20 Agustus 2008

KAMPANYE PILKADA: Keberpihakan kepada Petani Dipertanyakan

Rabu, 20 Agustus 2008

Palembang, Kompas - Konsep keberpihakan kedua pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur Sumatera Selatan kepada petani dinilai tidak tegas karena belum menyinggung pembaruan agraria. Pembaruan agraria diperlukan untuk memastikan agar semua petani memiliki tanah untuk berproduksi.

Demikian Wakil Ketua Majelis Nasional Petani Serikat Petani Indonesia (SPI), JJ Polong, di sela diskusi menyambut hari ulang tahun ke-10 SPI di Hotel Bumi Asih, Palembang, Selasa (19/8).

Menurut Polong, sebelum pemerintah daerah (pemda) memastikan investasi untuk perkebunan yang membutuhkan areal luas, pemda seharusnya lebih dulu memastikan agar semua petani mempunyai lahan yang cukup untuk berproduksi dan berpenghasilan di atas garis kemiskinan.

Mengacu garis kemiskinan standar Perserikatan Bangsa- Bangsa, yakni 2 dollar AS per hari, maka satu keluarga petani dengan lima anggota keluarga harus mampu menghasilkan 10 dollar AS per hari. Ini setara dengan sekitar Rp 100.000 per hari atau Rp 3 juta per bulan.

”Itu hanya bisa dihasilkan kalau petani memiliki tanah setidaknya 2 hektar. Kenyataannya, masih banyak petani di Sumatera Selatan yang tidak memiliki tanah atau hanya menjadi buruh tani,” kata Polong.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Lembaga Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia, Komite Masyarakat Konstitusi Sumatera Selatan, Bambang Purnomo menuturkan, pembaruan agraria tergantung dari political will pemerintah.

Kalau tak ada keberanian dari pemerintah, pembaruan agraria tidak akan pernah tercapai. Terkait kebijakan hukum soal reforma agraria, kata Bambang, pemerintah selama ini berpegang pada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960.

Namun di sisi lain, UU organik yang menyangkut sektor-sektor yang berkaitan dengan pertanahan, misalnya UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Perkebunan, sering tidak sejalan dengan eksistensi UUPA Tahun 1960.

”Dalam konteks otonomi seperti saat ini, seharusnya ada keberanian dari pemerintah lokal untuk melakukan terobosan, misalnya dalam bentuk perda (peraturan daerah) mengenai redistribusi tanah bagi sektor pertanian,” kata Bambang.

Terkait redistribusi tanah ini, menurut Bambang, pemerintah dapat mengalokasikan tanah yang sudah lama ditinggalkan atau tidak produktif, semisal tanah eks hak pengusahaan hutan, untuk dibagikan kepada petani yang tidak memiliki tanah.

Pembuatan perda semacam itu dapat melibatkan Badan Pertanahan Nasional, legislatif, dinas dan instansi terkait, serta organisasi masyarakat yang menyuarakan kepentingan petani. Hal itu agar petani bisa lebih sejahtera. (CAS)

Tidak ada komentar: