produksi pangan dalam arti luas guna memenuhi kebutuhan warga.

Jika setiap ada gejolak kelangkaan beras, pemerintah selalu menggelar OP, maka ”politik nasi” tetap dipakai sebagai kenderaan politik untuk melanggengkan kekuasaan yang berimplikasi hilangnya komitmen mewujudkan diversifikasi pangan.

Tiga Langkah

Apa langkah yang harus ditempuh pemerintah di tahun 2007 guna mendorong masyarakat mau mengurangi konsumsi beras? Langkah pertama yang patut dilakukan adalah diversifikasi produksi dan ketersediaan pangan. Diversifikasi konsumsi pangan bisa tercapai jika tersedia pangan yang juga beraneka ragam.

Ketersediaan aneka jenis bahan pangan baik berupa sumber enersi maupun sumber gizi lainnya seperti protein, lemak, vitamin dan mineral, dalam bentuk bahan mentah atau olahan akan menjamin terpenuhinya kebutuhan konsumsi pangan secara berkelanjutan.

Selama ini ada anggapan keliru bahwa diversifikasi hanya diartikan dari perspektif substitusi makanan pokok beras. dengan berbagai umbi-umbian, atau sumber karbohidrat lainnya. Diversifikasi sejatinya mencakup pangan secara keseluruhan baik bagi golongan sumber karbohidrat maupun pangan sumber zat gizi lainnya.

Kedua, meningkatkan daya beli masyarakat. Salah satu faktor yang menyebabkan kegagalan diversifikasi adalah kemiskinan. Dengan penghasilan di bawah dua dolar AS per hari kemampuan sekitar 109 juta penduduk Indonesia yang tergolong miskin masih amat terbatas melakukan diversifikasi konsumsi pangan.

Akhirnya mereka tetap tergantung pada beras OP (raskin) yang disediakan pemerintah sehingga susah beralih ke makanan alternatif berbasis lokal. Karena itu, pemerintah harus menciptakan lapangan kerja dan mendukung gerakan antikorupsi yang kini digagasi berbagai kelompok masyarakat.

Ketiga, melakukan pengembangan teknologi pengolahan pangan. Beranekaragamnya pangan yang tersedia terutama ditentukan oleh produksi pangan dan perkembangan teknologi pengolahan pangan, yang dapat menghasilkan berbagai produk pangan olahan berbasis padi-padian, umbi-umbian, hasil ternak, ikan, buah dan sayur dan hasil pangan lainnya dengan mutu terjamin.

Jika program ini diikuti pelatihan bagi perempuan sehingga mereka mampu berimprovisasi di bidang pengolahan produk pangan lokal akan dapat mengatrol kesejahteraan mereka karena keuntungan yang diperoleh jauh lebih besar dibandingkan menjual pangan nonolahan.

Dari perspektif gizi, diversifikasi konsumsi pangan memiliki mutu gizi yang lebih berimbang dibandingkan mutu masing-masing pangan penyusunnya. Jadi, dalam menyongsong “Indonesia Sehat 2010” paradigmanya tidak lagi semata meningkatkan produksi beras nasional tapi pemerintah harus mampu memproduksi beraneka jenis bahan pangan sebagai salah satu pilar perwujudan diversifikasi konsumsi pangan.

Penulis adalah doktor dalam Bidang Ilmu dan Teknologi Pangan. Dosen di Jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, Unika St Thomas SU Medan.

Tidak ada komentar: