14 Mei 2008

Supriatin, Menikmati Manisnya Stroberi

KOMPAS/CORNELIUS HELMY HERLAMBANG / Kompas Images
Supriatin
Rabu, 14 Mei 2008

Oleh Dwi Bayu Radius dan Cornelius Helmy

”Let me take you down cause I’m going to strawberry fields/ nothing is real/ and nothing to get hung about… strawberry fields forever...”

Itulah lagu ”Strawberry Fields Forever” dari kelompok musik asal Inggris, Beatles, yang ditulis dan dinyanyikan John Lennon. Di Desa Jambudipa, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, kebun stroberi itu benar-benar ”riil”. Orang bisa berjalan-jalan menikmati kehijauan kebun stroberi. Bahkan, kita juga bisa memetik dan mencecap manisnya buah berwarna merah tersebut.

Kebun stroberi yang dirintis Supriatin Budiman (58) sejak tahun 1999 itu diberi nama Vin’s Berry Park. Lelaki kelahiran Jakarta itu memulai usaha tersebut dari sebidang tanah seluas 5.000 meter persegi.

Pada awalnya ia sempat terseok-seok. Dia menghadapi berbagai masalah, mulai dari soal kualitas bibit stroberi yang jelek sampai panen yang gagal. Titik cerah datang ketika Supriatin mendapat informasi mengenai bibit stroberi kualitas terbaik dari California, Amerika Serikat, seperti Earlybrite, Festival, dan Sweetcharlie.

”Sebelum itu saya masih menggunakan bibit Shantung asal China atau Nioho asal Jepang. Buahnya kecil dan tekstur buahnya juga lembek sehingga cepat busuk. Rasanya pun tidak terlalu manis. Sedangkan bibit asal California umumnya berbuah lebih besar dengan tekstur daging buah tidak lembek. Selain itu, rasanya jauh lebih manis dan berumur lebih panjang,” kata Supriatin.

Bibit asal California itu ternyata tergolong unggul. Nyatanya, hasil panen melimpah dan konsumen pun bertambah. Dia lalu memperluas kebun menjadi sekitar 2 hektar, dengan 50.000 tanaman stroberi.

Kapasitas produksi rata-rata pun berlipat ganda dari yang semula 10 kilogram per hari menjadi rata-rata 20 kilogram per hari. Bila seluruh tanaman berbuah bersamaan, produksi bisa mencapai 1 kuintal per hari.

Dengan upaya yang ulet dan sungguh-sungguh menjaga kualitas, ia pun mendapat kepercayaan konsumen. Mereka diajaknya berkunjung ke kebun. Mereka dipersilakan melihat sendiri bahwa produk stroberi itu dihasilkan tanpa bahan pengawet.

Stroberi tersebut dijual dalam kemasan dengan harga Rp 70.000 per kilogram untuk ukuran super, Rp 60.000 ukuran medium sampai besar, Rp 50.000 medium sampai kecil, dan Rp 40.000 per kilogram untuk ukuran kecil.

Selain stroberi, Supriatin juga tengah mengobservasi blackberry dan raspberry dengan jumlah masing-masing 1.500 dan 3.000 pohon. Dia ingin kebun itu bisa menjadi tempat pembudidayaan buah dengan pupuk organik.

Kafe stroberi

Usaha Supriatin tidak berhenti hanya dengan kebun stroberi. Setelah menguasai hulu sebagai penghasil stroberi, dia pun merambah wilayah hilir dengan membuat beragam produk olahan stroberi, seperti selai, sirup, es krim, dan yoghurt.

Ia juga melebarkan sayap usaha dengan membuka Vin’s Berry Cafe, rumah makan di Jalan Patuha, Kota Bandung. Di tempat santap ini tersedia menu yang menggunakan bahan baku stroberi. Untuk operasional kebun dan rumah makan itu, Supriatin mempekerjakan lebih dari 25 orang.

Dalam perkembangan selanjutnya, Vin’s Berry Park sejak tahun 2006 juga menjadi ladang penelitian. Para mahasiswa seperti dari Institut Teknologi Bandung dan Universitas Padjadjaran pun menggunakan kebun itu untuk belajar berbagai ilmu, antara lain manajemen budidaya, pemasaran, dan perkebunan.

”Saya ingin berperan sebagai semacam dosen pembimbing lapangan,” katanya.

Bukan hanya mahasiswa, anak-anak dan siapa saja yang ingin mengenal stroberi bisa datang ke kebun Supriatin. Di sini, sambil bermain, anak-anak bisa belajar tentang pelestarian alam, budidaya tanaman, serta aktivitas luar ruang atau outbound.

Jangan kaget kalau di sekitar kebun stroberi itu juga tersedia arena ketangkasan seperti gokar, tali luncur atau flying fox, papan panjat, titian tali (high rope), sampai kolam untuk bermain rakit.

Peluang pasar

Dari pengalaman membudidayakan stroberi, Supriatin bisa melihat potensi besar buah itu. Tetapi, sejauh ini stroberi belum dimanfaatkan maksimal oleh masyarakat. Varietas, metode penanaman, dan sistem penjualan stroberi relatif belum tergarap.

Infrastruktur penanaman stroberi yang dilakukan petani Jawa Barat pun umumnya masih tradisional. Misalnya dalam penggunaan sistem pengairan. Tanaman umumnya masih disiram secara konvensional dan ditanam di alam terbuka. Akibatnya, kualitas air tidak bisa terkontrol sehingga berpengaruh buruk pada buah.

”Ada cara lebih baik, seperti selang hidroponik atau irigasi tetes, yang langsung disalurkan ke media tanam setiap bibit tanaman. Jika ada tanaman yang terkena penyakit atau serangan hama, langsung diisolasi dan dimusnahkan,” katanya.

”Melalui pengenalan secara terus-menerus, petani mulai menggunakan varietas impor walaupun harga bibit lebih mahal. Mereka percaya, ketika panen, untungnya akan lebih besar bila menggunakan bibit impor,” ujarnya.

Ke depan, Supriatin berharap tanaman stroberi bisa menjadi andalan bagi penduduk Lembang atau daerah lain yang mempunyai ketinggian lebih dari 1.000 meter. Bila dikerjakan dengan serius, dia yakin, stroberi bisa memberikan lapangan kerja yang layak bagi banyak orang.

Ia memberi contoh pada masyarakat yang berada di sekitar Vin’s Berry Park. Sekarang, 13 orang sudah menjadi tenaga pembantu sebagai pengelola perkebunan. Tugas mereka tidak hanya melayani pengunjung, tetapi juga belajar cara bercocok tanam yang baik, pelatihan aktivitas luar ruang, hingga belajar pengelolaan pemasaran.

”Saya berharap mereka juga bisa mandiri. Suatu hari nanti mereka diharapkan memajukan Lembang dengan memaksimalkan potensi stroberi. Mereka yang ingin belajar datang saja, saya akan membantu,” kata Supriatin.

Apa yang diharapkan Supriatin rasanya tak berlebihan. Peluang usaha itu kini mulai terlihat hasilnya. Dari Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung, hingga Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, terhampar hijau-merah kebun stroberi. Persis fantasi John Lennon: ”Strawberry fields forever....”

Tidak ada komentar: