18 Oktober 2008

Hak Asasi Manusia: Reforma Agraria Mendesak Dilaksanakan

Sabtu, 18 Oktober 2008

Jakarta, Kompas
- Kondisi petani yang terus dirongrong kemiskinan dan perlunya kemandirian pangan menjadi alasan mendesaknya pelaksanaan reforma agraria. Hal itu dapat dilihat dari terus naiknya jumlah petani gurem di Indonesia.

Mengutip hasil sensus pertanian, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria Usep Setiawan mengatakan, sejak tahun 1983, 1993, hingga 2003, jumlah petani gurem di Indonesia semakin meningkat. Pada tahun 1983 tercatat jumlah keluarga petani gurem mencapai 9,4 juta. Jumlah itu meningkat menjadi 10,7 juta rumah tangga tahun 1993 dan kembali meningkat menjadi 13,3 juta rumah tangga petani tahun 2003.

Dihubungi hari Kamis (16/10), Usep Setiawan mengatakan reforma agraria menjadi penting untuk memudahkan petani mengakses tanah. ”Dan itu berimplikasi pada kesejahteraan mereka,” kata Usep.

Lebih jauh, implikasi dari langkah itu adalah penguatan ketahanan pangan nasional. Menurut Usep, kedaulatan pangan dapat diraih jika kemandirian pangan dicapai. ”Reforma agraria menjadi jawaban atas persoalan itu. Petani memiliki tanah, lahan-lahan pertanian terpelihara sehingga perluasan lahan pangan terjadi. Itulah strateginya, kesejahteraan petani dan kemandirian pangan,” kata Usep lagi.

Namun, untuk itu perlu dukungan politik yang kuat dan ketegasan Presiden. Hanya saja, sejauh ini, Usep menilai, pemerintah kurang berani mengambil risiko mengganggu pemilik lahan besar atau investor.

Usep mengatakan, sering terjadi kriminalisasi terhadap petani yang menggugat tanah ulayat yang diambil oleh pemodal. Terakhir, bentrokan antara aparat dan petani terjadi di Takalar, Sulawesi Selatan.

Bentrokan terjadi ketika petani menuntut kembali tanah ulayat yang telah dikelola PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIV. Ia berharap kriminalisasi terhadap petani dihentikan.

Hal senada diungkapkan Koordinator Kontras Usman Hamid. Ia meminta Kepala Polri Bambang Hendarso Danuri segera bertindak tegas terhadap polisi yang menembak warga ketika peristiwa itu terjadi.

Menurut Usman, polisi sebaiknya bersikap netral dan mengutamakan warga petani. Selain itu, Usman juga berpendapat Badan Pertanahan Nasional harus mengembalikan tanah ulayat kepada warga agar warga tidak selalu berhadapan dengan aparat.

”Jika tidak, petani dan warga terus menjadi korban yang rentan terhadap kriminalisasi,” kata Usman. (JOS)

Tidak ada komentar: