03 Juni 2008

Menumbuhkan Kedaulatan di Sawah Sempit

KOMPAS/AGNES RITA SULISTYAWATY / Kompas Images
Petani di Kelurahan Limau Manis Selatan, Kecamatan Pauh, Kota Padang, Sumatera Barat, sedang mengamati tanaman padi yang mulai menguning. Kepemilikan lahan petani di Kota Padang rata-rata kurang dari 1 hektar.
Kompas, Senin, 2 Juni 2008

Oleh Agnes Rita Sulistyawaty

Pertanian di Sumatera Barat dihadapkan pada dua sumbu yang saling tarik-menarik. Di satu sisi, peningkatan kuantitas menjadi target daerah. Di sisi lain, tanah yang menjadi modal utama pertanian semakin banyak dipakai untuk kebutuhan nonpertanian.

Tahun 2008, Pemprov Sumatera Barat (Sumbar) menargetkan produksi gabah kering giling (GKG) 2.006.132 ton, naik 3,5 persen atau 68.013 ton dibandingkan tahun 2007. Tahun 2009, produksi ditargetkan naik 38.107 ton GKG menjadi 2,044 juta ton GKG tahun 2009. Itu pun dengan luas tanam yang disasar tetap, yakni 448.298 hektar setiap tahun.

Rasanya mustahil meraih produksi berlimpah ketika tanah yang akan ditanami semakin sempit. Sempitnya lahan garapan tidak lepas dari keterdesakan petani atas laju pembangunan. Di daerah perkotaan, hampir tidak ada petani yang mempunyai tanah lebih dari satu hektar.

"Tahun 1980-an, orang sangat mudah melepas tanah, termasuk sawah. Meskipun ada hukum adat yang mengharuskan pelepasan atas kesepakatan kaum, tetap saja tanah mudah lepas," kata Fauzi Azim (43), Ketua Kelompok Tani Organik Kayu Gadang, Kelurahan Limau Manis Selatan, Kecamatan Pauh, Kota Padang.

Fauzi berujar, tanah yang dilepas seharga Rp 1.500 per meter, kemudian dikelola oleh investor dan dijual kembali seharga Rp 150.000. Kongkalikong antara investor dan pemuka adat membuat praktik yang merugikan itu semakin merajalela.

Kini, petani kebagian pahitnya. Sawah yang sudah sempit harus dibagi-bagi lagi dengan anak-kemenakan pewaris. Gusmiati (38), petani organik di Kelurahan Limau Manis Selatan, terpaksa tetap mengambil jatah raskin.

"Mana mungkin sepertiga hektar yang ditanami hanya sekali setahun bisa memenuhi kebutuhan pangan selama setahun. Saya harus bergantian menanam padi dengan ibu saya di lahan yang sama sehingga setahun saya hanya kebagian jatah memanen satu kali," kata Gusmiati.

Di Kelompok Pertanian Organik Kayu Gadang Kelurahan Limau Manis Selatan, Kecamatan Pauh, Kota Padang, enam petani menggarap lahan tidak lebih dari 5,5 hektar, itu pun termasuk lahan pembibitan kelompok dan kandang sapi. "Kalau dihitung-hitung, lahan pribadi yang digunakan menanam padi tidak lebih dari 0,5 hektar per orang," ucap Fauzan Azim, Ketua Kelompok Pertanian Organik Kayu Gadang.

Bagi Gusmiati dan petani organik di Limau Manis Selatan, pertanian terpadu menjadi jawaban yang paling memungkinkan untuk saat ini. Setidaknya, anggaran untuk beli pupuk dan pestisida bisa dicoret dan digantikan dengan sedikit kerja untuk membuat sarana produksi itu.

Intensifikasi zaman dulu

Cerita-cerita seperti Gusmiati ada 1.001 macam. Intinya, tanah sebagai modal terpenting untuk bertani semakin menyusut. Ditambah produktivitas tanah yang semakin berkurang, lengkaplah kisah sedih dari para penyedia pasak seribu alias beras.

Kebutuhan untuk mendapatkan hasil yang lebih memaksa pemerintah dan petani mengubah cara bertanam. Zaman Orde Baru berkuasa, perubahan cara bertanam pernah juga dilakukan, yakni dengan memperkenalkan model bertani intensifikasi.

Sayangnya, model pertanian ini yang membuat petani sangat bergantung pada produksi pabrik sehingga akhirnya terjebak pada pola-pola pertanian yang justru memiskinkan petani. Harga pupuk, pestisida, dan sarana produksi pertanian lainnya bisa dikendalikan oleh pengusaha pabrik.

Sebagai contoh, bertanam padi di Sumbar membutuhkan 200-300 kilogram pupuk urea per hektar. Saat memupuk, pupuk tiba-tiba raib dari pasaran. Jadilah padi tidak terpupuk dan pertumbuhan padi terhambat.

Perubahan pola bertani yang dirintis saat ini bukanlah pola baru dengan teknologi canggih yang memakan biaya besar. Pola pertanian zaman nenek moyang dulu dikembalikan ke pertanian yang terpadu.

Ada ternak yang mempunyai "harta" tersembunyi berupa kotoran yang bisa diolah menjadi pupuk. Ada pula jerami sisa panen yang dipakai juga untuk menyuburkan tanah. Hama di tanah bukan dibunuh, melainkan dikendalikan dengan menyediakan tanaman yang berfungsi sebagai pestisida alami maupun pengolahan berbagai jenis tumbuhan. Petani hanya perlu bekerja sedikit lebih keras untuk menyediakan sarana produksi itu.

Pertanian terpadu mulai dikembangkan di Sumatera Barat, seperti halnya di berbagai pelosok Tanah Air. Selain sebagai upaya memenuhi kuota produksi beras masing-masing daerah, pertanian terpadu juga menjadi tumpuan bagi petani untuk mendapatkan hasil yang lebih banyak dibandingkan pertanian konvensional yang dikenalkan Orde Baru.

Pada beberapa kasus, model pertanian terpadu ini belum juga membebaskan petani padi dari kebutuhan membeli beras. Gusmiati, misalnya, masih membeli beras karena lahan yang bisa digarap sangat sempit.

Sedikitnya, pertanian terpadu ini merupakan jawaban atas tantangan keterbatasan lahan. "Keterbatasan lahan bukan hambatan, tetapi tantangan," kata Djoni, Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumatera Barat.

Pemprov Sumbar lewat berbagai program berupaya merangsang model pertanian terpadu. Sebut saja pengembangan pupuk organik di tiap kabupaten/kota merangsang pemakaian jerami untuk pupuk, penanaman padi sebatang, hingga penyelenggaraan sekolah lapangan untuk petani ataupun penyuluh pertanian yang ingin menerapkan pertanian terpadu.

Upaya itu pun belum bisa meningkatkan jumlah pertanian terpadu hingga ke angka 10 persen untuk provinsi ini. Tahun 2008 ditargetkan 100 hektar pertanian di Sumbar memakai metode organik.

"Jumlah petani organik masih sangat kecil. Sulit juga membuat petani sebagai petani organik karena orang-orang yang terlibat dalam bisnis pertanian di pabrik-pabrik juga orang partai atau anggota Dewan," papar Djoni.

Sebenarnya, kenaikan harga minyak dunia saat ini dijadikan momentum untuk mengembangkan kejayaan pertanian. Pengamat ekonomi Universitas Andalas, Elfindri, menilai potensi pertanian terletak dari minimnya pemakaian bahan bakar minyak dalam keseluruhan proses produksi.

Artinya, pengembangan sektor pertanian berarti mengurangi beban subsidi dari pemerintah, membangun ketahanan pangan masyarakat, sampai menambah kesejahteraan bagi petani.

Mengembalikan jalur pertanian ke pertanian terpadu akhirnya bukan sekadar pengubahan pola bertanam. Di dalam metode pertanian ini juga terkandung kedaulatan petani mengatur produksi padi.

Tidak ada komentar: