16 Januari 2009

SMP Pasawahan, Sekolah Plus Ala Perdesaan

PIKIRAN RAKYAT, Selasa, 14 Nopember 2006

DALAM beberapa tahun ini, Serikat Petani Pasudan (SPP)
telah mendirikan tiga sekolah menengah (SMP) plus.
Salah satu SMP plus yang dirintis berada di daerah
Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kab. Ciamis.

Sampai saat ini, SMP Plus Pasawahan baru membuka dua
kelas, dengan jumlah murid kelas satu 25 anak, dan
kelas dua 37 anak . Lokasinya, berada di sebuah puncak
Gunung Cipicung, yang terletak sekira 70 km dari Kota
Ciamis, ke selatan daerah Banjarsari. Dari Banjarsari
naik ke gunung, dengan menempuh perjalanan cukup
berat. Sekolah ini dirintis mulai tahun 2003 oleh
masyarakat, aktivis pergerakan dan SPP. Mereka mulai
menerima murid sejak tahun 2004.

Ada beberapa pertimbangan, membangun sekolah di daerah
ini. Pertama, untuk memberikan kesempatan kepada anak
petani miskin agar bisa menikmati pendidikan lanjutan
setelah tamat SD. Kedua, mempersiapkan anak-anak
petani terdidik dengan memiliki keterampilan tani yang
baik dan modern. Sehingga, pada akhirnya mereka
menjadi pelopor di desanya, dalam berbagai bidang,
terutama pertanian.

"Lokasinya, kita pilih di Pasawahan, karena daerah itu
paling jauh dan banyak anak tidak bisa melanjutkan
sekolah. Di daerah itu ada enam SD. Sebagian besar,
tak mampu melanjutkan, karena ke SMP sangat jauh dan
juga miskin. Makanya, kita bangun sekolah di daerah
itu," jelas Sekjen SPP Agustiana.

Bangunan sekolah didirikan empat ruangan, dibangun
dengan cara gotong royong bersama masyarakat setempat.
Dananya sebagian dari sumbangan pemerintah dan
swadaya.

Guru yang mengajar di sekolah ini sebanyak 12 orang.
Mereka berasal dari berbagai perguruan tinggi, seperti
Univeritas Galuh, ITB, Unpad dan lain-lain. Para guru
sama sekali tidak mendapatkam gaji. "Murni
pengabdian," kata Agustiana.

Guru SMP Plus, Saeful dan Haslinda, ketika ditemui
"PR" di sela-sela memberikan pelajaran, mengemukakan,
siswa di sekolahnya belajar dengan lesehan. Mereka
bebas menggunakan pakaian ke sekolah, baik seragam
atau tidak. Siswa juga boleh beralas kaki atau sama
sekali telanjang kaki.

"Namun, anak-anak itu kami rangsang untuk kreatif,
serta berani dalam mengemukakan pendapat. Kita
memosisikan mereka pada derajat yang sama," kata
Saeful, seorang sarjana pendidikan ini.

Sebelum materi pelajaran diberikan di sekolah, setelah
salat subuh, anak-anak belajar bertani di kebun.
Sekolah ini memiliki lahan seluas empat hektare, yang
digarap oleh anak didik. Mereka merawat atau mengolah
lahan, memelihara tanaman, seperti kacang tanah dan
mentimun. Setelah dari kebun, anak-anak ini mulai
pukul 8.00 WIB.

Mereka akhirnya bisa menanam kacang tanah, mentimun,
dan pertanian lainnya. Sebagian hasil tanamnya, untuk
biaya beli buku dan keperluan sekolah lainnya. "Saya
senang bisa bertani," kata Susilawaty, pelajar asal
sekolah ini.

Suasana di dalam ruang belajar dibuat senyaman
mungkin. Anak boleh berdebat dengan guru, boleh
bertanya kapan saja, kalau ada pelajaran tak mengerti
atau bingung. Dengan demikian, proses belajar-mengajar
menjadi lebih hidup, karena disampaikan dengan
egaliter.

Haslinda, lulusan Fikom Unpad Bandung misalnya,
--sewaktu "PR" melihat dari dekat-- mengajarkan
tentang budaya antre. Saat itu, anak didik langsung
praktik melakukan antre. Masing-masing anak diminta
komentarnya tentang maksud dan manfaat antre tersebut.
Baru setelah itu, guru memberi benang merah arti
penting antre.

Sekira pukul 11.30 WIB, anak-anak beristirahat untuk
makan dan salat. Mereka masuk kembali sejam kemudian,
untuk melanjutkan belajar hingga pukul 15.30 WIB.
Setelah itu, anak-anak diajak praktik ke lapangan.
Malam harinya, mereka mengaji dan latihan seni atau
drama.

Calung sebagai budaya setempat diajarkan kepada
anak-anak. Mereka juga diajak terlibat dalam
permasalahan yang terjadi di daerah itu. Untuk anak
yang rumahnya jauh dari sekolah, dititipkan di
masyarakat sekitar secara gratis.

Menurut Saeful, kelebihan plus di sekolah ini bukan
hanya gratis, tapi anak-anak melakukan praktik
langsung, khususnya dalam masalah pertanian, mulai
dari pembuatan pupuk organik, pembibitan, mencangkul,
hingga menanam sayur mayur.

"Kalau panen, sebagian hasilnya dimasukkan ke kas, dan
sebagian lainnya untuk pelajar. Biasanya dibelikan
buku tulis dan pensil," jelasnya.

Selain 12 guru tetap, para petani unggulan juga
memberikan pelatihan terhadap siswa. Sementara para
ustaz setiap malam memberikan bimbingan belajar
mengaji, termasuk pada hari Jumat. Mereka belajar
kitab-kitab kuning.

Jangan pernah membayangkan guru yang ada juga
berseragam safari atau batik. Mereka juga menggunakan
pakaian seadanya. Hal yang menonjol adalah semangat
mengajar mereka, sekalipun tanpa digaji sama sekali.
Kehidupan mereka atau guru juga berasal dari
penggarapan lahan atau bantuan warga setempat.

Setiap anak, juga diharuskan menulis cerita setiap
harinya, tentang pengalaman 24 jam yang dilakukan atau
pendapat tentang berbagai hal. Tulisan anak-anak desa
ini, telah dibukukan dengan judul, "Aku Bangga Jadi
Anak Desa" akhir Desember 2005. Buku itu merupakan
kumpulan tulisan terpilih dari anak-anak ini.

Menurut Seto Mulyadi, dalam pengantar buku itu,
tulisan siswa SMP Plus Pasawahan ini, adalah gambaran
jiwa yang lugu dan polos, mereka mengambilnya dari
pengalaman dan kejadian yang mereka alami atau orang
tuanya.

"Mereka berhasil meluruskan arah prinsip pendidikan
nasional menjadi lebih humanis dan populis," kata
tokoh yang akrab dipanggil Kak Seto ini melihat
pendidikan di daerah ini. (Undang Sudrajat/"PR")***

Tidak ada komentar: