16 Juli 2008

Belajar Dari Serikat Petani Pasundan

Usep Setiawan

Belum lama ini, ratusan petani dari Jawa Barat menuntut pembubaran Perhutani, karena Perhutani telah menjadikan kaum petani sebagai kambing hitam yang dituduh melakukan aksi pembalakan liar (23/06/08). Agustiana dan Serikat Petani Pasundan (SPP) yang dipimpinnya sontak menjadi sumber pembicaraan publik setelah dituduh sebagai dalang pembalakan liar di Jawa Barat oleh Kapolda Jawa Barat Susno Duadji (Pikiran Rakyat, 18/06/08).

Ikhwal operasi pemberantasan illegal logging yang digencarkan Kepolisian Daerah (Polda) Jabar tak seorang pun antipati. Terlebih lagi, pemulihan hutan yang rusak parah tengah jadi fokus perhatian pemerintah provinsi Jabar di bawah pemimpin baru, Ahmad Heryawan (gubernur) dan Dede Yusuf (wakil gubernur).

Yang perlu dijernihkan ialah cap negatif terhadap gerakan rakyat (tani) yang memperjuangkan haknya atas tanah melalui jalan reforma agraria. Ketauladanan Agustiana dan SPP selama belasan tahun dalam memperjuangkan reforma agraria tak boleh hancur oleh tuduhan busuk sebagai perusak hutan.

Bagi penulis, perdebatan mengenai pengelolaan hutan adalah persoalan bersama yang harus ditilik dari berbagai sudut pandang. Berangkat dari polemik tentang siapa dalang perusakan hutan di Jabar, kita perlu menengok paradigma kebijakan pengelolaan hutan sebagai cermin dari problem agraria dan sumber daya alam (SDA) yang menanti perombakan total.


Pertarungan Paradigma

Aneka paradigma pengelolaan sumberdaya alam (termasuk hutan), bisa dipinjam dari Ton Dierz (1996), terdapat tiga pilihan paradigma kebijakan, yakni (i) yang menempatkan lingkungan dan sumber-sumber alam sebagai objek eksploitasi (eco-developmentalism), (ii) yang membuat isolasi tertentu terhadap suatu kawasan agar bebas dari intervesi manusia sama sekali (eco-totalism atau eco-fasism), atau (iii) yang menempatkan rakyat di sekitar suatu kawasan sebagai subjek utama (eco-populism).

Paradigma pengelolaan hutan Indonesia selama ini menempatkan hutan sebagai objek eksploitasi yang sejatinya cermin dari paradigma eco-developmentalism. Melalui paradigma ini, Orba menelurkan berbagai kebijakan yang menempatkan hutan sebagai objek eksploitasi demi pertumbuhan ekonomi dan akumulasi modal.

Paradigma pengelolaan kawasan hutan semacam ini, dilengkapi pula dengan tidak diberikannya ruang yang memadai bagi keterlibatan masyarakat setempat dalam pengelolaan hutan. Disimpulkan, paradigma kehutanan yang berlaku adalah kombinasi eco-developmentalism dengan eco-fasism.

Faktanya, pilihan ini telah membuahkan konflik antara negara dan/atau pemodal besar yang diberi mandat mengelola hutan versus penduduk yang punya klaim sejarah budaya yang bersifat kosmologis atas kawasan sekitarnya. Buah yang sekarang kita temukan di depan mata adalah disharmoni, karena tidak ditemukannya kesatuan padang antara negara dan/atau para ”pengelola formal” kawasan hutan dengan aspirasi penduduk yang hidup dan berkembang di sekitar kawasan tersebut.

Selain itu, dampak nyata yang memprihatinkan adalah tidak adanya upaya penanganan yang efektif dalam mencegah perusakan dan memulihkan kerusakan hutan yang membuahkan tragedi bencana alam yang mengerikan, seperti banjir besar yang sekarang kerap melanda (Warta FKKM, Mei 2002).

Belakangan disinyalir, dalam praktiknya paradigma lama ini telah melahirkan senyawa korupsi di dalam korporasi pengelolaan hutan, laju perusakan hutan secara massif, dan disertai pelanggaran hak asasi manusia.

Paradigma lama sudah waktunya ditinggalkan. Perlu paradigma baru yang kontekstual zaman dan selaras kepentingan simultan sosial, ekonomi dan ekologis. Masyarakat sekitar hutan jangan jadi objek atau penonton, apalagi korban. Karenanya, wajib diajak bicara tentang kemauan dan kebutuhannya. Mereka harus dilindungi dan didorong kemampuannya dalam memenuhi keselamatan dan kesejahteraan hidupnya.

Model pengelolaan hutan oleh rakyat yang hasilnya dinikmati secara adil bagi semua adalah dambaan kita. Karena keadilan bersama dapat efektif mencegah perusakan hutan, sehingga bisa memperpanjang layanan alam. Mendorong kemampuan kolektif rakyat dalam menghasilkan syarat-syarat keselamatan dan kesejahteraan hidupnya.

Dengan produksi kolektif, nilai kemakmuran dinilai berdasar tingkat kesejahteraan bersama (Sangkoyo, 2000). Sekarang kita butuh model pengelolaan hutan yang memungkinkan terjadinya pemulihan dan mencegah perusakan hutan sekaligus lebih berkeadilan sosial. Untuk itulah, paradigma eco-populism layak dipilih.


Belajar dari SPP

Kerumitan terhampar dari paradigma yang tegang antara reforma agraria dengan kukuhnya kuasa rezim kehutanan. Kekusutan juga melekati peraturan perundangan dan kelembagaan, bahkan di balik sumsum kultur dan psikologis birokrat kehutanan.

Dalam sebuah diskusi, penulis terhenyak mendengar seorang pejabat kehutanan berujar: ”Reforma agraria: Yes!, tapi distribusi tanah kehutanan: No!”. Penataan ulang sektor kehutanan itu padahal keniscayaan jika mau merombak struktur ketimpangan penguasaan tanah/kekayaan alam.

Secara operasional, perlu audit menyeluruh terhadap segala jenis usaha kehutanan yang selama ini ada. Keberadaan Perhutani, Inhutani, dan seluruh perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan sejenisnya mendesak diaudit sebagai langkah awal dalam meletakkan dasar baru penguasaan dan pengelolaan hutan di Tanah Air.

Hemat penulis, kita perlu belajar dari Serikat Petani Pasundan–organisasi tani independen berbasis di Garut, Ciamis dan Tasikmalaya–Jawa Barat, yang mencoba mencari jawaban sendiri atas kerumitan pelaksanaan reforma agraria di kawasan hutan.

SPP telah berusaha melakukan pemulihan kerusakan hutan, sehingga sulit menyimpulkan ia sebagai biang kerusakan hutan. SPP juga akan terus melakukan penataan lingkungan dalam upaya mengembalikan fungsi hutan.

Beberapa wilayah yang dianggap berhasil mengembalikan fungsi hutan secara swadaya: Desa Sagara, Kaledong, dan Cipaganti (Garut), Desa Nagrog, Cigalontang, Cipatujah, Cikatomas, dan Taraju (Tasikmalaya), Desa Cikujang, Margaharja dan Bangunkarya (Ciamis).

Setelah sempat berseteru di media massa, akhirnya Agustiana (Sekjen SPP) dan Susno Duadji (Kapolda Jabar) bersepakat untuk saling bahu-membahu dalam mencegah laju kerusakan hutan di Jabar dan mengembalikan fungsi ekologisnya. Dan dalam hal ini, SPP akan menjadi garda terdepan penyelamatan hutan di Jabar.

SPP akan membangun kerja sama dengan semua pihak dalam mengembangkan program reboisasi atau penghijauan, serta secara khusus akan mendi-dik dan membentuk Laskar Penyelamat Hutan (Siaran Pers SPP, 25/06/08).

Dengan begitu, SPP telah memberi contoh yang baik dalam pengelolaan lahan secara mandiri sehingga membanggakan secara sosial, produktif secara ekonomis dan lestari secara ekologis. Dalam konteks yang lebih luas, selama ini SPP telah jadi contoh inisiatif rakyat realisasi reforma agraria secara partisipatif.


Penulis adalah Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)

artikel ini pernah di muat di opini harian Sinar Harapantanggal 12 agustus 2006

link : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0808/12/opi01.html

Tidak ada komentar: