13 Januari 2007

Sekolah Komunitas Petani: ANTARA TANAH DAN AKSES PENDIDIKAN

Blog Liberasi, Juli 12, 2008

Oleh P Bambang Wisudo

Pendidikan dan penguasaan atas tanah merupakan modal yang mesti dimiliki petani untuk hidup sejahtera. Akan tetapi justru dua hal itu jarang dimiliki petani. Sebagian besar petani tidak memiliki akses terhadap pendidikan dan tanah. Proses marjinalisasi pun berlangsung turun-temurun. Penguasa silih berganti, tetapi nasib petani makin terpinggirkan. Berharap suatu hari negara berpihak pada petani ibarat menunggu godot.

Para petani di Pasawahan yang tinggal di sekitar areal eks perkebunan karet di pegunungan Cipucung, sekitar 70 kilometer dari Kota Ciamis, memilih tidak tinggal diam. Mereka bersama-sama berjuang untuk mendapatkan akses atas tanah dan pendidikan untuk anak-anak mereka. Hasilnya pun mulai dirasakan sekarang. Selain berhasil mendapatkan tanah garapan, para petani itu kini memiliki sebuah sekolah yang diidam-idamkan.

“Bagi saya, sekolah adalah nomor dua. Hal pertama yang harus diperjuangkan adalah tanah,” kata Oyon (48), tokoh masyarakat di Desa Pasawahan, Jawa Barat.

Pada awal tahun 2000, Oyon bersama sejumlah petani Pasawahan mulai bergerak. Mereka mengajukan permohonan untuk menggarap tanah eks perusahaan perkebunan karet yang ditelantarkan sejak tahun 1993.

Kawasan perkebunan karet tersebut sudah ditumbuhi semak belukar. Dua bulan permohonan itu tidak dijawab. Yakin bahwa hak guna usaha tanah perkebunan itu telah berakhir, para petani yang bergabung dalam Serikat Petani Pasundan itu kembali mengajukan permohonan menggarap tanah ke tingkat kabupaten. Permohonan itu lagi-lagi tidak dijawab. Setahun kemudian para petani melakukan aksi reklaiming dengan menebangi pohon-pohon karet yang ada di kawasan itu.

Dari lahan yang direklaim sekitar 170 hektar, tiap keluarga

petani mendapatkan tanah garapan sekitar 200 bata atau sekitar

seperempat hektar. Sampai sekarang Badan Pertanahan Nasional belum

memberi lampu hijau tanah itu dikembalikan pada petani.

“Saya yakin tanah ini nanti akan jatuh ke rakyat,” kata Oyonyang

bersekolah hanya sampai kelas VI SD.

Perjuangan para petani Pasawahan tidak berhenti di situ. Setelah

kehidupan para petani itu mulai tertata, mereka bersama berembuk

untuk menggarap pendidikan. Sampai tahun 2002, hanya sekitar 5 persen

anak usia SMP di desa itu yang bersekolah. Setelah lulus SD biasanya

anak-anak laki-laki menghabiskan waktunya untuk bermain. Anak-anak

perempuan membantu ibunya, menjadi buruh jahit bordir, atau kawin di

bawah umur.

Dengan bantuan aktivis SPP yang tinggal di desa itu sebagai guru

sukarelawan, tahun ajaran baru 2003 mereka mulai menyelenggarakan

sekolah. Bangunannya meminjam gedung madrasah. Anak-anak yang datang

dari desa lain tinggal satu pondokan bersama guru-guru.

SMP Plus Pasawahan kini memiliki 65 murid. Mereka telah memiliki

gedung sekolah dengan bangunan permanen. Dua kelas dibangun dengan

dana swadya masyarakat. Dana yang terkumpul dari petani dan sahabat

sekolah tidak kurang dari Rp 80 juta. Bangunan sekolah dibuat tinggi.

Plafon dibuat dari papan kayu, dipergunakan untuk perpustakaan dan

tempat penginapan. Dua lainnya dibangun dari hibah Departemen

Pendidikan sebesar Rp 100 juta. Sekolah itu berdiri di atas areal

pertanian seluas empat hektar, bekas tanah perkebunan karet, yang

masih bermasalah.

“Dulu, sebelum ada sekolah ini, anak-anak Pasawahan paling-paling

bersekolah sampai lulus SD. Banyak anak yang tidak bisa melanjutkan

sekolah. Memang, katanya, sekolah gratis tetapi tetap saja butuh

ongkos transpor. Padahal petani di sini hidup pas-pasan,” kata

Sartiwi (17), siswa kelas III SMP Plus Pasawahan.

Untuk mencapai lokasi SMP terdekat, anak-anak di Pasawahan harus

mengeluarkan ongkos ojek sekitar Rp 10.000 per hari. Belum lagi kalau

hujan, jalanan tidak bisa dilewati.

Cerita Sartiwi dibenarkan Saud Sunaryo (50). Kata Sunaryo, petani

di desa itu sebenarnya ingin anak-anaknya terus sekolah paling tidak

sampai lulus SMP. Namun karena berat di ongkos, mereka akhirnya

membiarkan anak-anak putus sekolah. Saud menuturkan, di desa itu

memang pernah didirikan kelas jauh tetapi bubar setelah dua bulan

berjalan.

Keberadaan SMP Plus Pasawahan ternyata bukan hanya berkah bagi

anak-anak Pasawahan, tetapi juga bagi anak-anak dari desa-desa di

Ciamis Selatan yang menjadi wilayah kerja Serikat Petani Pasundan.

Dari 65 anak yang kini belajar di SMP Plus Pasawahan, sejumlah 22

anak berasal dari desa lain. Mereka tinggal di pondokan bersama guru.

Pondokannya sangat sederhana. Mereka hanya tidur di lantai beralaskan

tikar. Makanan pun seadanya. Beras disumbang dari petani dan sayur

diambil di kebun. Untuk lauk-pauk, mereka biasanya memperoleh

sepotong ikan asin atau tahu-tempe sebesar ibu jari.

“Kami memasak secara bergantian. Semua anak di sini bisa

memasak,” kata Deni Sunaryo (16).

Anak-anak petani yang bersekolah di SMP Plus Paswahan merupakan

anak-anak yang beruntung. Sekalipun memiliki seragam, mereka tidak

harus bersekolah dengan mengenakan baju seragam. Mereka boleh pergi

sekolah tanpa bersepatu. Tidak seperti anak-anak di sekolah pada

umumnya, mereka bisa berinteraksi bebas dengan kawan-kawan dan guru.

Mereka bisa belajar sambil tiduran. Mereka memiliki waktu yang

leluasa untuk berkesenian. Dua jam tiap hari Jumat dan sehari penuh

tiap hari Sabtu mereka belajar bertani.

Tidak hanya itu. Tiap hari anak-anak itu dibiasakan menulis.

Mereka bisa menulis puisi, cerita pendek, laporan kunjungan lapangan,

ataupun membuat jurnal pengalaman mereka berkebun. Tiap anak mendapat

bagian tanah untuk bereksperimen seluas 2 x 5 meter yang bebas

dipergunakan untuk menanam apa saja. Rata-rata anak kelas II telah

menghasilkan puluhan puisi.

Tiap bulan mereka menerbitkan buletin kelas yang diperbanyak

dengan cara fotokopi. Sebagian dari mereka, ketika baru masuk ke SMP

Plus Pasawahan, masih gagap membaca dan menulis. Kini membaca dan

menulis menjadi menu penting dalam keseharian mereka.

Sekolah itu dilayani oleh empat belas guru, tiga di antaranya

adalah anak-anak muda aktivis petani dari luar desa. Mereka bekerja

tanpa dibayar. Baru beberapa bulan ini saja mereka mendapatkan uang

transpor sebesar Rp 7.000 sehari mengajar berkat adanya dana bantuan

operasional sekolah.

Saeful Milah (25), alumnus Universitas Galuh, sudah hampir dua

tahun mengajar di Pasawahan tanpa memperoleh gaji. Ia makan dan tidur

bersama anak-anak. Saeful sebelumnya pernah mengajar di Madrasah

Tsanawiyah Sururon Garut. Sejak semester empat ia sudah terlibat

dalam kegiatan-kegiatan pendampingan petani.

“Tidak terpikir mau berapa tahun saya mengajar di sini. Kalau

sekolah ini sudah aman, tenaga pengajarnya mencukupi, saya baru mau

meninggalkan sekolah ini dan merintis di tempat lain,” kata Saeful.

Haslinda Qadariyah (28), jebolan Fakultas Ilmu Komunikasi

Universitas Padjadjaran, juga jatuh hati pada SMP Plus Sururon. Ia

tidak merisaukan masa depannya. “Tidak tahu sampai kapan saya di

sini. Anak-anaklah yang bikin saya betah. Kalau bisa, saya ingin lama

tinggal di sini,” kata Haslinda.

SMP Plus Pasawahan merupakan kebanggaan petani Pasawahan. Di

areal bekas tanah perkebunan, yang hanya bisa dijangkau dengan

bersusah payah dengan menggunakan ojek atau mobil bak terbuka,

terdapat sebuah sekolah yang tidak kalah dengan sekolah-sekolah di

kota.

Perjuangan untuk memperoleh hak atas tanah dan pendidikan

memberikan harapan baru bagi para petani yang selama ini dipinggirkan.***

Tidak ada komentar: