Indramayu, Kompas - Petani kecil dan petani penggarap sampai saat ini belum bisa menikmati hasil panen padi mereka. Keterbatasan kepemilikan sawah dengan luas kurang dari 0,37 hektar per rumah tangga petani serta mahalnya sewa lahan membuat keuntungan yang didapat petani makin sedikit.
"Panen saya kali ini bagus, sekitar 5 ton gabah kering giling (GKG). Tetapi, seperlima dari keuntungan saya harus saya bagi dengan pemilik lahan," ungkap Tangin (52), petani penggarap warga Widasari, Indramayu, Jawa Barat. Tahun ini, Tangin menyewa lahan milik pemodal besar di Widasari sekitar 0,7 hektar.
Dengan asumsi harga GKG di Indramayu saat ini Rp 2.500 per kilogram, pendapatan kotor bapak empat anak itu sebanyak Rp 12,5 juta. Dipotong sewa lahan seperlima dari panen atau sekitar 1 ton GKG, pendapatan kotor Tangin tinggal Rp 10 juta.
Pendapatan kotor itu masih dipotong biaya produksi meliputi mengolah lahan, bayar buruh cangkul dan tanam, benih, obat-obatan, pupuk, serta biaya transportasi yang mencapai Rp 3,5 juta-Rp 4 juta per bahu. Keuntungan bersih Tangin hanya Rp 6 juta dalam sekali musim panen.
Sepintas keuntungan itu tampak besar, tetapi pada kenyataannya tidak. Pasalnya, lahan sawah yang disewa Tangin hanya bisa ditanami padi dua kali dalam setahun karena air irigasi tidak mampu menjangkau sawahnya.
Karena itu, dia harus menanam palawija seperti jagung atau kedelai pada musim kemarau. Mengingat pasokan air pada musim tanam kedua mulai berkurang, produktivitas juga turun.
Nasib lebih buruk dialami Mulyono, petani warga Laren, Lamongan, Jawa Timur. Meskipun panen pertama pada musim hujan gagal akibat tanaman padi hancur diterjang banjir Sungai Bengawan Solo, pemilik lahan tetap meminta bagi hasil.
Beban yang dihadapi Mulyono makin bertumpuk. Di satu sisi, dia harus mencari modal untuk tanam ulang, di sisi lain dia tetap harus memenuhi kewajiban membayar sewa lahan.
Di Indonesia, ada sekitar 13,7 juta rumah tangga petani yang masuk kategori petani gurem dengan kepemilikan lahan kurang dari 0,37 hektar.
Itu berdasarkan survei sosial ekonomi nasional tahun 2003. Lima tahun survei berlalu, jumlah petani gurem diperkirakan bertambah banyak. Begitu pula jumlah petani penggarap.
Menurut pengamatan Kompas, dalam sepekan ini, terungkap bahwa saat ini berkembang fenomena "perburuan" lahan penyewaan oleh petani penggarap.
Para petani penggarap tak segan menyewa lahan sawah dengan jarak puluhan kilometer dari rumah mereka.
Selain saling berburu lahan, juga terjadi persaingan alih kepemilikan lahan secara ketat. Para petani tak jarang berspekulasi menjual lahan demi membiayai anaknya bekerja ke luar negeri sebagai tenaga kerja Indonesia.
Sebaliknya, anak petani yang bekerja di luar negeri juga berebut membeli sawah atau membangun rumah baru.
Dorong transmigrasi
Ketua Dewan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Yudo Husodo mengatakan, karena keterbatasan lahan, lereng gunung hingga puncak-puncak perbukitan pun terdesak oleh lahan pertanian.
"Padahal, aturannya, kemiringan lahan di atas 15 derajat tidak boleh ditanami karena dapat menyebabkan erosi lahan. Tetapi, karena lahan terbatas, petani terpaksa mengambil risiko tinggi," ujarnya.
Keberadaan ladang pertanian di lereng bukit terdapat di kawasan Batu (Malang), lereng Gunung Lawu (Karanganyar), dan di kawasan Selo (Boyolali).
Menurut Siswono, kini tidak ada jalan lain kecuali mendorong transmigrasi ke luar Jawa. Kalimantan dan Papua adalah dua pulau utama di luar Jawa sebagai pulau yang potensial untuk dibuka sebagai lahan pertanian.
"Pulau Kalimantan tidak seluruhnya gambut, ada juga yang dapat dijadikan lahan pertanian. Sedangkan di Papua, kita dapat membantu masyarakat setempat untuk bercocok tanam dengan cara modern," ungkap Siswono. (MAS/RYO)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar