09 Juni 2009

Berdirinya Sekolah Kami

PENDIDIKAN

Kompas, Selasa, 9 Juni 2009

Ahmad Arif

Hujan semalam menyisakan tanah becek dan gigil dingin. Namun, sepagi itu, Desa Sarimukti di lereng Gunung Papandayan sudah hiruk pikuk. Di tanah lapang pinggir desa, puluhan buruh menaikkan sayuran ke truk. Mereka berbagi lahan dengan anak-anak kecil yang bermain bola.

Beberapa langkah dari tanah lapang itu, sejumlah lelaki sibuk bekerja. ”Tok... tok... sreeek... duk,” bunyi palu memukul paku bersaing dengan gesekan gergaji membelah kayu.

Guru, aparat desa—termasuk kepala desa—dan petani, bahu- membahu membangun gedung Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Pertanian Sarimukti. ”Sedikit lagi selesai, tinggal pasang jendela dan mengecatnya,” kata Ridwan Saefudin (36), guru Matematika. Sekolah itu berdinding bambu berlantai papan.

SMK Pertanian Sarimukti dibuka tahun lalu. Selama itu pula pembangunan gedung dirintis. Sebanyak 42 siswanya menumpang di madrasah.

”Ayo semangat, anggap olahraga,” kata Yayan Supriyatna (47), Kepala Desa Sarimukti, sambil menghaluskan papan. Warga tersenyum. ”Tiap hari olahraga kami mencangkul, Pak,” seloroh seorang warga. Guyonan itu menambah guyub suasana.

Keguyuban pula yang menyangga sekolah itu. Warga menyumbang apa saja, dari kayu hingga bambu. Anak-anak tak ketinggalan, mengangkuti batu sungai untuk fondasi.

”Sekolah ini sumbangan warga dan Sahabat Sekolah (donatur). Kalau ditotal, habis Rp 45 juta. Ini demi perubahan nasib,” kata Ridwan.

Harapan perubahan

Langkah awal perubahan itu dimulai sejak 2003 saat warga mendirikan Madrasah Tsanawiyah (MTs) Sururon. Ide pendirian sekolah setingkat SMP ini muncul dari pembicaraan warga dengan pengasuh Pesantren Sururon, aktivis Serikat Petani Pasundan, dan Yapemas. Sebelumnya, di Sarimukti hanya ada SD.

SMP terdekat ada di Sari Wangi, ibu kota kecamatan, yang harus ditempuh dengan ojek. Biayanya Rp 15.000, setara dengan penghasilan warga sehari. ”Waktu itu hanya dua anak yang lanjut ke SMP,” ujar Yayan.

MTs Sururon kini telah meluluskan 136 siswa. ”Awalnya banyak yang meragukan sekolah kami. Maklum, bangunan dan fasilitasnya terbatas. Semuanya gratis. Gurunya tamatan SMA dan SMP, hanya satu yang sarjana,” kata Ayi Sumarni (25), guru di MTs Sururon yang juga mahasiswi Universitas Garut.

Ridwan, yang juga Wakil Kepala MTs Sururon, mengungkapkan, gaji guru di sekolahnya tak tentu besarannya. ”Biasanya Rp 90.000 sebulan,” katanya. Gaji guru dibayar dari hasil usaha yang dikelola sekolah, seperti ternak ikan. Kolamnya dibuat di bawah lantai kelas. Para guru pun kebanyakan banting tulang mencari pekerjaan tambahan.

Lulusan MTs Sururon nyatanya berprestasi. Tingkat kelulusan hampir 100 persen. ”Dari tiga angkatan, hanya satu siswa yang tak lulus ujian nasional. Itu pun karena sakit,” kata Ayi. Bahkan, pada Ujian Nasional 2006, seorang siswa Sururon mendapat nilai sempurna di bidang Matematika.

Di sekolah lanjutan, alumni MTs Sururon juga berprestasi. Misalnya Siti Aminah (18), lulusan angkatan pertama yang selalu juara umum di SMK Pertanian Garut. Siti kini mendapat tawaran beasiswa dari Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Tak hanya Siti, semua alumnus MTs Sururon yang melanjutkan sekolah juga berprestasi di sekolah masing-masing.

Namun, hanya sedikit lulusan MTs Sururon yang bisa melanjutkan sekolah ke luar desa. Alasan utama, tak punya biaya. ”Itulah yang mendorong kami mendirikan SMK Sarimukti. Sekolah ini, seperti MTs Sururon, juga gratis,” kata Ridwan.

Belajar kehidupan

Tak hanya memiliki prestasi akademik, siswa MTs Sururon juga berani berpendapat dan bersikap, hasil

pengajaran dialogis dan kritis. Ketika melanjutkan studi, banyak dari mereka yang menjadi ketua OSIS di sekolah masing-masing.

Lebih dari itu, anak-anak juga belajar kehidupan. Sarif (17), selama empat tahun sekolah di Sarimukti, tak sepeser pun mendapatkan kiriman uang.

”Orangtua saya miskin. Dari awal mereka tak setuju saya sekolah,” kata Sarif asal Garut selatan, sekitar 150 kilometer dari Sarimukti. Tiga tahun Sarif sekolah di MTs Sururon, setahun terakhir di SMK Sarimukti.

Dulu, ketika mendapat informasi dari teman sekampung tentang sekolah gratis di MTs Sururon, Sarif pun nekat pergi. Di Sarimukti ia tinggal di asrama guru dan bekerja untuk hidup. ”Saya jadi buruh tani,” ujarnya. Puluhan siswa lain seperti Sarif, kenyang pengalaman hidup.

Awal 2004, Sarif dan sembilan siswa lain yang tinggal di asrama pernah dua hari tak makan. ”Kami kehabisan beras. Dua hari makan dedaunan. Waktu itu warga juga lagi susah karena lahan mereka diambil Perhutani,” kisah Sarif.

Ridwan, yang juga tinggal di asrama, menambahkan, ”Waktu itu saya ada urusan di Garut. Karena tak ada uang, terpaksa saat pulang ke Sarimukti jalan kaki. Hampir lima jam di jalan. Perut lapar dan haus, berharap di asrama ada makanan.”

Ternyata siswa di asrama juga kelaparan. ”Saya meminta seorang anak ke warung. Tetapi, dia pulang hanya membawa beberapa lembar bon tagihan utang. Utang kami di warung rupanya menumpuk,” katanya.

Hari sudah malam ketika datang ayah seorang murid dari Garut selatan. Dia membawa bekal lima bungkus nasi timbel yang segera dibagikan. ”Itulah makanan terenak yang pernah saya makan. Saya yakin selalu saja ada jalan kalau ikhlas dan berani,” kata Ridwan.

Seperti Ridwan, seperti itu pula keyakinan warga Sarimukti yang bergotong royong membangun sekolah pagi itu. Ya, pada sekolah itu harapan perubahan disandarkan....

Tidak ada komentar: