10 Maret 2008

Involusi Petani Padi di "Tanah Sebrang"

Pembangunan

KOMPAS/ANDREAS MARYOTO / Kompas Images
Sutrisno dan istri, warga Desa Medangara, Karangbaru, Aceh Tamiang, memanen padi. Hasil panen padi kali ini lebih rendah dibanding sebelumnya karena kekurangan air.
Kamis, 6 Maret 2008 | 02:38 WIB

ANDREAS MARYOTO

Tesis antropolog Clifford Geertz yang menyatakan terjadinya kemerosotan petani sepertinya tidak hanya terjadi di Pulau Jawa. Perubahan-perubahan sosial ekonomi dan juga lingkungan telah mengakibatkan petani padi di "Tanah Sebrang", istilah luar Jawa yang dipakai peneliti sosial Patrice Levang, pun sepertinya memiliki kondisi yang sama. Involusi petani padi tengah terjadi di sawah-sawah di luar Jawa.

Sutrisno warga Desa Medangara, Kecamatan Karangbaru, Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, pelan-pelan menarik karung berisi padi yang baru saja dipanen. Ia mengumpulkan ikatan-ikatan padi yang baru saja dipanen. Ia tampak lesu. Wajahnya tak bersemangat ketika diajak berbincang.

"Panen kali ini tak banyak. Air kurang," katanya, didampingi istrinya. Ia yang biasanya bisa memanen hingga 35 kaleng (satu kaleng sekitar 12 kilogram) dari dua petak tanah kini hanya mendapat sekitar 25 kaleng. Hujan sudah tidak turun lagi sejak awal Januari lalu. Akibatnya, padi tumbuh tidak normal hingga panen jauh dari harapan. Batang padi tidak menguning, tetapi berwarna coklat.

Sutrisno, anak seorang petani asal Kabupaten Nganjuk yang ikut program kolonisasi tahun 1926, mengaku semula bisa menghidupi keluarga dari bertani. Namun, sejak sembilan tahun lalu ia harus membanting tulang mencari pekerjaan lain sebagai pengemudi becak motor. Hasil panen tidak lagi bisa digunakan untuk menghidupi istri dan ketiga anaknya.

"Dari becak sehari mendapat Rp 30.000. Uang ini tak cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Untuk biaya kendaraan anak-anak ke sekolah Rp 10.000. Belum lagi untuk beli minyak (maksudnya bensin). Sisanya untuk jajan anak-anak. Habis," katanya.

Untuk kebutuhan beras, ia memilih hasil panen disimpan dan digunakan untuk keperluan sehari-hari. Beberapa tahun lalu ia bisa mencukupi kebutuhan pangan ini hingga panen berikutnya. Kali ini ia sudah menghitung panen tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan hingga musim berikutnya. Ia tertegun saat ditanya bagaimana jika kelak beras simpanan habis.

Ia mengaku beban hidup makin bertambah karena dua anaknya makin besar dan kini sekolah di SMP. Satu anaknya tak melanjutkan sekolah setelah lulus SMP. Anaknya nomor satu ini memilih kerja di bengkel. Ia kembali bingung mengenai nasib kedua anaknya kelak setelah lulus SMP.

Jauh dari harapan

Nurhayati, petani lainnya di Desa Leubok Punti, Kecamatan Aceh Tamiang, juga menuturkan hal yang sama. Panen dari lahan sekitar tujuh rante (satu rante sekitar 400 meter persegi) kali ini jauh dari harapan. Satu rante yang biasanya menghasilkan 14 kaleng kali ini paling banyak menghasilkan 10 kaleng. Air menjadi penyebab. Belakangan panen yang tidak bagus sering terjadi.

Ia juga memilih menyimpan padi hasil panen untuk mencukupi kebutuhan beras sehari-hari. Ia tidak menjual hasil panen. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, selain beras, ia menanam sayur dan juga tanaman lain. Nurhayati juga pasrah bila kelak beras hasil panen habis.

Tahar, petani Desa Kolam Gebang, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara, tidak jauh beda. Ia yang memiliki sawah 12 rante mengatakan, panen kali ini tidak bagus. Ia yakin hasil panen kali ini hanya bisa digunakan paling lama enam bulan.

"Ya, belilah, tak ada lagi," kata Tahar mengungkapkan tak ada jalan lain selain membeli beras bila kelak simpanan beras habis. Ia mengaku menanam pisang dan tanaman lain untuk mencukupi kebutuhan setelah simpanan beras habis.

Persoalan petani di luar Jawa makin menampakkan masalah yang sangat rumit yang tidak beda dengan petani di Jawa. Kebijakan pemerintah yang tidak memberi insentif kepada usaha tani juga menjadi penyebab. Subsidi yang tidak sampai ke tangan petani dan juga kebijakan impor beras.

Sedikit saja harga beras naik, pemerintah selalu mengendalikan hingga petani selalu tertekan pada harga yang tidak pernah menguntungkan mereka. Tidak mengherankan jika petani lari dari sawah. Anak Sutrisno memilih bekerja di bengkel, bukan meneruskan usaha tani bapaknya karena usaha tani padi memang tidak menarik.

Akibatnya, lahan petani yang dulu luas pun kini menjadi sempit. Peralihan fungsi lahan mudah didapat di jalan-jalaan di Kabupaten Aceh Tamiang dan Kabupaten Langkat yang termasuk sentra beras di wilayah itu. Areal sawah sudah berdampingan dengan permukiman warga. Mudah dibayangkan, setelah Sutrisno dan petani lain tanah akan terbagi ke anak cucu mereka hingga habis.

Masalah makin bertambah. Iklim makin tidak bersahabat. Di Desa Leubok Punti terdapat saluran irigasi yang kering kerontang. Musim hujan yang tidak menentu sebagai akibat perubahan ikim global telah dirasakan petani sehingga tanaman mereka tak bisa tumbuh normal, seperti yang dialami saat ini.

Fenomena

Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Lampung Prof Bustanul Arifin mengatakan, fenomena seperti itu terjadi juga di Lampung. Pertanian kecil yang dikelola rakyat di luar Jawa makin subsisten. "Proses pemiskinan tengah terjadi. Kalau dibiarkan, memang cenderung involutif," katanya. Kecenderungan yang mengarah ke kemerosotan usaha tani padi.

Citra petani padi dengan berbagai kesengsaraan, yang semula hanya diramalkan terjadi di Pulau Jawa, kini mendekati kenyataan di luar Jawa.

Nasib usaha tani padi setelah Sutrisno, Nurhayati, dan Tahar makin tidak jelas. Sepertinya anak cucu mereka akan lari dari sawah. Sawah hanya akan menjadi kenangan anak-anak cucu mereka seperti yang mulai dialami petani di Jawa.

Tidak ada komentar: