16 Januari 2009

Mereka Bangga Jadi Anak Desa

Kompas, 8 November 2006

P Bambang Wisudo

Seonggok jagung di kamar tak akan menolong seorang pemuda yang pandangan hidupnya berasal dari buku, dan tidak dari kehidupan. … Apakah gunanya pendidikan bila hanya akan membuat seorang menjadi asing di tengah kenyataan persoalannya.

Kritik terhadap dunia pendidikan dalam penggalan syair Rendra “Sajak Seonggok Jagung” ternyata tidak berlaku untuk SMP Plus Pasawahan. Sekolah yang berdiri di atas areal eks perkebunan karet di perbukitan Cipucung, sekitar 70 kilometer selatan Kota Ciamis, mendidik murid-muridnya untuk mencintai dan bangga menjadi anak petani.

Anak-anak SMP Plus Pasawahan tidak hanya dari buku-buku teks pelajaran, guru-buru bersertifikat tetapi juga bergulat dengan tanah yang kering di musim kemarau, belajar bersama masyarakat petani, dan mengenali dari dekat persoalan-persoalan yang menjadikan petani terpinggirkan. Bukan hanya itu saja, mereka diajak masuk ke dalam dunia tulis-menulis. Anak-anak itu tidak hanya membaca buku dan guntingan koran, tetapi juga menulis cerita pendek, puisi, kisah-kisah perjuangan hidup petani, sampai pengalaman mereka sehari-hari bergaul dengan tanaman. Di sekolah milik komunitas petani di desa terpencil itu, hampir tiada hari tanpa menulis.

Sebulan sekali, tiap kelas menerbitkan buletin sendiri. Penerbitan itu sangat sederhana. Sebagian ditulis tangan dan diperbanyak dengan fotokopi. Di kelas II, tiap anak pernah menulis belasan hingga puluhan puisi dan cerita pendek.

Akhir tahun lalu, sebagian kumpulan tulisan anak-anak itu diterbitkan dalam sebuah buku Aku Bangga Jadi Anak Desa yang mencantumkan tulisan pengantar Ketua Komnas Perlindungan Anak Seto Mulyadi.

Antara pena dan cangkul

Di SMP Plus Pasawahan, anak-anak bersahabat dengan pena dan cangkul. Tidak laki-laki, tidak perempuan. Semua harus mengenal cangkul.

Ketika musim kering tiba, anak-anak perempuan pun ikut bersusah payah mengangkat ember-ember air untuk menyirami tanaman. Perempuan dan laki-laki mendapatkan giliran untuk mencari rumput buat kambing-kambing yang dikandangkan di halaman sekolah. Mereka juga belajar menyemaikan bibit di kantong-kantong plastik.

Selain diberi tanggung jawab untuk menggarap petak tanah masing-masing, anak-anak itu juga menggarap kebun bersama di depan sekolah. Juni lalu mereka memanen 1,5 kuintal mentimun yang dijual dengan harga Rp 300.000. Tidak seperti petani kebanyakan, tiap anak menuliskannya dalam bentuk laporan.

“Kami ingin anak-anak ini kelak bisa bertani dengan cerdas. Dengan menuliskan semua kegiatan yang dilakukan, bila panenan jelek, mereka bisa melihat catatan untuk mencari penyebabnya,” kata Saeful Milah (25), guru SMP Plus Pasawahan.

Sindi (15), yang kini duduk di kelas dua, mengaku sudah terbiasa menulis puisi sejak ia kelas I. Hampir tiap hari, sebelum masuk sekolah, kalau tidak menulis puisi ia menulis cerita pendek. Ai Syatul Avifah (16) juga hampir tiap hari menulis.

Ia sering mengikuti pertemuan-pertemuan organisasi tani. Ia merekam baik-baik peristiwa-peristiwa menjelang dan sesudah aksi penebangan pohon karet oleh petani, penyerangan para preman, dan perlawanan balik oleh petani. Cerita-cerita itu dituliskan Avifah antara lain dalam sebuah cerita pendek tentang percakapan antara tanah dan pohon karet.

Menurut Saeful, pilihan untuk membiasakan anak-anak menulis merupakan hasil pemikiran bersama guru-guru SMP Plus Pasawahan. Saeful sendiri mengaku tidak mempunyai pengalaman dalam dunia tulis-menulis.

“Yang penting guru bisa mendorong murid untuk menulis. Mereka dibiasakan saja membuat catatan tertulis tentang apa yang dikerjakan, membuat puisi, atau cerita. Nyambung atau tidak, itu belakangan,” kata Saeful.

Haslinda Qadariyah (28), jebolan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran yang mengajar di sekolah itu, kebetulan sebelumnya menjadi sukarelawan pengelola majalah Komite Pembaruan Agraria (KPA) di Bandung.

Keterampilan itulah yang ditularkan kepda anak-anak Pasawahan.

“Tiap hari ada kegiatan membaca dan menulis. Mereka kami biasakan membaca tulisan dari guntingan-guntingan koran, mendiskusikan, dan menuliskannya kembali,” tutur Haslinda.

Secara periodik anak-anak Pasawahan diterjunkan ke organisasi-organisasi tani yang di Banjarsari untuk membuat laporan perjalanan.


Kurikulum nasional

SMP Plus Pasawahan mengadopsi kurikulum nasional. Mereka bersekolah antara jam 07.30 sampai jam 14.00. Tiap hari Jumat ada pelajaran bertani selama dua jam. Hari Sabtu merupakan hari penuh untuk bertani.

Sebelum sekolah dimulai, anak-anak biasanya telah berdatangan di sekolah untuk melihat kebun mereka. Setelah pelajaran usai, biasanya anak-anak itu masih berada di sekolah sampai sore untuk mengikuti kegiatan kesenian.

Tanpa kehadiran guru, anak-anak tersebut bisa belajar mandiri. Ketika diberi tugas oleh gurunya untuk mempersiapkan acara kesenian untuk pertemuan orangtua murid, anak-anak itu berembuk sendiri apa yang akan mereka lakukan.

Ada sekelompok anak yang berlatih membaca puisi, ada yang membuat teater dalam bahasa Sunda, ada yang berlatih calung. Jalan cerita, pembagian peran, dan lain-lainnya ditentukan oleh anak-anak sendiri.

Paryono (14) yang kini duduk di kelas dua, sangat terampil dalam memainkan calung, berteater, maupun bertani. “Saya senang bermain drama, main calung, dan banyak lagi. Saya kelak mau jadi guru di sini,” kata Paryono yang selalu sibuk mengerjakan sesuatu.

Sekalipun mengadopsi kurikulum nasional akan tetapi pendekatan yang dipakai SMP Plus Pasawahan berbeda dengan sekolah pada umumnya.

Mereka ingin mengembangkan anak sesuai kecerdasan yang dimiliki masing-masing. “Kami tidak menyamaratakan anak dan memaksa anak menyukai segala hal,” kata Saeful.

Dalam buku berjudul Aku Bangga Menjadi Anak Desa, anak-anak Pasawahan bercerita tentang desa mereka, tentang perjuangan orangtua mereka memperebutkan hak atas tanah, tentang sekolah mereka, bahkan opini tentang kenaikan harga Bahan Bakar Minyak yang menyengsarakan petani. Mereka memprotes ketidakberpihakan pemerintah kepada petani dan tidak diperhatikannya pendidikan bagi anak-anak di desa.

Rani Anggraeni (16) menulis tentang kebanggaannya sebagai anak desa. Ia sempat kebingungan mencari sekolah lanjutan karena ketiadaan biaya.

Ia tidak mau seperti seorang kawannya yang menyesal tidak bisa meneruskan sekolah karena harus pergi ke Jakarta mencari uang.

Ia juga bercerita tentang seorang temannya yang ke Bandung, katanya mau bersekolah, tetapi ternyata hanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga.

“Aku bangga hidup di desa. Walaupun orangtuaku menjadi petani, aku tetap bangga. Desa dalah kekuatan ekonomi, desa menjadi harapan kita. Aku di desa sambil sekolah. Aku ingin membuat masyarakat di desaku tidak bodoh lagi …,” tulis Rani.

Sekolah komunitas mendekatkan pendidikan dengan persoalan nyata yang ada di lingkungannya.**

Tidak ada komentar: