11 Desember 2008

Sekolah Lapangan: Kekuatan Ada di Halaman Sendiri

KOMPAS/AUFRIDA WISMI WARASTRI / Kompas Images
Seorang petani memperlihatkan hasil kebun cokelat yang sudah dirawat di Desa Siforrasi, Kabupaten Nias, Sumatera Utara.

Kompas, Selasa, 9 Desember 2008

Oleh AUFRIDA WISMI WARASTRI

Ternyata memang perlu sekolah untuk mengetahui betapa kayanya alam yang dipunyai, dinikmati, dan terutama menghidupi selama ini. Dalam sekolah muncul sebuah kesadaran bahwa dengan perawatan dan pemeliharaan yang baik, alam akan memberi pengembalian yang paling baik pula kepada manusia.

Hal ini dibuktikan oleh warga Desa Siforoasi, Kecamatan Bawolato, Kabupaten Nias. Selama ini semua tersedia melimpah di Desa Siforoasi. Tanaman kakao tumbuh rimbun. Babi, ternak khas Nias, tumbuh gemuk dan bisa disembelih saat pesta atau menjadi investasi untuk mahar dalam perkawinan.

Namun, saat warga Desa Siforoasi, Kecamatan Bawolato, Kabupaten Nias, baik ibu maupun bapak bergabung dalam sekolah lapangan di balai desa setempat, mereka baru sadar bahwa dengan perawatan yang baik, hasil tanaman dan ternak itu akan lebih baik. Ternak dan tanaman akan lebih sehat, manusianya juga lebih sehat.

Sekolah lapangan itu juga mengajak siswa melakukan pendekatan dalam mengolah tanah secara organik.

Hal ini dirasakan salah satunya oleh Nurlida Bawamenewi (27). Empat kali dalam satu minggu selama enam bulan warga Desa Siforoasi itu bersekolah. Dua kali seminggu ibu tiga anak itu belajar bagaimana memelihara babi, dua kali seminggu lainnya ia belajar bagaimana memelihara tanaman kakao atau cokelat.

Di sekolah peternakan, Nurlida belajar dari mencuci kandang babi, memandikan babi, mengidentifikasi penyakit babi, meramu makanan yang sehat untuk babi, hingga menyuntikkan obat ke tubuh hewan tambun itu. ”Selama ini ya kami kasih makan saja ke babi,” tutur Nurlida akhir September lalu.

Ia baru tahu, agar bisa cepat tumbuh, saat masih kecil, gigi babi harus dicopot. Sebelum gigi dicopot, babi harus disuntik vitamin B kompleks, supaya radang gusi cepat sembuh. Gigi babi dicopot supaya babi banyak minum susu induknya dan tidak mengigit induknya.

Selain daun ubi, babi juga perlu diberi makanan tambahan, berupa campuran parutan kelapa dan telur.

Sedangkan di sekolah cokelat ia belajar memelihara tanaman coklat yang selama ini sudah tumbuh di ladangnya. Bagaimana memangkas pohon cokelat supaya hasilnya maksimal, bagaimana memupuk pohon dengan kotoran babi yang sudah diolah, hingga bagaimana mengeringkan biji-biji cokelat supaya hasilnya lebih harum dan punya nilai jual tinggi. Diajarkan pula teknik okulasi.

Bagaimana jika pohon cokelat diserang ulat? Cukup lubang tempat ulat berada disumpal tembakau. Ulat pasti mati.

Kakao

Pulau Nias yang selalu diguyur hujan ternyata juga menguntungkan petani kakao karena tanaman kakao di Nias tak mengenal gugur daun. Produksi terus bisa terjadi.

Cokelat dan babi sudah menghidupi Nurlida dan sekitar 2.500 warga Siforoasi selama hidupnya. Semuanya tumbuh bersama dirinya di seputar pekarangan rumah. Hanya saja selama ini Nurlida dan juga warga Siforoasi tidak tahu bagaimana merawatnya.

Selama ini jebolan sekolah dasar itu mendapatkan ilmu perawatan pertanian dan peternakan dari orangtuanya sebagai sebuah kebiasaan tanpa tahu alasannya. Ketidaktahuan itu sekarang terbuka.

Jika sebelumnya kandang babi hanya sebatas kandang belaka plus bau busuk kotoran babi, sekarang kandang babi selalu bersih diguyur air. Saluran pembuangan air dibuat di setiap kandang babi. Kotoran babi dikumpulkan di belakang kandang untuk dijadikan pupuk tanaman cokelat.

Dua kali sehari Nurlida membersihkan kandang babi. Babi juga ia sikat dua kali sehari. ”Empat bulan saya lakukan itu, babi sehat, cepat besar, makannya banyak, dan tidak bau,” kata Nurlida.

Sedangkan tanaman cokelat yang biasanya tumbuh bersama semak-semak dan penuh dahan- dahan kini terpotong rapi dengan tanah yang bersih. Semak- semak, dahan, dan kulit buah biji cokelat yang sudah dipanen juga tidak dibuang begitu saja. Sampah organik itu ditanam ke tanah untuk dijadikan pupuk.

Nurlida merasakan memang perbedaan babi yang dirawat baik dengan babi yang hanya diberi makan. Meskipun sama- sama gemuk, babi yang tidak dirawat tubuhnya penuh lemak seperti yang selama ini terjadi. Sementara babi yang dirawat baik menjadi gemuk karena tubuhnya penuh daging. Saat ditimbang, babi yang dirawat baik lebih berat dibandingkan babi yang tidak dirawat.

Demikian juga dengan kakao. Tanaman kakao yang dirawat menghasilkan biji kakao yang lebih besar dan berisi. Setiap butir dalam buah kakao menjadi biji yang padat meskipun jumlahnya sedikit.

Heribertus Bawamenewi (26) yang 250 batang kakaonya dijadikan demplot sekolah lapangan menunjukkan perbedaan biji kakao dari tanaman yang dirawat dengan baik dan dirawat seadanya.

Biji kakao yang dipangkas dahannya, disiangi tanahnya, dipupuk organik, hasilnya lebih padat. Sementara yang dirawat ala kadarnya, dipupuk dengan pupuk kimia, justru banyak yang kopong. ”Dulu dalam satu kali panen maksimal 5 kilogram, sekarang ada 12 kilogram,” ujar Heribertus. Biasanya dalam satu ons kakao terdapat 120 biji kakao, sekarang cukup 80 biji kakao.

Sekolah pertanian

Sekolah pertanian itu juga membuat wawasan para peserta meluas. Perlakuan yang sama di sekolah antara laki-laki dan perempuan membuat peserta perempuan lebih percaya diri.

Dalam salah satu pelajaran, seluruh tugas harian bapak dan ibu diinventarisasi. Ternyata ditemukan bahwa pekerjaan seorang ibu lebih banyak daripada pekerjaan bapak. Selain harus mengurus rumah dan makan bagi seluruh keluarga, tanggung jawab merawat kebun dan ternak sejatinya ada pada ibu. Sementara para bapak lebih bertanggung jawab pada hal-hal di luar rumah. Para bapak pun akhirnya tersadar selama ini telah membebani istri mereka dengan banyak pekerjaan.

Mengapa Heribertus, Nurlida, dan warga Siforoasi begitu antusias dengan sekolah pertanian itu? ”Selama ini tidak pernah ada kegiatan seperti ini, kami ini seolah tidak pernah diperhatikan,” kata Kepala Desa Siforoasi Fatulusi Bawamenewi (32). ”Sekolah ini ibarat kail, bukan materi yang kami dapat, tetapi ilmu yang sangat bermanfaat bagi kami,” kata Fatulusi.

Sekolah dimulai pukul 09.00 hingga pukul 15.00 di balai desa. Di Dusun III ada 99 ibu yang ikut kelas ternak dan 99 bapak yang ikut kelas kakao, khususnya di Dusun III. Total 610 petani di Siforoasi, 340 petani perempuan, dan 290 petani laki-laki yang mengikuti sekolah. Sekolah juga mendidik kader-kader petani.

Sekolah yang diselenggarakan sebuah tim kerja sama antara Oxfam dan Pertanian Alternatif Sumatera Utara (Pansu) itu menarik karena mereka tidak hanya berdiskusi, tetapi juga praktik dalam demplot percontohan. Selama enam bulan peserta benar-benar bisa membuktikan perbedaan antara kakao yang dirawat dan yang tidak dirawat serta babi yang dirawat dan yang tidak dirawat.

Para siswa sekolah lapangan itu juga membentuk koperasi. Setiap bulan siswa membayar iuran Rp 10.000. Ada tiga koperasi yang dibentuk di Desa Siforoasi. ”Uangnya sudah bisa dipinjam,” kata Nurlida yang juga kader koperasi itu.

Sayangnya, desa yang masyarakatnya bersemangat itu tidak terfasilitasi infrastruktur yang baik. Desa itu terisolasi oleh Sungai Idanömulö yang lebarnya 60 meter. Tak ada jembatan yang menghubungkan Desa Siforoasi dengan desa tetangga. Untuk mencapai Desa Siforoasi, seseorang harus menyeberang sungai. Kalau banjir, air sungai baru surut setelah lima jam.

”Padahal, dalam seminggu kami bisa menghasilkan dua truk kakao,” kata Fatulusi. Desa berpenduduk 2.500 jiwa itu juga belum teraliri listrik. Tidak ada kendaraan di desa yang terbagi dalam empat dusun itu. Perjalanan ke dusun lain dan desa tetangga harus dilakukan dengan jalan kaki selama dua jam. Petugas kesehatan di puskesmas desa setempat pun hengkang karena tidak betah.

”Kami harus berobat ke desa tetangga sehingga banyak warga kami yang meninggal karena terlambat ditangani,” kata Fatulusi.

Ini yang membuat masyarakat sangat gembira ketika ada lembaga yang membantu daerahnya dan memberi perhatian. Bukankah pemerintah juga punya penyuluh pertanian?

Menurut sejumlah warga, penyuluh pertanian bukan orang pertanian. Selama ini malah sibuk berdagang. ”Tidak ada pejabat yang pernah datang ke desa kami,” kata Fatulusi. Pejabat yang datang pertama kali ke desa itu adalah Kepala Subdin Koperasi Dinas Koperasi Kabupaten Nias T Mendrofa yang harus berjuang menyeberang menembus banjir untuk mencapai desa itu. Ia datang mewakili kepala dinas untuk hadir dalam acara penyerahan sertifikat kelulusan sekolah lapangan sekaligus pendirian koperasi. ”Saya juga baru pertama kali ke sini,” tutur Mendrofa.

Saat masyarakat bekerja giat dan sadar akan kekayaan alamnya dan kini mampu mengembangkannya sendiri, pemerintah ditunggu memfasilitasi infrastruktur.

Tidak ada komentar: