13 Januari 2009

Setelah Operasi Hutan Lestari, Lalu Apa..?

Pikiran Rakyat

HUTAN produksi milik negara di hutan Cigugur Kab. Ciamis rusak akibat
dijarah kelompok massa terorganisasi. Perlu waktu cukup lama
memulihkan kawasan hutan yang gundul tersebut.* KODAR SOLIHAT/"PR"

BERAWAL dari bincang-bincang, menjadi sebuah aksi nyata dan
(rencananya) berkesinambungan. Itulah Operasi Hutan Lestari Lodaya
2008 yang digelar Polda Jabar sejak 15 Juni lalu.

Dialog itu antara Kapolda Jabar Irjen Pol. Susno Duadji dan sejumlah
tokoh dan sesepuh Jawa Barat. Banyak yang dibicarakan dalam
silaturahmi tersebut, salah satunya pembalakan liar di Jawa Barat,
dengan mengambil contoh Hutan Cigugur, Ciamis.

Saat itu, Kapolda berjanji segera mengirim pasukan ke Cigugur.
Beberapa hari kemudian, 600 anggota Polda Jabar dari berbagai satuan
antara lain brimob, reserse, dan intelijen, dikirimkan ke lokasi.

Satgas dikomandani tiga pejabat Polda Jabar, Kepala Biro Operasional
Rahmat Effendi, Direktur Samapta Kombes Pol. Sudarmanto, dan AKBP
Mitra dari Brimob. Tugas mereka, menangkap pelaku pembalakan liar yang
diduga dimotori sebuah kelompok mengatasnamakan petani.

Di awal-awal penugasan, pasukan menemui beberapa hambatan, terutama
dari preman-preman hutan. Masyarakat pun sangat tertutup dan terkesan
takut memberi informasi. Polisi melakukan strategi dengan membagi dua
pasukan. Pasukan pertama ditempatkan di puncak gunung dan pasukan
kedua siaga di kaki gunung.

Pasukan pertama menyisir dan mencari para pembalak liar, mendata
lokasi-lokasi yang telah dibabat, dan mengumpulkan bukti-bukti.
Sementara itu, pasukan di bawah, bersiap-siap "menampung" pelaku yang
hendak melarikan diri.

Dari hasil operasi itu, polisi mendapatkan beberapa cara para pelaku
menghindari petugas dan menyembunyikan kayu hasil pembalakan liar.
Salah satu cara menghindari pengawasan petugas ialah membuat pos-pos
pemantau dengan kamuflase rumah tinggal.

Saat petugas melakukan penggerebekan, pos-pos pemantau yang ada di
dalam kawasan hutan itu sudah dikosongkan. Dari keadaannya, usia
bangunan itu sekitar 6 bulan hingga 1 tahun.

Pos pemantau tersebut terletak di pinggir jalan utama hutan. Di
halaman belakang rumah itu, polisi menemukan bentangan tali sepanjang
100 meter lebih. Di ujungnya, digantungkan beberapa instrumen yang
berbunyi jika tali digerakkan. Ternyata, tali itu semacam alarm yang
berfungsi memberi tahu rekan di bawahnya, untuk menghentikan "proses
produksi" pembalakan liar.

Polisi juga menemukan kayu-kayu hasil tebangan liar di beberapa rumah
penduduk dan di kolam-kolam ikan. Warga dipaksa kelompok pembalak liar
untuk menyembunyikan kayu-kayu itu. "Jadi, perlu dipertanyakan
komentar Komnas HAM soal pelanggaran HAM yang dilakukan polisi saat
operasi itu. Warga justru senang. Kalau ada yang resah dan ketakutan,
ya mungkin mereka terlibat dalam pembalakan liar itu," kata Kabid
Humas Polda Jabar Kombes Pol. Dade Achmad.

**

Pembantu Pelaksana Teknis Direktur Perum Perhutani Unit III Jabar Upik
Rosalina Wasrin pernah mengungkapkan, hutan Cigugur adalah kawasan
yang sangat potensial. Namun, pengelolaannya tidak bisa optimal karena
lahan dikuasai oleh sekelompok orang sejak 2005.

Kepala Desa Langkaplancar Herry Syarief, sudah sejak lama berharap
digelarnya operasi seperti Operasi Hutan Lestari Lodaya 2008.
Bertahun-tahun masyarakat tidak berani berbicara karena selalu diancam
akan dibunuh para pelaku.

Dalam Operasi Hutan Lestari Lodaya 2008 tahap pertama (15 Juni-23
Juni), polisi berhasil membebaskan 1.000 hektare lahan Perhutani yang
diserobot kelompok tertentu. Mengamankan 60 lebih truk bermuatan kayu
gelondongan hasil pembalakan liar, menyita mesin gergaji, senjata
tajam, mengamankan empat tersangka, Dudu bin Abdulloh alias Dulloh,
Maman, Ayi, dan, Sadiman, serta sebuah bendera.

Dari penuturan empat tersangka dan bukti sebuah bendera, kelompok yang
diduga melakukan pembalakan liar itu adalah Serikat Petani Pasundan
(SPP). Sang pemimpin, Agustiana, menjadi orang yang paling dicari
Polda Jabar karena diduga menjadi inisiator pembalakan liar dan
penyerobotan tanah negara yang dikelola Perhutani.

Menurut Dulloh, penyerobotan tanah negara, khususnya milik Perhutani,
merupakan perintah Agustiana. Caranya, dengan membabat pohon di lahan
tersebut, lalu mendirikan gubuk. "Dia (Agustiana-red.) berjanji, akan
memasukkan lahan garapan yang kita ambil itu dalam perdes sehingga
nantinya menjadi hak milik," kata Dulloh kepada polisi.

Karena dinyatakan "halal", Dulloh menduduki lahan Perhutani di Pageur
Ageung Cigugur. Atas perintah Agustiana, ia memperluas lahan garapan
hingga Desa Harum Mandala, dan Desa Pageur Bumi. Lahan itu menjadi
garapan 200 petani penggarap.

"Pohon-pohon yang dibabat memakai gergaji mesin kebanyakan jati dan
mahoni. Kayu-kayunya dijual ke Ag (pengusaha kayu di Ciamis) dan Den
(anggota SPP)," ujarnya.

Alasan Dulloh melakukannya karena ia ditekan dan dipaksa dua anggota
SPP "senior" yaitu Yus dan Muh. Masuknya Dulloh menjadi anggota SPP
pada Desember 2007 juga karena dipaksa dan diancam kedua orang
tersebut.

Seorang anggota SPP lainnya yang diamankan polisi, Maman, menegaskan,
tujuan utama SPP ialah memiliki lahan Perhutani dengan alasan
menyejahterakan rakyat. "Itu yang selalu dikatakan Agustiana. Kata
dia, kalau tanah itu sengketa, kita bisa memilikinya dan mendapat
sertifikat. Jadi, dia tahu kalau anggota-anggotanya membabat pohon di
lahan Perhutani dan mendudukinya," katanya.

Selain penyerobotan tanah dan pembalakan liar, anggota SPP kerap
dikerahkan dalam sejumlah aksi unjuk rasa. Setidaknya itulah pengakuan
anggota SPP lainnya yang diamankan polisi, yaitu Maman, Ayi, dan
Sadiman.

Agenda aksinya bermacam-macam mulai soal agraria, hingga penolakan
kenaikan BBM. Dalam setiap aksi, anggota SPP diminta menyumbang. Besar
sumbangan paling kecil Rp 5.000,00.

**

Sadar dirinya dicari dan bermaksud mengklarifikasi statusnya, Senin
(23/6), Agustiana mendatangi Mapolda Jabar. Agustiana datang dengan
membawa sejumlah data tentang pembalakan liar yang diduga dilakukan
oknum Perum Perhutani.

Setelah melaporkan itu, Agustiana menjalani pemeriksaan dan harus
menginap satu malam di Mapolda Jabar. Dalam berkas acara pemeriksaan,
Agustiana dijerat pasal 50 ayat (3) huruf a dan b UU No. 41/1999
tentang Kehutanan. Ayat 3 dalam pasal itu menyebutkan, setiap orang
dilarang mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan
hutan secara tidak sah (huruf a), dan merambah kawasan hutan (huruf
b). Untuk pelanggaran pidananya, polisi menjerat Agustiana dengan
pasal 55 KUH Pidana tentang Ikut Serta Dalam Aksi Pembalakan Liar.

Ia baru diperbolehkan pulang pada Selasa (24/6) pukul 19.30 WIB. Rabu
(25/6), Agustiana menggelar jumpa pers di daerah Cigadung, Kota
Bandung. Dalam kesempatan itu, Agustiana membantah keterlibatannya
dalam aksi penyerobotan tanah dan pembalakan liar di sejumlah lahan
Perhutani di Jabar.

Namun, Agustiana mengakui, pembalakan liar dan penyerobotan tanah itu
dilakukan anggotanya. "Anggota SPP ada 76.000. Tidak mungkin saya bisa
mengawasinya satu per satu. Itu kesalahan beberapa anggota saya yang
tidak mengerti keputusan organisasi tentang pengawasan dan
penyelamatan lingkungan," ujarnya.

Agustiana malah balik menyerang Perum Perhutani, polisi, dan aparat
dengan menuduh Perhutani sebagai otak semua aksi pembalakan liar di
Jabar, dan dilindungi oknum polisi, serta aparat. Ia membeberkan
sejumlah modus yang dilakukan Perhutani, aparat, dan polisi dalam
melakukan pembalakan liar.

Modus pertama melibatkan Administratur Perhutani Kesatuan Pengelolaan
Hutan (Asper KPH), mandor, masyarakat sekitar, bandar kayu, penadah,
polisi, dan aparat. Ia menuturkan, asper dan mandor memanfaatkan
tenaga masyarakat untuk menebang kayu di malam hari.

Hasil tebangan diangkut masyarakat memakai kendaraan jip. Proses
pemindahan kayu dari dalam hutan hingga ke jalan raya, diawasi dan
dijaga sejumlah polisi sehingga warga tidak takut ditangkap.

Jalur yang dipakai ialah jalan yang telah disediakan asper dan mandor.
Dari jip, kayu-kayu itu dipindahkan ke truk yang telah disiapkan. Kayu
dikirim ke bandar di Tasikmalaya dan Cipatujah, memakai jalur selatan.

Di jalur-jalur tersebut, truk yang mengangkut kayu hasil pembalakan
liar melintasi beberapa polsek seperti Polsek Parigi, Cimerak,
Cikalong, dan Cipatujah. Oleh karena itu, bandar harus memberi
"japrem" (jatah preman) kepada kapolsek Rp 500.000,00-Rp 700.000,00
untuk setiap truk yang lewat. "Tiap malamnya, rata-rata 10 truk yang
melintas. Semuanya membawa kayu ilegal," katanya.

Modus kedua, melibatkan oknum Perum Perhutani, bandar, dan (lagi-lagi)
polisi. Dalam modus ini, bandar bekerja sama dengan oknum Perhutani
menerbitkan surat BP untuk pembelian kayu resmi. Namun, data jumlah
kayunya dimanipulasi.

Misalnya, dalam surat BP, kayu yang dibeli 10 m3. Namun, kenyataannya
mengangkut 50m3-70 m3. Hasil penjualannya dibagi dua.

Modus ketiga, tetap melibatkan Asper KPH, mandor, pengusaha, polisi
dan aparat. Modusnya dengan memanipulasi data penebangan di sebuah
areal. Contohnya, Perhutani melaporkan akan menebang hutan dengan
perkiraan kayu yang diperoleh sebanyak 100 m3. Di lapangan, jumlah
yang ditebang tiga kali lipat dari yang dilaporkan. Tebangan yang
lebih itu dijual ke bandar dengan dokumen yang aspal (asli tapi
palsu).

**

Ada kesamaan kondisi terparah yang dialami Perum Perhutani Unit III
selaku pengelola kehutanan negara dan PTPN VIII pengelola perkebunan
negara di Jabar. Lahan-lahan mereka dijarah massa terorganisasi,
misalnya provokasi Serikat Petani Pasundan (SPP), bermodus lahan
negara dari kehutanan dan perkebunan akan dibagi-bagikan kepada
masyarakat.

Adalah Perum Perhutani III yang mengawali tindakan pengamanan hutan
mereka yang dijarah dengan bertindak represif bekerja sama dengan
Polda Jabar di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Ciamis, RPH Cigugur.

Namun, langkah pengamanan hutan tak hanya sampai di situ.
Pascapengamanan penjarahan hutan di Cigugur, Perum Perhutani Unit III
sudah menyusun langkah mengondusifkan, terutama melalui Pengelolaan
Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), untuk memberi lapangan kerja bagi
masyarakat sekitar sambil meningkatkan rasa tanggung jawab ikut
memelihara hutan negara.

Kepala Unit III Perum Perhutani, Moch. Komarudin, mengatakan, pihaknya
terus meningkatkan pembinaan serta penyuluhan kepada masyarakat
mengenai pentingnya menjaga ekosistem hutan dan akibat-akibat yang
timbul jika terjadi penebangan hutan yang tak terkendali.

"Ini sebagai motivasi kepada masyarakat agar turut serta mencegah
terjadinya penebangan hutan, terutama yang dilakukan oleh para pemodal
dari luar daerah. Soalnya, masyarakat lokal hanya akan menjadi korban.
Sementara itu, orang luar daerah memperoleh keuntungan namun tidak
bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang ditinggalkan,"
katanya. (Satrya Graha/Kodar Solihat/"PR") ***

Tidak ada komentar: