21 Juni 2008

Arpan, Penyedia Bibit Pohon Gaharu

Kompas, Sabtu, 21 Juni 2008

Perambahan dan penebangan kayu hutan seperti di kawasan hutan Gunung Rinjani, Lombok, Nusa Tenggara Barat, nyaris tanpa henti sepanjang tahun. Berkurangnya sumber mata air, erosi, dan tanah longsor adalah dampak perambahan kawasan itu yang dirasakan masyarakat.

Populasi kayu yang ditebang pun antara lain kayu endemik kawasan itu, seperti kayu gaharu yang gubalnya bernilai ekonomis tinggi. ”Batang pohon gaharu itu ditebang habis sampai akar untuk diambil gubalnya. Tak ada niat si penebang menanam bibit yang sama sebagai pengganti,” ujar H Arpan (69), warga Dusun Pusuk, Desa Lembahsari, Kecamatan Batu Layar, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Masyarakat tergiur harga gubal gaharu yang relatif tinggi. Gubal gaharu kualitas super Rp 7 juta-Rp 10 juta per kilogram (kg). Sedangkan kualitas di bawahnya Rp 2 juta-Rp 3 juta per kg. Gubal yang damarnya dijadikan bahan pembuat minyak wangi ini di Arab Saudi digunakan mandi uap dan untuk peranti keagamaan di Jepang.

Arpan cemas gaharu jenis Gyrinops versteegii di Lombok akan punah karena dari 100 pohon yang ditebang, belum tentu ada satu pohon dengan gubal. Para pemburu pun menggali tanah di sekitar pohon, menyisakan lubang besar yang memacu terjadinya degradasi lingkungan hutan.

Padahal sebelum 1970-an, ”Masih banyak pohon gaharu yang diameternya tak cukup dipeluk dua tangan orang dewasa,” tutur Arpan yang waktu itu setiap hari masuk-keluar Hutan Pusuk mencari kayu bakar sekaligus melihat perilaku para pemburu ”menghabisi” pohon gaharu.

Kecemasan itu mendorong Arpan untuk menyelamatkan populasi pohon gaharu di kawasan Hutan Pusuk. Ia mencari dan mengumpulkan bibit kayu itu di dalam hutan, kemudian disemai sebelum ditanam.

Proses pembibitan dia lakukan pada lahan pinjaman milik Dinas Kehutanan Lombok Barat yang tengah melakukan program reboisasi. Bibit gaharu yang siap tanam itu selain dijual seharga Rp 2.000-Rp 3.000 per batang, juga dibagikan kepada masyarakat di seputar kawasan hutan untuk ditanam di lahan garapan.

Melihat kesungguhannya, pada 1979 Dinas Kehutanan Lombok Barat merekrut Arpan untuk program reboisasi di beberapa tempat di Pulau Lombok. Ia mendapat honor Rp 8.000 per bulan. ”Honor saya terus naik, sekarang jadi Rp 400.000,” katanya.

Uang itu digunakan antara lain untuk membayar pekerja mencari bibit gaharu di hutan, lalu disemaikan di halaman rumahnya. Dari kegiatan ini, ia bisa menyediakan stok bibit 2.000 batang sebulan. Setelah melalui proses persemaian selama tujuh-delapan bulan, bibit siap dijual.

Seiring waktu, Arpan menjadi sumber penyedia dan pemasok bibit untuk kepentingan NTB serta beberapa daerah di Pulau Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan. Rumahnya nyaris tak pernah sepi dari kunjungan para LSM, petani, dosen, turis, dan peneliti dari mancanegara, seperti Jepang dan Australia.

Kunjungan para tamu itu tercatat rapi dalam bukunya. Mereka melihat hasil kerjanya dan menginap beberapa hari untuk belajar teknis bertanam dan penyemaian gaharu. ”Saya seperti dosen saja,” ujar Arpan sambil terkekeh.

Lokasi yang kerap dikunjungi para tamu adalah lahan seluas 80 hektar milik Dinas Kehutanan Lombok Barat di kawasan Hutan Pusuk. Lahan ini pada tahun 1995-1996 ditanami 1.100 batang gaharu yang kini tinggi pohonnya tujuh meter.

Karena kepeduliannya itu, Arpan menerima penghargaan Kalpataru tahun 2002 sebagai perintis lingkungan. Produk gaharu yang dibudidayakannya diperkuat sertifikat dari Badan Penelitian Tanaman Hutan (BPTH) Denpasar, Bali.

Arpan sempat kewalahan melayani permintaan benih gaharu dari berbagai daerah. Permintaan sebanyak 30.000 batang bibit gaharu itu datang dari Pulau Alor, NTT, Kendari, Sultra, Banten, Makassar, Sulsel, Manado, Sulut, dan Jawa Barat.

Banyak kenalan

Gaharu tak hanya memberi penghasilan bagi Arpan, tetapi ia juga mendapat banyak teman dari berbagai daerah maupun orang asing. ”Kami juga bisa saling berbagi ilmu pengetahuan tentang gaharu.”

Dari ”komunitas gaharu” itulah, Arpan semakin paham tentang tanaman tersebut. ”Dalam persemaian, gaharu perlu perlakuan khusus, seperti cara menyiramnya. Sedikit saja batang anakan goyang atau tanah di sekitar anakan hanyut tersiram air, gaharu tak bisa tumbuh, mati,” ujarnya.

Di tangannya, gubal gaharu bisa didapat saat pohon berumur tujuh tahun atau lebih cepat dibandingkan umur teknisnya yang 15 tahun. ”Maaf saya tak bisa jelaskan caranya, ini ’rahasia perusahaan’,” kata Arpan.

Tak hanya gaharu, ia juga melakukan pembibitan kemiri. ”Buah kemiri yang dijadikan benih itu disukai semut. Bagaimana mengusir semut agar benih bisa tumbuh, ada cara dan perlakuannya sendiri,” kata Arpan yang menjadikan kemiri tumbuh bagus sebagai tanaman sela di areal gaharu. Dari 1.000 batang anakan itu, pertumbuhannya 60-70 persen.

Kecintaannya pada tumbuhan membuat dia juga menaruh perhatian pada kesinambungan tanaman ketak, sejenis rerumputan yang tumbuh merambat pada batang pohon. Tanaman ini menjadi bahan baku untuk anyaman yang biasa dijadikan cenderamata.

Tahun 1999 Arpan membudidayakan ketak pada areal 10 hektar di kawasan Hutan Pusuk. ”Alhamdulillah pertumbuhannya baik, tetapi mesti dijaga supaya tak dicuri orang.”

Mencari bibit

Sebagai penyedia bibit, nama Arpan relatif kondang. Namun ia tetap sederhana. ”Saya selalu ingat, ikhtiar saya hanya membudidayakan gaharu agar orang bisa melihat gaharu tetap tumbuh di hutan. Kalau gaharu ditebang terus dan hutan rusak, generasi muda kita cuma dengar cerita tentang gaharu,” ucapnya.

Untuk mewujudkan niat itulah, awalnya Arpan dibantu anaknya dengan bekal makanan seadanya berjalan kaki masuk hutan mencari bibit gaharu dan tanaman langka lainnya. Ia juga membayar Rp 50 per batang untuk warga yang mendapatkan bibit gaharu.

”Kalau bibit kayu kelicung dan kayu dao bisa diperoleh 10-25 batang, gaharu hanya dapat satu-dua batang,” katanya tentang indikasi semakin langkanya kayu gaharu di hutan.

Awalnya, apa yang dirintis Arpan tak selalu mulus. Ia dibenci sebagian orang yang menganggap aktivitasnya itu menjadi halangan bagi mereka untuk bebas menebang pohon. Namun, setelah tampak hasilnya, tak sedikit warga kampung yang ”angkat topi” kepadanya. Mereka yang semula mencemooh, mengatakan dia gila, justru kemudian mengikuti jejak Arpan sebagai penyedia bibit gaharu.

Biodata

Nama: H Arpan

Usia: 69 tahun

Pendidikan: Sekolah Rakyat, lulus 1951

Istri: Hj Nuraini (40)

Anak: lima perempuan dan dua lelaki

Aktivitas:

- Ketua Kelompok Tani ”Sumber Benih Gaharu”, Dusun Pusuk, Desa Lembahsari, Kecamatan Batu Layar, Lombok Barat

- Anggota Forum Penerima Kalpataru

Penghargaan: Peraih Kalpataru kategori Perintis Lingkungan tahun 2002


KHAERUL ANWAR

Tidak ada komentar: